Edgar dan Natasha berjalan beriringan menuju mansion mewah milik Abraham, seperti pasangan yang harmonis. Saat mereka tiba, Abraham yang sudah menunggu terkejut melihat putranya datang bersama seorang wanita. Rasa penasaran Abraham pun terbangun ketika ia melihat bagaimana Edgar memperlakukan Natasha."Maaf, kami sedikit terlambat," ucap Edgar dengan sopan. Abraham menganggukkan kepalanya bingung. "Duduklah," titahnya pada Edgar dan Natasha.Edgar dengan perhatian menyuruh Natasha duduk di sofa, sambil bertanya dengan lembut, "Apa kamu haus, sayang?"Natasha merasakan detak jantungnya berpacu saat mendengar perhatian dan panggilan sayang yang keluar dari mulut Edgar. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya sandiwara, tetapi perhatian Edgar berhasil membuatnya salah tingkah.Dalam keadaan yang canggung, Natasha menggelengkan kepalanya dan menjawab dengan suara gemetar, "T-Tidak."Edgar tersenyum lembut sambil mengusap lembut pucuk kepala Natasha. Kemudian, ia menoleh ke arah Abraham yang se
"Dia istriku," jawab Edgar dengan tegas. Ia memperhatikan wajah Rio yang tampaknya tidak suka mendengar jawabannya. Rio merasa terkejut dengan jawaban Edgar dan mencoba untuk menyembunyikan ekspresi ketidaknyamanannya dengan tersenyum."Apa kehadiran istriku membuatmu tidak nyaman?" sindir Edgar seraya tersenyum sinis. Rio berusaha mempertahankan sikap tenangnya dan menjawab, "Tidak. Hanya saja.. ini sedikit mengejutkan." Rio melangkah mendekati Natasha dan menjulurkan tangannya ke arah wanita bercadar yang berdiri di sisi Edgar. "Kenalkan, aku Rio, Kakak Edgar," ucapnya memperkenalkan diri dengan ramah. Namun, dengan cepat Edgar menarik Natasha dan menyembunyikannya di belakang punggungnya. "Maaf, aku tidak ingin kamu mengotori tangan istriku," sindir Edgar dengan nada yang lebih sinis dari sebelumnya.Sejenak, Rio menatap Edgar dengan tajam. Detik berikutnya, ia memasang senyuman seperti biasanya seraya memundurkan langkahnya dan berdiri di sisi Abraham. Rio mencoba untuk menjag
Tubuh Natasha menegang dengan terkejut saat Edgar tiba-tiba memeluknya dengan erat. Ia merasa sedikit kaget dan mungkin agak kebingungan dengan reaksi yang mendadak ini. Sementara itu, Edgar, yang menyadari tindakannya, segera melepaskan pelukannya dengan wajah terkejut."Ekhem," deham Edgar dengan ekspresi canggung, menyadari betapa tindakannya tadi mungkin terlalu berlebihan. Ia merasa sedikit malu karena reaksi impulsifnya.Natasha, yang peka terhadap ekspresi canggung yang terlihat pada wajah Edgar, memilih untuk tidak membahas maksud dari reaksi suaminya itu. Ia mengerti jika Edgar merasa malu dengan tindakannya yang berlebihan."Bukankah udara di sini sangat sejuk?" tanya Natasha dengan sengaja mengalihkan pembicaraan, mencoba menciptakan suasana yang lebih santai.Edgar menaikkan salah satu alisnya seraya melirik sekeliling. Natasha, tiba-tiba menarik tangan Edgar dengan gerakan cepat dan membawanya mendekat ke arah pembatas besi yang menghadap ke sungai yang luas. Ia menatap
"B-Berciuman?!" pekik Natasha dengan kaget. Kemudian, ia tertawa dengan canggung, mencoba meredakan ketegangan. "Kamu dapat teori itu dari mana?" tanyanya dengan nada santai, meskipun jantungnya berdetak kencang di dadanya."Julian," jawab Edgar dengan singkat, terlihat tidak ingin meneruskan pembahasan tersebut. Ia memilih untuk menatap ke arah depan, mencoba mengalihkan perhatiannya.Natasha menghela napas panjang, merasa lega saat pembahasan itu tidak berlanjut. Ia kembali fokus menyantap sekotengnya, hingga habis tak tersisa."Alhamdulillah," ucap Natasha.Edgar melirik Natasha, terlihat wanita itu sudah menghabiskan sekotengnya. Ia pun mulai menyalakan mobilnya, siap untuk melanjutkan perjalanan pulang.Sepanjang perjalanan, keduanya saling diam seperti biasanya. Natasha merasa bingung bagaimana cara menghibur Edgar yang tampaknya masih terbebani oleh situasi sebelumnya. Ia hanya bisa menatap suaminya sesekali, tanpa mengatakan apa pun."Apa lagi?" tanya Edgar, mengira jika Natash
