“Sabar ya, Mas, kita ditolak lagi ….” Suara Nisa membuat Tian menggeram seketika.
Mereka baru sampai kembali ke kantor Pandora, dan Tian baru saja memarkirkan Ranger Rover-nya. Lobi kantor memantulkan langkah kaki mereka.
“Nggak ditolak, Nis. Belum.” Tian menggumam.
“Tapi kan tadi Mbak Eva bilang dia nggak minat jadi BA kita?” pungkas Nisa.
“Dia juga bilang bakal mikir-mikir lagi,” balas Tian.
“Oh iya, ya?” Nisa kumat tulalitnya.
Tian hanya bisa berdecak dan berjalan lurus memasuki ruangan pribadinya. Pintu dengan nama akrilik ‘CEO’ itu menutup tepat di depan wajah Nisa.
Eva berguling di atas kasurnya, gamang.Pagi itu ia terbangun dengan pertanyaan yang masih menggantung dari semalam. Tepatnya, sejak Ika mengatakan sebuah fakta sebelum berpamit pulang ke rumahnya.“Lu beneran nggak tau Bastian Cokro itu siapa, Va?” ucap Ika.Eva, tentu saja, menggeleng.“Astaga … dia itu anak sulung keluarga Cokro! Lu tau nggak, keluarga Cokro itu siapa?!”Lagi, Eva menggeleng.“Dan lu bilang lu jurnalis bisnis. Hah!” Ika tertawa meremehkan.“Tunggu, tunggu, kok profesi gue kena, sih? Emangnya apa hubungannya, coba? Mereka siapa, sih??” Eva mulai tak terima.
Aryo Ramadhan, atau yang biasa dipanggil dengan julukan ‘Adhan’, adalah seorang Presma (Presiden Mahasiswa) yang menjabat di kampus tempat Eva dan Ika kuliah, dulu, setengah dekade lalu.Mengingat namanya, membawa memori Eva pada malam-malam larut dan hari-hari sibuk, di mana dirinya dulu asyik mempersiapkan diri sebagai seorang manusia dewasa—proses mempersiapkan diri dalam kehidupan yang sebenarnya.Eva dan Adhan adalah sebuah power couple, alias pasangan yang sama-sama berkuasa. Adhan bertemu dengan Eva yang saat itu menjabat sebagai ketua Organisasi Jurnalistik pada acara ospek mahasiswa baru, satu angkatan di bawah mereka, saat mereka berkuliah di tahun kedua.Adhan dulunya adalah pemuda yang kritis, logis dalam berfikir, dan mempunyai jiwa kepemimpinan dominan. Dia merupakan mahasiswa jurusan
Bastian Cokro duduk dengan gelisah di kantornya. Acara berita di televisi yang menyala tertempel di dinding ruangannya, menampilkan wajah Eva Sania yang menawan. Eva yang belum memberinya kabar setelah pertemuan mereka terakhir kali, seminggu yang lalu.‘Apa jangan-jangan dia beneran mau nolak, ya?’ pikir Bastian berkecamuk.Tak sampai dua menit kemudian, lelaki itu mengangkat gagang telepon di atas mejanya.Telepon di meja Nisa berdering. Dua detik, adalah waktu yang dibutuhkan perempuan muda itu untuk mengangkatnya.“Ya, halo? Kantor Pandora, dengan asisten Bapak Bastian Cokro berbicara, ada yang bisa saya—”“Ini saya, Nis,” potong Bastian di ujung sana.
Eva Sania bisa merasakan jemari hangat itu membelai rambutnya. Kecupan di kening terasa, mesra. “Kamu tau kan, Eva, kalau kamu itu satu-satunya ….” Suara lelaki yang familier di telinga Eva terdengar. Dekat. Saat Eva menoleh, terlihat wajah Adhan yang tersenyum ke arahnya. Lelaki itu mendekatkan wajah, dan mengecup tulang pipi Eva. Lalu hidungnya. Lalu pelipisnya. “Kalau memang aku satu-satunya, kenapa kamu nikah sama orang lain?” tanya Eva tiba-tiba. Dia tidak tau kenapa dari mulutnya bisa keluar kalimat itu. “Kamu ngomong apa sih, Sayang? Kan aku mau nikahnya sama kamu.” Adhan merangkul Eva dekat-dekat, kali ini membelai pipinya. “Habis lulus nanti kita jadi nikah, ya?” Adhan kembali bertanya.
“Satu, dua, ti—loh, Eva? Kok nggak senyum?” Teguran suara Tommy yang sedang memegang ponsel, siap ber-selfie, membuat Eva mengerjap sadar. “Eh-eh, iya. Oke, coba lagi,” ucap Eva secara terbata. “Satu … dua … ti—ga! Nah, mantep!” Tommy tersenyum puas. “Nggak nyangka nih seumur-umur punya temen kuliah yang jadi artis.” Eva tersenyum kecut menanggapi pujian Tommy barusan. Dia sama sekali tidak berniat membalas dengan kalimat bahagia, sebab Eva bisa merasakan badai yang akan datang menghampirinya sebentar lagi. “Eva?” Suara itu membuat sang empunya nama bergidik seketika. Eva menegakkan punggungnya dan menoleh ke belakang. Aryo Ramadhan berdiri di sana.
Eva memulai pagi itu dengan suara ketukan di pintu unit apartemennya—ralat, bukan ketukan, tapi gedoran! Rasanya pintu itu seperti hendak didobrak dari luar saja. “Iya, iya, sebentar!” pekik Eva dari arah dapur. Perempuan itu sedang menyiapkan sarapannya sendiri untuk hari ini: roti gandum dengan potongan alpukat mentega, ditaburi madu asli. Perut Eva yang keroncongan, tidur tak nyenyak karena insiden bertemu mantan malam reuni kemarin, serta gedoran di pintu unit yang memekakkan telinga sukses membuat kesabarannya tersulut habis. Akibatnya, Eva membuka pintu itu dengan wajah tertekuk, masam. “Mbak, bantuin.” Risna, adik kandungnya, berdiri di ambang pintu sambil menggendong Bimo, lengkap dengan tas besar disanding di satu bahu.
Bastian Cokro selasa kehilangan separuh nyawanya ketika melihat perempuan itu berdiri di hadapannya. Potongan lirik lagu ‘kau cantik hari ini’ berputar di dalam kepala Tian bagai soundtrack pikirannya saat itu. Eva Sania duduk di sana, mengenakan sundress kuning menawan, sambil menggendong balita yang bertengger manis di pinggulnya—tampak sedang menunggu di dalam restoran. Tian mengumpulkan keberanian untuk menghampiri restoran itu, menyapa Eva berbekal rasa malu yang ia tekan dalam-dalam. “Halo, Eva Sania.” Tian memberikan senyum sempurnanya. “Mas Tian? Hai, kok ada disini?” Suara sopran menyapa telinga Tian, membuat lelaki itu memiringkan kepala sejenak. Eva balas tersenyum, namun tampak sedikit terkejut. “Harusn
[Katanya, jodoh itu setara. Layaknya sebuah cermin, selalu mengaca pada diri. Kalau kamu baik, maka jodohmu juga baik. Maka dari itu, perbaikilah dirimu, agar baik juga jodohmu ….] Suara dari acara motivasi di TV depan ruangan Bastian Cokro menyambut pendengaran lelaki itu ketika ia baru saja membuka pintu. Meja asistennya, Nisa, yang terletak dekat pintu ruangannya itu, tampak kosong. Buru-buru Bastian mengeluarkan ponsel, menelepon Nisa yang saat ini—pada jam makan siang—sedang nihil keberadaannya. “Nisa, kamu di mana?” todong Tian seketika. “Lagi makan, Mas, sama Aura, Arta, sama Wira.” Nisa menjawab di ujung sana sambil menyebutkan beberapa nama karyawan Tian yang lain. “Oh, gitu. Nanti kalau sudah selesa