Natasha merasakan sentuhan hangat di tangannya saat ia terbangun dari tidurnya yang lelap. Perlahan-lahan, ia membuka matanya yang masih terasa berat. Namun, ketika ia hendak menggosok matanya, ia merasa ada yang aneh.Tangannya terasa terhalang oleh sesuatu. Perlahan, Natasha melirik ke bawah dan sontak terkejut saat sedang memeluk tangan Edgar. "Apa aku ketiduran?" gumam Natasha pelan, mencoba meraba-raba ingatannya yang kabur. Seingatnya, mereka berdua sedang berada di dapur, memasak mie instan bersama-sama.Namun, saat Natasha mengingat kembali momen di mana ia menyandarkan kepalanya pada punggung Edgar, ia menepuk pelan kepalanya sendiri. "Benar-benar memalukan," gumam Natasha merutuki dirinya sendiri.Natasha memandangi Edgar seraya tersenyum lembut. "Apa dia yang menggendongku ke kamar?" Tiba-tiba tubuh Edgar bergeliat. Natasha, yang masih berada di atas ranjangnya yang nyaman langsung menyapanya."Apa kamu sudah bangun?" tanya Natasha.Pandangan Edgar tertuju pada Natasha ser
Melihat Asiyah kembali ke dapur, Adam, yang berpura-pura tidur dengan cepat langsung membuka matanya begitu ia mendengar langkah istrinya.Sementara itu, Edgar dan Natasha masih duduk dengan ekspresi yang sedikit canggung. Keduanya saling memandang dengan senyuman malu-malu."Aku akan mengambil mie-nya dulu," ucap Natasha sambil bangkit dari kursinya dengan lembut."Hmm," jawab Edgar sambil tersenyum hangat.Natasha melangkah pergi ke dapur, mengikuti jejak Asiyah. Begitu tiba di sana, dia melihat Adam dan Asiyah yang tengah saling berbisik. Namun, begitu mereka menyadari kehadiran Natasha, suasana langsung berubah. Asiyah dan Adam seketika diam, ekspresi canggung mencuat di wajah keduanya."Ibu dan Bapak tidur duluan, ya. Jika kamu dan Edgar mau tidur, jangan lupa kunci pintunya," ucap Asiyah dengan suara yang agak gemetar, mencoba menyembunyikan ketegangan yang terasa di udara.Setelah mengatakan itu, Asiyah menarik tangan Adam dengan tergesa-gesa seraya berkata, "Ayo, Pak," ajakny
Di dalam keheningan malam yang menyelimuti kamar dengan cahaya remang-remang, Edgar dan Natasha berbaring di atas ranjang dengan ukuran yang sangat kecil. Keduanya saling membelakangi dengan punggung yang bersentuhan satu sama lain.Walaupun telah berada di kamar selama satu jam penuh, Edgar dan Natasha masih terjaga. Mata mereka terbuka, menatap ke kosongnya ruangan, namun pikiran mereka justru dipenuhi oleh banyak hal. Mungkin ini adalah momen mereka untuk benar-benar berbicara tentang hubungan keduanya, ataukah ketegangan yang belum terlunaskan."Apa kamu sudah tidur?" Natasha memecah keheningan dengan pertanyaannya yang tiba-tiba, mengganggu suasana yang hening di antara mereka. "Belum," jawab Edgar singkat.Namun, setelah obrolan singkat itu, kembali terjadi keheningan yang canggung di antara Edgar dan Natasha. Mereka berdua terasa seperti menahan sesuatu yang ingin diungkapkan, namun takut untuk melakukannya.Edgar melirik Natasha sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk berbi
Setelah Adam membayar dan menerima obat dari Pak Jono, ia segera kembali duduk bersama istri, anak dan menantunya."Ini untukmu. Anggap saja ini hadiah dari Bapak," ucap Adam dengan senyum hangat, sembari menjulurkan obat kuat itu kepada Edgar. Edgar menerimanya dengan raut wajah yang mencerminkan ketidaknyamanan. Ia terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Terima kasih, Pak," jawabnya akhirnya, dengan nada pelan dan kaku.Adam mengangguk, mencoba menjaga suasana tetap ringan. "Nanti malam kamu coba obatnya, ya. Jika obatnya tidak manjur, Bapak akan komplain pada Pak Jono," katanya, sambil tersenyum lebar. Meskipun bernada bercanda, ada sedikit nada serius dalam suaranya.Asiyah, yang mengerti betul akan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh anak dan menantunya, segera berusaha untuk mengakhiri percakapan tersebut. "Pak, sudahlah, jangan dibahas," pintanya dengan lembut, berharap suaminya akan memahami pesannya.Adam, yang tidak terlalu peka dengan ekspresi Asiyah, kemb
