Bastian Cokro melajukan Range Rover abu di jalan bebas hambatan dari arah Bogor ke Jakarta. Hari semakin malam, dan lalu lintas di jalur yang ditempuhnya lengang karena memang berlawanan dari arus balik tengah kota.
Hari yang dilewatinya di rumah keluarga Eva sangatlah menyenangkan, membuat senyum Tian terpoles tak kunjung hilang sembari menyetir dan menikmati alunan lagu dari pemutar musik di dasbor. Lagu cinta memang akan terdengar lebih merdu bagi mereka yang kebetulan juga sedang jatuh cinta.
Mood Tian yang begitu baik seakan hampir membuatnya lupa akan kejadian yang baru saja dilaluinya siang tadi. Kejadian yang membuat sisi Range Rover-nya penyok parah. Kejadian yang tak sepenuhnya ia ceritakan dengan tuntas kepada Eva.
Beberapa jam sebelumnya …
“Mas beneran ya
Sehari setelah ulang tahun Eva, kini perempuan itu duduk termangu di balkon apartemennya. Dia tidak mengenakan alas kaki, memandangi langit senja yang mulai menjingga, sambil menggumamkan nada lagu yang tersalur di earphone telinganya. Suara Cody Fry dalam I Hear A Symphony-nya mengalun merdu, membawa ingatan Eva ke salah satu museum tempat dia berswafoto dengan Tian, lelaki yang mengenalkannya pada lagu ini. Eva juga mulai sadar kalau dia tersenyum sendiri, tanpa ada angin dan hujan, sekadar hanya karena mengingat senyuman Tian; lesung tunggal itu sukses membuat Eva dan keluarganya luluh di acara ulang tahun kemarin. Menyadari dirinya sudah merasakan sensasi yang sudah lama sekali tak muncul ke permukaan, Eva membatin pada dirinya sendiri. Celaka, jangan-jangan aku beneran suka?
Kantor Pandora padat seperti biasa. Di balik meja CEO, Bastian sibuk mengetik e-mail balasan dan menandatangani beberapa dokumen secara bergantian. Jika belum masuk jam makan siang, maka lelaki gila kerja ini tak akan istirahat atau bahkan keluar ruangan. Tidak seperti pegawai lain yang merokok, Tian tidak membutuhkan waktu break dengan mengisap nikotin batangan. Tian begitu berkonsentrasi sehingga tidak mendengar ketukan di pintu. Sekali. Dua kali. Tiga kali ketukan yang kali ini lebih kencang, akhirnya Tian mengangkat wajah. “Ya, Nisa? Ada apa?” ucap Tian saat mendapati asistennya berdiri di ambang pintu. “Ini, Mas … tanda tangan lagi.” Nisa menyodorkan beberapa lembar dokumen lain. “Apa ini?” tanya Tian sambil membaca
Ika sedang dilema parah. Wanita dengan potongan rambut pendek sedagu ini baru saja mendapatkan banyak informasi tentang jabang jodoh sahabatnya. Tapi, bukannya merasa tercerahkan, Ika seketika terjebak dalam buah simalakama.Haruskah ia memberitahu Eva yang sebenarnya? Atau, haruskah ia tetap mendukung gerilya pendekatan Bastian yang jelas-jelas menaruh hati pada Eva, namun tidak bisa memenuhi goal akhir perempuan itu; menjadi ayah dari bayi yang diinginkannya?[Kak Ika, please jangan terlalu dianggap serius itu perkataan terakhir dari Kirana, dia memang biangnya ghibah, ratu gosip kantor. Aku mohon banget Kakak keep nama baik Mas Tian, ya? Jangan dibocorkan ke media masalah yang terlalu pribadi itu, tolong .…]Pesan digital dari Aura yang masuk ke ponsel Ika membuat wanita
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da
“Apa benar kamu akan ikut trip ke Surabaya bersama Bastian Cokro?” Pak Bram bertanya dengan nada serius.Eva seketika gugup, dan berusaha menjawab dengan anggukan. “Benar, Pak,” ucapnya kemudian.“Hmmm, oke. Kapan berangkatnya?” Pak Bram meneruskan.“Malam ini.”“Oke, good. Kamu yang akan jadi perwakilan saya kalau begitu.”Pernyataan Pak Bram barusan membuat Eva terbelalak kaget.“Eeeeh … maksudnya gimana, Pak?” bingung Eva.“Sebenarnya, saya juga diundang untuk ikut dalam work trip ke Surabaya itu. Tapi, pas sekali nanti malam saya harus ke Singapore
Ketukan di pintu unit apartemen Eva membuat sang nona rumah berlari kecil ke arah sumber suara. Eva menyempatkan diri mengintip penampilannya di pantulan layar hitam flat TV ruang tengahnya. Tubuhnya dibalut terusan katun yang ringan, tanpa model yang terlalu rumit, juga rambut yang dikeringkan dan di-blow dry buru-buru—kini tersanggul dalam jepitan besi berhias mutiara imitasi. Riasan wajah? Bah, jangan harap. Eva hanya sempat melembabkan bibir dengan lip balm transparan agar tidak pecah-pecah dihantam pendingin ruangan, pun wajahnya hanya berbalut pelembab tanpa ada pulasan bedak. Rasanya penampilan Eva jauh lebih polos dari sebelum-sebelumnya, saat ia menemui Bastian di lingkungan kantor atau di photoshoot. Di sana, Eva selalu tampak berpoles dan presentable. Pantas untuk dilihat.
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu