Jess meraih jaket kulit yang menggantung di sembarang tempat, ia memutuskan untuk mencari kedua anaknya di luar rumah. Ia tidak bisa berdiam diri dalam terpaan kalut. Sebuah kuda besi ia pilih untuk menemaninya membelah teriknya matahari. Pacuan mesin sengaja dilambatkan agar penglihatannya mudah untuk menelisik semua tempat. Tepat di sebuah toko buku, Jess menepikan roda duanya. Suasana yang lengang, hanya ada seorang wanita yang tengah bersiap-siap untuk menutup toko.
“Nyonya, ada yang bisa saya bantu?” Gadis yang tampak seusia dengan putrinya menyapa di sela-sela kesibukan.
“Di mana Elfara?”
“Semua karyawan sudah pulang. Apakah anda ibunya Elfara?”
“Ya, kapan Elfara pulang?”
“Satu jam yang lalu. Apa kau ingin minum kopi dulu?”
“Tidak, terima kasih! Kau manis sekali. Ini untukmu!” Jess mengeluarkan beberapa benda kenyal dari saku jaket. Gadis berkulit put
“Dev!” Jess terperanjat mendapati anak lelakinya terkapar di lantai kamarnya. Jess cepat-cepat merapikan ranjang miliknya kemudian meletakkan tubuh pemuda tinggi itu ke atas kasur dengan susah-payah. Sensasi yang mengalir ke syaraf-syaraf menimbulkan efek kejang yang melelahkan. Dev meracau dengan gerakan bola mata yang tak tentu arah. Beberapa kali ia menjerit memegangi kepala. Pemuda itu terguling lalu merayap ke meja dan mengacak semua barang. Gusar, Jess mengacak-acak kotak obat hingga akhirnya ia menemukan sesuatu yang dicarinya. “Dev, hentikan!” Dev menoleh tanpa mengatakan apa-apa, persis seperti orang bisu. Dev berjalan ke arah ibunya seperti mayat hidup lalu meletakkan kedua lengannya di bahu kecil Jess hingga wanita itu sedikit terhuyung. Kepala Dev yang menunduk segera diangkat. Tanpa diduga-duga, cairan hangat berbau busuk menyembur dari mulut mengenai seluruh wajah Jess. Dev kemu
Elfara melepas mantel basah yang sengaja ia pakai selama perjalanan pulang. Gadis itu tahu bahwa ibunya pasti akan mencecarnya dengan banyak pertanyaan tentang pakaian baru yang Joana berikan. Selepas itu, ia segera membersihkan diri dan bersiap menuntut jawaban atas perlakuan ibunya terhadap gadis muda yang menjadi bosnya. Ia mengambil handuk yang tengah merentang di tempat khusus penjemuran.Untuk sampai ke tempat itu, tentu saja ia harus melewati kamar Dev dan ibunya. Ia bisa melihat pintu kamar ibunya yang sedikit terbuka dan dapat mendengar samar suara berisik yang berasal dari dalam sana. Elfara tidak tahu persis apa yang bicarakan, gadis itu hanya melihat Dev melempar pil-pil dan berteriak pada ibunya. Elfara menempelkan telinganya di daun pintu, demi bisa mendengar mereka.“Kenapa sepi?” Elfara bergumam, ia merasakan daun pintu yang mulai menjorok ke dalam. Gadis itu gelagapan melihat Dev tiba-tiba membuka pintu. Pemuda y
Elfara memandang berkas-berkas di tangannya dengan mata berkaca-kaca. Rasa lelah bercampur putus asa yang merenggut ketenangannya, entah bagaiamana Elfara mengatasinya. Selama beberapa hari, gadis itu telah menyusuri tempat-tempat di seluruh sudut kota untuk mencari pekerjaan. Namun, usahanya belum membuahkan hasil.Dari tempat usaha berskala besar hingga tempat usaha berskala kecil menolak mempekerjakannya dengan satu alasan yang sama yakni tidak mampu menggaji putri dari seorang konglomerat yang digadang-gadang memiliki kekayaan yang belum mampu disaingi oleh siapa pun. Sungguh alasan yang tidak masuk akal menurut Elfara. Selama bertahun-tahun, gadis bermata lentik itu terbiasa hidup mandiri.Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana kehidupannya tanpa pekerjaan. Baginya, bekerja adalah satu-satunya kegiatan yang dapat mengisi kekosongan hatinya. Kesedihan gadis berkacamata itu hampir meledak memikirkan semua itu. Jika saja ibunya tidak membua