Edgar melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan ponsel Natasha yang tergeletak di sisi jalan. Rasa kesal langsung melanda Natasha, yang tidak bisa memahami tindakan Edgar. Dalam kebingungannya, dia bertanya dengan nada penasaran, "Kenapa kamu membuangnya?"Namun, Edgar hanya diam, tidak memberikan jawaban apa pun. Keheningan itu semakin membingungkan Natasha, membuatnya semakin frustrasi dan bertanya-tanya mengapa suaminya memilih untuk tidak berkata apa pun.Dengan emosi yang semakin memuncak, Natasha melanjutkan, "Aku tahu kamu kaya dan memiliki segalanya. Tapi, itu bukan berarti kamu bisa bersikap seenaknya terhadap orang lain. Terlebih lagi, aku adalah istrimu." Tatapannya yang serius menatap Edgar dengan tajam, mencerminkan kekecewaannya.Natasha menatap lurus ke depan, ekspresinya penuh dengan keheningan dan ketegasan. "Bisakah kamu bersikap sedikit baik padaku, setidaknya sampai kontrak pernikahan ini berakhir?" Permintaannya terdengar tegas, menunjukkan bahwa di
"Bisakah kamu mengetuk pintu dulu sebelum masuk!" seru Edgar dengan nada kesal.Sambil menutupi matanya dengan tangannya sendiri, Natasha menjawab dengan suara terbata-bata, "M-Maaf.." Dia merasa malu dan menyesal atas kesalahannya.Tanpa berkata apa pun, Edgar melangkah pergi ke kamar mandi tanpa menoleh lagi. Natasha perlahan-lahan menurunkan tangannya, saat suara langkah Edgar semakin menjauh.Ia menoleh ke belakang dengan hati-hati, memastikan bahwa Edgar benar-benar telah pergi. Melihat kamar sudah kosong, Natasha merasa lega dan segera menyandarkan tubuhnya pada dinding. Dia mengambil napas dalam, mencoba untuk tenang setelah momen yang memalukan tadi.Tanpa disadari, kaki Natasha sedikit gemetar. Bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya ia melihat pria hanya mengenakan handuk di depan matanya."Apa sebaiknya aku tidur di kamar bawah saja, ya?" Natasha bertanya pada dirinya sendiri, mencoba mencari solusi untuk mengatasi ketidaknyamanan yang ia rasakan.Tiba-tiba, suara Edgar te
Setelah Natasha selesai mandi dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk, dia meraih pakaian gantinya. Namun, saat hendak memakai pakaian tersebut, dia terkejut saat melihat sebuah dress dengan ukuran sepanjang lutut di tangannya."Kenapa aku mengambil yang ini?" gerutu Natasha pada dirinya sendiri. Dia mengira jika semua pakaian yang disediakan oleh Edgar berukuran panjang, jadi dia hanya mengambilnya tanpa melihat lebih dulu.Natasha diam sejenak sambil memandangi dress berwarna merah muda tersebut. Dia menyadari bahwa tidak mungkin memakai dress itu di depan Edgar. Namun, jika dia tidak memakainya, dia juga tidak bisa keluar tanpa mengenakan pakaian apa pun."Dia benar-benar sudah tidur, kan?" tanya Natasha pada dirinya sendiri. Ia pun membuka sedikit pintu kamar mandi untuk melihat keadaan di kamar Edgar.Natasha menutup kembali pintu kamar mandi, dan bernapas lega saat lampu kamar Edgar masih padam seperti sebelumnya. Ia berpikir jika Edgar memang benar-benar sudah tidur, terbukti d
Di tengah keheningan ruangan yang terasa tegang, Edgar memandang serius ke arah Natasha. "Kamu pernah mengatakan, jika akan memperlihatkan wajahmu hanya pada suamimu saja, kan?" Tanya Edgar, suaranya terdengar tegas, diikuti anggukan kepala dari Natasha."Maka, anggaplah aku suamimu sendiri," pinta Edgar, meskipun ekspresi wajahnya terlihat datar, namun suaranya penuh dengan ketegasan yang sulit diabaikan.Natasha terdiam, matanya mencari jawaban yang tepat. Ia merasa terjebak dalam situasi yang rumit, tidak yakin apakah ia harus menuruti permintaan Edgar atau menolaknya dengan halus."Tapi aku hanya istri kontrakmu," ucap Natasha dengan suara lembut.Edgar, yang tidak ingin mendengar penolakan dari Natasha, segera berkata, "Ini perintah," ucapnya singkat, suaranya penuh dengan otoritas."Jika aku menolaknya?" Tanya Natasha dengan nada ragu, mencoba mencari pemahaman dari sudut pandang Edgar."Bukankah sebagai istri kamu harus menuruti perintah suami?" ujar Edgar dengan tegas, membuat
Edgar menepikan mobilnya di pinggir jalan dengan perasaan putus asa setelah berbicara dengan Barra. Hatinya terasa kosong, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Ia meremas kemudi mobil dengan erat, berusaha meredam emosi yang terus bergemuruh di dalam dirinya. "Apakah Natasha benar-benar membenciku?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan mobil. Ia tidak bisa memahami mengapa semuanya berubah begitu cepat. Edgar menutup matanya sejenak, berharap menemukan kedamaian di tengah kekacauan pikirannya. Tapi, justru yang muncul adalah bayangan Natasha—wajahnya yang selalu tenang dan tatapannya yang dalam.Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah kesunyian. Edgar membuka matanya dan meraih ponselnya dengan lesu, mengira itu hanya pesan dari Julian yang mungkin ingin membahas urusan pekerjaan. Namun, saat melihat nama pengirim di layar, tubuh Edgar menegang. Nama yang tertera di sana bukan Julian, melainkan Barra.Dengan cepat, Edgar membuka pes
