"Kita cerai!"
Shelin yang baru saja masuk ke dalam kamar sempit mereka terkejut ketika mendengar sang suami yang baru saja pulang dari usahanya untuk mencari pekerjaan bicara demikian.Wanita cantik itu melangkah menghampiri sang suami, berharap itu semua karena ia salah mendengar, namun Pram, sang suami justru memintanya untuk tidak maju seolah Shelin sesuatu yang kotor yang wajib dijauhi olehnya."Jangan menyentuh dan mendekatiku! Cukup sudah. Sekarang aku tahu, kenapa selama kita menikah, hidup kita selalu tidak beruntung! Kamu penyebabnya! Kamu pembawa sial untuk aku, Shelin! Kita tidak seharusnya bersatu, karena itu akan membuat kehidupanku hancur dan ternyata benar, kau lihat sekarang? Aku sudah tidak punya apa-apa lagi! Aku miskin! Banyak hutang, dan selalu ditagih oleh rentenir karena hutang!"Shelin tergugu di tempatnya. Sebuah kalimat yang tidak pernah ia kira bisa didengar dari seorang pria yang ia cintai dan mencintainya kini ia dengar dan sungguh Shelin terluka menerima itu semua.Terluka dibandingkan dengan kalimat, aku tidak cinta denganmu lagi. Kenapa harus pembawa sial?"Aku tahu, selama kita menikah, kita banyak menerima ujian, tapi tahukah kamu, ujian itu bukan cuma sebuah kesenangan, Pram, tapi juga penderitaan.""Sudah berapa kali kamu bicara begitu? Sudah berulang kali aku mencoba menerimanya, tapi ternyata sekian hari, bukannya membaik justru keadaan kita semakin terpuruk, aku lelah, Shelin! Aku tidak biasa hidup miskin seperti sekarang! Itu sebabnya aku berusaha untuk berbisnis, bisnisku maju pesat sebelum menikahimu! Sekarang, lihat! Kita saja tinggal di rumah seperti korek api begini!!"Nada suara Pram meninggi hingga membuat Sheila berlari ke arah kamar mereka dan bocah berusia 3 tahun itu tengadah menatap wajah kedua orang tuanya yang bertengkar seolah ingin mengatakan, jangan bertengkar papa dan mama."Tahan emosi kamu, Pa! Ada anak kecil, mentalnya akan terluka kalau melihat kita bertengkar."Meskipun terluka dengan kalimat yang dilontarkan oleh Pram tentang dirinya yang pembawa sial, Shelin masih memikirkan Sheila sang anak yang tidak mengerti mengapa mereka bertengkar.Berbeda dengan Pram, pria itu sudah terlanjur lelah dengan kondisi yang membelitnya hingga ia tidak menyesali apa yang sudah ia katakan di hadapan sang istri.Bahkan, kehadiran putri kecilnya tidak juga membuat Pram tersentuh dan merubah pikirannya yang ingin menceraikan sang istri.Pram, tetap pada pendiriannya. Hari itu, adalah hari terakhirnya berada di rumah sempit mereka.Dengan perasaan yang sangat kesal luar biasa, pria itu benar-benar menceraikan Shelin sang isteri tanpa mempedulikan permintaan sang istri untuk berpikir ulang tentang keputusannya, dan setelah itu Pram pergi tanpa mau peduli dengan Shelin yang meminta dirinya untuk jangan pergi.Kepergian Pram diiringi teriakan Sheila yang bertanya ia akan pergi ke mana. Namun, Pram yang sudah diselimuti perasaan kesal, lelah dan marah, tidak peduli dengan teriakan kecil itu hingga tetap keluar dari kontrakan sempit mereka tanpa banyak berpikir lagi.Shelin berusaha untuk menahan tangis dan perasaan sesaknya.Ada Sheila yang membuat ia tidak bisa melakukan itu untuk melampiaskan segalanya.Sheila masih terlalu kecil untuk memahami semuanya. Hingga Shelin tidak mau anak semata wayangnya tahu, apa yang sebenarnya sudah terjadi pada ayah dan juga ibunya.Ia berjongkok ketika sang anak memeluk kakinya seolah ingin tahu ke mana ayahnya pergi?"Sheila jangan menangis, ya? Papa pergi cari kerja, papa Sheila cuma sedang lelah makanya marah-marah.""Cela tatut...."Bocah itu bicara dengan gaya bicaranya yang belum terlalu lancar berbicara dengan mengucapkan kata bahwa dirinya takut."Tidak usah takut, ada Mama, Mama tidak akan meninggalkan Sheila, Sheila harus percaya sama Mama, papa cuma pergi sebentar, nanti kembali lagi kalau sudah selesai kerja."Shelin masih berusaha untuk membujuk sang anak, agar sang anak tidak tahu apa yang sedang terjadi antara dirinya dengan sang suami."Tapi papa balu puyang, tenapa pelgi lagi?" tanya bocah itu yang mengatakan, 'tapi papa baru pulang, kenapa pergi lagi."Itu karena pekerjaan papa masih banyak, jadi papa pergi lagi.""Dadi, tapan papa puyang, Ma?" tanya sang anak, yang mengatakan, jadi kapan papa pulang, Ma? Dan, Shelin lagi-lagi harus mengatakan sejumlah kebohongan untuk menutupi semuanya agar sang anak tidak membenci ayahnya sendiri, meskipun kenyataannya, Pram justru tidak peduli lagi dengan sang anak karena terlalu marah.Akhirnya, Sheila bisa tenang sekarang, tidak banyak bertanya lagi tentang ayahnya dan ketika Shelin meminta sang anak untuk bermain saja seperti sebelum ia dan Pram bertengkar, tiba-tiba saja ibu pemilik kontrakan sudah berdiri di hadapannya entah sejak kapan."Ah, Ibu. Sejak kapan di situ? Maaf, saya tadi tidak melihat."Shelin buru-buru bicara sambil mempersilahkan sang pemilik kontrakan untuk masuk.Namun, wanita itu tidak bergeming dari tempatnya, justru geleng-geleng kepala, seolah ada hal yang membuat dirinya tidak paham dengan apa yang baru saja dilihatnya tadi."Di sini saja. Saya sudah sejak tadi berdiri di sini saat suami kamu itu keluar, apa saya bilang, menikah terlalu cepat itu tidak akan membuat mental seorang pasangan itu siap, ada masalah sedikit cerai, anak masih kecil, lalu bagaimana dengan uang kontrakan yang belum dibayar? Apakah suami kamu bicara soal keuangan sama kamu?"Mendadak, Shelin menjadi kelu untuk bicara ketika mendengar apa yang diucapkan oleh wanita pemilik di mana ia menyewa kontrakan tersebut.Memang, mereka belum membayar uang kontrakan, sudah menunggak beberapa bulan lantaran suaminya tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Shelin bukannya tidak mau membantu mencari uang, meskipun tidak bisa bekerja di luar, karena ada anak kecil, namun wanita itu berusaha untuk menjual gorengan di depan rumah namun itu tidak bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan, karena berdagang juga tidak selalu laku."Maaf, Bu. Bisa berikan sedikit waktu lagi untuk itu? Saya akan mencoba untuk mencari uang agar bisa membayar, tapi Ibu berikan saya waktu dulu, ya?""Waktu? Kemarin juga kamu bicara demikian, suami kamu pergi tiap hari apakah tidak memberimu uang? Setidaknya meskipun bercerai, dia masih harus menafkahi anak kamu!""Dia, benar-benar tidak memiliki uang, Bu, dan saya berharap kami tidak bercerai, saya berharap dia tadi hanya emosi, nanti dia pasti akan kembali.""Saya tidak mau tahu tentang drama rumah tangga kalian, kamu gunakan anak kamu itu untuk minta uang sama suami kamu itu, pintar sedikit jadi wanita, jangan tahunya pasrah saja! Kalau begini terus, bagaimana bisa kamu membayar lunas semua tunggakan?"Suara wanita pemilik kontrakan itu memicu tetangga Shelin ikut menguping pembicaraan mereka. Shelin benar-benar merasa malu, tapi apa daya, resiko.Sudah beberapa bulan ia memang tidak membayar sewa, mau memberikan alasan apapun, tetap saja pemilik kontrakan juga tidak bisa terus bersabar karena penghasilannya hanya bergantung pada rumah yang ia sewakan beberapa kamar untuk penyewa