"Aduhhh!" ucapku spontan sambil sedikit mengibaskan - ibaskan tanganku.
Segitu laparkah orang ini sampai - sampai tanganku tergigit olehnya. Aku menatapnya heran namun tatapannya kepadaku seolah - olah anak manja yang sedang minta makan pada Ibunya.
"Aku lapar!" ucapnya santai sambil tersenyum manja.
Bibir merah yang sexy itu tersenyum tanpa perdebatan. Begitu ringan sekali senyumnya hingga membuatku tak bisa marah. Jari bekas gigitan Lingga kelaparan ini masih sakit tapi aku merasa aku tidak apa - apa.
Apakah itu karena aku terpesona oleh senyumnya? Yaa, senyumnya memang menawan seperti biasanya. Seperti di foto - foto atau video yang aku lihat di sosial media dulu sewaktu belum bertemu langsung dengannya.
Jika reputasi tentang dia adalah laki - laki sempurna yang tidak bermain wanita adalah palsu tetapi reputasi tentang dia adalah laki - laki dengan ketampanan sempurna itu adalah asli. Aku juga mengakuinya.
"Mau saya ambilkan roti lagi Bos?" tawarku kepadanya.
"Iya boleh," jawabnya dan aku pun langsung berbalik untuk mengambil roti harum di pantry.
"Eh tunggu sebentar!" katanya membuatku berhenti dan kembali di posisiku semula yaitu berdiri tepat di samping Lingga dan menghadap ke arahnya.
Belum juga mulutku bertanya apa ada yang kau inginkan lagi. Tiba - tiba Lingga mengusap - usap wajahnya ke perutku.
"Hahhh, apa gerangan yang ia lakukan?" pikirku.
Laki - laki ini mesumkah? Perut berada tepat di bawah dadaku yang berisi, aku memang memiliki aset yang berharga itu sejak lahir. Hasil alami bukan karena operasi atau obat - obatan. Ia tumbuh sendiri sewaktu aku pertama menstruasi dan terus membesar hingga ukurannya seperti sekarang.
Cukup lama Lingga melakukan itu. Hingga aku lama - lama merasa risih sekaligus geli karenanya.
"Pak!" panggilku sambil memegang kedua bahunya dan sedikit mendorong tubuhnya yang kekar.
"Kamu empuk ya," jawabnya setelah berhenti mengusap - usapkan wajahnya.
Mengatakan itu dengan wajah santai sekali sambil melihat wajahku tanpa berkedip. Aku terbelalak setelah mendengar kalimat itu. Bisa - bisanya dia berkata seperti itu.
Aku membuang nafas berat dan berkata "Pak Lingga ngapain barusan? " tanyaku yang tiba - tiba saja memiliki keberanian berkata dengan kalimat tidak baku.
"Mulutku kotor tadi habis makan roti jadi aku mengelapnya ke perutmu agar kotorannya hilang," jawabnya santai sambil melengkungkan bibir tapi sorotan matanya itu begitu tajam.
Makhluk ini sekarang menganggapku sebagai kain lap. Tapi perlukah sampai melakukan itu? Di ujung mejanya sudah tersedia tisyu. Dan jika dia memang begitu malas mengambil tisyu, aku bisa mengambilkan tisyu itu dan sekaligus mengelapkannya ke mulutnya. Lagi pula, kulihat tadi mulutnya juga tidak kotor.
Otakku benar - benar tidak menerima alasan itu, dari pada di anggap sebagai kain lap, aku lebih merasa judeg karena ia mengusap wajahnya ke perutku. Bukankah itu lumayan intim, apalagi tadi kepala atasnya mengenai dadaku saat ia melakukan itu. Uhhh geli, hari pertama disini aku sudah kehilangan keperawanan bibir dan sekarang keperawanan perut. Entahlah apakah aku juga bisa menyebutkan sudah kehilangan keperawanan dada.
Sudahlah aku juga tidak bisa berdebat. Dengan kekuasaannya disini dan dengan alasannya yang begitu sederhana tapi mengoyak batin mana bisa aku mendebatnya kali ini.
"Lain kali Bapak tidak usah repot - repot, bilang saja padaku maka saya akan membersihkan mulut Bapak!" ucapku berusaha menunjukkan expresi tidak apa - apa lengkap dengan senyuman palsu namun terdengar nadaku sedikit keras.
"Membersihkan mulut ya? " jawab Lingga.
Tapi kenapa expresinya seperti itu. Seperti hendak merencanakan sesuatu.
