"Mas Rafka!"Aku kaget dan seketika mendorong tubuh Rafka sekuat tenaga, sehingga hampir membuatnya terjatuh. Tapi sepertinya Rafka tidak peduli pada kedatangan Nikita."Tolong, Dara. Aku ingin bicara. Aku ingin minta maaf. Kamu tidak tahu aku sudah seperti orang gila beberapa tahun ini," ucapnya dengan pandangan memelas padaku.Aku tak menjawab ucapannya. Minta maaf? Karena sudah meninggalkanku dalam kondisi terpuruk? Atau karena alasan lain?"Apa-apaan ini, Mas?!" Nikita menarik tangan Rafka menjauh dariku, lalu menatap ke arahku dan Rafka bergantian dengan amat gusar."Maaf, silakan kalian selesaikan ini berdua. Aku harus pulang. Aku tidak mau ikut campur," ucapku, sambil membalikkan badan."Jangan kabur, Kak!" Nikita menghalangiku saat bersiap membuka pintu mobil. "Kak Dara rupanya mau menjadi duri dalam rumah tanggaku? Mau merayu suamiku?"Aku menoleh ke arah Nikita, menatapnya dengan berani."Ayolah, Nikita. Najis sekali aku merayu pria penge--cut seperti suamimu itu," sahutku.
POV Author"Ada apa ini, Niki, Rafka?" Bu Sarah keluar dari dalam rumahnya ketika mendengar suara keributan di luar rumahnya.Nikita seketika berhambur ke arah Mamanya, mengadu apa yang baru saja dia ketahui."Mas Rafka itu ternyata mantannya Kak Dara, Ma!" ucapnya."Apa?" Bu Sarah seketika melotot ke arah Rafka. "Apa benar itu, Rafka?"Rafka tak menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Dia hanya memijit keningnya yang mendadak pening."Itu benar, Ma! Dia bahkan mengaku jika dulu mereka saling mencintai!" ucap Nikita lagi, lagi-lagi merengek seperti anak kecil.Bu Sarah membuang napas kesal, lalu menatap putrinya."Itu kan cuma masa lalu, Nikita! Lagipula, Rafka sekarang itu sekarang sudah menjadi suamimu. Jadi tidak perlu mempermasalahkan hal itu lagi," ucapnya kemudian."Tapi, Ma ....""Sudah, diam kamu!" hardik Bu Sarah lagi, lalu berjalan mendekat ke arah Rafka."Maafkan Nikita, Rafka. Dia itu kadang memang suka kekanak-kanakan. Mama tidak akan mempermasalahkan masa lalumu. Cuma mantan
"Apa yang kamu lakukan di sini, Nikita?" tanya Pak Firman seraya menatap putrinya itu dengan penuh tanya."Ah, tidak, Pa ... hanya tes kesehatan," jawab Nikita gugup."Apakah hasilnya tidak bagus? Wajahmu pucat begitu," ucap Pak Firman lagi, lalu menatap sekeliling. "Rafka tidak menemanimu?""T-tidak, Pa ...." Nikita berusaha untuk bersikap biasa. "Papa sendiri ... sedang apa di sini?"Kali ini, giliran Pak Firman yang sedikit gugup mendengar pertanyaan Nikita."Papa ... juga melakukan tes kesehatan," jawabnya kemudian.Nikita terdiam cukup lama mendengar ucapan Papanya. Apa benar Papanya melakukan tes kesehatan? Dia tidak tahu apa yang terjadi jika Papanya tahu jika diam-diam dia menjalani tes DNA, dan hasilnya ternyata tidak sesuai.Bayangan jika Papanya akan menceraikan Mamanya saat itu juga, dan akan mengusir mereka berdua seketika merasuk ke dalam otaknya. Bukan hanya itu saja. Jika keluarga Rafka tahu jika dia adalah anak hasil hubungan di luar pernikahan ... bisa-bisa .... Tida