yang sudah berkeluarga tersebut.Yang lain lancar dalam pembayaran, sedangkan Shelin dan Pram semenjak pertama kali menyewa, sudah kerap telat membayar karena tidak ada uang.Uang yang ada hanya cukup untuk makan sehari-hari, itu juga sangat seadanya, berbanding terbalik dengan dahulu awal ia dan Pram menikah, sangat berkecukupan dengan tinggal di rumah yang besar.Setelah setahun menikah, kehidupan mewah mereka merosot sampai akhirnya mereka benar-benar tidak punya apa-apa dan terpaksa tinggal di rumah kontrakan satu kamar tidur di lingkungan yang tidak bisa dikata lingkungan yang sehat karena sedikit kumuh.Apakah benar, ia wanita pembawa sial bagi Pram?Akhirnya, Pram dan Shelin resmi bercerai. Meskipun tidak mengerti mengapa Pram bersikeras untuk menceraikan dirinya, selain label pembawa sial yang diucapkannya itu saja, Shelin sebenarnya sudah berusaha untuk mempertahankan pernikahannya.Akan tetapi, Pram tetap pada pendiriannya untuk bercerai, dan itu tidak bisa dicegah lagi oleh Shelin meskipun atas dasar kasihan dengan anak.Pram tidak memberikan apa-apa pada Shelin dan Sheila pasca bercerai. Pria itu bahkan tidak peduli dengan tunggakan kontrakan yang sebenarnya harus dibayar olehnya beberapa bulan ini. Pram hilang seperti ditelan bumi meninggalkan perasaan sesak bagi Shelin yang tidak tahu harus mengadukan nasib ke mana, karena ia memang tidak punya orang tua lagi. Shelin juga tidak punya keluarga semenjak orang tuanya meninggal. Keluarga dari pihak ayah atau ibunya sudah lama pergi merantau dan tidak pernah peduli dengan keadaan keluarga mereka yang masih menetap di Samarinda.Hidup Shelin seperti berbanding terbalik saat a
Suara sang mantan ibu mertua terdengar di seberang sana, dan membuat Shelin terdiam untuk sejenak. Lagi-lagi kata pembawa sial. Setelah Pram yang mengucapkan kalimat itu padanya sebelum bercerai kini kata-kata itu juga diucapkan oleh ibunya Pram, dan rasanya hatinya seperti ditusuk ribuan jarum hingga ia tidak bisa berkata-kata lagi untuk merespon kalimat menohok itu. {Alhamdulillah, kalau Pram sudah menemukan pekerjaan, aku turut senang mendengarnya}Akhirnya, kalimat itu yang diucapkan oleh Shelin untuk menanggapi apa yang diucapkan oleh sang mantan ibu mertua. Tetapi, ibunya Pram justru kurang suka mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Shelin tadi padanya, padahal Shelin mengucapkan itu dengan tulus, tidak ada maksud lain hingga akhirnya perempuan itu melancarkan aksi protesnya pada Shelin. {Kamu jangan ikut senang karena berpikir bisa meminta bagian dari hasil kerja Pram, ya! Anggap saja, kamu harus bertanggung jawab sudah membuat anakku jadi sengsara selama menikah dengan k
"Ya, ampuuuuun! Lihat anak kamu! Dia memecahkan barang mahal di sini! Gimana sih? Baru masuk aja sudah bawa sial toko ini?!"Suara pemilik toko terdengar melengking mengucapkan kata-kata itu pada Shelin dengan mata melotot. Rasa terkejut Shelin bercampur perasaan sesak karena ada kata 'sial' yang disematkan pemilik toko tersebut padanya. Sementara itu, Sheila yang ketakutan mendengar teriakan sang pemilik toko memeluk kaki ibunya. Shelin tahu anaknya tidak sengaja, tapi bagaimanapun situasi yang sedang dialami sang anak, tidak akan mungkin bisa membuat pemilik toko itu bersimpati pada Sheila."Maafkan anak saya, Bu. Saya janji akan mengganti, potong saja gaji saya, untuk membayar vas yang pecah itu, maafkan anak saya."Shelin berusaha untuk mencairkan kemarahan sang pemilik toko dengan cara meminta maaf untuk anaknya pada pemilik toko tersebut.Namun saat mendengar perkataan Shelin, wanita itu bukannya mereda rasa marahnya, tapi justru sebaliknya."Gaji? Gaji, kamu bilang? Astaga! Ka
"Kami bercerai bukan karena ada yang selingkuh," kata Shelin berusaha untuk tidak terpengaruh dengan berita yang dibawa oleh Ratna."Ohya? Berarti, Pram itu tidak se-cinta itu sama kamu, sampai dia sudah move on dari kamu!""Setiap orang berhak memulai kehidupan baru setelah gagal dengan pernikahannya, termasuk dia. Aku ikhlas kalau memang dia sudah punya pengganti.""Terus kamu? Situasi kamu yang begini gimana bisa bersaing dengan mantan suami kamu, masa kamu kalah belum dapat pengganti?""Hubungan itu bukan perkara menang atau kalah, Ratna, lagipula, aku belum kepikiran untuk mengenal pria lain, sekarang hidupku hanya untuk fokus membesarkan Sheila, itu aja.""Apa sekarang, kamu cuma menghibur diri kamu sendiri? Sebenarnya, kamu itu masih cinta sama mantan suami kamu, tapi mantan suami kamu tidak cinta lagi sama kamu, jadi kamu memilih sendiri?""Kamu pernah bercerai?""Enggaklah! Enak aja!" jawab Ratna dengan nada suara yang meninggi."Semoga pernikahan kamu langgeng, jangan sampai
"Apa yang kau lakukan? Hentikan! Kalau ada yang melihat tidak akan baik!" Dengan cepat, Pram membetulkan kembali pakaian yang dikenakan oleh Julie, membuat tubuh sintal wanita itu tersentak ke belakang karena Pram melakukannya dengan sangat cepat. Bahkan terkesan kasar.Ini membuat perempuan itu mencibir. "Kamu tuh kenapa, sih? Kamu bukan perjaka lagi, lho! Ngapain bersikap seperti pria yang seolah enggak bisa nakal dan genit sedikit? Aku ini kan calon istri kamu, enggak papa kali melakukan sesuatu yang lebih dari bergandengan tangan.""Aku tahu, tapi aku bukan pria yang seperti itu, Julie, kita memang dijodohkan, orang tua kita memang ingin kita menikah, tapi aku masih perlu waktu, aku pernah gagal menikah, tentu saja aku tidak mau melakukan hal yang salah untuk keduakalinya!""Sesuatu yang salah? Apanya yang salah? Aku gadis, kamu duda, salah darimana?""Jangan pura-pura tidak paham!""Kamu itu, ih! Heran aku, kamu kembali ke sini cuma sebentar, nanti masuk lokasi lagi, aku engga
"Pulang nanti dijemput siapa?" tanyanya, dengan senyuman di bibir mengandung arti. Shelin mundur, agar tangan Wira tidak bisa menyentuh dirinya. "Saya pulang sendiri," jawab Shelin tidak mau menentang tatapan mata pria tersebut. Sementara Sheila menarik tangan ibunya agar segera pergi meninggalkan tempat itu karena tidak suka dengan laki-laki yang bicara dengan ibunya. Namun, karena tidak ingin dianggap kurang ajar tidak mau menanggapi pembicaraan, Shelin terpaksa menahan diri untuk merasa tidak suka pada pria di hadapannya. "Sama aku saja, ya? Aku antarin," tawar Wira, sambil mengedipkan sebelah matanya pada Shelin hingga Shelin makin merasa tidak nyaman. "Enggak, makasih, saya-""Pakai aku saja, jangan pake saya, terasa kurang greget gitu, ya?" potong Wira cepat dan Shelin terpaksa mengangguk mendengar permintaan itu. "Terimakasih untuk tawarannya, tapi aku dan anakku pulang sendiri aja, karena rumah kami tidak begitu jauh."Wajah Wira terlihat terkejut mendengar kata rumah ti
