Brak!
Suara pintu terdengar nyaring di kamar Elfara, Jess yang mendapati anak itu telah pulang, segera menyusul tanpa memikirkan keletihan yang melanda putrinya. Ia memiliki pertanyaan yang harus segera terjawab. Namun, ternyata gadis itu mengunci pintunya.
“Elfara!”
“Elfara!”
“Keluar sebentar, kita harus bicara!” Beberapa saat berlalu, pintu terbuka. Elfara keluar dari kamar dengan pakaian kerja yang masih melekat.
“Ada apa?” Elfara berkata sedikit ketus.
“Semakin hari, kau semakin berani, ya?”
“Mommy, aku tidak ingin berdebat. Katakan saja, apa yang ingin Mommy katakan!” Jess menatap lekat anak gadisnya yang kini tengah melipat tangan sambil bersandar di tembok.
“Sejak kapan kau bekerja untuk Joana, hah? Katakan, untuk apa kau bekerja dengannya!” Elfara menarik sudut bibirnya kemudian tertawa kecil. Wanita yang berpangkat ‘ibu’ itu menunjukkan keegoisannya.
“Memangnya apa masalahn
Dev memeriksa setiap ruangan, keberadaan Jessy tidak terlihat. Sepasang netranya kemudian beralih ke pintu utama yang telah terbuka, Dev menemukan Elfara yang sudah tidak sadarkan diri. Pecahan guci berserakan di lantai, semua tak luput dari noda darah, tetapi darah siapa? Pemuda tampan itu mengangkat kakaknya hingga akhirnya ia merasakan aliran merah di punggung gadis itu mengenai lengannya.“Elfara!” Aura wajahnya bertambah kelam, lelaki itu meletakkan kakaknya di sofa. Dev mengobrak-abrik semua tempat dengan gusar.“Sial, Mommy sama sekali tidak memiliki telepon di rumah ini. Ponsel Elfara juga tidak ada! Haah!” Dev membanting meja yang berada di sisinya hingga menimbulkan suara yang menusuk gendang telinga. Meskipun begitu, kesadaran Elfara tidak terpancing untuk segera pulih. Luka Elfara cukup dalam, akhirnya Dev menggotong tubuh gadis itu ke luar.“Demi penguasa alam kegelapan, semua ini pasti sudah direncanakan!
Nick meringkuk di dalam temaramnya kamar. Putih sprei yang memangku punggung perlahan berubah menjadi milyaran kristal berwarna kecokelatan. Kawanan angin yang bermigrasi membawa sebagian besar butiran paling halus yang tertidur dilapisan paling atas. Nick menunduk, tak mengizinkan pasir terbang menyerang sepasang jendela dunianya yang terang. “Di mana aku?” Nick meninggalkan jejak meskipun belenggu badai mengikat tulang kakinya. Sesekali ia terantuk, tidak berhasil berdamai dengan kekuatan alam sebesar itu. Sebagian debu pasir berselimut memberatkan punggung. Jakun Nick yang naik turun mengisyaratkan betapa menyusutnya buih saliva yang selalu bermukim di sepanjang mulut dan kerongkongan. Gurun pasir yang ditumpu seolah tak memiliki ujung. Nick menyeret tubuhnya berharap menemukan oase. Akan tetapi, hanya ada kaktus meranggas di bawah arkamaya kelabu. Haruskah ia menyerahkan diri kepada penguasa takdir? Membiarkan tubuhnya perlahan berubah menj
Sengat mentari merangsang pori-pori, Jessy segera bangun ketika menyadari dirinya berada di bahu jalan. Ia merasakan sakit di sekujur tubuh, bahkan luka di punggung tangan masih terlihat basah. Jess memindai sekeliling, ternyata ia berada di dekat katredal. Jessy berusaha mengingat apa yang terjadi, tentang bagaimana ia bisa tergeletak di pinggir jalan begitu saja. “Arrrgh!” Jessy memegang kepala dengan kedua tangannya seperti tengah merasakan sakit. “Sial! Kenapa aku tidak mengingat apa pun?” Karena bingung harus melakukan apa dan akan pergi ke mana, Jessy memutuskan untuk masuk ke katredal unik berkaca patri itu. Namun, rupanya kekuatan Jessy hanya sampai di salah satu patung Penginjil. Ketika wanita bergelar ibu itu hampir kehilangan kesadaran, seorang lelaki berkacamata berlari ke arahnya. Lelaki tak dikenal itu membantu Jess untuk duduk. “Nyonya, maaf izinkan aku membawamu ke rumah sakit. Kau terluka!” ucapnya penuh kelembutan.
