Hanya dalam waktu tujuh hari, Deva memberi tugas Terryn untuk mempelajari semua buku-buku tebal itu dan dalam waktu singkat itu pula Terryn melahap semua teori yang memang pernah dipelajarinya ketika kuliah dulu. Deva pun diam-diam mengakui kecerdasan dari istrinya itu meski sesungguhnya ada pengakuan yang masih terus diingkarinya, Deva menyukai Terryn, titik.
Terryn membawakan segelas susu hangat ke ruang kerja Deva, suaminya ternyata sedang tertidur di meja kerjanya. Gadis itu setengah berlutut di samping Deva dan memandangi suaminya dari dekat. Gurat-gurat lelah terlihat di wajah Deva yang tertidur pulas. Terryn menyentuh rambut dan membelainya pelan dengan penuh tatapan mesra Terryn menikmati wajah suaminya itu. Deva menggeliat pelan, segera gadis itu menarik tangannya dan mematikan lampu kerja Deva yang silau mengenai wajahnya.
Pelan-pelan tanpa suara Terryn membereskan kertas dan gulungan gambar Deva lalu merapikannya. Semua ditata dengan rapi, Terryn juga menutu
Terryn tidak mengambil pusing sikap Deva yang pergi begitu saja tanpa sarapan, tapi Terryn tahu Deva harus sarapan jika tidak pasti penyakit maag-nya akan kumat. Terryn membungkuskan sarapan Deva dan menyatukannya dalam tempat bekal. Terryn melirik jam dan dia masih ada waktu tanpa harus terburu-buru ke kantor.“Paaagi Terryn … tiap hari kamu tambah manis aja deeh ….” Sambut Bagas di depan pintu kantor Melda’s. Terryn hanya menanggapinya dengan tersenyum. Terryn tampak kewalahan karena harus menjinjing tempat bekalnya dan membawa tas kerjanya juga.“Sini aku bantu.” Bagas segera mengambil alih tas kerja Terryn dan menemani gadis itu naik ke atas ruangannya.“Kamu gak ada kesulitan selama bekerja dengan pak Deva Terryn?” tanya Bagas memecah keheningan di antara mereka.“Pak Deva orangnya baik kok, dia juga mengajarkan berbagai hal ke Terryn.” gadis itu menjawab dengan apa ada
Terryn tidak mengungkit masalah makan siang itu dan dia akan tetap kembali membawa bagian Deva untuk besok dan seterusnya hingga Deva benar-benar bersamanya makan siang. Menjelang petang Deva baru tiba kembali di kantornya perutnya sudah terasa perih karena belum makan dari pagi. Dia melirik Terryn yang hanya diam saja mengerjakan tugasnya di balik laptopnya. Deva berpikir jika pastinya Bagas sudah menemani Terryn makan siang di rooftop.‘Bodo amat! Kenapa juga aku harus peduli dan memikirkan itu, bukankah aku sendiri yang menulis aturannya untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing?’ Deva mendengus perlahan dia membereskan mejanya dan memutuskan untuk pulang lebih awal, mendadak dirinya merasa sangat kelelahan.“Yin, tadi kamu naik motor kan? Aku pulang duluan.” Deva berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Terryn. Terryn menghela napas panjang, dia merasa butuh tenaga yang lebih banyak untuk menjalani pernikahannya ini dengan D
Deva melepas pelukannya perlahan dan menjauh dari Terryn sebelum istrinya terbangun lalu menaruh bantal guling itu kembali ke tempatnya. Seulas senyum di sembunyikannya di balik selimut. Perutnya juga sudah jauh membaik dan dia bisa ke kantor pagi ini seperti biasa.Terryn menggeliat sudah masuk waktu subuh dan Terryn terbangun, dilihatnya Deva yang disangkanya masih tertidur. Dibetulkan selimut suaminya sebelum dia beranjak dari tempat tidur Deva kemudian menuju kamarnya sejenak. Tak lama di dapur terdengar berbagai alat masak yang membuat pagi menjadi semarak bagi Terryn.Dalam beberapa waktu bubur ayam sudah tersaji di meja dan Terryn berniat membawakan semangkuk bubur yang lezat itu untuk Deva ke kamarnya tapi Deva lebih dulu sudah duduk di meja makan.“Aku sarapan di sini saja.” pinta Deva, tampak bebat di lengannya sudah dibuka dan sudah tidak menghalangi lagi Deva untuk beraktivitas.“Bersiaplah, kita sama-sama ke kantor nanti.&rd
Terryn pulang lebih awal tanpa menunggu lagi Deva, Deva pun tak ingin menahannya karena dia tahu suasana hati Terryn sedang tidak bagus. Sedikit sesal menelusup di hatinya ketika dia tidak mendengar Terryn seceria biasanya terlebih saat mereka makan siang berdua di rooftop. Gosip yang tersebar membuat istrinya benar-benar tidak nyaman.Terlintas dalam benak Deva untuk mengumumkan siapa sebenarnya Terryn di sisinya itu tapi mengingat perjanjian pernikahan mereka yang hanya enam bulan itu Deva menghapus niatnya itu. Dia ingin menjaga nama baik Terryn hingga tiba waktunya nanti meski saat ini gosip itu menjadi hal tak terduga di luar rencananya.Aroma brownies coklat menguar di dapur Terryn. Sepulang kerja dia mencoba untuk menenangkan pikirannya dengan membuat kue. Kebiasaan yang dilakukannya jika suasana hatinya sedang buruk. Aroma adonan kue, hangatnya dapur serta harum coklat membuat perasaan Terryn sedikit membaik.Gadis itu membawa beberapa potong kue dan sec
Terryn berkali-kali menahan kegelisahannya berada di tempat yang tidak nyaman untuknya. Deva menyadari itu dan memutuskan untuk pulang lebih cepat setelah dia dan kedua sahabatnya reuni dengan Lisa.“Des, gue pulang duluan yaa?” Deva meneguk minuman di kaleng softdrinknya.“Tunggu dulu, makanya gue ajak lu ke sini karena gue dapat info ada bos dari cabang Mega Cipta yang suka nongkrong di sini gue pengen lu kenalan sama Ansel bos Mega Cipta cabang.”Desta melirik jam tangannya dan mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok seorang laki-laki muda yang dicarinya.“Naah itu tuh yang namanya Ansel, kesana yuuk gue pernah kenalan gitu orangnya asik aja siih.” Desta beranjak dari tempat duduknya sambil memanggil Deva dan Willy untuk mengikutinya.“Aku cuma sebentar aja, tunggu yaa gak usah kemana-mana.” Deva meremas jemari Terryn sesaat ada sedikit cemas yang dirasakannya untuk meninggalkannya istrinya.
Deva menghentikan ciumannya dan menjauh sedikit dari wajah Terryn lalu mendekat ke telinga istrinya.“Rangkul aku cepat dengan semesra mungkin, Keke sedang melihat kita dari tadi. Aku ingin dia berpikir jika ini adalah sungguhan.”Mata Terryn mendadak terbuka, dia pun mengikuti apa yang diperintahkan Deva. Sudut-sudut hatinya terasa nyeri seperti sedang ditusuk sesuatu. Apa yang dilakukan Deva ternyata hanya ingin membuat Keke yakin jika mereka memang sedang mencintai satu sama lain. Lengan Terryn merangkul leher Deva dengan sempurna dan terlihat bagai pasangan yang memang sedang dimabuk asmara.Deva sekali lagi mengulangi hal yang sama, tapi kali ini terasa gambar bagi Terryn. Dirinya hanya mengikuti skenario yang dibuat Deva. Akhirnya setelah agak sesak menahan napas Terryn melepaskan dirinya dari Deva.“Tersenyumlah, yang lebar sehingga terlihat jelas," pinta Deva lagi sambil mengelus pipi Terryn, dia pun menarik garis agar terlihat s
Deva mengetuk-ngetukkan ujung kakinya di lantai lift menunggu dengan tidak sabar benda ini membawanya segera ke lantai teratas dan disambung dengan beberapa anak tangga lagi. Bunyi denting lift terdengar,Deva segera memburu naik menapaki anak tangga. Benar, pintu itu tak sengaja dikuncinya siang tadi. Sialnya kuncinya macet sehingga Deva kesulitan membukanya, beruntung pak Saleh yang melihatnya tadi berlari panik segera mengikutinya.“Tolong carikan apa saja agar pintu ini bisa dibuka Pak, tolong cepat!” seru Deva dengan panik. Di jam seperti ini di rooftop angin bertiup cukup kencang dan bisa membuat seseorang menggigil kedinginan jika tidak mampu menahan hembusan angin. Petir terdengar menyambar dan hujan turun dengan sangat deras, hati Deva terasa seperti diremas karena cemas.“Terryn … Terryn … kamu dengar aku?!” Deva menggedor pintu berharap ada istrinya di balik pintu itu.“Yiiin … gedor pintunya atau beri
Pagi menjelang dengan tidur malam yang tak lagi maksimal untuk Terryn, dia gelisah dan tidak bisa memejamkan mata hingga dini hari menjelang. Setelah makan malam tepatnya tengah malam bersama Deva, kantuk Terryn bubar dan tidak lagi datang.Dia semakin mati gaya karena ponselnya mati dan dia tidak bisa menonton tivi karena Deva tidak suka dengan cahaya saat dia tidur. Menjelang subuh barulah kantuk itu datang dan Terryn merasa dia baru saja tertidur di saat sesuatu membuatnya terbangun lagi.Aroma bubur ayam yang nikmat, sukses menggoda perutnya. Mata Terryn membuka dan diliriknya jam dinding yang ternyata sudah pukul tujuh pagi. Deva sudah mengenakan pakaiannya lagi dan sedang serius mengamati ponselnya.Terryn bangun dengan sedikit pusing di kepalanya. Bajunya sudah tergantung rapi beserta … Terryn menarik napas dan benar-benar malu. Pakaian dalamnya benar-benar ikut di laundry dan sudah bisa dipakai lagi. Hal itu membuat pipinya menjadi panas meski Dev
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat a
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu. “Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Y
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini.“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya.“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya.
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk.“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang.Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu.“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Te
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas.Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan.Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran.
Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya.Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.“Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik.
Hari yang ditentukan akhirnya tiba, Terryn harus masuk ke ruang operasi untuk melahirkan bayinya. Seorang bayi perempuan yang cantik, tapi bayi mungil itu harus mendapatkan perawatan intensif karena usianya yang lahir prematur. Deva mencium kening Terryn yang masih tak sadarkan diri di ruang perawatannya setelah dipindahkan dari ruang operasi. Berbagai alat penopang kehidupannya membalut tubuhnya yang ringkih. Nyaris tak ada lagi cahaya kehidupan di sana, Deva menahan sesak melihat wanita yang telah menjadi ibu dari putrinya itu terbaring lemah tanpa daya.“Cepatlah kembali Yin, putri kita cantik sekali, jangan iri yaa … Kata dokter dan suster putri kita sangat mirip denganku.” Deva menarik senyumnya dengan terpaksa untuk mengimbangi matanya yang basah. Dikecupnya ujung jemari Terryn lalu Deva berbalik meninggalkan ruangan Terryn untuk melihat putrinya yang juga sedan
“Home sweet home ….” bisik Terryn ketika sudah sampai di rumahnya bersama Deva di kota. Rumah yang dikiranya tidak akan ada jalan pulang kembali ke sana.“Tunggu jangan turun dulu.” Bergegas Deva turun dari mobil dan membuka pintu untuk Terryn. Laki-laki itu pun meraih tubuh Terryn agar digendongnya masuk ke dalam rumah.“A-aku bisa jalan sendiri, Kak!” seru Terryn terkejut melihat apa yang dilakukan Deva. Terryn menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika aksi Deva ini tidak dilihat oleh siapapun.“Diam, tidak usah bergerak dan banyak bicara.” perintah Deva lagi sambil mempererat gendongannya. Deva membawanya masuk ke kamar tidurnya bukan di kamar Terryn seperti biasa.
Ibu Asih dan ibu Imelda terlihat sangat senang datang berkunjung ke rumah Terryn. Mereka datang membawakan buah-buahan serta stok cemilan untuk Terryn. keduanya masih berbincang dengan seru ketika turun dari mobil.Bergantian mereka mengucapkan salam, ibu Asih dan ibu Imelda saling bertukar pandangan ketika pintu rumah terbuka dengan lebar tapi tak satu pun ada yang menyahuti salam mereka.“Yiiin … Ini Ibu datang, kamu di mana, Nak?” ibu Asih mengetuk pintu kamarnya dan membukanya sedikit , tidak ada sosok Terryn maupun Deva di dalam sana. Ibu Imelda menuju dapur memanggil bi Ira dan Terryn tapi tak ada sahutan juga. Ibu Imelda mencoba menelpon Deva tapi tidak diangkat, lalu mencoba menelpon Terryn. Bahunya cukup tersentak ketika mendengar dering ponsel Terryn di atas meja makan.