"Pak Firman?" Pak Yusuf seketika berdiri, diikuti oleh Bu Laila.Dara dan Lana juga ikut berdiri, lalu mereka semua akhirnya berjalan menuju ke ruang tamu dengan membawa Bu Aisyah yang masih berada di kursi rodanya. Di sana, terlihat Pak Firman sedang duduk menunggu."Pak Yusuf." Pak Firman berdiri ketika melihat kedatangan Pak Yusuf."Silakan duduk saja, Pak Firman," sahut Pak Yusuf kemudian.Pak Firman kembali duduk, dan mereka semua akhirnya berkumpul di ruang tamu."Apakah ada hal yang begitu penting, sehingga Pak Firman datang ke rumah kami?" tanya Pak Yusuf tanpa berbasa-basi."Saya mohon maaf sebelumnya, Pak Yusuf. Kedatangan saya ke sini juga karena saya ingin mengajukan permohonan maaf karena tidak hadir di pernikahan anak saya Lana, sehingga baru saja tahu jika dia menjadi menantu Bapak." Pak Firman memulai pembicaraan."Tidak masalah, Pak Firman," jawab Pak Yusuf dengan sikap yang begitu santai. "Kadang dengan ketidak tahuan, kita jadi tahu sifat asli seseorang, apakah oran
"Maksud Papa apa? Kenapa tiba-tiba berkata seperti itu?" tanya Bu Sarah, menatap suaminya dengan pandangan tak percaya."Sudahlah, Ma! Tidak perlu berpura-pura lagi," jawab Pak Firman. "Sekarang katakan padaku, Ma! Siapa ayah kandung dari Nikita!""Pa!" Bu Sarah mendelik ke arah suaminya dengan wajah gusar. "Tentu saja Nikita itu anakmu, Pa!""Jangan berbohong lagi, Ma! Papa sudah menjalani tes DNA, dan terbukti Nikita itu bukan anak Papa!""P-Papa menjalani tes DNA?" Wajah Bu Sarah seketika memucat mendengar ucapan suaminya."Jadi ... Papa ke rumah sakit waktu itu karena Papa menjalani tes DNA juga?" Nikita berdiri, menatap ke arah Papanya."Juga?" Pak Firman membalas tatapan Nikita dengan kaget, tapi kemudian dia mengangguk mengerti. "Begitu? Jadi kamu juga sudah tahu yang sebenarnya, Niki? Dan kamu mau mengikuti Mamamu untuk menipuku?""Menipu?" Nikita tertawa miris ketika mendengarnya. "Dengar, Pa! Meskipun aku ini bukan anak kandung Papa, tapi sekarang keluarga ini tergantung pad
"Loh, ternyata itu calon rumahnya kalian, toh?" Wajah Bu Siti masih seperti menahan malu, tapi sepertinya masih penasaran ingin bertanya."Iya, Bu, Alhamdulillah," jawab Bu Aisyah. "Anak sama mantu saya gak mau jauh dari saya, jadi mereka membangun rumah di sini."Bu Siti dan Bu Dewi saling berpandangan, lagi-lagi mulut mereka membentuk huruf O."Bu Siti sama Bu Dewi baru pulang belanja toh, Bu?" tanya Dara kemudian ketika melihat mereka menenteng tas kresek belanjaan."Iya, baru belanja kebutuhan mingguan. Maklum, suami kita ini gajiannya mingguan," jawab Bu Dewi, masih bisa menyombong."Wah, rupanya kalian suka merk ini, ya?" Dara menunjuk ke arah sabun, detergen, dan berbagai barang kebutuhan dapur lain."Iya, dong. Hampir semua orang pakek. Agak mahal tapi bagus," sahut Bu Siti."Baguslah, Bu Dewi, Bu Siti. Terima kasih sudah menjadi konsumen setia kami." Dara seketika tersenyum mendengarnya."Loh, apa maksudnya jadi konsumennya kalian? Wong kita belanjanya di pasar kok." Bu Siti
"Sekarang katakan, di mana suami saya, Aisyah!" ucap Bu Sarah lagi."Dia tidak ada di sini, Bu! Lagipula Bu Sarah kan istrinya. Masa suaminya pergi ke mana tidak tahu, sih?" jawab Dara."Sudah jelas dia datang ke sini beberapa hari yang lalu, kan? Pasti kamu menghasutnya untuk kembali padamu kan, Aisyah!""Astaghfirullah, Bu. Istighfar," sahut Bu Aisyah. "Kalau saya mau melakukan hal itu, pasti sudah sejak dulu saya lakukan.""Halah, kamu tidak pernah berubah, Aisyah! Tetap sok suci seperti dulu!" Bu Sarah semakin menggebu-gebu."Sudahlah, Bu Sarah. Kami sudah bilang Pak Firman tidak ada di sini. Sebaiknya Bu Sarah pulang saja. Jangan membuat keributan di rumah kami," ucap Dara kemudian."Punya hak apa kamu mengusir saya? Dengar, ya? Kalau bukan karena kebaikan hati saya, rumah ini tidak akan pernah menjadi milik kalian!" Bu Sarah menunjuk ke arah Dara."Rumah ini adalah hak Mas Lana sebagai pewaris sah keluarga Sadewa. Jadi Bu Sarah juga tidak punya hak untuk mengungkit masalah itu l