Brasilia digegerkan oleh berita ledakan sebuah mansion. Polisi dalam penyelidikannya menemukan satu korban jiwa yang mengalami luka bakar serius sebanyak 60%. Wajah korban tidak dikenali, dan para petugas tidak menemukan apa pun yang dapat menjadi petunjuk identitas korban. Joana mengernyit mendengar berita itu di layar ponselnya.“Mansion itu, aku sering melintasinya. Apa yang terjadi?” Joana meletakkan kembali benda pipihnya, tangannya beralih ke meja, membereskan sisa-sisa barang yang berserakan. Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaga dan membuatnya lupa bahwa ia telah melewati separuh malamnya di ruang yang memusingkan itu. Perempuan itu melirik arloji yang melingkar di tangan ketika sebuah panggilan tiba-tiba masuk ke ponselnya.“Aku tidak peduli, jangan menghubungiku sebelum kau mendapatkan informasi keberadaan Jessy!” Tanpa sadar, tangan kiri Joana meremas berkas yang tengah dibereskannya.“Tidak berguna! Untuk apa aku memb
Di Flat Particular, Jessy menyaksikan tayangan televisi dengan liur yang hampir menetes. Waktu satu detik tanpa sensor pada korban ledakan di mansion yang sedang hangat-hangatnya disiarkan oleh acara berita seolah menciptakan sensasi liar pada wanita berparas cantik tersebut. Jessy meneguk minuman kaleng seolah kerongkongannya tidak dialiri air selama berhari-hari.“Kau belum tidur?” Jessy terkesiap mendapati Michele yang tiba-tiba bersuara dari belakang punggungnya.“Maaf, maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu.” Michele berucap seraya menangkupkan kedua tangan.“Ah, tidak masalah. Aku yang terlalu serius.”“Kau menonton apa?”“Biasa, acara berita.”“Em, berhubung kita sama-sama tidak tahu siapa namamu, bolehkah aku memanggilmu Jeselyn?” Jess terbatuk dan sontak memegang kepala. Kata-kata Jeselyn seperti sebuah clue dari sepotong memorinya yang ingin
Hening mendominasi perjalanan pulang Michele dan Jessy. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Melihat sekilas foto Nick ketika sampai di rumah, Michele seperti bingung dengan kejadian itu. Akan tetapi, dia tidak begitu memusingkan hal tersebut karena Nick hanyalah pasien yang mengalami gangguan jiwa. Berbeda dengan Jess yang terus gelisah sepanjang waktu. Usaha untuk tidak memikirkan pria itu dengan berlebihan gagal total. Sentuhan, ucapan, dan tatapan Nick seolah menempel di semua indera hingga terbawa ke mana pun kaki melangkah. Bayang-bayang itu sama sekali tidak memberinya waktu beristirahat.“Apa yang terjadi? Itu semua, apakah hanya kebetulan? Malam itu, mulutku spontan mengucapkan nama Nick dan pagi harinya aku bertemu pasien Michele yang memiliki nama serupa.” Jessy membuang selimut yang terbentang di sebagian tubuh. Segelas air putih langsung tandas setelah sebutir pil masuk ke kerongkongan. Mengendap-endap, ia melihat Michele mendengkur di unit s
“Harus kukatakan berapa kali? Aku tidak gila!” Seorang perawat terlihat kewalahan menghadapi salah satu pasien. Berbagai obat, vitamin, dan buah-buahan berhamburan di lantai. Begitu pula dengan nampan berisi sarapan yang baru saja datang.“Maria, ada apa?” Suara Michele berhasil membuat orang-orang yang berada dalam ruangan menoleh dengan serentak.“Dokter, tidak ada apa-apa. Tuan Nick hanya tidak mau memakan sarapan dan obat,” terang Maria sedangkan Nick hanya mendengkus, menatap Michele penuh amarah, lalu membuang muka.“Maria, pasien lain memerlukanmu.”“Baiklah!” Perawat berhijab putih tersebut memungut semua barang yang berserakan di lantai dengan cekatan, dan segera meninggalkan ruangan menyisakan dua pria dewasa yang saling mematung.“Tuan ….”“Jangan coba-coba menggerakkan kakimu! Kau sama saja dengan semua orang di rumah sakit jiwa, dan semua polisi
