Maman sangat terkejut dan terlihat sedikit takut dengan sosok perempuan yang aneh di depannya itu.
“Bang Maman, kenapa bengong begitu? Kenalin saya Jang Nara asisten pribadi tuan Deva yang akan menggantikan bi Ira mengurus Terryn … eeh maksud saya Non Terryn.” Jang Nara mengulurkan tangannya dengan centil dan mengedipkan matanya dengan genit.
Maman menyalaminya dengan singkat dan Desta memandang ke arah lain pura-pura tidak melihat betapa pucatnya wajah Maman. Desta sampai menggigit lidahnya agar tawanya itu tidak meledak di depan Maman.
“Tu-tuan Deva tidak bilang kalau pengganti bi Ira itu … engh … orang asing, saya kira tuan sendiri yang akan mengurus nyonya Terryn.” Maman menatap tidak percaya lalu mencoba melongo masuk k
Jang Nara mengantarkan teh herbal pesanan Terryn ke kamarnya, Terryn sedang berbaring di tempat tidurnya. Aroma wangi teh yang bercampur dengan kelopak bunga itu membuat mata Terryn terbuka. Dia hendak bangun dan turun dari tempat tidur tapi segera Jang Nara mencegahnya.“Tidak … Jangan … Jangan turun dari tempat tidur, Non. Biar Nara yang antarkan ke tempat tidur Non Terryn.” Jang Nara segera mendekati Terryn dan duduk di sampingnya untuk menyodorkan minuman hangat itu.“Sebenarnya Non Terryn sakit apa yaa? Jangan-jangan kayak di drama-drama Korea itu yaa? Iihhh amit-amit secantik Non Terryn kena cancer.” Jang Nara bergidik dan dia pun sungguh tidak ingin membayangkan hal itu terjadi.“Tidak, saya hanya sakit paru-paru tapi tenang
Deva gelisah di atas tempat tidurnya dia merasa sangat tidak nyaman tidur dengan mengenakan daster dan juga dalaman bra. Tapi dia harus tetap bertahan seperti itu untuk berjaga-jaga jangan sampai Terryn terbangun dan membutuhkan bantuannya.“Ribet banget yaa tidur pake daster kayak gini?” gumam Deva sambil membetulkan letak dasternya yang sudah beberapa kali tersingkap. Deva pun bangun dari tidurnya dan mengambil wig serta gigi palsunya. Dia mencoba ke dapur atau sekedar mengecek keadaan rumah.Pelan-pelan Deva membuka pintu kamar dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Dari kejauhan samar terlihat lampu kamar Terryn yang masih menyala. Biasanya Terryn tidak bisa tidur jika cahaya kamarnya terang. Deva mengendap dan mencari tahu apakah istrinya masih bekerja atau ketiduran.
“Gila kamu Cho! Aku tuh udah nikah, gimana ceritanya kamu lamar istrinya orang!” seru Terryn sambil memundurkan badannya hingga rapat di sandaran kursi.“Aku terima kasih banyak kamu sudah pakai jasa aku untuk mendesain rumah impian kamu tapi hubungan kita sebatas klien aja, Cho. Carilah perempuan lain yang lebih sepadan untukmu.”“Sayangnya aku kesulitan menemukan yang seperti kamu, Terryn. Kamu adalah sosok ideal idaman untuk dijadikan istri. Tolong pikirkan lagi, aku belum percaya jika kamu itu istri seseorang.” Jericho menatap Terryn dengan serius.Desta masih menunggu reaksi Terryn, kamera ponselnya masih merekam percakapan keduanya. Sahabat Deva itu sangat berharap jika Terryn masih teguh pendiriannya untuk menyebut dirinya seb
Jang Nara memalingkan wajahnya sambil menepuk dahi pelan. kedua ibu itu dipersilakan masuk oleh Terryn. Jang Nara bergegas masuk menuju dapur dan mencoba menyiapkan segala pertanyaan yang pasti akan diajukan oleh ibunya yang super teliti.“Yang tadi itu siapa, Yin?” tanya ibu mertuanya yang sekilas melihat punggung Jang Nara menjauh. Ibu Imelda melongo memanjangkan lehernya berkali-kali untuk mencari sosok yang tadi dilihatnya.“Ouh, itu Nara, ponakan bi Ira yang gantikan bi Ira sementara, ” jawab Terryn sambil ikut melongo ke arah dapur.“Penampilannya kok aneh gitu, Yin?” Ibu Imelda kemudian duduk dengan tenang menatap menantunya.“Kok bisa siih Yin Sayang kamu pergi gitu
“Non Terryn mencari Nara?” tanya Jang Nara dengan nafas memburu dan dahinya yang basah karena keringat. Dia tiba tepat waktu saat Terryn hendak mendekati lemari pakaiannya.“Kamu dari mana sampai ngos-ngosan begini?” Terryn mengamati wajah Jang Nara dan jempolnya segera mematikan sambungannya pada nomer ponsel Deva.“Dari kebun, Non. Petik daun singkong buat masak sayur karena lauk kita udah habis.” jawab Jang Nara sambil mengelap dahinya dengan punggung tangannya.“Non cari Nara?” Jang Nara mengulangi lagi pertanyaanya karena dia menemukan Terryn berada dalam kamarnya. Terryn mengangguk pelan.“Aku sepertinya ketagihan dengan pijatanmu kemarin, boleh aku dipijat lagi?”
“Non Terryyyn! Perasaan tadi Nara menggeleng yang artinya tidak, kenapa Non iyakan tawaran tuan Jerichooo?” bibir Jang Nara membulat dan ekspresinya sangat kesal pada keputusan Terryn. Mereka masih berada di ruang tamu sepulangnya Jericho.“Yaa saya gak enak aja Nara, sebenarnya Jericho itu orangnya baik kok, cuma memang rada-rada tukang pamer.” Terryn terkekeh karena tahu isi kepala Jang Nara yang tidak suka pada Jericho.“Harus banget yaa kita berdua ke sana?” tanya Jang Nara ragu sambil memilin ujung rambutnya.“Aku penasaran pengen ketemu sama arsitek vila itu, rancangannya jadi buah bibir seantero desa, katanya vilanya bagus banget.” Terryn menghabiskan teh bunga mawar yang tadi dibuatkan Jang Nara.
Tubuh Terryn melorot terkulai lemas dan dengan sigap Deva menangkap istrinya, diangkatnya tubuh Terryn yang bagai seringan daun dalam pelukannya. Desta memberi jalan kepada Deva agar Terryn dibawanya pulang kembali ke rumah. Pak Suwiryo berkali-kali minta maaf atas kejadian ini, begitu pula dengan Jericho yang tak menyangka jika undangan makan malamnya ini justru berujung petaka bagi Terryn.Desta membukakan pintu mobil dan menemani Deva untuk pulang. Tegas dia mengatakan kepada Jericho sebelum mereka meninggalkan tempat itu jika Terryn adalah istri dari Deva Danuarta. Jericho tersentak kaget dan wajahnya memucat dia, rasa bersalah semakin menghantam Jericho.“Tolong nanti telpon ibuku Des, dan minta beliau mengirimkan dokter keluarga kami.” Pinta Deva yang masih mendekap Terryn yang terkulai tak bergerak. Nafasnya terasa
Deva menggeleng pelan, dia tertawa dengan ekspresi sedih mendengar penuturan ibu Asih. Tertawa dalam raut sedih. Ibu Asih mengundurkan bahunya hingga tepat bersandar pada sandaran kursinya sambil menatap menantunya dengan cemas.“Aku tidak akan pernah menceraikan Terryn, Bu. Tidak akan pernah. Bahkan jika aku harus membayar kebersamaanku dengan Terryn memakai separuh nyawaku untuknya aku akan memberikannya dengan suka rela. Tapi jangan minta aku pergi darinya,Bu.” Deva meneguk teh manisnya kemudian memutar piring nasi gorengnya.“Aku akan makan ini, aku akan menghabiskannya, aku butuh banyak energi dan tenaga untuk merawat istriku, dia kan baik-baik saja bersamaku.”“Nak Deva, Ibu minta maaf, Ibu tidak bermaksud untuk—“
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat a
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu. “Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Y
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini.“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya.“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya.
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk.“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang.Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu.“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Te
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas.Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan.Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran.
Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya.Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.“Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik.
Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya.“Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedan
“Home sweet home ….” bisik Terryn ketika sudah sampai di rumahnya bersama Deva di kota. Rumah yang dikiranya tidak akan ada jalan pulang kembali ke sana.“Tunggu jangan turun dulu.” Bergegas Deva turun dari mobil dan membuka pintu untuk Terryn. Laki-laki itu pun meraih tubuh Terryn agar digendongnya masuk ke dalam rumah.“A-aku bisa jalan sendiri, Kak!” seru Terryn terkejut melihat apa yang dilakukan Deva. Terryn menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika aksi Deva ini tidak dilihat oleh siapapun.“Diam, tidak usah bergerak dan banyak bicara.” perintah Deva lagi sambil mempererat gendongannya. Deva membawanya masuk ke kamar tidurnya bukan di kamar Terryn seperti biasa.
Ibu Asih dan ibu Imelda terlihat sangat senang datang berkunjung ke rumah Terryn. Mereka datang membawakan buah-buahan serta stok cemilan untuk Terryn. keduanya masih berbincang dengan seru ketika turun dari mobil.Bergantian mereka mengucapkan salam, ibu Asih dan ibu Imelda saling bertukar pandangan ketika pintu rumah terbuka dengan lebar tapi tak satu pun ada yang menyahuti salam mereka.“Yiiin … Ini Ibu datang, kamu di mana, Nak?” ibu Asih mengetuk pintu kamarnya dan membukanya sedikit , tidak ada sosok Terryn maupun Deva di dalam sana. Ibu Imelda menuju dapur memanggil bi Ira dan Terryn tapi tak ada sahutan juga. Ibu Imelda mencoba menelpon Deva tapi tidak diangkat, lalu mencoba menelpon Terryn. Bahunya cukup tersentak ketika mendengar dering ponsel Terryn di atas meja makan.