“Cantik sekali,” gumam Adinda sembari membuka album foto di tangannya. Isinya foto pernikahan Alvin dan juga Sofia. Hari di mana semuanya masih tampak indah dan berbagai rencana sudah tersusun rapi. Namun, hari itu juga semua tragedi berawal hingga merubah Alvin menjadi sosok yang dingin.
“Dia memang cantik,” bisik Alvin sembari menatap satu titik di atas tempat tidur. Di mana di matanya, Sofia tengah terlelap begitu damai dalam tidurnya.
Adinda yang akhirnya mendongak untuk melihat ekspresi Alvin saat menggumamkan kata cantik, ikut menggerakkan kepala ke arah yang sama. Ada senyum sendu yang wanita itu berikan ketika tahu ke mana mata Alvin mengarah.
“Ini kalian prewed di mana? Lokasinya bagus,” tanya Adinda sengaja untuk memutus hening yang terasa tidak mengenakkan. Alvin pun terpancing dan ikut menunduk untuk melihat foto yang Adinda maksud.
“Itu di Bogor,
Adinda bisa mengembus napas lega saat akhirnya Alvin menepikan mobilnya di sebuah danau buatan. Laki-laki itu turun dari mobil, lalu duduk di sebuah bangku yang menghadap ke arah danau. Ada kilau bening yang memantul, saat cahaya matahari sore menimpa air danau yang cukup tenang.“Saya nggak butuh dihibur,” ujar Alvin dingin saat sadar seseorang duduk di sampingnya. Ia tahu sejak tadi Adinda dan beberapa pengawal sewaan ibunya mengikuti mobil yang ia kendarai.“Saya nggak akan ganggu, saya hanya mau menemani Mas Alvin,” ujar Adinda lirih sembari ikut memandang riak kecil yang timbul di permukaan danau saat sebuah ranting pohon jatuh.“Saya pengin sendiri,” ujar Alvin lagi, berharap Adinda mau pergi dan membiarkan dirinya menikmati waktu tanpa gangguan siapa pun.Adinda tentu saja tidak akan melakukan perintah Alvin. “Saya tahu rasanya kehilangan seseorang yan
Kedua mata itu perlahan terbuka saat terdengar suara kikikan, dan bisikan lirih antara dua orang wanita. Mata Adinda yang pertama kali terbuka, dan bisa ia rasakan tubuh bagian kirinya yang pegal. Lalu, mata wanita itu memicing dengan dahi berkerut saat ada Almira dan Marlina di depannya.“Ibu, Mira?” Adinda segera melebarkan mata dan menarik diri saat sadar kini ia tengah bersandar pada bahu seseorang. Dan wanita itu langsung berdiri tegak saat mengingat apa yang terjadi.“Emm, A-aku mau mandi dulu,” ujar wanita itu bingung sembari melangkah cepat ke kamarnya. Mengabaikan kikikan geli yang kembali hadir dari bibir Almira, dan Marlina sendiri tampak menggeleng geli sembari melangkah kea rah dapur.“Ehemm! Mas Alvin sama Mbak Dinda ngapain?” goda Almira saat sosok Adinda sudah menghilang di balik pintu kamar wanita itu.Alvin malah tampak cuek karena memang tidak ad
Alvin terbangun dengan tubuh kaku karena semalaman tidur miring tanpa mau mengubah posisi. Bukan apa-apa, ia hanya merasa takut Adinda akan terganggu jika dia bergerak sedikit saja. Hal yang sama juga sebenarnya Adinda rasakan. Malah, wanita itu nyaris tidak bisa memejamkan mata. Dadanya terus saja berdebar dengan cara yang tidak Adinda mengerti. Sehingga pagi-pagi sekali ia sudah terjaga dan memilih mengerjakan apa pun itu bisa meredam perasaan yang membingungkan itu.Alvin menoleh ke sisi lain tempat tidur dan mengedar pandang saat tidak menemukan sosok Adinda di sana. Ia melongok kamar mandi, tetapi tidak juga terdengar gemericik air. Namun, matanya menangkap satu setelan pakaian kerja yang menggantung di depan lemari. Tanpa bisa dicegah, secuil senyum terbit dan laki-laki itu pun segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Tidak sampai sepuluh menit laki-laki itu sudah selesai dengan pakaian rapinya.
“Kamu bosen, ya?” tanya Alvin pada Adinda yang sejak tadi hanya diam di acara pertunangan sepupunya ini. Pesta tidak digelar di gedung mewah karena memang hanya akan berselang satu bulan sebelum digelar pernikahan. Alvin sendiri tidak terlalu mengerti susunan acara yang digelar karena ia sedari dulu paling enggan ikut campur sesuatu yang bukan menjadi urusannya.Adinda yang memang sebenarnya sudah ingin pulang hanya bisa meringis sungkan sebagai jawaban. Alvin yang mengerti arti dari ringisan itu, segera minta izin pada ibunya untuk membawa Adinda pulang.“Kita pulang!” ajak laki-laki itu seraya menarik pelan lengan Adinda untuk ke luar dari kerumunan orang. Sesekali menyapa orang yang dikenal dengan anggukan serta senyuman tipis.“Memangnya Mas Alvin nggak papa?” Adinda takut nanti akan ada omongan tidak baik jika mereka meninggalkan acara yang belum selesai ini. Apalagi ia tidak diaj
Marlina lah orang yang paling terlihat senang saat mendengar kabar jika Alvin dan Adinda akan pergi ke Bandung hanya berdua. Meski berkali-kali putranya menjelaskan jika semua itu hanyalah urusan pekerjaan, tetapi tetap saja, bagi wanita itu ini semua adalah perkembangan yang bagus.“Pak Cakra kan tahu aku udah nikah, nggak mungkin, kan, aku pergi sendiri.” Jawaban yang Alvin beri, saat ibunya terus saja menggodanya karena mau mengajak Adinda.“Yah … kalau kamu nggak mau juga sebenarnya kamu punya banyak alasan buat nggak ngajak Adinda,” ujar Marlina. Wanita itu memperhatikan Alvin yang sedang merapikan bajunya untuk besok pagi. Sementara Adinda pamit pergi sejak pagi tadi dan belum pulang hingga malamm sudah menjelang seperti sekarang.“Ya udah apa aku batalin aja?” ancam Alvin dengan wajah kesal. Sesungguhnya ia merasa gugup karena ibunya terus saja membuatnya merasa tidak nya
Pagi-pagi sekali Alvin dan Adinda sudah berangkat dengan menggunakan mobil yang Alvin kendarai. Kepergian dua orang itu tentu saja diiringi oleh senyum bahagia yang tidak juga luntur dari bibir Marlina. Wanita itu berharap, perjalanan tiga hari ini akan membuahkan hasil yang bagus. Sehingga saat pulang nanti, semuanya terlihat semakin membaik, dan tidak ada hal yang perlu ia khawatirkan.Marlina mengingat jelas isi perjanjian yang ia buat dengan Adinda. Jika wanita itu hanya terikat pada pernikahan dengan Alvin sampai anak laki-lakinya itu terlepas dari delusi yang selama ini menghantui. Dan termyata, semuanya berjalan begitu baik dan kini Alvin bisa sembuh meski belum secara penuh. Namun, setidaknya itu bisa Adinda gunakan sebagai alasan untuk menyudahi perjanjian yang telah disepakati. Dan Marlina sungguh tidak ingin semua ini berakhir. Mencari wanita lain untuk menggantikan posisi Sofia tidak lah mudah. Adinda adalah satu-satunya wanita yang tepat untuk Alvin
“Udah siap?” tanya Alvin pada Adinda yang baru saja keluar dari kamar mandi untuk sekadar mengganti baju. Adinda hanya menjawab dengan anggukan kepala, lalu segera mengambil tas kecil sebelum mengikuti Alvin yang terlebih dulu berjalan ke arah pintu. “Nanti kita jalan setelah acara meeting-nya selesai. Kamu ada tempat yang pengin dikunjungi?” Alvin menanyakan itu sembari menutup dan mengunci pintu hotel. Adinda yang mendapat pertanyaan seperti itu tentu saja kebingungan. Apalagi saat tiba-tiba saja kepala Alvin memutar ke arahnya dengan gerakan cepat. Hingga memergoki dirinya yang tengah mengamati wajah Alvin secara diam-diam. Ini tentang kejadian tadi siang yang masih membekas di memori Adinda. Dan entah hanya perasaannya saja, atau memang sikap Alvin mulai berubah sejak itu. Alvin terasa begitu perhatian terhadap dirinya. Banyak hal kecil yang berubah, dan semuanya membuat Adinda kewalahan. Adinda benar-
Suasana terasa canggung saat pagi harinya kedua manusia itu harus berinteraksi. Alvin yang baru kembali entah dari mana tepat saat azan subuh berkumandang, memilih langsung masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Adinda memilih untuk melakukan salat seorang diri, padahal biasanya ada Alvin yang menjadi imam. Jika bisa, sebenarnya keduanya ingin untuk tidak bertemu karena masing-masing merasa bersalah.Alvin keluar dari kamar mandi tepat saat Adinda baru saja melipat mukena serta sajadah yang ia pakai untuk salat. Alvin yang melihat itu seperti terkejut, dan merasa semakin bersalah kepada Adinda yang mungkin saja risi dengan keberadaannya sekarang.“Kamu udah selesai?” tanya Alvin basa-basi, merasa tidak nyaman dengan keheningan yang merajai.Adinda menjawab dengan anggukan, bahkan wanita itu seperti enggan menatap wajah Alvin yang kini tengah menatap penuh ke arahnya. “Aku, mau keluar sebentar,” bis