Natasha sedikit terkejut saat mendengar keputusan Edgar. Ada perasaan senang yang meluap dalam hatinya, hingga ia tak sanggup berkata-kata. Matanya berbinar dengan harapan dan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan.Edgar menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Maukah kamu menjadi istriku yang sesungguhnya?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh ketegasan, menatap dalam-dalam ke mata Natasha.Natasha mengangguk tegas dengan mata yang berkaca-kaca. Air mata kebahagiaan mulai mengalir di pipinya. "Iya, Mas. Aku mau," jawabnya dengan suara bergetar karena haru.Edgar tersenyum lembut, seraya mengusap wajah Natasha yang dilapisi oleh cadar. Ia merasakan kehangatan dan ketulusan yang terpancar dari istrinya. "Maaf telah membuatmu menderita," ucap Edgar, ada perasaan bersalah di hatinya saat mengingat perlakuan kasarnya pada Natasha di masa lalu.Tepat setelah Edgar mengatakan itu, tiba-tiba ponselnya bergetar. Saat ia melihat nama Julian di layar, ia kembali meletakkan p
Sepanjang langkah Edgar di dalam ruangan tersebut, pandangannya tak lepas dari ponsel di tangannya. Ia begitu terfokus pada layar ponselnya hingga tidak menyadari keberadaan Natasha di sana."Silahkan duduk, Tuan," ucap wanita yang mengenakan blazer dongker dengan ramah. Ia mengarahkan tangannya pada salah satu kursi khusus untuk Edgar.Edgar mengangguk samar, tanpa menggeser pandangannya dari layar ponselnya, ia duduk di kursi tersebut. Suasana di ruangan menjadi sedikit tegang dengan kehadiran Edgar, meskipun sebagian besar orang berusaha tetap profesional.Julian, yang menyadari keberadaan Natasha sejak tadi, mendekatkan wajahnya pada telinga Edgar untuk memberitahu jika Natasha ada di ruangan itu. "Lihatlah, siapa yang ada di depanmu," bisik Julian dengan suara rendah, hanya didengar oleh dirinya dan Edgar saja."Aku tidak peduli," jawab Edgar, dengan mata yang masih terus menatap layar ponselnya dengan raut wajah kesal. Wajahnya menunjukkan frustrasi yang jelas, membuat Julian se
"Ssst..." bisik Edgar seraya menutup mulut Natasha dengan cepat saat salah satu karyawannya melintas di depan ruangan tersebut. Mata Natasha yang penuh dengan rasa penasaran memandang Edgar, mencoba membaca ekspresi di wajahnya yang tegang.Setelah melepaskan tangannya dengan hati-hati, Edgar menatap lembut istrinya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku jika ada wawancara di perusahaanku?" tanya Edgar tanpa basa-basi, nada suaranya mencerminkan kebingungan dan sedikit kekecewaan.Natasha terkejut. Matanya melirik sekeliling ruangan dengan ekspresi tidak percaya. "Ini... ini perusahaan Mas Edgar?" gumamnya dengan suara pelan, mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat tidak hanya ilusi belaka.Edgar mengangguk mantap, wajahnya tetap serius. "Ya, ini perusahaanku," jawabnya singkat."Masyaallah.." bisik Natasha, suaranya hampir tercekat oleh rasa kagum yang mendalam. Dia memandang sekeliling dengan mata membelalak, mencoba menyerap setiap detail dari ruangan yang begitu megah di depannya.T
"Bagaimana?" tanya Edgar, seolah tidak ada ruang untuk penolakan."Haruskah kita membahas hal itu di sini?" jawab Natasha tersipu malu, wajahnya memerah dan matanya melirik ke sekeliling ruangan yang kosong namun terasa penuh dengan perasaan gugupnya.Dengan gerakan cepat, Edgar menarik pinggang ramping Natasha dan mendekatkannya ke arahnya. "Apa kamu tidak mau?" tanya Edgar dengan nada menggoda seraya mendekatkan wajahnya pada wajah Natasha, hingga ia bisa merasakan hembusan napasnya."Mau!" jawab Natasha cepat, suara lirihnya keluar sebelum ia sempat berpikir. Namun, saat ia menyadari ucapannya, Natasha mendadak salah tingkah. "T-Tidak, m-maksudku–" seketika ucapan Natasha terhenti, saat Edgar tiba-tiba menurunkan cadarnya dan menciumnya.Cup!Sentuhan bibir Edgar di bibirnya membuat Natasha terdiam, rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya. Awalnya, ia ingin menolak, tapi ada sesuatu dalam ciuman itu yang membuatnya menyerah, seolah ada magnet kuat yang menariknya ke dalam pesona E
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri