Natasha mengangguk dengan polos. "Iya, cemburu. Apa ucapanku salah?" tanyanya. Namun, sebelum Edgar dapat menepis asumsi tersebut, Natasha kembali berbicara."Aku mengerti perasaanmu, jadi, tidak usah malu," tambah Natasha dengan suara lembut.Edgar, yang tidak tahan mendengar ucapan Natasha, menghela napas panjang sebelum berbicara. "Dengar, aku sama sekali tidak peduli dengan hubungan kalian. Jadi, untuk apa aku cemburu?" ujar Edgar terdengar dingin."Benarkah?" tanya Natasha dengan senyuman penuh arti, menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan suaminya.Edgar diam sejenak, memberikan jeda sebelum menjawab pertanyaan Natasha. "Ya!" jawab Edgar dengan nada sedikit meninggi.Namun, meskipun Edgar mengatakan bahwa ia tidak cemburu, Natasha tidak merasa terluka sedikit pun. Ia bisa melihat melalui sikap dan ekspresi Edgar bahwa perasaannya sebenarnya berbeda. Meskipun Edgar berusaha menyangkal, Natasha merasa yakin bahwa di balik ketegasan tersebut, ada perasaan cembur
Perlahan, Edgar menurunkan tangannya dari mulut Julian saat melihat Natasha pergi. Ini adalah kali pertama Natasha bersikap dingin dan mengabaikannya sejak pernikahan mereka."Kenapa kamu membekap mulutku?" protes Julian, merasa tidak mengerti dengan tindakan Edgar.Mendengar protes tersebut, Edgar melirik Julian dengan pandangan tajam. Bagaimana mungkin Julian tidak merasa bersalah setelah mengatakan sesuatu yang menyebabkan Natasha marah?"Kenapa kamu mengatakannya?!" seru Edgar dengan suara yang penuh penekanan.Julian, yang masih bingung, hanya bisa menatap Edgar dengan ekspresi kebingungan. "Mengatakannya apa?" tanyanya, mencoba mencari tahu apa yang Edgar maksud.Edgar menghela napas kasar, mencoba menjelaskan dengan lebih jelas. "Soal bekal makan siang yang kau sebutkan tadi," jelasnya.Namun, rupanya Julian masih belum mengerti. "Memangnya kenapa?" tanyanya lagi, semakin membingungkan Edgar.Tanpa bisa menahan rasa kesalnya, Edgar dengan tiba-tiba menjitak kepala Julian dengan
Sepanjang Natasha melantunkan ayat suci Al-Qur'an, Edgar tetap berdiam diri di tempatnya. Natasha, yang memiliki fobia terhadap kegelapan, merasa ketakutan saat Edgar belum juga menemukannya.Tiba-tiba, Natasha menghentikan lantunannya dan memanggil suaminya dengan suara gemetar. "Edgar.." panggilnya. Natasha pikir Edgar kembali keluar dari kamar tersebut untuk mengambil senter."Hmm," jawab Edgar dengan lembut, memberikan respons untuk menunjukkan bahwa ia mendengar panggilan Natasha.Dalam kegelapan yang masih menyelimuti ruangan, Natasha merasakan kelegaan saat suara suaminya semakin dekat. Sebuah senyuman terukir di wajahnya, menghilangkan sedikit ketakutan yang sebelumnya melanda dirinya. Dia menggerakkan kedua tangannya ke sembarang arah, mencoba meraba keberadaan Edgar di sekitarnya."Kamu di mana?" tanya Natasha, berharap agar Edgar segera menemukan keberadaannya."Di sini," jawab Edgar dengan suara lembut, suaranya seakan menyatu dengan sentuhan tangan Natasha yang menyentuh
Sudah dua jam berlalu, dan Natasha masih terjaga dengan mata yang terus memandang ke arah pintu kamar, menunggu kehadiran Edgar yang belum juga kembali setelah pria itu mencium bibirnya."Kenapa Edgar belum juga kembali, apa jangan-jangan dia pergi ke hotel?" tanya Natasha pada dirinya sendiri, rasa khawatir mulai menyelimuti pikirannya.Natasha merasa gelisah dan tidak bisa diam. Dia berdiri dari posisinya dan melangkah menuju jendela untuk mengecek mobil Edgar yang biasanya terparkir di halaman. Dengan hati-hati, dia melihat ke luar dan melihat mobil Edgar masih terparkir di tempatnya."Sebenarnya ke mana dia pergi?" gumam Natasha. Saat sebuah kemungkinan muncul di benaknya, Natasha kembali bergumam, "Apa jangan-jangan Edgar pergi bersama Julian?" pikirnya, merasa semakin cemas dengan situasi yang tidak jelas.Tak ingin terus menunggu dalam kegelisahan, Natasha memutuskan untuk tidur. Namun, saat ia hendak memejamkan matanya, Natasha merasa haus yang mengganggu. Dengan langkah ringa