“Sudah kukatakan, aku tidak mau, Michele!” Berkata lirih, tetapi penuh penekanan, Nick menusuk iris biru pria yang berada dalam satu ruangan dengannya. Ketukan sepatu terdengar, lawan bicaranya mengikis jarak. Hanya empat jengkal yang disisakan, pria berkacamata yang telah berhenti berjalan ke arah Nick menautkan pandangan. Seolah ingin mengatakan bahwa dia tidak takut dengan keegoisan dan keras kepala yang ditunjukkan oleh Nick. “Tuan Nick, kau selalu mengatakan kalau kau tidak gila seperti persangkaan semua orang, ‘kan? Jika kau ingin semua orang mempercayaimu, maka buktikanlah! Rangkaian pemeriksaan ini bertujuan untuk itu! Aku harus melakukan diagnosis ulang, semua itu demi dirimu sendiri.” Bergeming, Nick merasa kalah untuk yang ke sekian kali. Tidak dipungkiri, apa yang dikatakan pria bule itu benar. Nick Erhan harus belajar menekan ego. “Ikutlah ke ruanganku. Maaf, jika menurutmu aku terlalu kasar, itu karena aku tidak tahu lagi cara menaklukkan hatimu yang se
“Callin?” Dev tersenyum miring mendengar suara gelisah Ezhar.“Kau menyentuh bonekaku?”“Tenanglah, aku hanya sebentar saja memainkannya!” Ezhar menjawab.“Tinggalkan kami, Ezhar! Aku ingin memainkannya sendiri.” Setelah berkata demikian, Ezhar mulai menghitung langkah dengan sorot mata penuh pertanyaan.Beberapa saat setelah kepergian Ezhar, Callin memulai aksinya. Ruangan 3x4 meter itu penuh dengan raungannya. Tidak ada apa pun yang bisa menjadi tempat pelampiasannya kecuali Dev. Callin menjadikan adiknya seperti mainan yang tidak diinginkan. Sesekali, tinju-tinjunya dilayangkan pada wajahnya sendiri. Hal itu membuat kepala Dev dipenuhi tanda tanya.“Apakah dia sedang mengingat penderitaannya?” gumam Dev.“Cih, untuk apa aku peduli soal dia!” Dev menggeliatkan sedikit badannya yang dipenuhi darah. Walaupun sedikit, pergerakannya membuat besi rantai yang membelenggu tangannya bergemerincing. Callin yang tengah berusaha untuk tenang seketika menoleh. Membalik badan dan menusuk Dev den
Boom!Dentuman menggelegar meriuhkan jagat. Angin berdebu mengaburkan penglihatan dalam sejenak. Dalam satu pukulan itu, Callin berhasil membuat seluruh tempat menjadi porak-poranda."Dev!" Michele kembali berteriak saat dia melihat Dev bertelengkup dan mengangkat kepala dengan lemah."Jika kau ingin selamat, diam dan pergilah!" Callin berkata dingin kepada Michele. Dia kemudian menyeru semua anggota yang tersisa dan mengisyaratkan Ezhar untuk pergi."Dev!" Teriakan Michele terdengar pilu. Dia harus menyaksikan Callin menyeret Dev seperti menyeret babi hutan.Di sebuah tempat tersembunyi di São Paulo, Dev diasingkan. Rumah kayu yang tak bersekat di sana akan menjadi tempat baru yang sangat mengerikan untuk Dev. Bayangan Callin akan mengulitinya hidup-hidup terus berputar di kepala dan mungkin itu akan terwujud saat Callin muncul dengan tombak bermata tiga di tangannya."Apa kau merasa lelah dengan perjalanan kita sampai kau harus tidak sadarkan diri dalam waktu selama itu?" Callin ber
"Dasar anak bodoh!" Elios membuka mata dan melihat Dev sudah ada di depannya."Kau? Apa kau berubah pikiran?" Elios menebak. Dev mendecak. Tidak bisa memahami jalan pikiran pemuda latin itu."Ikut aku!""Tidak! Aku harus mencari Devada.""Lupakan dia!""Hei, apa kau sudah gila?" Elios mendecih. Terlihat sangat tidak suka dengan perkataan Dev."Ikut aku jika kau ingin selamat." Elios memberi tanda penolakan dengan menggeleng."Kau bukan Tuhan yang menjamin keselamatanku. Bagaimana mungkin aku mengikuti orang yang tidak kukenal sementara gadis yang aku cintai sedang dalam bahaya?" Dada Dev kembang kempis. Ingin memukul Elios, tetapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah."Kau terlalu banyak membual, Elios!" Dev berkata dingin."Membual? Apa kau tidak pernah mencintai seseorang sehingga kau bertindak seperti orang yang tidak punya hati?""Hei ... dia sudah mati!" Seketika, bentakan Dev membuat tangan Elios melayang keras ke pipi Dev."Dev! Sudah!" Michele menahan tangan Dev yang sudah terkep
"Devada? Di mana Devada?" Seorang pemuda terbangun cemas setelah pingsan dari perjalanan menuju tempat tersembunyi."Diamlah, Elios!" Dev menghentikan aktivitas tangannya. Elios terhenyak, tetapi bukan karena suara dingin Dev melainkan laki-laki yang tergeletak tak berdaya di depan Dev."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada orang itu?" Elios tersudut pada dipan yang menjadi dinding rumah yang mereka singgahi.Dev memutar badannya, lalu menumpahi Elios dengan tatapan kesal. Selanjutnya sebuah tanggapan dia haturkan, "Seharusnya aku meninggalkanmu saja di tempat terkutuk itu!"Dev mengangkat beban tubuhnya meninggalkan Elios yang belum pulih dari rasa syok. Hanya sebentar saja mengambil secawan air putih dia ambil dari mata air di area yang tidak jauh, lalu kembali lagi ke ruangan di mana Elios berada."Minumlah!" Dev mengulurkan gelas bambu pada Elios."Terima kasih!" balas Elios, keruh di wajahnya sudah hilang."Katakan kalau kau merasa lebih baik." Dev membalas."Maaf, aku sudah sala
"Apa hasilnya?" Dev menatap punggung seorang dokter yang baru saja memeriksa keadaannya. Dia beringsut dari brankar, lalu duduk."Tunggulah! Kau pasti akan mengetahuinya. Sekarang, kau hanya perlu pulang dan istirahat." Dokter perempuan itu berkata sambil berkutat dengan pekerjaannya."Aku tidak memiliki banyak waktu, Dokter!""Sepertinya kau tidak kalah sibuk dengan Jair Bolsonaro yang seorang pria nomor satu di Brazil." Dokter itu kemudian terbahak. Namun, keadaan menjadi hening ketika Dev menghentakkan telapak tangannya di meja."Ternyata kau sama keras kepalanya dengan ayahmu!""Jika aku menjadi pemilik rumah sakit ini, aku tidak akan membiarkan orang sepertimu menjadi tenaga kerja." Ucapan Dev membuat dokter itu mengunci tatapannya dalam sekejap."Apa kau benar-benar siap untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya, Dev Sasaka Erhan?" Mata tajam Dev seketika jatuh pada perempuan berseragam di seberangnya. Tidak disangka, dokter itu sudah terlebih dahulu menusuknya.Ketegangan meng
"Siapa kau?" Perempuan telanjang itu bergeming dan terus mendekati Dev dengan membawa ular di tubuhnya. Dev mengelak saat perempuan aneh itu mengendusnya."Menyingkir dariku, Jalang!" Dev terlihat marah. Akan tetapi, lawan bicaranya hanya tersenyum, memamerkan gigi taring. Saat melihat itu, seketika Dev mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan iblis. "Apakah kau yang mereka panggil dengan sebutan dewi?" Dev mengejek."Jika kau makin banyak bicara maka aku akan makin tertarik. Mulutmu sangat wangi dengan bau Asmodeus. Kau sudah memakan jatahku malam ini dan kau harus menggantinya." Perempuan itu berkata sambil mengendus leher Dev. Jilatan lidahnya membuat Dev merasa sedikit terlena."Apa maksudmu?" tanya Dev."Raja Asmodeus, kau adalah raja kegelapan. Setiap tatapanmu adalah mutiara. Engkau Bapak penguasa singgasana neraka. Birahi dan napsu tunduk di bawah kakimu. Aku datang sebagai kekasihmu, naungi aku dengan geloramu. Berkati aku dengan keringatmu. Aku mempersembahkan seluruh ke
Dev masih menunggu orang-orang itu melepas topeng. Dengan sabar, dia menyimak obrolan yang mungkin akan memberinya petunjuk. Seseorang datang menduduki kursi agung. Sepertinya ia adalah pemimpin kelompok. Ia berkata, "Apa kalian sudah menjalankan tugas dengan baik?" Dari suaranya Dev tahu bahwa orang itu adalah perempuan."Tentu. