“Bagaimana kencannya?” tanya Felix begitu sambungan telepon video antara dirinya dengan Hans tersambung. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak bisa kembali ke sini?” cecar Hans kemudian, mengabaikan pertanyaan sahabatnya. Alih-alih menjawab, Felix justru tertawa. “Sudah kuduga. Kamu pasti akan mengkhawatirkanku.” “Shit!” umpat Hans sambil menggertakkan giginya, hampir saja membuang ponsel di tangannya. “Katakan ada apa?!” kejarnya tak sabar. “Bukan apa-apa, hanya sedikit urusan yang membuatku harus tetap di sini.” “Aku akan menyusulmu besok pagi dengan penerbangan paling pagi kalau kau tidak mengatakannya!” Felix menunjukkan senyum simpul, membuat matanya yang sipit seolah terpejam. Kekhawatiran Hans cukup beralasan, karena lima menit lalu dia mengirimkan pesan bahwa dia akan tinggal di Singapura selama setidaknya lima bulan dan mungkin tidak akan kembali ke Indonesia lagi. “Hey!” Hans semakin tidak sabar, menatap Felix yang masih tampak memikirkan sesuatu. “Bisnis keluargaku
Saat Hans keluar dari kamarnya, aroma masakan langsung tercium hidungnya. Dia tahu, pasti Eva sedang berkutat di dapur seperti pagi-pagi sebelumnya. Namun, dugaaan Hans salah. Tidak ada siapa pun di sana.“Selamat pagi, Tuan.”Seorang asisten rumah tangga yang bertugas membersihkan rumah, menyapa Hans sambil menundukkan kepala. Alat kebersihan tergenggam di tangannya.“Di mana istriku?”“Nyonya ada di kolam renang.”“Kolam renang?”Wanita paruh baya itu tampak mengangguk dengan keraguan di wajahnya.“Saat saya datang, Nyonya baru saja selesai memasak dan pergi ke kolam untuk berenang. Saya sudah mencoba membujuknya untuk naik, tapi—”“Aku sudah naik,” sela Eva dengan suara agak keras, muncul dari pintu samping yang menghubungkan rumah mewah itu dengan halaman di mana kolam berada.“Nyonya ….”Tanpa mengindahkan tatapan Hans yang masih mengerutkan keningnya, Eva melewati pria itu begitu saja, masuk ke kamar untuk membilas tubuhnya.Menyadari Eva mengabaikannya, Hans hanya bisa menghela
“Lili, Tuan Hanson memanggilmu.”Liliana yang semula sibuk mengerjakan dokumen di komputernya, menengadahkan kepala demi menatap sekretaris senior yang berdiri di depan kubikelnya.“Saya?” tanyanya dengan kening berkerut, menunjuk hidung menggunakan jari telunjuknya sendiri.“Ya. Pergi ke ruangannya sekarang juga.”“Apa saya melakukan kesalahan?”Dengan wajah tegang, Liliana berdiri dan menuntut penjelasan pada wanita paruh baya yang saat ini memindahkan kacamatanya ke atas kepala. Kemarin Liliana memang ditugaskan menyiapkan ruang rapat dan klien batal datang. Jadi, dia takut itu berimbas pada pekerjaannya.“Aku tidak tahu. Pergi sajalah. Kalau kamu memang bersalah, kamu seharusnya bertanggung jawab, bukan?”Liliana tidak menggeleng maupun mengangguk, hanya bisa meneguk ludah sambil berusaha menenangkan dirinya. Bagaimanapun juga, Hans terkenal begitu profesional dalam bekerja. Meskipun dirinya masuk dengan koneksi Felix, urusan pekerjaan tetap tak ada toleransi jika terjadi kesalaha
“Presdir, baru saja dokter Eva membawakan makan siang untuk Anda, tetapi dia terlihat terburu-buru. Ada pasien yang harus dirujuk ke rumah sakit karena kecelakaan kerja.”“Kecelakaan kerja?” Hans yang baru saja keluar dari ruang rapat, terkejut mendengar laporan dari asisten pribadinya.Pria dengan setelan warna abu-abu gelap itu menjelaskan situasi yang terjadi, di mana salah satu teknisi yang sedang memperbaiki mesin, tiba-tiba terjepit karena kurang hati-hati. Demi mendapatkan penanganan lebih lanjut, dokter merujuknya ke rumah sakit.“Baiklah. Kirimkan dokter lain ke sana dan bawa Eva kembali.”Raut wajah Bram terlihat sedikit ragu, tidak segera mengiyakan titah atasannya itu.“Kenapa?”“Dokter yang lain sedang ikut meninjau lokasi proyek.”“Proyek?”“Ya. Ada pembangunan cabang baru di pinggir kota. Sesuai instruksi Anda, dokter Eva harus selalu stand by di kantor, jadi dokter Yanuar yang selalu pergi ke lokasi proyek untuk mengecek keadaan para pekerja.”Seketika itu juga Hans se
Aroma daging panggang langsung menyapa hidung saat Eva menurunkan kaca jendela mobil di samping kirinya. Seketika, perutnya yang hanya diisi makanan tadi pagi, langsung mengirimkan sinyal rasa lapar.“Kau sudah bangun?”Hans tiba-tiba muncul dengan senyum semringah di wajahnya, membawa sepiring sayap ayam panggang yang tampak begitu menggugah selera.Kening Eva berkerut, tetapi tidak berkomentar apa pun saat Hans membuka pintu dan berjongkok di hadapannya.“Aku sengaja menyiapkan makanan untukmu. Bukankah kau lapar?”Meski dugaan Hans benar, tapi itu bukan hal utama yang membuat Eva membuka matanya dan memutuskan mengakhiri tidur. Dia lebih penasaran, kenapa Hans mengajaknya ke atas bukit?Melihat tak ada respons dari Eva, senyum di wajah Hans perlahan berkurang simpulnya. Pria itu tahu, suasana hati istrinya belum membaik. Terlebih, dia ‘berbohong’ demi mendapat kesempatan ini, menggunakan kuasanya sebagai atasan kepada bawahan.“Apa lokasi proyeknya masih jauh? Kenapa kita berhenti
“Aku tidak bisa menebak-nebak. Apa yang ingin kau katakan, katakan saja.” Eva tak lantas menjawab ucapan Hans, justru beranjak dari tempat duduknya semula. Wanita itu berjalan menjauh dari meja yang sempat digunakan untuk makan. Hans dengan cepat mengumpulkan sampah ke dalam satu wadah dan menyusul gadis yang saat ini sudah resmi berstatus sebagai istrinya. Keduanya berdiri di salah satu sisi bukit, menatap kota di kejauhan. Masing-masing sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Dari sana, mereka bisa melihat kerlip lampu ibu kota yang tampak seperti kunang-kunang di kegelapan malam. “Aku membencimu, Hans.” Hans terkesiap, menatap wajah cantik yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun. “Aku benci semua orang yang memiliki keluarga, terlebih mereka yang dimanjakan oleh orang tuanya.” Satu jarum tajam terasa menusuk jantung Hans. Suara pilu Eva terdengar menyiksa meski tak diucapkan dengan suara memelas. Terasa jelas penderitaan gadis itu yang harus berjuang keras untuk bertahan hid
Hari-hari setelah Hans mengajak Eva melihat bukit berbintang, juga memberikan cincin untuk melamarnya, tak ada interaksi berarti di antara keduanya. Pria itu disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya, membuatnya tidak sempat ‘mengganggu’ istrinya.Mereka hanya bertemu saat sarapan pagi, menyapa dan berbincang sekadarnya. Tak ada lagi percakapan, itu artinya tak ada perdebatan. Begitu tenang dan damai untuk Eva. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama saat Kuina tiba-tiba menghubungi Eva.“Eva, bagaimana keadaanmu, Nak?” Suara Kuina yang lembut terdengar begitu Eva mendekatkan ponsel ke telinga.“Aku baik, Ma.”“Syukurlah,” ucapnya sambil mengembuskan napas lega dan melanjutkan, “Kamu masih di kantor?”“Ya.”Eva melirik jam mungil di pergelangan tangan kirinya. Masih dua jam sebelum pulang kerja, tentu saja dia masih ada di Dirgantara Artha Graha sekarang demi memenuhi tanggung jawabnya.“Apa Hans bersamamu?” tanya Kuina, mengambil alih perhatian Eva kembali.“Hans?”“Ya.
"Aku mau datang untuk makan malam karena menghormati Mama. Jangan membuatku kesal dengan permintaanmu itu, Hans!" Sorot mata tajam tampak jelas menunjukkan ketidaksukaan Eva terhadap suaminya. Dia mendengus, membuang muka dan kembali menatap pemandangan di luar mobil yang ditumpanginya. Hans menarik napas dalam, memahami keras kepala istrinya. "Baiklah, kalau memang kamu tidak ingin melakukannya, tolong jangan menjauh dari sisiku. Izinkan aku menunjukkan bahwa kamu—" "Terserah. Aku nggak peduli apa yang kamu lakukan. Jangan melewati batasanmu dan melakukan hal-hal yang membuatku marah. Minimalkan skinship. Ingat itu!" Hans mengangguk, menelan pil pahit yang harus ditanggungnya. Eva sama sekali tidak ingin bermesraan dengannya, tapi dia juga tidak bisa memaksa. Kenyamanan wanita itu adalah prioritas utama. Setelah berganti gaun kiriman Kuina dan merias diri dengan make up natural, Hans membawa Eva menuju kediaman keluarga besarnya. Langit senja menyambut mereka saat turun dari mob
“Nyonya, ada tamu untuk Anda.”Eva mengangguk, menyangga perut besarnya sambil keluar dari kamar. Tampak Liliana tersenyum menyambutnya.“Apa kabar, Eva? Lama tidak bertemu,” sapanya sambil mendekati Eva dan memberikan pelukan hangat. Namun, tangan Eva tak menyambutnya.“Silakan duduk. Apa yang membawamu kemari?” tanyanya to the point.Liliana terbiasa mendapati sikap Eva yang cukup pendiam, tidak menyadari bahwa sandiwaranya telah terungkap. Hans sudah menceritakan semuanya, termasuk menegaskan bahwa Liliana ada di bawah pengawasan pria itu.“Sebentar lagi hari persalinanmu, bukan? Aku membawakan makanan enak untukmu selagi kamu bisa makan bebas. Setelah bersalin nanti, kamu nggak mungkin makan sembarangan.”Sebelum sempat Eva merespons, Liliana dengan tidak tahu diri langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil mangkuk.“Cicipi sedikit saja, Eve. Kamu pasti suka,” ucap Liliana sambil mendekatkan sendok di tangannya ke arah Eva setelah keduanya duduk berdekatan di atas sofa.“Maaf,
"Tuan, ada kabar buruk!" Bram memasuki ruang kerja Hans tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus disampaikan kepada pria itu. Hans mengangkat wajahnya dan bertanya, "Ada apa?" Bram meletakkan lembaran foto yang tersebar ke seluruh karyawan ke atas meja, menampilkan foto-foto Arvin yang sedang menggenggam tangan Eva. Gosip segera merebak di antara ratusan karyawan Dirgantara Artha Graha itu. "Seorang anonim mengirimkan ini di web sebelum salah satu karyawan kita meneruskannya ke grup obrolan. Mereka mengira itu suami Nyonya Eva dan memberikan pujian karena melihat kemesraan keduanya." Hans bungkam, menyipitkan matanya demi menatap potret itu sekali lagi. Dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan. Pria dengan kacamata tebal itu sedang meniup luka di punggung tangan Eva yang sedang mengelus perut sambil menatap sayu ke arah si pria. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Bram setelah men
"Presdir, ini jadwal Anda hari ini," ucap Liliana sambil meletakkan komputer tablet di tangannya ke depan Hans setelah dipersilakan memasuki ruangan. "Aku sudah mendapat salinannya dari Bram, tidak perlu merepotkanmu. Untuk ke depannya, tidak perlu masuk ke ruangan ini tanpa panggilan dariku karena mulai hari ini kamu bukan sekretaris utama lagi." Liliana menelan ludah dengan paksa, menyadari sikap atasannya begitu dingin. "Kenapa masih di sini?" "Ah, maaf. Apa saya membuat kesalahan sampai Presdir memindahkan saya ke divisi lain?" "Kau tidak menyadari kesalahanmu?" Liliana menggeleng dengan wajah polos. Gadis itu tentu saja sadar, tapi dia ingin tahu sejauh mana Hanson menyadari rencana liciknya. Mungkin ada sedikit celah yang bisa dia manfaatkan. "Jangan pernah berpikir berlebihan. Istriku hanya Evalia Lesmana selamanya." Dengan wajah tertunduk menahan malu, Liliana meninggalkan Hans. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia membereskan barang-barangnya di meja dan men
“Jadi, kalian bertiga berkomplot menipuku?” tanya Eva sambil menghempas tangan Hans yang sedari tadi menggenggam jemarinya erat-erat sambil menjelaskan hubungan Liliana dan Felix selama ini.“Eve, aku tidak pernah berniat untuk—”“Faktanya, dia mendekatiku karena membantumu!”“Ya, itu benar. Aku minta maaf karena memanfaatkan hubungan kalian, tapi saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau menolak untuk bertemu denganku.”Eva mendengkus, mengubah posisi duduknya jadi membelakangi Hans. Kakinya terulur ke lantai yang dingin.Seketika itu juga, Hans turun dari ranjang dan mengambil sandal rumah milik Eva dan memakaikannya. Namun, wanita yang terlanjur emosi itu menendangnya dengan sengaja. Dia berjalan menjauh dari ranjang dengan bertelanjang kaki.“Eve, dengarkan dulu.”“Aku tidak ingin mendengar apa pun. Diam dan enyahlah dariku!”Hans tidak melawan saat Eva menyingkirkannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu keluar dari kamar dan menuju dapur.Segelas air putih langsung d
Saat Hans membuka pintu kamar, semerbak aroma harum menyapa indra penciumannya. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang tampan.“Selamat malam, Sayang,” sapa Hans sambil mendekap tubuh Eva yang sedang berdiri di depan lemari, mencari piyama. Tangannya melekat erat di perut buncit wanita itu sambil menyesap leher jenjang yang tak tertutup apa pun.Eva baru selesai berendam. Rambut panjangnya sengaja diikat tinggi di atas kepala agar tidak basah. Siapa sangka, Hans pulang sebelum dia bisa merapikannya.“Kamu sudah pulang,” ujarnya sambil menoleh, mendapati wajah tampan yang hampir bersentuhan dengan hidungnya.“Kenapa mandi di tengah malam begini, hmm?” bisiknya di telinga Eva sambil sesekali melumatnya.Degup jantung Eva tak terkendali mendapat perlakuan seperti itu, membuat wajahnya memerah. Bagaimanapun juga, meski masih belum mencintai Hans, dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Terlebih, dirinya juga seorang wanita dewasa.Berbulan-bulan mencoba mengabaikan kebutuhan biologisny
“Hans, akhirnya kita bertemu lagi.”Pemilik resort sekaligus event organizer berusia awal empat puluh tahunan itu langsung menjabat tangan Hans, bahkan memeluknya seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu.“Apa kabar, Dam? Masih betah menyendiri seperti sebelumnya?” balas Hans, memicu tawa mereka berdua.Satu-dua obrolan mengalir lancar, tidak terasa canggung sama sekali. Sebaliknya, Liliana tercengang di posisinya. Dia tidak menyangka Hans dan Adam saling mengenal satu sama lain.“Sudah, kita lanjutkan obrolannya lagi nanti. Jangan sungkan. Ayo duduk.”Hans menempati sebuah kursi, menyisakan Liliana yang masih mematung di tempatnya. Dia terkejut, tidak pernah melihat Hans berpelukan dengan orang lain, terlebih rekan bisnis. Pria itu selalu menjaga jarak dengan orang lain.“Ah, Nona Liliana, kenapa masih diam di sana? Ayo silakan duduk.”Liliana tergagap, “Ba … baik,” jawabnya sambil melirik Hans setelah terpaksa mengulas senyum canggung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih bertany
“Presdir, sudah waktunya pergi ke tempat pertemuan.” Suara Liliana terdengar jernih, menghalangi Hans yang berniat pergi menemui Eva.“Aku tahu. Kau siapkan dokumennya, kita bertemu di lobi.”“Baik,” jawab Lily dengan senyum lebar di wajahnya. Sejak sebulan terakhir, dia semakin banyak berkontribusi untuk bisnis Hans. Dia mendapat promosi untuk menjadi sekretaris utama, menggantikan sekretaris sebelumnya yang dipindahkan ke kantor cabang.Bram segera mengikuti Hans, menekan tombol lift dan membiarkan tuannya masuk terlebih dahulu.“Presdir, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucapnya saat lift mulai bergerak turun.“Ada apa?”“Sepertinya Liliana memiliki maksud tersembunyi dengan Anda.”Kening Hans berkerut, menoleh dan menatap asisten pribadinya.“Jangan asal bicara atau menduga-duga.”Bram menggeleng, mendekat ke arah Hans dengan wajah serius.“Saya juga tidak ingin mempercayainya, tapi dia sudah memesan kamar atas nama Anda di hotel Pacific.”“Memesan kamar untukku?”“Benar. Jik
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa asisten rumah tangga yang melihat Hans dan Eva turun dari lantai dua. Keduanya berjalan bersisian, dengan tangan Hans memegangi lengan istrinya."Selamat pagi. Bibi, apa sarapannya sudah siap?" balas Eva sambil mendekat ke arah meja makan dan melihat hidangan yang sudha tersaji di sana."Sudah, Nyonya. Silakan.""Terima kasih banyak. Tolong panggilkan Liliana untuk makan bersama."Wanita paruh baya itu mengangguk, segera mengetuk pintu kamar tamu dan menyampaikan maksudnya."Kau sangat dekat dengannya?" tanya Hans sambil melirik ke arah Liliana yang baru saja membuka pintu."Bisa dibilang begitu. Dia satu-satunya temanku.""Hanya teman?"Eva mengangguk, "Ya. Teman baik.""Bukan sahabat?" selidik Hans ingin tahu."Apa bedanya? Kami saling membantu satu sama lain saat membutuhkan. Itu sudah cukup. Entah namanya teman atau sahabat, itu hanya sebutan saja."Hans mengangguk, menyadari istrinya tidak terlalu dekat dengan Liliana. Mereka terhubung karena per
“Lepaskan tangan kotormu dari wanita itu!”Suara Hans terdengar bersamaan tangan yang mencekal lengan pria berjaket kulit di depannya. Tatapan tajamnya jelas menunjukkan kekuasaan mutlak yang dimiliki.“Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku dengan jal—”Plak!Belum selesai berbicara, Hans sudah lebih dulu menggunakan punggung tangannya untuk menampar wajah pria itu.“Sial. Apa urusanmu dengannya, hah? Dia pasangan kencanku!” protesnya setelah meludah ke samping dengan wajah merah menahan marah.“Dia sekretarisku. Siapa pun yang menyakiti orang-orangku, aku berhadapan langsung denganku. Jangan berpikir untuk menindasnya atau kau tidak akan bertahan hidup lagi di kota ini.”Pria pasangan kencan buta itu tertawa, sama sekali tidak percaya dengan ucapan Hans.“Kalaupun benar dia sekretarismu, kamu tidak ada urusan lagi karena ini bukan lagi jam kerja. Yang harus pergi itu kamu. Jangan mengganggu kencan kami!”Liliana refleks meraih lengan Hans dan menunjukkan gelengan kepala sambil mengg