Di permulaan malam, di mana kelopak-kelopak mega mulai menguncup melewati batas kepurnaan, sayat-sayat sembilu mulai berarak mengepung jiwa yang bertahun-tahun terjebak di kegulitaan yang tak bersekat. Kepingan rindu yang melebur bersama rasa dosa terakumulasi, membentuk bola amarah yang telah meledak hebat.Di ruang menyedihkan inilah raga Nick meratap. Membiarkan kulitnya terpapar udara panas yang keluar dari bilik kubus bawah tanah. Sebuah konsekuensi yang harus ditelannya bulat-bulat akibat ulah iblisnya terhadap Jacob yang kini tengah di ambang sekarat. Tulang-tulang jemarinya yang keras bertanggungjawab atas kejadian tak diinginkan itu.Dua puluh menit yang lalu, pria gagah yang mulai berjampang lebat itu mengendap-endap ke ruang penjaga untuk mengambil kunci sebuah ruang rawat yang menjadi incarannya bertahun-tahun. Dengan mengenakan seragam pelayan, Nick berhasil mengecoh petugas dengan trik klisenya.“Tuan
“Sayang, apa kau terluka?” Joana menatap sendu gadis berkulit terang itu. Suhu ruangan tidak mampu mendinginkan panas di otaknya.“Tidak apa. Terima kasih, sudah membantuku.” Elfara tersenyum tulus meski ruang matanya masih saja basah, ia segera mengalihkannya ke kolong meja yang menopang ke dua tangannya agar Joana tidak melihat kerapuhannya.“Jangan berlebihan itu sudah tugasku. Aku minta maaf atas kelancangan Veronica.”“Tidak apa, lupakan saja!”“Kenapa kau tidak mengelola perusahaan ayahmu? Bukankah semua itu sudah dialihkan atas namamu?”“Aku hanya ingin mempunyai perusahaan yang dibangun atas kerja kerasku sendiri.”“Kau hebat, Elfara. Beruntung sekali Nick dan Jess memiliki putri sepertimu.” Elfara tersenyum getir. Pada kenyataannya, ia tak sebahagia itu.
Hari ini, mood Elfara sedikit membaik. Gadis itu pergi ke alamat kantor yang telah dikirimkan oleh Joana. Gedung sepuluh tingkat itu dijelajahinya dengan gembira. Baru saja ia keluar dari ruang rekrut. Hasil interview dan segala test yang ada sangat memuaskan. Elfara berhasil membuat tim HRD terkesima, mereka benar-benar bekerja dengan profesional. Walaupun, ia belum pernah memiliki riwayat sebagai sekretaris, ini akan menjadi pengalaman baru yang menyenangkan. Kedua mata Elfara menyapu seluruh ruangan bersekat tersebut, ruangan bernuansa perak tersebut terlihat rapi dan bersih. Orang-orang di gedung itu terlihat cuek dan sedikit kaku, mereka sangat fokus dengan pekerjaan mereka masing-masing. Gadis itu meletakkan tas di meja yang ditunjuk oleh salah seorang dari divisi HRD, sebuah potret yang terbingkai diletakkannya di sudut meja. Tiba-tiba, sudut matanya menghangat. Lelaki dalam foto itu selalu mengusik perasaannya. Elfara larut setiap kali mengenang sosok
Brak! Suara pintu terdengar nyaring di kamar Elfara, Jess yang mendapati anak itu telah pulang, segera menyusul tanpa memikirkan keletihan yang melanda putrinya. Ia memiliki pertanyaan yang harus segera terjawab. Namun, ternyata gadis itu mengunci pintunya. “Elfara!” “Elfara!” “Keluar sebentar, kita harus bicara!” Beberapa saat berlalu, pintu terbuka. Elfara keluar dari kamar dengan pakaian kerja yang masih melekat. “Ada apa?” Elfara berkata sedikit ketus. “Semakin hari, kau semakin berani, ya?” “Mommy, aku tidak ingin berdebat. Katakan saja, apa yang ingin Mommy katakan!” Jess menatap lekat anak gadisnya yang kini tengah melipat tangan sambil bersandar di tembok. “Sejak kapan kau bekerja untuk Joana, hah? Katakan, untuk apa kau bekerja dengannya!” Elfara menarik sudut bibirnya kemudian tertawa kecil. Wanita yang berpangkat ‘ibu’ itu menunjukkan keegoisannya. “Memangnya apa masalahn
Dev memeriksa setiap ruangan, keberadaan Jessy tidak terlihat. Sepasang netranya kemudian beralih ke pintu utama yang telah terbuka, Dev menemukan Elfara yang sudah tidak sadarkan diri. Pecahan guci berserakan di lantai, semua tak luput dari noda darah, tetapi darah siapa? Pemuda tampan itu mengangkat kakaknya hingga akhirnya ia merasakan aliran merah di punggung gadis itu mengenai lengannya.“Elfara!” Aura wajahnya bertambah kelam, lelaki itu meletakkan kakaknya di sofa. Dev mengobrak-abrik semua tempat dengan gusar.“Sial, Mommy sama sekali tidak memiliki telepon di rumah ini. Ponsel Elfara juga tidak ada! Haah!” Dev membanting meja yang berada di sisinya hingga menimbulkan suara yang menusuk gendang telinga. Meskipun begitu, kesadaran Elfara tidak terpancing untuk segera pulih. Luka Elfara cukup dalam, akhirnya Dev menggotong tubuh gadis itu ke luar.“Demi penguasa alam kegelapan, semua ini pasti sudah direncanakan!
“Callin?” Dev tersenyum miring mendengar suara gelisah Ezhar.“Kau menyentuh bonekaku?”“Tenanglah, aku hanya sebentar saja memainkannya!” Ezhar menjawab.“Tinggalkan kami, Ezhar! Aku ingin memainkannya sendiri.” Setelah berkata demikian, Ezhar mulai menghitung langkah dengan sorot mata penuh pertanyaan.Beberapa saat setelah kepergian Ezhar, Callin memulai aksinya. Ruangan 3x4 meter itu penuh dengan raungannya. Tidak ada apa pun yang bisa menjadi tempat pelampiasannya kecuali Dev. Callin menjadikan adiknya seperti mainan yang tidak diinginkan. Sesekali, tinju-tinjunya dilayangkan pada wajahnya sendiri. Hal itu membuat kepala Dev dipenuhi tanda tanya.“Apakah dia sedang mengingat penderitaannya?” gumam Dev.“Cih, untuk apa aku peduli soal dia!” Dev menggeliatkan sedikit badannya yang dipenuhi darah. Walaupun sedikit, pergerakannya membuat besi rantai yang membelenggu tangannya bergemerincing. Callin yang tengah berusaha untuk tenang seketika menoleh. Membalik badan dan menusuk Dev den
Boom!Dentuman menggelegar meriuhkan jagat. Angin berdebu mengaburkan penglihatan dalam sejenak. Dalam satu pukulan itu, Callin berhasil membuat seluruh tempat menjadi porak-poranda."Dev!" Michele kembali berteriak saat dia melihat Dev bertelengkup dan mengangkat kepala dengan lemah."Jika kau ingin selamat, diam dan pergilah!" Callin berkata dingin kepada Michele. Dia kemudian menyeru semua anggota yang tersisa dan mengisyaratkan Ezhar untuk pergi."Dev!" Teriakan Michele terdengar pilu. Dia harus menyaksikan Callin menyeret Dev seperti menyeret babi hutan.Di sebuah tempat tersembunyi di São Paulo, Dev diasingkan. Rumah kayu yang tak bersekat di sana akan menjadi tempat baru yang sangat mengerikan untuk Dev. Bayangan Callin akan mengulitinya hidup-hidup terus berputar di kepala dan mungkin itu akan terwujud saat Callin muncul dengan tombak bermata tiga di tangannya."Apa kau merasa lelah dengan perjalanan kita sampai kau harus tidak sadarkan diri dalam waktu selama itu?" Callin ber
"Dasar anak bodoh!" Elios membuka mata dan melihat Dev sudah ada di depannya."Kau? Apa kau berubah pikiran?" Elios menebak. Dev mendecak. Tidak bisa memahami jalan pikiran pemuda latin itu."Ikut aku!""Tidak! Aku harus mencari Devada.""Lupakan dia!""Hei, apa kau sudah gila?" Elios mendecih. Terlihat sangat tidak suka dengan perkataan Dev."Ikut aku jika kau ingin selamat." Elios memberi tanda penolakan dengan menggeleng."Kau bukan Tuhan yang menjamin keselamatanku. Bagaimana mungkin aku mengikuti orang yang tidak kukenal sementara gadis yang aku cintai sedang dalam bahaya?" Dada Dev kembang kempis. Ingin memukul Elios, tetapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah."Kau terlalu banyak membual, Elios!" Dev berkata dingin."Membual? Apa kau tidak pernah mencintai seseorang sehingga kau bertindak seperti orang yang tidak punya hati?""Hei ... dia sudah mati!" Seketika, bentakan Dev membuat tangan Elios melayang keras ke pipi Dev."Dev! Sudah!" Michele menahan tangan Dev yang sudah terkep
"Devada? Di mana Devada?" Seorang pemuda terbangun cemas setelah pingsan dari perjalanan menuju tempat tersembunyi."Diamlah, Elios!" Dev menghentikan aktivitas tangannya. Elios terhenyak, tetapi bukan karena suara dingin Dev melainkan laki-laki yang tergeletak tak berdaya di depan Dev."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada orang itu?" Elios tersudut pada dipan yang menjadi dinding rumah yang mereka singgahi.Dev memutar badannya, lalu menumpahi Elios dengan tatapan kesal. Selanjutnya sebuah tanggapan dia haturkan, "Seharusnya aku meninggalkanmu saja di tempat terkutuk itu!"Dev mengangkat beban tubuhnya meninggalkan Elios yang belum pulih dari rasa syok. Hanya sebentar saja mengambil secawan air putih dia ambil dari mata air di area yang tidak jauh, lalu kembali lagi ke ruangan di mana Elios berada."Minumlah!" Dev mengulurkan gelas bambu pada Elios."Terima kasih!" balas Elios, keruh di wajahnya sudah hilang."Katakan kalau kau merasa lebih baik." Dev membalas."Maaf, aku sudah sala
"Apa hasilnya?" Dev menatap punggung seorang dokter yang baru saja memeriksa keadaannya. Dia beringsut dari brankar, lalu duduk."Tunggulah! Kau pasti akan mengetahuinya. Sekarang, kau hanya perlu pulang dan istirahat." Dokter perempuan itu berkata sambil berkutat dengan pekerjaannya."Aku tidak memiliki banyak waktu, Dokter!""Sepertinya kau tidak kalah sibuk dengan Jair Bolsonaro yang seorang pria nomor satu di Brazil." Dokter itu kemudian terbahak. Namun, keadaan menjadi hening ketika Dev menghentakkan telapak tangannya di meja."Ternyata kau sama keras kepalanya dengan ayahmu!""Jika aku menjadi pemilik rumah sakit ini, aku tidak akan membiarkan orang sepertimu menjadi tenaga kerja." Ucapan Dev membuat dokter itu mengunci tatapannya dalam sekejap."Apa kau benar-benar siap untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya, Dev Sasaka Erhan?" Mata tajam Dev seketika jatuh pada perempuan berseragam di seberangnya. Tidak disangka, dokter itu sudah terlebih dahulu menusuknya.Ketegangan meng
"Siapa kau?" Perempuan telanjang itu bergeming dan terus mendekati Dev dengan membawa ular di tubuhnya. Dev mengelak saat perempuan aneh itu mengendusnya."Menyingkir dariku, Jalang!" Dev terlihat marah. Akan tetapi, lawan bicaranya hanya tersenyum, memamerkan gigi taring. Saat melihat itu, seketika Dev mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan iblis. "Apakah kau yang mereka panggil dengan sebutan dewi?" Dev mengejek."Jika kau makin banyak bicara maka aku akan makin tertarik. Mulutmu sangat wangi dengan bau Asmodeus. Kau sudah memakan jatahku malam ini dan kau harus menggantinya." Perempuan itu berkata sambil mengendus leher Dev. Jilatan lidahnya membuat Dev merasa sedikit terlena."Apa maksudmu?" tanya Dev."Raja Asmodeus, kau adalah raja kegelapan. Setiap tatapanmu adalah mutiara. Engkau Bapak penguasa singgasana neraka. Birahi dan napsu tunduk di bawah kakimu. Aku datang sebagai kekasihmu, naungi aku dengan geloramu. Berkati aku dengan keringatmu. Aku mempersembahkan seluruh ke
Dev masih menunggu orang-orang itu melepas topeng. Dengan sabar, dia menyimak obrolan yang mungkin akan memberinya petunjuk. Seseorang datang menduduki kursi agung. Sepertinya ia adalah pemimpin kelompok. Ia berkata, "Apa kalian sudah menjalankan tugas dengan baik?" Dari suaranya Dev tahu bahwa orang itu adalah perempuan."Tentu. Semua berjalan seperti yang kau inginkan. Jess sudah mati setelah melewati penderitaan yang pantas." Seorang laki-laki menjawab. Dev merasa tidak asing dengan suara tersebut."Bagus. Semua berkat Dewi Lilith. Haimm untuknya." Wanita itu menyeru."Wanita cantik, Lilith! Kau adalah angin malam. Ketika rambut panjangmu mengalir tanpa suara, tatapanmu menusuk hati para pria. Dalam kegelapan bayanganmu tumbuh. Dark Moon Lilith, ular yang menyiksa. Aku mengagumimu tanpa rasa takut. Dewi, kau penting dan kaulah yang aku hormati. Ibu Lilith yang selamat dari sisa-sisa waktu, roh dari semua yang liar. Perwujudanmu kematian Ilahi. Aku datang sebagai anakmu. Lindungi aku
"Kau pikir aku tertarik dengan dunia sihir?" Elfara memandang gusar pada Dev."Aku tidak bertanya seperti itu, kan? Aku menemukannya di kamarmu.""Terserah kau, aku tidak peduli." Elfara berkata dingin dan Dev memilih diam. Tidak ingin memperburuk suasana hati Elfara.Sesampainya di rumah, keduanya saling diam hingga malam menjelang. Keanehan pun kembali terjadi. Dev di dalam kamarnya beberapa kali mendengar eraman naga, tetapi tidak bisa melihat wujudnya.Dalam keresahan, Dev menutup kedua lubang telinganya. Entah mengapa, tiba-tiba rasa panas mulai mengalir ke seluruh tubuhnya. Keringat mulai lolos dari pori-pori. Tetiba, Dev sangat membenci audio yang Mehmet setting putar otomatis setiap pagi, siang, dan malam. "Argh!" Dev mulai menggelinjang dan mulai merasakan listrik bertegangan rendah menyengat kakinya."Asmodeus!" gumamnya. Dia melihat makhluk berkepala tiga pada pantulan lemari kaca dengan wajah yang sangat murka."Mehmet é um inimigo em um cobertor! Você tem que matá-lo!" A
"Elfara!" Dev tergopoh-gopoh ke kamar rawat kakaknya. Gadis itu tampak sangat ketakutan."Apa ada yang menyakitimu?" Dev berusaha menenangkan Elfara."Nania! Nania menerorku!" Elfara menjawab setelah beberapa lama terpaku sejak kedatangan Dev. Genggaman Dev terlepas dari bahu kakaknya."Tenanglah! Aku akan memastikan dia tidak akan mengganggumu lagi." Sekeluarnya Dev dari kamar rawat Elfara, dia memutuskan keluar dari gedung rumah sakit."Cari tahu kebenarannya terlebih dahulu sebelum kau melakukan sesuatu." Langkah Dev terhenti di halaman depan rumah sakit."Kau mendengar semuanya. Apa kau tidak percaya pada Elfara?" Dev bertanya dengan tatapan lurus ke depan."Orang cerdas akan bersikap bijak, bukan?""Ya, aku mengamati Nania sejak lama. Aku harap kau tidak keberatan, Paman Mehmet!""Tentu. Aku selalu berpihak pada kebenaran."Dev menyiram tubuhnya yang lengket di bawah shower. Sejak dikejutkan oleh perubahan bentuk fisiknya, dia belum merasakan segarnya sentuhan air. Di bawah guyur