Keesokan harinya, Edgar duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Penampilannya jauh dari rapi seperti biasanya– dasi yang seharusnya terikat sempurna kini menggantung longgar di lehernya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan memperlihatkan betapa berantakannya kondisi Edgar. Ia menatap kosong ke arah jendela ruang kerjanya, tapi yang dilihatnya bukanlah pemandangan di luar sana, melainkan kekacauan yang ada di dalam pikirannya sendiri. "Natasha.. Di mana kamu sekarang?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keheningan ruangan.Edgar menggenggam kepalanya, jari-jarinya mencengkeram rambutnya yang sudah kusut. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. "Kenapa semalam kamu tidak pulang?" Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya. Edgar merasa seolah-olah ia telah kehilangan kendali atas hidupnya. "Aku harus menemukannya, harus... tapi di mana harus memulai? Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?" Keraguan itu terus menghantuinya, membuatnya semakin tenggelam
Sesaat setelah mobil Edgar berhenti dengan keras di halaman mansionnya, ia keluar dengan tergesa-gesa. Hatinya berdebar kencang, seakan ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera menemukan seseorang. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah."Natasha!"Nama itu terucap berkali-kali, berputar dalam pikirannya seperti mantra yang terus bergema. Dengan langkah cepat, Edgar menyusuri lorong-lorong yang panjang dan sepi, berharap menemukan istrinya di salah satu sudut rumah yang luas ini. Ketika ia tiba di ruang tamu, Bi Murni, pembantu setianya, muncul dari dapur, mendengar kegaduhan yang tak biasa dari majikannya."Tuan Edgar, ada apa?" tanya Bi Murni, sedikit khawatir melihat raut wajah pria itu yang tampak cemas.“Natasha di mana?” Edgar langsung memotong tanpa basa-basi, pandangannya tajam mencari jawaban dari wajah tua yang telah mengabdi di rumah itu selama bertahun-tahun.Bi Murni mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba.“Sejak
"Tidak. Aku tidak ingin meneruskan pernikahan kontrak ini."Barra dan Julian saling pandang, terkejut mendengar jawaban yang tak mereka sangka-sangka. Baru beberapa menit yang lalu Edgar mengatakan jika ia bahagia dengan pernikahannya, namun, kini dia dengan memutuskan untuk mengakhirinya. Barra dan Julian benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Edgar.Edgar melanjutkan, "Aku ingin menjadikan pernikahanku bersama Natasha sebagai pernikahan yang sesungguhnya."Barra hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dengan alis terangkat dan suara yang sarat dengan ironi, dia berkata, "Hampir saja aku memakimu, Edgar. Aku kira kau sudah kehilangan akal."Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Edgar hanya terkekeh pelan, sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Ketenangan itu hanya berlangsung sejenak, sebelum Julian tiba-tiba terpaku, pandangannya terarah pada pintu di sudut ruangan, seolah melihat sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Edgar, yang menangkap perubaha
"Jika kamu memang benar-benar menyukainya, maka nikahilah Dita."Barra terdiam, matanya bergerak gelisah seolah mencari jawaban yang tepat. Dia menyukai Dita, itu jelas. Namun, setiap kali berpikir tentang pernikahan, bayangan masa kecilnya tentang pertengkaran tanpa henti orang tuanya menghantui pikirannya. Trauma itu masih begitu nyata, membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh."Edgar, ini tidak semudah yang kamu pikirkan," Barra akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar goyah. "Aku... aku takut. Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Aku melihat bagaimana orang tuaku berakhir, dan aku tidak ingin mengalami hal yang sama."Edgar mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. "Aku mengerti ketakutanmu, Barra," Edgar menekankan, suaranya lebih lembut tapi tetap tegas. "Tapi kamu harus ingat, jika kamu tidak menikahi Dita, mungkin suatu hari nanti dia akan berubah pikiran dan menerima perjodohan yang diatur orang tuanya dengan pria lain."Barra menelan salivanya, perasaan tidak nyaman mul
Natasha mendadak terdiam, mengalihkan pandangannya sejenak dari perbincangan yang sedang berlangsung. Barra dan Julian, yang sedari tadi saling melirik, bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Natasha. Edgar, yang duduk di sebelah Natasha, menangkap kegelisahan itu. Dengan lembut, ia meraih tangan Natasha dan mengusapnya, mencoba menenangkan istrinya yang terlihat mulai resah. "Sayang..." panggil Edgar dengan suara rendah, penuh perhatian.Natasha tersadar dari lamunannya dan menatap Edgar, lalu beralih pada Barra dan Julian yang masih memandanginya dengan penuh tanya. Senyum tipis terukir di balik cadarnya, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Aku akan cari minum untuk kalian dulu," ucapnya tiba-tiba.Namun, sebelum Natasha sempat bangkit dari tempat duduknya, tangan Edgar sudah menahan lengannya. "Duduklah," katanya. "Biar aku minta mereka yang membelinya."Edgar melirik ke arah beberapa bodyguard yang tengah berjaga di sudut ruangan. Sinyal singkat dari Edg
"Terima kasih atas traktirannya," ucap Natasha dengan ceria, sambil menjilat es krim cone cokelat yang manis dengan perpaduan rasa vanila yang lembut. Ia menikmati setiap gigitan dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya, seolah-olah es krim itu adalah hadiah paling istimewa yang pernah ia terima. "Aku hanya memberimu sebuah es krim, bukan sebongkah berlian. Kenapa kau terlihat begitu senang?" tanya Edgar, suaranya terdengar santai tapi penuh perhatian.Natasha berhenti sejenak dari menikmati es krimnya, lalu menoleh menatap Edgar. "Jelas aku senang. Ini pemberian dari suamiku."Mendengar jawaban Natasha, Edgar tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. "Kamu tidak menawariku?" tanyanya, dengan nada sedikit menggoda, sambil menatap es krim di tangan Natasha dengan senyuman iseng."Kalau kamu mau, cobalah," ucap Natasha lembut. Ia menyodorkan es krim di tangannya ke arah Edgar.Namun, Edgar tidak langsung menerima tawaran itu. Alih-alih mengambil es krim dari tangan Natasha
“Menjauhlah dari Ayahku!” seru Edgar dengan nada tegas, suaranya memecah keheningan yang memenuhi ruangan. Sosoknya tiba-tiba muncul di ambang pintu, bayangannya membingkai tubuhnya yang tegap namun tampak tegang. Matanya tajam menatap Rio, seakan tak ingin pria itu mendekati figur yang terbaring di atas ranjang. Natasha yang sejak tadi berdiri di samping Rio, langsung menoleh begitu mendengar seruan itu. Dalam hatinya, ada kecemasan yang mulai merayap. Sementara itu, Rio, yang duduk di kursi roda, hanya menghela napas panjang. Pandangannya turun, seolah sudah bisa menebak arah pembicaraan yang akan terjadi. “Sudah kuduga akan seperti ini,” gumamnya, nada suaranya rendah namun cukup terdengar oleh Natasha.Rio hendak mendorong roda kursinya maju, ingin menghadapi Edgar yang kini menguasai ruangan dengan kehadirannya. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, Natasha segera menahan kursi roda agar tetap di tempat. “Tetaplah di sini. Biar aku yang bicara padanya."Edgar, yang menyaksikan
"Astaga!" pekik Dita, terkejut saat melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tidak menyangka waktu telah berlalu begitu cepat. Segera, ia meneguk sisa minumannya hingga tandas, meninggalkan rasa manis yang sedikit asam di lidahnya. Barra, yang duduk santai di depannya dengan cangkir kopi di tangan, mengangkat alis. "Kenapa?" tanyanya, suara tenangnya seolah tak terganggu oleh kegaduhan Dita yang tiba-tiba."Aku harus ke restoran sekarang," jawab Dita tergesa. Tangannya gemetar saat ia meraih tas di sampingnya, mencari dompet dengan jari-jarinya yang tak sabar. Ketika dompet itu akhirnya ditemukan, ia segera membuka bagian dalamnya, mencari beberapa lembar uang. Tanpa berpikir panjang, ia menarik uang itu dan menyerahkannya pada Barra. "Ini untuk kopiku," katanya, setengah menunduk agar uang itu lebih cepat berpindah tangan.Barra ikut berdiri saat Dita bersiap melangkah keluar. Dengan nada yang tenang namun terdengar sedikit bercanda, ia berkata, "Kau melukai harga diriku sebagai pri