"Mama!" Nikita terus menggoncang tubuh Mamanya yang tak juga sadarkan diri."Astaghfirullah, Bu Sarah baik-baik saja?" Bu Aisyah ikut berdiri, lalu mendekat ke arah mereka.Begitu pun dengan Dara dan Lana, ikut khawatir juga melihat Bu Sarah sampai pingsan seperti itu."Jangan mendekat kalian!" Teriak Nikita sambil menatap mereka tajam. "Ini pasti rencana kalian, kan? Kalian sengaja mau membuat kami malu! Sengaja menghasut Papa untuk membuat kami kehilangan semuanya!""Jangan bicara sembarangan, Niki," jawab Lana. "Kami semua benar-benar tidak tahu apa-apa tentang hal ini.""Bohong kalian! Sekarang kalian sudah puas, kan? Pergi dari tempat ini sekarang juga!" teriak Nikita lagi."Maaf, Nona Nikita," sahut Pak Notaris. "Tapi perusahaan ini sekarang susah sepenuhnya jadi milik Pak Lana. Jadi yang seharusnya meninggalkan tempat ini adalah Nona Nikita dan Bu Sarah."Wajah Nikita seketika merah padam mendengar ucapan Notaris itu. Dia kemudian mengambil ponselnya, lalu menghubungi Rafka sua
Mereka semua benar-benar terkejut, karena ternyata yang berdiri di depan mereka rupanya adalah Pak Firman. Penampilannya telah berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia tampak lebih kurus, dengan setelah baju koko yang dia kenakan."Aisyah ...." Kata pertama yang keluar dari bibirnya, diiringi oleh kedua matanya yang berkaca. Tampak sekali dia merindukan sosok mantan istrinya itu."Ya Allah, Mas. Mas Firman menghilang begitu saja, dan ternyata ... di sini?" ucap Bu Aisyah, belum mampu mengungkapkan perasaannya ketika akhirnya bertemu kembali dengan sang mantan suami.Pak Firman tak langsung menjawab. Dia menatap satu-persatu orang-orang yang amat dia kenal itu. Wajah mereka masih diliputi perasaan kaget, juga penuh tanda tanya. Kemudian pandangannya kembali jatuh pada mantan istrinya itu."Alhamdulillah, aku menemukan kedamaian di tempat ini, Aisyah," jawab Pak Firman kemudian seraya tersenyum simpul."Masyaa Allah, Mas." Bu Aisyah tak bisa menahan rasa haru, melihat Pak Firman yang se
"Astaghfirullah, apa yang terjadi?" Dara ikut khawatir melihat keadaan Bu Sarah."Suster! Tolong, Suster!" Lana akhirnya memanggil Suster dengan panik.Tak berapa lama kemudian, beberapa orang petugas rumah sakit akhirnya datang, dan langsung melakukan pertolongan pada Bu Sarah."Ya Allah, semoga semuanya baik-baik saja," ucap Bu Aisyah kemudian."Pasti berat bagi Bu Sarah melihat kondisi putrinya seperti itu," ucap Lana seraya mengelus pundak ibunya. "Apalagi secara tidak langsung, Bu Sarah sudah memaksakan jalan yang salah pada Nikita.""Semoga setelah ini Mbak Sarah menyadari semua kesalahannya," ucap Bu Aisyah lagi, turut membayangkan apa yang Bu Sarah rasakan."Mereka terlalu menganggap enteng keluarga Heryawan," sahut Bu Laila. "Dan rupanya mereka memang dalang di balik apa yang dialami Dara tiga tahun yang lalu. Tidak bisa dimaafkan!"Dara hanya bisa terdiam. Memang semua yang telah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Namun setidaknya, Rafka sudah dengan berani membongkar kej
"Siapa, Dek?" tanya Lana ketika melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu kaget."Ini ... Rafka, Mas," jawab Dara dengan suara bergetar."Rafka?" Bu Sarah seketika menyahut dalam tangisnya. "Dia pasti tahu sesuatu! Tapi dia tidak mau mengatakannya padaku! Dia pasti bersekongkol dengan Papanya!""Tenanglah, Mbak. Nikita pasti baik-baik saja," ucap Bu Aisyah, berusaha menenangkan Bu Sarah yang dari tadi histeris."Aku tidak bisa tenang, Aisyah. Tolong, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi." Badan Bu Aisyah ambruk, dia duduk berlutut dengan kedua tangan menangkup di dada."Jangan seperti ini, Mbak. Kita akan berusaha membantu." Bu Aisyah membantu Bu Sarah berdiri.Dara seketika mengetik balasan pada Rafka, memintanya untuk memberitahunya di mana lokasinya saat ini."Ayo, Mas, kita pergi sekarang juga," ucap Dara kemudian pada Lana."Ibu ikut ya, Nduk?" sahut Bu Aisyah."Jangan, Bu. Ibu di rumah saja bersama Bu Sarah. Tunggu saja kalau kami sudah mendapatkan kabar baik," ja
"Minumlah, Nduk."Bu Aisyah mengulurkan secangkir teh hangat untuk Dara. Sejak bertemu dengan dengan Rafka dan Nikita di rumah sakit, menantunya itu lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Semua itu membuatnya cemas saja."Terima kasih, Bu." Dara menerima cangkir teh itu, lalu menyeruputnya. Rasa hangat seketika mengalir ke arah tenggorokannya."Nduk Dara baik-baik saja, kan?" tanya Bu Aisyah lagi, seraya menatap menantunya itu dengan tatapan sedih."Aku baik-baik saja, Bu," jawab Dara seraya mencoba tersenyum.Memang dia tak bisa berbohong, jika hatinya tengah kalut, mungkin juga terlalu sakit hati. Bahkan mungkin dia seharusnya merutuki kebo--dohannya sendiri. Dulu dia terlalu naif, menjalin hubungan dengan pria yang jelas-jelas berasal dari keluarga yang menjadi musuh besar keluarganya. Berharap jika suatu saat mereka bisa menyatukan kedua keluarga itu."Dek ...." Lana memegang pundak Dara, membuyarkannya dari lamunan. "Apa tidak sebaiknya kita bicara pada Mama dan Papa mengenai
"Katakan padaku, Rafka!" Dara mengulangi ucapannya.Rafka menatap ke arah Dara. Bibirnya bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak punya keberanian. Dia kemudian menepis tangan Dara, kemudian membuang muka."Aku tidak tahu apapun!" ucapnya kemudian."Kejadian tiga tahun yang lalu?" Lana ikut menatap Rafka tajam. "Apa benar semua itu ulah keluarga Heriyawan?""Jangan ikut campur kamu, Lana! Sudah kubilang aku tidak tahu apapun!" jawab Rafka lagi."Sudah pasti saya harus ikut campur! Dara istri saya, dan apa yang terjadi padanya adalah tanggung jawab saya juga," sahut Lana kemudian."Keluargaku tidak ada kaitannya dengan kejadian apapun! Harus berapa kali aku menjelaskan?" Rafka tetap menyangkal.Dara menggertakkan rahang. Dia tahu Rafka berbohong. Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Dara ingat dengan benar, malam itu Rafka yang sedang punya janji dengannya, dan dia tidak datang tanpa alasan. Tanpa kabar. Dara yang berusaha melupakan kejadian mengerikan itu, kini mulai in
"Astaghfirullah, Bu. Jangan seperti ini," ucap Lana kemudian sambil membantu Hajah Saidah berdiri."Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan pada Syifa, Lana. Tolong, Lana. Cuma kamu yang bisa menolong anak saya," ucap Hajah Saidah lagi."Istighfar, Bu Hajah. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik. Serahkan sepenuhnya pada Allah, Bu," sahut Bu Aisyah, turut merasa sedih melihat Hajah Binti.Hajah Saidah tidak mempedulikan ucapan Bu Aisyah. Dia justru beralih menatap ke arah Dara."Saya tahu kamu adalah istrinya Lana, tapi kamu juga perempuan. Anak saya sudah mencintai Lana lebih dulu. Jadi tidak bisakah kamu membagi cinta Lana dengan putri saya?" ucapnya, yang langsung membuat Dara membulatkan mata."Astaghfirullah, Bu. Tolong jangan mengajukan permintaan yang tidak mungkin pada istri saya," sahut Lana. "Saya akan bicara dengan Syifa. Saya akan menjelaskan semuanya, agar dia bisa segera melupakan perasaannya pada saya.""Itu benar, Bu Hajah." Bu Aisyah menimpali. "Pasti Syifa
"Apa yang kamu lakukan di sini, Niki?!"Nikita seketika menoleh, dan mendapati Rafka sudah berdiri di sana dengan wajah gusar. Dia cepat-cepat menarik tangan Nikita keluar ruangan, mematikan lampu ruangan itu, lalu menutupnya kembali dengan rapat. Setelah itu, dia kembali menatap tajam ke arah istrinya itu."Kamu tidak mendapat peringatan dari Bik Rubi?" ucap Rafka kemudian."M-maaf ... Mas. Aku ... aku tadi cuma ...." Tubuh Nikita belum berhenti gemetar. Dia sungguh-sungguh ketakutan melihat apa yang ada dalam ruangan tadi.Rafka kembali menarik tangan Nikita dengan kasar, membawanya kembali masuk ke dalam kamarnya."Dengar ya, Niki! Kalau kamu masih mau bernapas besok, lebih baik diam dan bersikap tidak tahu apa-apa di rumah ini! Apalagi nanti ketika Mamamu ikut tinggal di sini! Pastikan kalian berdua tidak sedikitpun membuat keributan!" ucap Rafka lagi.Nikita mengangguk pelan, masih berusaha untuk menghilangkan rasa ketakutannya. Rafka kemudian membanting pintu, membiarkan dia sen
"Mama!" Nikita terus menggoncang tubuh Mamanya yang tak juga sadarkan diri."Astaghfirullah, Bu Sarah baik-baik saja?" Bu Aisyah ikut berdiri, lalu mendekat ke arah mereka.Begitu pun dengan Dara dan Lana, ikut khawatir juga melihat Bu Sarah sampai pingsan seperti itu."Jangan mendekat kalian!" Teriak Nikita sambil menatap mereka tajam. "Ini pasti rencana kalian, kan? Kalian sengaja mau membuat kami malu! Sengaja menghasut Papa untuk membuat kami kehilangan semuanya!""Jangan bicara sembarangan, Niki," jawab Lana. "Kami semua benar-benar tidak tahu apa-apa tentang hal ini.""Bohong kalian! Sekarang kalian sudah puas, kan? Pergi dari tempat ini sekarang juga!" teriak Nikita lagi."Maaf, Nona Nikita," sahut Pak Notaris. "Tapi perusahaan ini sekarang susah sepenuhnya jadi milik Pak Lana. Jadi yang seharusnya meninggalkan tempat ini adalah Nona Nikita dan Bu Sarah."Wajah Nikita seketika merah padam mendengar ucapan Notaris itu. Dia kemudian mengambil ponselnya, lalu menghubungi Rafka sua
"Sekarang katakan, di mana suami saya, Aisyah!" ucap Bu Sarah lagi."Dia tidak ada di sini, Bu! Lagipula Bu Sarah kan istrinya. Masa suaminya pergi ke mana tidak tahu, sih?" jawab Dara."Sudah jelas dia datang ke sini beberapa hari yang lalu, kan? Pasti kamu menghasutnya untuk kembali padamu kan, Aisyah!""Astaghfirullah, Bu. Istighfar," sahut Bu Aisyah. "Kalau saya mau melakukan hal itu, pasti sudah sejak dulu saya lakukan.""Halah, kamu tidak pernah berubah, Aisyah! Tetap sok suci seperti dulu!" Bu Sarah semakin menggebu-gebu."Sudahlah, Bu Sarah. Kami sudah bilang Pak Firman tidak ada di sini. Sebaiknya Bu Sarah pulang saja. Jangan membuat keributan di rumah kami," ucap Dara kemudian."Punya hak apa kamu mengusir saya? Dengar, ya? Kalau bukan karena kebaikan hati saya, rumah ini tidak akan pernah menjadi milik kalian!" Bu Sarah menunjuk ke arah Dara."Rumah ini adalah hak Mas Lana sebagai pewaris sah keluarga Sadewa. Jadi Bu Sarah juga tidak punya hak untuk mengungkit masalah itu l