Ia langsung memperhatikan potongan wortel hasil dari karyanya. Parasnya terlihat terkejut, benar-benar seperti bukan potongan wortel yang seharusnya dianjurkan. Shelin buru-buru berdiri dan minta maaf dengan penuh perasaan bersalah pada Ibu Ani. "Maafkan saya, Bu. Maaf," ucap Shelin berulang kali. Perempuan itu membungkukkan tubuhnya di hadapan pemilik catering itu agar kesalahannya bisa diampuni. Sementara Ibu Ani? Geleng-geleng kepala mendengar permintaan maaf Shelin. "Apa yang sedang kau pikirkan? Kalau kerja itu yang serius! Jangan bermain-main, jangan tidak fokus, kita masak untuk dimakan manusia, Shelin! Bukan kambing!"Wira melirik ke arah Shelin yang sedang diceramahi oleh pemilik catering tersebut. Ingin mendekat untuk membela, ia khawatir Sheila tidak bisa ia ambil hatinya karena ia belum selesai mengambil hati bocah perempuan tersebut. Sumi yang melihat raut wajahnya Wira terkekeh. "Gara-gara kamu, tuh! Mbak Shelin kena marah!" katanya pada Wira sembari masih sibuk m
Wira kelabakan ketika Shelin bertanya demikian padanya.Sialan, gimana ini? Gue keceplosan! Pake ngatain anaknya bangke pula!Hati Wira bicara, dan ia sesaat bingung merespon apa yang dikatakan Shelin tadi padanya.Sementara itu, Shelin yang sebal dengan kata 'bangke' yang dikatakan Wira pada sang anak, akhirnya memilih untuk pergi sambil menggandeng tangan Sheila.Ia tidak mempedulikan teriakan Wira yang mengatakan bahwa ia tidak bermaksud mengatakan kata itu untuk anak Sheila.Shelin terlanjur sebal, meskipun ia sebenarnya harus lebih sabar karena masih karyawan baru, namun karena Wira mengatai anaknya demikian, Shelin jadi kurang suka dengan pria tersebut sekarang."Sheila, Sheila duduk di sini dulu ya. Jangan ke mana-mana, Mama kerja dulu, ya?" bujuk Shelin sambil menunjuk kursi yang ada di depannya meminta anaknya duduk di sana saja."Tapan puyang, Ma?" Sheila justru bertanya kapan mereka pulang, dan Shelin berjongkok di hadapan sang anak mendengar pertanyaan itu diucapkan oleh
Perasaan Shelin jadi tidak karuan ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Pram. Beberapa kali mantan suaminya itu bicara demikian tentang dirinya yang bukan pembawa sial, Pram selalu mengatakan, bahwa yang membawa sial itu dirinya sendiri."Masalah siapa yang sial, aku tidak mau tahu, karena bagiku, semua yang terjadi itu ada hikmahnya, kejadian buruk sekalipun, rasa trauma karena sudah membuat kehidupan orang lain jadi terpuruk membuat aku berpikir banyak tentang itu, dan yang mempermasalahkan ibu kamu....""Kita bahas ini di depan ibuku? Kamu mau?""Untuk apa?""Aku hanya ingin ibuku tahu aku yang ingin rujuk dengan kamu, bukan kamu, biar beliau tidak menyalahkan kamu."Shelin menghela napas. Ditatapnya Pram saat pria itu bicara demikian, hingga akhirnya perempuan itu setuju dengan apa yang diusulkan Pram, dan mereka melanjutkan perjalanan pulang khawatir Sheila mencari mereka karena sudah pergi terlalu lama.***"Julie?" Sumi terkejut ketika saat ia membuka pintu rumahnya, Julie
Sang ustadz menghela napas panjang mendengar isi pertanyaan Pram. Ia menatap Pram, Shelin dan Galih bergantian."Orang yang memberikan perintah pada seorang dukun untuk melakukan kejahatan, akan menerima balasannya sendiri, Nak. Jadi, lambat laun, Allah akan memberikan balasannya, kau tidak perlu repot untuk membalas.""Tidak perlu diperkarakan?" "Kamu memperkarakan dengan kondisi dia yang seperti itu, hukumannya juga tertunda, kepolisian akan membuat dia sembuh dulu baru proses dijalankan, biasanya hal-hal seperti itu tidak akan bisa sembuh kecuali ada mukjizat dari Allah dan orang itu sendiri bertobat, jika tidak entahlah....""Begitu, ya. Baiklah, terima kasih, Ustadz, kalau begitu kami pamit dulu, terima kasih sekali lagi." Pram, Shelin dan juga Galih akhirnya pamit dari hadapan ustadz tersebut. Mereka berpikir mungkin akan lebih baik ke rumah sakit untuk mengetahui bagaimana keadaan Ratna sebelum kembali ke kost Shelin. Shelin menghubungi Sumi untuk memastikan apakah sang ana
Galih, Pram dan juga Shelin manggut-manggut mendengar penjelasan pria tersebut. Lalu, mereka mempersilahkan orang itu untuk memanggil seorang ustadz terdekat agar bisa memeriksa keadaan pemilik rumah yang dibayar Ratna untuk praktik ilmu tak lazimnya. Beberapa saat kemudian, orang itu sudah kembali bersama ustadz yang dimaksud dan mereka langsung masuk ke rumah dukun yang dibayar Ratna untuk memeriksa apa yang terjadi, akan tetapi, ketika mereka baru saja sampai di ambang pintu, dukun itu berteriak agar mereka tidak masuk.Ustadz itu meminta yang lain untuk tetap di luar, karena pria pemilik rumah itu menatap tajam ke arahnya dengan mata yang merah entah karena apa."Pergilah kamu dari raga orang itu, jangan mengganggu manusia, kau punya dunia sendiri, jangan mengacaukan kehidupan manusia!"Ustadz itu bicara dan Pram, Galih, Shelin serta laki-laki yang memanggil ustadz itu memperhatikan dengan raut wajah yang demikian tegang. "Aku tidak akan pergi! Dia harus bertanggung jawab atas k
Pendapat Galih akhirnya diterima oleh Pram. Shelin meminta maaf pada Sumi karena sudah merepotkan wanita itu untuk membuatnya menjaga Sheila, namun Sumi meyakinkan pada Shelin bahwa ia tidak keberatan sama sekali untuk menjaga anak temannya tersebut. Alhasil, mereka segera berangkat ke tempat di mana Pram mendapatkan informasi tentang dukun yang dimaksud. Mereka berharap, informasi itu benar, karena mereka ingin masalah bisa selesai secepatnya.Setelah menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan lantaran terjebak macet, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang dikatakan rumah di mana Ratna sering terlihat datang di waktu waktu yang tidak biasa. Saat mereka mengetuk pintu rumah tersebut, cukup lama mereka menunggu pintu itu dibuka, sampai akhirnya, seseorang membukakan pintu dan terlihat heran melihat beberapa orang berdiri di depannya seperti itu. "Ada perlu apa kalian ke sini?" tanyanya dengan wajah kurang bersahabat."Ada perlu untuk mengetahui apa yang dilakukan seseorang yan
Sang ibu terenyuh mendengar apa yang diucapkan oleh sang anak angkat, ia tidak bisa berkata-kata, meskipun ada kekhawatiran yang ia simpan di dasar hati jika nanti Prima justru kembali pada keluarga aslinya, namun wanita itu tidak bisa melarang apa yang diinginkan oleh sang anak. Karena baginya, kebahagiaan Prima yang terpenting."Jaga anakku dengan baik, Julie, apapun kesalahan yang pernah kau lakukan, aku harap kau tidak melakukannya kembali terlebih pada putraku, kalau kau menyakitinya, aku orang pertama yang sangat ingin memberikan kamu pelajaran, ingat itu."Begitu pesan ibunya Prima pada Julie sebelum akhirnya perempuan itu keluar dari ruangan untuk mengurus administrasi perawatan Prima.***"Selamat ya, aku ikut senang ternyata kalian itu berjodoh, jangan ditunda untuk menikah, kalian cocok!" Shelin bicara demikian ketika mengetahui Galih dan Sumi akhirnya resmi berpacaran dan sebentar lagi akan menikah setelah meyakini kasus Pram dan juga Shelin yang terbelit masalah berkaita
Karena terkejut dengan apa yang menimpa Prima, Julie berteriak minta tolong. Ibunya Prima yang kebetulan ada di rumah segera ke ruang tamu. Tanpa berpikir panjang, ia berteriak memanggil tukang kebun agar bisa membantunya untuk membawa Prima ke rumah sakit. Julie menawarkan bantuan untuk memakai mobilnya saja. Ibunya Prima mengiyakan, dibantu tukang kebun, mereka segera membawa Prima ke mobil milik Julie dan setelah memasukkan tubuh Prima ke mobil, Julie dan wanita itu segera masuk pula ke dalam mobil. Sesampainya di rumah sakit terdekat, mereka meminta bantuan para petugas medis untuk membawa Prima ke IGD.Wajah ibunya Prima tidak tenang meskipun anak angkatnya itu sudah ditangani oleh dokter yang bertugas. "Apa yang kau lakukan pada anakku?" tanya wanita itu pada Julie. Mereka sedang menunggu dokter yang memeriksa Prima, hingga perempuan itu memutuskan untuk mengintrogasi Julie. "Aku minta maaf, Tante. Aku tidak bermaksud membuat Prima seperti itu, aku hanya ingin meluruskan se
"Benarkah? Masalah apa itu?" Raut wajah Prima semakin terlihat penasaran mendengar apa yang diucapkan oleh perempuan berambut pirang tersebut. "Kamu benar-benar tidak ingat lagi saat masa kuliah kamu dulu?" tanya Julie hati-hati, sekedar untuk memastikan, Prima masih ingat saat ia masih kuliah atau tidak."Tidak ingat."Dia benar-benar amnesia, ingatannya dihapus menggunakan ilmu kah, sampai ia tidak bisa ingat semuanya? Hati Julie bicara demikian. "Dulu, ada seorang wanita yang memperhatikan kamu secara diam-diam...."Julie mulai bercerita. Dan Prima menyimaknya dengan baik."Wanita itu tidak bisa mendekati, karena kamu sangat selektif dengan siapapun yang dekat denganmu, entah karena apa.""Lalu?""Seiring waktu, kamu yang seperti itu makin tenggelam dalam kesendirian, kamu sibuk dengan duniamu sendiri, tidak peduli dengan orang lain, hingga saat semua sibuk berpacaran, kamu justru tidak pernah suka dengan wanita sama sekali.""Kurasa aku memang orang yang seperti itu, karena ak
"Keterlaluan! Jadi, Mama melakukan ini hanya mengejar harta dan kedudukan?" Pram benar-benar tidak bisa menahan perasaannya sekarang hingga emosinya kembali tersulut meskipun Shelin memintanya untuk sabar karena mereka harus mendengarkan secara tuntas apa yang ingin diceritakan oleh Tante Putri pada mereka."Maaf, Pram, Mama yang salah, Mama memang takut hidup kita miskin, apalagi saat kamu menikah dengan Shelin, kamu itu bangkrut, Mama semakin sulit untuk menerima semuanya, Mama-""Aku yang membuat Pram bangkrut karena aku pembawa sial?" potong Shelin. "Sebenarnya, aku juga tidak tahu pasti, itu hanya pendapatku saja, karena setelah kamu dengan Pram, hidup Pram itu berantakan, aku membencimu, Shelin, lalu aku mendengar tentang nama kalian yang tidak cocok jika bersama, disitulah aku punya cara untuk membuat Pram percaya bahwa kamu pembawa sial!""Jangan salahkan Tante Putri, khusus untuk memisahkan kalian, aku juga ikut andil, aku terobsesi dengan Pram, jadi aku menerima tawaran Ra
Apa yang dikatakan oleh Sumi disetujui oleh Galih. Meskipun sekarang tidak bisa dipungkiri ia bahagia lantaran tidak menyangka ternyata ia dan Sumi berjodoh, tapi memikirkan sahabatnya, Pram yang sekarang sedang masa terpuruk, mau tidak mau membuat kebahagiaan Galih belum lengkap.Sementara itu, Shelin, Julie, Pram dan juga Sheila sudah saling berhadapan dengan Tante Putri yang masih belum dipastikan akan masuk penjara kapan karena kasus yang melibatkan dirinya masih diselidiki secara menyeluruh.Melihat kedatangan semuanya, Tante Putri tertunduk dalam. Perempuan itu merasa terpuruk sekarang dengan apa yang sudah terjadi padanya. "Tante, untuk masalah Wira dan apa yang sudah aku terima, aku tidak akan menuntut Tante asalkan Tante mau bicara apa yang sebenarnya terjadi selama ini, aku berjanji tidak akan menuntut Tante dengan alasan karena aku korban, tapi, aku harap, Tante bisa mengatakan semuanya pada kami semuanya. Tanpa bersisa."Shelin yang lebih dulu bicara, dan Tante Putri terd