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Edgar, terkejut melihat Natasha tengah mencium bau napasnya sendiri.Natasha buru-buru menatap ke arah Edgar dengan perasaan kikuk. Dia merasa malu dengan tindakannya yang terlihat aneh. Tanpa ragu, Natasha memutuskan untuk mengejar langkah Edgar yang berjalan menjauh.Sepanjang langkah mereka, Natasha terus menatap Edgar, seperti ada pertanyaan yang ingin dia ajukan. Namun, setelah berpikir sejenak, Natasha memutuskan untuk mengurungkan niatnya untuk bertanya. Dia tidak ingin membuat Edgar merasa tidak nyaman dengan pertanyaannya."Katakan," titah Edgar, seolah merasakan ketidakpastian di hati Natasha."Apa kamu marah padaku?" tanya Natasha dengan perasaan ragu.Tatapan Edgar terlihat penuh pertimbangan sejenak sebelum dia menjawab dengan tegas, "Tidak."Natasha mengangguk mengerti, merasa bahwa kata "tidak" dari Edgar sudah cukup bagi dirinya sebagai jawaban.Saat langkah mereka memasuki kamar, Edgar tiba-tiba berkata, "Maaf," dengan nada yang tiba-tib
Edgar terus menatap gerbang kediamannya dari dalam kamarnya, ia berjalan mondar-mandir seraya melihat arloji yang melingkar di tangannya yang sudah menunjukkan waktu sore. Hatinya berdebar kencang, rasa cemas yang tak terbendung menghujam dadanya, saat Natasha belum juga kembali sejak ia pergi pagi tadi.Tak henti-henti Edgar menghubungi ajudannya melalui ponsel, menanyakan keberadaan Natasha yang masih belum ditemukan. "Apa kalian sudah menemukan keberadaan istriku?" tanya Edgar tidak sabar."Belum, Tuan. Padahal kami sudah mencari ke setiap tempat yang biasa Non Natasha kunjungi, namun kami belum berhasil menemukannya," jawab salah satu ajudan Edgar dari seberang sana."Bagaimana dengan rumah orang tuanya, apa kalian sudah mencarinya ke sana?" tanya Edgar kembali."Sudah, Tuan. Tetapi Non Natasha sepertinya tidak ada di rumah orang tuanya.""Kabari aku secepatnya jika kalian sudah menemukan dia," pungkas Edgar sebelum memutuskan panggilannya secara sepihak.Setelah panggilan tersebu
Edgar dan Natasha baru saja mengantar anak-anak kembali ke panti asuhan. Cuaca yang sejak tadi sudah mendung kini tampak akan segera turun hujan. Mereka berdua segera menaiki mobil dan melajukan kendaraan menuju kediaman Edgar.Dalam perjalanan pulang, Natasha menatap keluar jendela dan menghela napas. "Tiba-tiba aku merindukan orang tuaku. Apakah kamu keberatan jika aku menginap di rumah mereka malam ini?"Edgar mengernyit sejenak, namun kemudian mengangguk. "Tentu saja tidak. Kalau begitu, aku akan mengantarmu ke sana sekarang juga."Natasha menatap ke arah suaminya dan bertanya, "Bagaimana denganmu? Apa kamu ingin ikut menginap juga?"Edgar diam sejenak, memberi jeda sebelum menjawab pertanyaan Natasha. "Tidak," jawab Edgar dengan suara lirih.Edgar merasa malu sendiri saat membayangkan menginap di rumah orang tua istrinya, mengingat hubungan mereka yang hanya sebatas kontrak. Natasha sedikit kecewa mendengar jawaban Edgar. Ia bisa merasakan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh sua
"Apa kamu yakin tidak beli saja makan malamnya? Kita bisa ke restoran terdekat jika kamu mau," ucap Edgar dengan nada lembut, sementara pandangannya melayang ke arah jendela, memperhatikan awan gelap yang menutupi langit.Namun, Natasha menolak tawaran Edgar dengan ramah. Dengan senyuman dari balik cadarnya, dia menggelengkan kepala dan menjawab, "Tidak perlu, Mas. Lagipula sebentar lagi akan turun hujan. Bukankah mie instan lebih cocok disantap di cuaca mendung seperti ini?" "Tunggu," ucap Edgar tiba-tiba. Dia memutar kepalanya, mengarahkan pandangannya ke arah pintu dapur yang hanya ditutupi oleh selembar hordeng. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya kepada telinga Natasha dengan lembut, lalu berbisik dengan suara yang hampir tak terdengar, "Sejak kapan kamu memanggilku seperti itu?" Pertanyaan itu terlontar dari bibirnya dengan hati-hati, agar Adam dan Asiyah tidak mendengar percakapan mereka.Natasha membuka cadarnya perlahan, menunjukkan senyum manisnya yang selalu mampu mencuri h
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri