“Menikah?” tanya Cempaka. “Iya, aku tak mau kehilangan kesempatan lagi untuk hidup bersamamu,” jawab Razi. Gadis bermata tajam itu berpikir sejenak, sebagai seorang pejuang ia juga hanya wanita biasa yang mendambakan kehidupan layaknya ayah dan ibunya dulu. Namun, pencarian Kenanga belumlah menjumpai titik akhir, meski selama tinggal di pemukiman itu Cempaka seperti merasakan adiknya yang dulu begitu usil mengganggunya. Bahkan di dalam mimpi ia serasa dikelilingi dengan aroma bunga kenanga yang sangat menenangkan. “Dengan dua persyaratan,” lanjut Jeumpa. “Katakan. Akan kupenuhi semampuku.” Netra Razi berbinar sebab gadis itu tak langsung menolaknya. “Kita tetap teruskan pencarian adikku apa pun yang terjadi. Lalu, aku ingin mahar terbaik darimu, sebagai bukti kalau kau tidak main-main seperti dulu.” “Baik aku setuju.” Razi kemudian menunjukkan sebuah gelas emas pada Cempaka sebagai tanda cinta darinya. Gadis itu menarik napas panjang, jika tahu lelaki itu memilikinya, tentu dia
Selama dilatih oleh Meurah, kemampuan Alif telah meningkat sangat jauh. Ia bisa melompat dari satu pohon ke pohon lain dengan tanpa menimbulkan suara, bahkan telah beberapa kali ia bisa mengecoh Kenanga yang telapak kakinya sangat peka dengan kehadiran orang lain. Tak hanya itu, lemparan kelewangnya juga sangat tepang memotong-motong batang bambu yang dijadikan tempat latihan dengan sangat tepat sasaran. Kini pemuda pesisir itu tak dipandang sebelah mata lagi oleh pasukan kelewang yang lain. Pagi itu, ia meninggalkan istrinya dengan hati waswas, sebab beberapa hari belakangan ia mendapati Kenanga terus saja menekan rongga dadanya dan tiba-tiba saja memuntahkan semua makanan. Bahkan wanita itu mulai tak suka mencium bau tubuh Alif yang selama bersama tak pernah ia permasalahkan. “Apa jangan-jangan?” pikir Alif dalam hati menerka-nerka, “Tapi tak mungkinkan kalau dia tak menyadari perubahannya, istriku, ‘kan, tabib.” Meurah datang membuyarkan lamunan Alif yang penuh harap, panglima
Razi, Cempaka, dan rombongan perampok merah telah bertemu dengan Meurah Rangkem. Sang ketua menyerahkan kotak kayunya yang berisikan barang-barang penting pada sang panglima, serta memberikan beberapa bedil yang bisa digunakan sebagai tambahan senjata. Razi sendiri berjanji akan memeperbaiki dan menajamkan senjata pasukan kelewang agar memenangkan peperangan yang setiap saat bisa dicetuskan oleh pihak penjajah. Mendengar hal itu, hati istrinya menjadi gusar, ia pun menarik tangan suaminya sedikit menjauh dari Meurah. “Kau berjanji akan mencari adikku, kenapa kau malah membuat senjata di tempat ini?” Cempaka menuntut janji Razi. “Percayalah, tak akan lama membuat senjata, setelah itu kita pasti mencari adikmu. Tenanglah, aku sangat yakin Kenanga baik-baik saja.” “Kau penipu! Aku bisa pergi sendiri kalau kau tak mau.” “Dia mirip sekali dengan wanita bisu itu,” ujar Meurah seorang diri. Ia kemudian menengahi keributan, sebab Razi mulai menarik tangan Cempaka yang ingin beranjak dari
Bagian 33 Berkumpul Berbagai macam hidangan telah dimasak langsung oleh Kenanga dan Cempaka. Dua bunga bersaudara itu mengolah hasil tangkapan di keranjang kayu sembari bercerita tentang perjalanan mereka selama beberapa bulan. Rasa bersalah karena telah menikah terlebih dahulu telah ditepis Kenanga jauh-jauh. Ia juga merasa bahagia melihat kakaknya telah menemukan pendamping, bukan pula orang yang tak Kenanga kenal. Cempaka juga turut berbahagia dengan kehamilan adiknya. Berpisah selama beberapa bulan, dua orang itu bertemu kembali dengan keadaan yang berbeda. Makanan telah dihidangan di luar, bersama-sama rombongan perampok merah dan pasukan kelewang menyantap kudapan tanpa rasa sungkan. Air asam tetap menjadi teman Kenanga ketika mual datang lagi.Ketika malam tiba, Kenanga memilih tidur sekamar dengan Cempaka, seperti dulu demi melepas rindu. Dua bunga itu terlelap bersama dengan tenang, sebab beban berat yang mereka pikul di bahu akhirnya hilang walau sedikit. Razi dan Alif
Razi bangun dengan napas cepat dan keringat mengalir deras di tubuhnya. Lelaki itu bermimpi buruk, ia seperti dikurung dalam bara api yang menghanguskan tempat para wanita yang ia titipkan beberapa waktu silam. Cempaka tak ada di sisinya, perlahan ia mendengar suara tumbukan alat memasak sedang beradu di dapur. Lelaki itu memakai bajunya dan melihat ke belakang, dua kakak beradik itu sedang menyiapkan makanan di pagi yang masih sangat gelap. Kenanga berlalu usai hidangan siap, ia membangunkan Alif yang masih bergelung dalam selimut, ia memaksa agar lelaki itu makan sahur walau sedikit, sebab berpuasa di tengah peperangan memerlukan banyak tenaga. “Aku harus pergi sebentar ke pemukiman yang kita tinggalkan, firasatku tak enak, mimpiku tadi terlalu menyeramkan,” ucap Razi ketika sahur telah selesai. “Suruh Madi saja yang pergi atau Tandi. Busur panahku entah mengapa ujungnya tak terlalu tajam,” jawab Jeumpa. *** Pagi harinya Razi meminta pada teman satu rombongan untuk melihat pem
Teuku Iskandar Sayuti telah melabuhkan kapalnya sedikit menjauh dari pelabuhan milik Kerajaan Pesisir. Sepanjang Selat Malaka, tak sedikit lelaki ulebalang itu jumpai bangkai-bangkai kapal hanyut dan juga tubuh manusia dengan pakaian punggawa kerajaannya. Ia menepi, lalu perlahan-lahan berjalan disertai pelayannya dan juga lima orang pasukan khusus yang dikirim Konstantinopel untuknya. Salah satu pasukan khusus itu membawa sebuah teropong modern buatan orang pintar di negerinya. Lelaki bertubuh tinggi itu memanjat pepohonan dan meneropong dengan seksama. Kerajaan Pesisir telah hancur dan luluh lantak, bendera tiga warna berkibar di sana. Ia turun dan melaporkannya pada Teuku Iskandar Sayuti. Lelaki yang jarak usianya hanya terpaut sepuluh tahun dengan Alif itu menarik napas panjang. Ia tak boleh gegabah, ulebalang itu memutuskan mundur ke hutan-hutan, mencari di mana saja jejak rakyatnya masih ditemukan, bahkan jika mungkin jejak anggota keluarga kerajaan. Tak hanya itu, ia juga bep
Cempaka telah bersiap di atas pohon yang sangat tinggi, ia berada di atas sana dengan ratusan anak panah yang ditempa oleh suaminya. Sementara itu, Razi berada di bawah bukit dengan bedil bersama rombongan perampok merah. Alif masih berada di atas bukit, ia menuntun istrinya untuk turun perlahan-lahan di mana para pejuang yang terluka akan diobati di sana. Di tempat itu pula telah berkumpul para wanita yang telah Kenanga ajarkan ilmu pengobatan walau mereka hanya paham sebatas mengobati sayatan luka. Penuh keraguan Alif melepaskan istrinya di tempat itu walau ia tahu Kenanga juga seorang pejuang. Bukan tanpa alasan, sebab dari tadi malam anak di dalam kandungannya tak henti-hentinya bergerak dan berputar-putar hingga menyebabkan sang ibu tak bisa memejamkan mata. Terlihat jelas wajah wanita itu sangat kelelahan. Belum lagi nanti pasti banyak korban yang harus ia tolong. Sebelum Alif turun ke rawa-rawa, Kenanga terlebih dahulu memberikan beberapa bekal yang cukup untuk di makan sela
Cempaka menutup kepalanya dengan dua tangannya, ia berhasil menghindar dari ledakan bom tangan karena jatuh ke dalam parit. Ia menunggu beberapa saat, hingga benar-benar ia pastikan serdadu tadi telah pergi meninggalkan tempat itu. Cempaka berjalan secepat dan setenang mungkin, mencari suaminya yang sesaat terpisah. Ia membalikkan tubuh demi tubuh, sebab warna baju itu telah sama-sama menghitam. Telinganya menangkap suara rintihan kesakitan. Ia bergegas menuju ke sana, dan Cempaka temukan Razi tengah kesakitan sambil memegang tangan kananya yang terkena serpihan bom. “Ya Allah, Bang Razi.” Wanita itu merobek kerundung panjangnya dan mengikat luka Razi agar darah tak terus mengucur. “Ja-jangan menangis lagi, air matamu membuat lukaku perih,” ujar Razi diantara rasa sakit yang mendera. “Kita ke atas ke tempat Kenanga.” Sekuat tenaga wanita bertubuh tinggi itu memapah Razi menuju ke tempat yang lebih tinggi walau harus tertatih dan beberapa kali menghindari dari serangan marsose. Sa
Pergolakan berdarah yang mengatas namakan agresi militer Belanda kedua usai sudah. Yang tersisa hanyalah membangun ulang kembali daerah-daerah yang hancur akibat perlawanan yang sengit. Angkasa dan Bulan juga masih belum tahu akan bagaimana ke depannya. Mereka tak punya tempat tinggal seperti halnya pengungsi yang lain. Meski sebelumnya mereka berdua adalah pejuang, tapi tak semua pejuang juga nasibnya baik. Bahkan banyak yang jatuh miskin pasca perang. Keduanya telah meninggalkan tenda karena Angkasa sudah bisa berjalan tanpa tongkat. Tidak hanya mereka berdua saja tapi yang lain juga. Lalu karena ketiadaan tempat tinggal mereka ditempatkan dahulu di bangunan luas tanpa sekat dan bergabung bersama orang lain sembari menunggu bantuan tiba, mungkin saja ada yang berbaik hati. “Sampai kapan kita akan begini terus, Bang? Aku tidak terlalu nyaman berbaur dengan orang ramai terlalu lama.” Bulan menghela napas panjang. Cobaan hidupnya belum juga berakhir. “Bersabarlah, Sayang. Abang j
Agresi militer Belanda belum benar-benar berakhir. Tapi perlawanannya masih bisa ditekan. Angkasa mendapat perawatan yang baik selama di dalam tenda. Bulan tak selalu bisa menemani, sebab ia harus bantu-bantu yang lain apa saja yang wanita itu bisa. Angkasa mencoba turun dari ranjang besi itu. Ia ingin tahu apakah kakinya masih bisa digunakan berjalan atau tidak. Jika ia benar cacat maka Angkasa akan meminta Bulan menjalani hidup sendirian daripada ia jadi beban saja. Satu kakinya berhasil ia turunkan. Terasa sakit, berat dan kaku sekali untuk melangkah. Selama ini urusan buang air diurus oleh Bulan sepenuhnya. Satu kaki lagi Angkasa turunkan. Agak oleng dan hampir jatuh, tapi lelaki yang kini rambutnya sudah panjang itu memegang pinggiran kasur untuk bertahan. “Bismillah, aku harus kuat, aku laki-laki. Aku seorang pemimpin.” Berpeluh tubuh Angkasa mencoba untuk melangkah. Hampir ia jatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan, kemudian … “Abang!” Bulan datang masuk ke dalam tenda.
Agresi militer Belanda jilid kedua memang menimbulkan banyak pertentangan dan perlawanan di tanah air. Tak hanya jalan peperangan saja yang ditempuh tapi jalan diplomasi juga. Berbagai macam kongres perdamaian terus diupayakan agar Belanda angkat kaki dari Indonesia.Nyatanya tidak mudah, negara itu terus saja merongrong kemerdekaan Indonesia. Aceh merupakan salah satu bentuk perlawanan yang paling sengit sejak dulu. Bisa dikatakan daerah paling istimewa merupakan yang paling tidak pernah istirahat tenang sejak didatangi Portugis, sampai Belanda kalah, datang Jepang lalu kalah lagi dan Belanda kembali merampas semuanya. Satu dari sekian banyak pejuang yang ada yaitu Angkasa dan Bulan. Sepasang suami istri yang harus terpisahkan karena keadaan. Bulan menjalani berbagai macam pelarian dari satu tempat ke tempat lain. Tidak, dia bukan pengecut yang tak pandai berjuang. Hanya saja dia tak akan sanggup sendirian melawan tentara Belanda yang membawa perlengkapan sangat banyak. Bulan tak
Natali mendatangi salah satu tentara Inggris yang akan memimpin pasukan bergabung dalam agresi militer Belanda II di Indonesia. Tentara itu tahu siapa yang datang. Lalu ia bangkit dan mempersilakan tuan putri duduk di kursinya dan sesegera mungkin memberi hormat. Siapa yang tidak kenal bagaimana Natali bertangan dingin. “Ada yang bisa aku bantu, Madam?” tanyanya dengan sikap tegak. “Duduklah. Pembicaraan ini tidak resmi, tapi aku memberikan tugas ini tidak main-main untukmu, tentu saja aku akan memberikanmu upah.” Natali mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya. Jumlah yang membuat tentara itu membelalakkan mata. “Siap. Sebutkan saja apa tugasnya, Madam.” “Kalau sampai gagal, kau yang akan aku tembak.” Wanita berambut pirang itu mengeluarkan lukisan wajah Bulan yang dibuat oleh Smith.Diam-diam ia mengulik barang pribadi milik suaminya ketika lelaki itu tidak sedang di rumah. Dari mana Natali tahu keberadaan Bulan? Dari suaminya yang sering mengigau dan meracau nama yang sama b
Anak Smith telah lahir. Ia merupakan seorang putri yang amat sangat cantik dan memiliki mata seindah dirinya. Amora, begitu princess itu diberi nama, dan keluarga kerajaan menyambut dengan penuh suka cita. Juga sejak kelahiran Amora, Smith tak lagi memikirkan tentang Bulan. Baginya harapan itu terlalu usang untuk dikejar. Lebih baik hidup dengan apa yang ada di depan mata saja. Natali menjadi pengusaha berlian yang amat kaya raya. Sudah tak terhitung berapa banyak korban yang berjatuhan di tangannya. Ia tak segan-segan menurunkan militer dan membayar menggunakan uang pribadinya. Anaknya pun lebih sering diurus oleh baby sitter. Lain hal dengan Smith yang sejak tidak bekerja lagi di rumah sakit kini menjadi salah satu agen PBB dalam organisasi baru yang dibentuk dan berurusan dengan kehidupan manusia. Perang di Aceh telah mengubah cara pandangnya menjadi lebih dermawan. Smith dan istrinya memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Lelaki bermata biru itu sangat aktif membela hak-hak
Tubuh Bulan yang tidak sadarkan diri diseret paksa oleh seorang tentara Belanda dan memasuki rumah kosong. Wanita itu terkena pukulan di bagian kepala hingga mengakibatkannya jatuh pingsan. Tentara Belanda yang melihatnya jadi tergiur. Bentuk tubuh Bulan yang ramping membuatnya gelap mata meski wajah wanita itu rusak. Dengan tangan tergesa-gesa lelaki itu mulai melucuti selendang dan kain panjang yang melilit di pinggang Bulan. Ia sudah tak sabar menikmati tubuh molek dari seorang pejuang yang pasti rasanya luar biasa. Hanya saja ketika kain Bulan mulai disingkap. Sebuah peluru menembus kaca rumah dan tertancap di kepala tentara Belanda tersebut. Mata hijau itu terbelalak dan ia pun roboh di sebelah tubuh Bulan. Peperangan di luar sana masih terus berlanjut ketika Bulan tak sadarkan diri. Hari sudah gelap ketika wanita itu sadar. Ia terkejut dan langsung berdiri ketika kain di pinggangnya terbuka dan roknya tersingkap, ditambah selendangnya yang tersangkut di jendela. Apalagi a
Indonesia tahun 1947 Bulan sedang mendengar radio milik Angkasa yang dibawa masuk ke dalam rumah. Pada dasarnya, wanita yang baru saja menggenapi usia 19 tahun itu memang rajin belajar dan tekun seperti halnya sang kakek dulu. Melalui radio pula ia mencatat beberapa poin penting untuk disampaikan nanti pada Angkasa. Suaminya sibuk mencari nafkah dengan memanfatkan truk miliknya. Tak banyak uang yang didapatkan tapi cukup untuk hidup berdua saja. Mereka juga belum memiliki anak. Pena yang diberikan oleh Smith beberapa tahun lalu akhirnya habis juga isi tintanya, bersamaan dengan rampungnya informasi yang dicatat oleh Bulan di atas kertas usang. Membelinya sangat susah ditambah harganya mahal, jadi kalau basa-basah sedikit kena air lebih baik dijemur saja. Angkasa pulang di sore hari dengan tubuh berpeluh. Seharusnya pengalaman keduanya sebagai pejuang tangguh mampu menghantarkan Angkasa dan Bulan menjadi salah satu tentara resmi dengan seragam khusus. Namun, hal itu tak mereka amb
Sepasang kekasih yang hidup bersama itu menghadiri perjamuan di mana ratu juga datang. Ada orang tua Smith dan Natali juga. Pembicaraan yang sangat serius. Kalau sudah ratu mengambil keputusan maka tidak akan bisa dibantah lagi oleh siapa pun. Keputusan untuk menikahkan Smith dan Natali diambil sudah. Sang jenderal bintang dua hanya bisa pasrah walau tak rela atas pernikahan kedua putrinya. Rumor sudah pasti tersebar dan sulit untuk dibendung. Tadinya Natali ingin mengatakan tentang kehamilannya, tapi Smith memberikan kode padanya agar jangan gegabah. Ia paham bagaimana raut wajah beberapa orang yang kecewa. Tidak dengan William yang senang sekali ketika putranya akan menikah. Ia menepuk bahu putranya dan memberikan sedikit nasehat. “Jalani saja hidupmu di sini dan jangan pernah memikirkan gadis itu lagi. Dia pasti sudah bahagia dengan orang lain seperti halnya Cempaka yang membohongiku.” Smith mengangguk saja. Benar, bisa jadi Bulan telah menikah dan tak memikirkannya lagi. Tap
Antara malu dan mau yang pada akhirnya mengantarkan Bulan dan Angkasa benar-benar menjadi suami istri di malam dingin di wilayah pesisir. Di kamar peninggalan mendiang Kenanga. Sepasang pejuang itu merasakan hal yang berbeda hingga terlelap dalam tidurnya dan bangun ketika hari hampir pagi. Bulan yang mandi belakangan setelah Angkasa, berdiam diri di rumah ketika suaminya memutuskan pergi ke surau terdekat. Wanita bermata abu-abu itu kini mengemas tas milik Angkasa dan membereskan barang-barang miliknya. Secara tak sengaja buku harian dan pena peninggalan Smith jatuh di lantai. “Apa kabar dia, ya? Katanya ingin kembali menemuiku dan melarang menikah dengan Angkasa. Mana ada, penipu! Tapi terima kasih atas pertolongan dan salepmu. Meski wajahku tak secantik dulu, tapi setidaknya lukanya tak terlalu kasar.” Untung saja Bulan tak mudah dirayu oleh Smith. Apalagi mengikuti saran letnan itu untuk tak menikah dengan Angkasa. Satu-satunya alasan yang membuat Smith belum jadi berangkat ke