Sepanjang perjalanan Deva hanya terdiam dan berkonsentrasi dengan motor yang dikendarainya. Terryn tidak terlalu memikirkannya karena menduga jika suaminya hanya kelelahan meladeni ramah tamah para penduduk di ruamh pengantin. Motor telah memasuki pekarangan rumah, hingga masuk ke dalam rumah pun Deva masih terdiam.
Dia segera mandi dan berganti pakaian, juga Terryn melakukan hal yang sama.Deva berdiri memandangi foto Terryn semasa SMP itu, baju kaos lengan panjang dengan rambut kepang dua. Deva semakin yakin jika yang dilihatnya dalam mimpinya adalah Terryn, berarti dia tidak sedang berhalusinasi saat kecelakaan itu terjadi.
Ada seorang anak perempuan yang membantunya keluar dari mobil dan menemaninya sesaat sebelum dia tidak sadarkan diri. Banyak hal yang Deva tidak ingat tentang kejadian itu karena kesedihannya yang sedemikian rupa atas kehilangan sosok ayahnya.
“Sejak tadi Kak Deva diam aja, ada yang mengganggu pikiran Kak Deva selama kita di san
Dua sosok sedang memadu kasih di atas peraduan kayu jati di kamar milik Deva. Dengan penuh menggelora Deva dan Terryn saling memeluk erat dan berpagut dalam ciuman dan desahan yang panjang. Jemari Deva menelusuri punggung polos Terryn gadis itu hanya mampu memejamkan mata dan menikmati setiap sentuhan Deva di tiap inci kulitnya. Desahan Terryn yang tertahan semakin membuat Deva berhasrat padanya.Nafas mereka saling memburu diselingi kata cinta dan mesra Deva di telinga Terryn. Gadis itu menahan pekikannya ketika rasa sakit dirasakannya di bawah sana. Deva tak memaksa hingga Terryn siap, lalu mencoba lagi ketika istrinya menganggukkan kepalanya tanda dia menerima siap Deva. Keduanya berpeluh di balik selimut, Terryn menggigit bibirnya dan mencengkram bahu Deva dengan kuat untuk menahan rasa sakit itu. Deva membisikkan kata cinta lagi pada Terryn dan menciumnya dengan mesra agar sakit Terryn sedikit teralihkan.Keduanya pun saling berpelukan erat ketika hasrat mereka be
Teryyn hampir tertidur separuh perjalanan mereka pulang ke kota, Deva memutuskan untuk menyetir sendirian tanpa supir mereka. Sesekali Deva melirik istrinya yang benar-benar tertidur pulas. Mereka sudah memasuki kota dan sebentar lagi tiba di rumah. Akhirnya lima belas menit kemudian mobil Deva masuk pekarangan dan mesin mobil pun dimatikan.“Yin, bangun, kita sudah sampai.” Deva mengelus pipi Terryn. Mata Terryn membuka dan badannya menggeliat pelan.“Home sweet home.” Ujar Terryn seraya tersenyum. Dia pun segera turun, dia ingin mengambil tas serta koper mereka tapi Deva mencegahnya.“Kayaknya kamu butuh tidur lagi deeh, biar aku yang bawa itu, kamu lanjutin istirahatnya.”Terryn tidak membantah badannya terasa sangat pegal dan dia merasa sangat kelelahan ditambah dengan nyeri di bagian bawahnya yang belum hilang.Rumah ternyata sedang kosong karena Aluna menginap di rumah ibunya untuk persiapan lamaran. Terryn tak
Aluna tampak anggun dan elegan dalam lamaran itu, semua orang bersuka cita menunggu hari dimana akad nikah dilaksanakan. Terryn pun tak kalah cantiknya dengan kebaya berwarna peach dan Deva yang mengenakan baju batik.Semua tampak bahagia, keluarga Roby pun sangat cepat akrab dengan keluarga Aluna seakan mereka sudah kenal dekat dalam waktu yang lama.Setelah melewati ramah tamah dua keluarga dan acara pun berakhir. Terryn membantu para asisten rumah tangga yang membersihkan dan merapikan rumah. Deva sudah melarangnya tapi Terryn beralasan hanya bantu-bantu urusan kecil saja.Terryn masuk ke kamar kerja ibu Imelda yang rupanya masih berantakan. Hanya asisten rumah tangga tertentu saja yang bisa masuk ke dalam sana dan Terryn salah satunya anggota rumah yang memiliki akses masuk ke sana.Dengan cekatan Terryn merapikan tumpukan kertas-kertas dan dokumen yang ada di meja ibu Imelda. Namun, sayang sikunya menyenggol salah satu map berisikan dokumen penting hin
Aluna memeluk Terryn dengan sangat erat, akhirnya tiba juga hari keberangkatan Aluna dan Roby ke San Fransisco.“Jadi kapan kamu akan terbang ke Jerman,Yin?”tanya Aluna lagi, matanya sembab karena banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarganya.“Seminggu lagi, Kak. Di sana nanti Yin akan dijemput sama senior Yin di kampus sini dulu. Ada beberapa senior Yin juga mengambil S-2 di Stuttgart.” Terryn tersenyum dengan penuh keyakinan.“Jaga diri baik-baik di sana yaa, di sana lagi musim dingin, jaga kesehatan kamu, apalagi kamu gak sama Deva.” Aluna melirik adiknya yang tengah bersandar di tiang rumah sambil melipat tangannya.“Iya, Kak, Yin akan jaga kesehatan, Kak Alu
Aluna memeluk Terryn dengan sangat erat, akhirnya tiba juga hari keberangkatan Aluna dan Roby ke San Fransisco.“Jadi kapan kamu akan terbang ke Jerman,Yin?”tanya Aluna lagi, matanya sembab karena banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarganya.“Seminggu lagi, Kak. Di sana nanti Yin akan dijemput sama senior Yin di kampus sini dulu. Ada beberapa senior Yin juga mengambil S-2 di Stuttgart.” Terryn tersenyum dengan penuh keyakinan.“Jaga diri baik-baik di sana yaa, di sana lagi musim dingin, jaga kesehatan kamu, apalagi kamu gak sama Deva.” Aluna melirik adiknya yang tengah bersandar di tiang rumah sambil melipat tangannya.“Iya, Kak, Yin akan jaga kesehatan, Kak Alu
Aluna memeluk Terryn dengan sangat erat, akhirnya tiba juga hari keberangkatan Aluna dan Roby ke San Fransisco.“Jadi kapan kamu akan terbang ke Jerman,Yin?”tanya Aluna lagi, matanya sembab karena banyak menangis karena harus berpisah dengan keluarganya.“Seminggu lagi, Kak. Di sana nanti Yin akan dijemput sama senior Yin di kampus sini dulu. Ada beberapa senior Yin juga mengambil S-2 di Stuttgart.” Terryn tersenyum dengan penuh keyakinan.“Jaga diri baik-baik di sana yaa, di sana lagi musim dingin, jaga kesehatan kamu, apalagi kamu gak sama Deva.” Aluna melirik adiknya yang tengah bersandar di tiang rumah sambil melipat tangannya.“Iya, Kak, Yin akan jaga kesehatan, Kak Alu
Willy masuk ke ruangan Deva dengan tangan yang masih dibebat dan menggunakan penyangga. Keadaannya sudah jauh lebih baik, Deva melindunginya dan mengatakan tidak terkait apa-apa dengan penculikan Terryn waktu lalu. Masih dengan perasaan bersalah Willy duduk di depan Deva dan Desta.“Yakin lu masih mau terima gue di Melda’s?” tanya Willy dengan ragu pada Deva.“Gue masih liat lu sebagai sahabat gue,Will. Toh dari awal kita bertiga yang bangun Melda’s ini, gue gak mau kehilangan salah satu pilar cemerlang perusahaan ini. Gue paham keselamatan mama lu juga terancam jadi lu terpaksa ikut permainan mereka. Tapi lain kali please, kalo ada apa-apa ngomong ke gue dan Desta, Will.” Deva menepuk bahu Willy sambil tersenyum.“Ngomon
Hawa pegunungan yang segar menyapa Terryn yang baru saja kembali dari kota untuk mengantarkan buket bunga pada toko roti kenalannya yang baru saja diresmikan. Sudah sebulan Terryn berada di desa ini dan mencoba membuka usaha florist.“Duuuh … Non Terryn, kan sudah Bibi bilang, Non gak usah ikut ke kota, nanti Non kecapean.” Seorang perempuan paruh baya datang tergopoh-gopoh menghampiri Terryn dan mengambil tas yang dicangklong Terryn di bahunya.“Gak apa-apa, Bi, Yin baik-baik saja. Yin mau istirahat dulu,ya.” Terryn masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjangnya.Bayangan suaminya Deva yang ada dalam pelukan Lisa kembali tergambar dalam benak Yin. Perempuan itu menarik nafas dan mencoba mengikhlaskannya. Dia berusaha melupakan kejadia
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat a
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu. “Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Y
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini.“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya.“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya.
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk.“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang.Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu.“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Te
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas.Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan.Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran.
Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya.Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.“Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik.
Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya.“Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedan
“Home sweet home ….” bisik Terryn ketika sudah sampai di rumahnya bersama Deva di kota. Rumah yang dikiranya tidak akan ada jalan pulang kembali ke sana.“Tunggu jangan turun dulu.” Bergegas Deva turun dari mobil dan membuka pintu untuk Terryn. Laki-laki itu pun meraih tubuh Terryn agar digendongnya masuk ke dalam rumah.“A-aku bisa jalan sendiri, Kak!” seru Terryn terkejut melihat apa yang dilakukan Deva. Terryn menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika aksi Deva ini tidak dilihat oleh siapapun.“Diam, tidak usah bergerak dan banyak bicara.” perintah Deva lagi sambil mempererat gendongannya. Deva membawanya masuk ke kamar tidurnya bukan di kamar Terryn seperti biasa.
Ibu Asih dan ibu Imelda terlihat sangat senang datang berkunjung ke rumah Terryn. Mereka datang membawakan buah-buahan serta stok cemilan untuk Terryn. keduanya masih berbincang dengan seru ketika turun dari mobil.Bergantian mereka mengucapkan salam, ibu Asih dan ibu Imelda saling bertukar pandangan ketika pintu rumah terbuka dengan lebar tapi tak satu pun ada yang menyahuti salam mereka.“Yiiin … Ini Ibu datang, kamu di mana, Nak?” ibu Asih mengetuk pintu kamarnya dan membukanya sedikit , tidak ada sosok Terryn maupun Deva di dalam sana. Ibu Imelda menuju dapur memanggil bi Ira dan Terryn tapi tak ada sahutan juga. Ibu Imelda mencoba menelpon Deva tapi tidak diangkat, lalu mencoba menelpon Terryn. Bahunya cukup tersentak ketika mendengar dering ponsel Terryn di atas meja makan.