"Tidak apa - apa ko Azalea, tadi aku juga menikmatinya," sambungnya lagi membuat pikiranku buyar.
Uugghhhh, aku mengepalkan tangan tak tahan lagi berada disini.
"Saya ke pantry dulu Pak Lingga, saya ambilkan roti harum yang banyak untuk Bapak!" jawabku tegas dan cepat - cepat meninggalkan ruangan itu.
BRAKKK!
Tak sengaja kubanting pintu saat menutupnya, mungkin amarahkulah yang membantingnya.
Hufff hufff !
Aku membuang nafas dalam - dalam sambil berjalan satu langkah dua langkah bolak - balik sembari menaruh tangan di dadaku dan sedikit mencengkramnya.
"Hahhh, benar - benar, hari ini tanggal 6 November yang kupikir adalah hari keberuntunganku.Kurasa sekarang tidak begitu, mungkin ini yang disebut orang - orang hal yang terlihat bagus belum tentu bagus dan hal yang terlihat buruk belum tentu buruk!" ocehku sendiri.
"Haahhh sekarang aku melihat ini buruk, semoga ternyata ini adalah hal yang bagus!" Pikirku terakhir memutuskan agar hati ini menurut pada sang punya tubuh yaitu aku.
Langkahku menuju pantry begitu pelan agar tidak cepat sampai kembali di ruangan itu. Cara menata roti juga kulakukan dengan pelan karena alasan yang sama. Aku mengambil roti banyak - banyak agar dia tidak menggigitku.
Aku melihat roti ini begitu enak, duduk sajalah aku sebentar sambil memakan beberapa roti. Aku juga belum makan siang. Walaupun aku tahan lapar tapi lambungku ini juga harus dijaga. Tidak terasa sudah dua roti yang kumakan, terasa cepat karena mungkin aku belum ingin kembali ke ruangan kebesaran Lingga itu.
Dengan malas aku melangkahkan kakiku kesana. Setelah di dalam ruangan hendak aku suapi Lingga seperti sebelumnya.
"Tidak usah, taruh di meja sofa aja, aku akan makan sendiri!" ucapnya sambil menggeliatkan badannya yang kaku karena duduk di kursi seharian.
"Ohhh syukurlah," batinku.
Kemudian aku meletakkan nampan berisi roti itu di meja lalu berdiri di sampingnya.
"Duduklah!" ucap Lingga sambil berdiri lalu melangkah menuju sofa berakhir duduk tepat di sampingku.
Lingga mengambil sebuah roti dan memakannya dengan lahap. Aku melihatnya dengan seksama.
"Aku sungguh lapar!" katanya yang sadar aku terus melihatinya.
"Kamu tidak percaya?" imbuhnya lagi menekankan. Berbicara dengan mulut penuh dengan roti harum.
"Saya percaya Boss" jawabku dengan senyum lembut.
Percaya sekali ia sungguh lapar karena sangat terlihat dari caranya memakan roti begitu rakus. Heranku hanya kenapa walaupun makan dengan cara begitu dia masih juga tampan. Sekilas terlintas di pikiranku, kapan makhluk ini terlihat jelek.
"Kalau lapar bisa makan orang!" ucapnya keras sambil menghentakkan mukanya ke arahku.
Caranya mengucapkan bisa makan orang seperti sebuah ancaman. Membuatku bergidik melihat wajah tampannya. Wajah seperti malaikat, aura seperti hantu. Sungguh tidak sinkron sekali. Tapi aku diam saja, aku harus selalu waspada, kali - kali dia akan melakukan hal aneh lagi.
Tuh kan apa ku bilang. Sekarang dia menggeliat di sampingku. Memegangi lehernya yang sepertinya kaku karena terus bekerja. Aku jadi kasihan melihatnya.
"Mau saya pijat?" tawarku.
menawarkan tanpa ada curiga. Karena aku akan memijatnya dari belakang sofa tentu dia tidak akan bisa melakukan apa - apa.
"Boleh, tiga puluh ribu satu jam!" ucapnya sambil sedikit tertawa.
"Pelit sekali," jawabku dalam hati.
"Jangan mengutukku, aku tidak pelit, gajimu saja besar!" ucapnya membuatku kaget, apakah orang ini bisa baca pikiran.
"Saya tidak mengutukmu Bos!" jawabku lembut dengan sedikit tersenyum. Ternyata orang ini bisa bercanda juga.
•••
Terima kasih telah membaca novel ini. Semoga menghibur.
😇😇❤ ❤HAPPY READING ❤❤.Posisinya kini, aku berdiri di belakang sofa sedangkan Lingga duduk bersandar di sofa sambil mendongakkan wajahnya ke atas agar aku memijat kepalanya dengan mudah.Kuperhatikan terus wajahnya yang tampan itu, aku berani karena Lingga menutup matanya. Sesekali ia mengerutkan dahi, mungkin karena menikmati pijatanku. Aku sendiri jika dipijat pasti seperti itu juga.Sekarang aku bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas. Lebih tampan dari pada di foto, sebagai laki - laki, wajahnya sangat halus dan berseri - seri. Jika ia perempuan pasti aku sangat minder berdekatan dengannya karena kalah cantik, kalah telak malahan."Sungguh tampan," batinku.Benarkah wajah sempurna ini yang tadi menyentuh perutku, jika melihat wajahnya begini aku jadi tidak bisa marah. Tapi tetap saja itu masuk kategori pelecehan ringan.Beberapa waktu sudah berlalu. Aku beralih memijat bahunya yang kurasa memang kaku. Lingga tidak berkata apapun bahkan bersuara pun tidak, aku
"Pertama kamu sudah mencuri ciumanku, kedua kau juga mencium dadaku, ketiga tadi aku terbangun dengan kepalaku berada di titik terpanasmu, sekarang kau memancing gairahku keluar, aku tidak bisa menahannya lagi!" ucapan Lingga ini terus terngiang - ngiang di kepalaku.Di dalam mobil mewahnya yang mengantarku kerumah, aku tidak berbicara walau hanya sedikit, dia pun sama. Ini adalah hari pertamaku bekerja sebagai Sekretaris tapi rasanya aku pulang sebagai pelayan. Pe-la-yan dalam tanda kutip. Atau memang maksud dia memang pelayan pribadi yang itu. Jika saja benar yang itu dan dia mengatakan dengan jelas. Besok pasti aku tidak akan ke tempat itu lagi.Sebenarnya sungguh kehormatan tidak? Seorang Raden Lingga mengantar pulang seolah supir pribadi. Padahal ia sendiri saja biasanya enggan menyetir dan memakai supir. Tapi kenapa aku merasa tidak terhormat. Jika ini aku yang dulu pastilah dadaku sudah meledak karena kegirangan. Tetapi baru satu hari bekerja di perusahaanya, me
Hahh ... hahh ... hahh ... Nafasku tak beraturan masih terkejut dengan mimpi yang aku alami barusan."Gila, Lingga mengejarku sampai ke dalam mimpi," ucapku sambil turun dari kasur untuk mengambil air.Dengan tubuh yang masih sedikit oleng, aku pergi kedapur untuk minum agar tubuhku ini lebih tenang. Tidak bisa di tunda lagi, aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah cukup rasaku tenang, aku kembali ke ranjangku untuk kembali tidur. Bersiap untuk hari esok yang sepertinya lebih berat.Di tempat lain, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Lingga masih terjaga dari tidurnya. Tersenyum sendiri layaknya orang setengah gila. Tidak biasanya dia seperti ini karena Lingga adalah tipe orang yang selalu menjaga kesehatannya. Tidur tepat waktu, bangun tepat waktu. Tidur cukup adalah efisiensi usia dia bilang.Lingga memegangi lembut bibirnya sambil tersenyum tipis bercampur malu."Sungguh - sungguh menyenangkan!" katanya sambil memejam
Lingga terus menatap Azalea dengan tajam, membuat Azalea gugup akan tingkahnya, namun menyadari kegugupan Azalea malah membuat Lingga semakin senang. Ia terus lihat wajah cantik Azalea hari itu, bibir tipis itu serasa manis di pandangan Lingga, bahu mulus itu terlihat lembut ingin sekali menyentuhnya.Cup!Tiba - tiba Lingga mengecup bahu Azalea. Seketika tubuh wanita cantik itu bergetar hebat di seluruh badan. Tak hanya mengecup, Azalea kini merasa bahu itu seperti terhisap dan tergigit kecil."Ahh!" cetusnya spontan karena tubuh itu semakin bergetar hebat.Mendengar desahan Azalea Lingga malah semakin kuat menghisap bahu Azalea. Hingga Azalea melepaskan dasi dan memegang lengan Lingga. Cukup lama begitu, setelah Lingga melepaskan mulutnya, sudah terbentuk lingkaran merah elips tak beraturan di bahunya."Apa yang Pak Lingga lakukan?" tanya Azalea sedikit tegas."Kamu segar sekali, gak kerasa aku tiba - tiba melakukannya," jawab
Benar - benar rasanya seperti tertabrak pesawat. Di dalam mimpi dia bilang.Di dalam mimpi,dan ini adalah dunia nyata,sungguh orang secerdas dia tidak bisa membedakan mana dunia mimpi dan mana dunia nyata. Ohhh.. Tuhan.. Hidup apa yang kujalani sekarang.Benar - benar gila, hanya karena mimpi aku kehilangan harga diri seperti ini. Ingin aku teriak di samping telinga orang ini saja, dia menciumku, melecehkanku karena sebuah mimpi."Pak, itu dunia mimpi, dan kita hidup di dunia nyata, bagaimana Pak Lingga bisa bilang aku mencurinya seolah aku benar - benar melakukannya, dan yang terburuk adalah karena itu Pak Lingga melakukan..," sahut Azalea menggebu kemudian berhenti di kalimat terakhir.Mengambil nafas dan nadanya sedikit tertahan mengingat tubuh yang Azalea jaga seumur hidup di sentuh pria yang ia kenal selama sehari."Karena itu Pak Lingga menyentuhku!" lanjutnya berbicara pelan karena merasa malu ada Pak Pram d
Aku harus merasa bangga atau tidak karena menjadi satu - satunya wanita yang bisa membuat Lingga seperti itu. Tapi aku juga menyadari bahwa setelah ini Lingga akan terus melakukannya, dan aku juga sudah jelas tidak akan bisa melarikan diri darinya.Di dalam pantry aku terus memikirkan ini.Begitu lama aku duduk disana hingga sudah tiga gelas aku menghabiskan minuman dingin. Lingga juga tidak mencariku, ya karena pekerjaanku disana adalah disentuhnya. Bukan pekerjaan layaknya karyawan lainnya. Entah akan seperti apa sikap Lingga nanti setelah ini.Tapi satu hal yang mengganjal dalam pikiranku, bagaimana bisa bibir Lingga basah setelah mimpi itu."Mungkin saja dia ngiler haha," pikiranku seperti itu.Tapi bekas gigitan? Bagaimana itu bisa muncul disana. Entahlah, nanti saja aku memikirkannya. Saat ini aku hanya harus menenangkan diri. Lagi pula Lingga sendiri juga tidak tahu bagaimana itu bisa ada disana. Jadi dari mana aku haru
"Apa maksut dia mengatakannya dengan nada seperti itu? Apakah aku harus berterima kasih dan tenang karena ia tidak melakukan itu secara langsung? Apakah dia pikir dengan melakukan yang tadi tidak cukup untuk membuatku sakit hati. Sungguh laki - laki brengsek. Tidak meledak katanya? Yang seperti tadi tidak meledak? Bahkan ia seperti singa yang kelaparan,benar - benar brengsek, brengseekkk! " aku mengutukinya terus di dalam hati.Air mataku menetes, hatiku tak lagi bisa menampung amarah yang telah Lingga buat disana.Lingga memberiku minum, entah karena dia peduli atau karena risih melihat wanita menangis. Aku mengambil gelas berisi minuman itu dari tangannya karena aku rasa juga membutuhkan minum untuk menenangkan diri.Sementara Lingga kembali bergelut dengan pekerjaannya, aku masih berada di sofa dengan kemelut di pikiranku.Posisiku duduk kali ini. Sepintas aku tersadar tentang banyak kissmark yang
Sekarang Lingga sedang menatapku tajam. Ia tidak mengatakan apapun tetapi tatapan wajahnya itu seolah mengisyaratkan kalimat kau mau mati. Tapi keputusanku sudah bulat jadi aku tetap melanjutkan kalimatku itu walaupun nanti akhirnya aku akan benar - benar mati."Terima kasih atas kerja samanya dua hari terakhir ini, saya pamit untuk pergi!" ucapku terakhir dengan tersenyum lembut kepadanya mengisyaratkan tidak apa - apa kau melakukan yang tadi tapi sekarang biarkanlah aku pergi.Lingga masih juga tidak berkata apapun. Ia hanya terus menatapiku tajam tanpa berkedip sekali pun. Tatapannya kali ini lebih seram dari tatapannya sewaktu marah tadi. Rasanya aku benar - benar terintimidasi walaupun ia hanya menatapku. Cukup lama Lingga seperti itu dan aku pun tidak bisa langsung beranjak pergi karena menunggu jam pulang bekerja.Sementara itu kulihat wajah Pak Pram memperhatikan Lingga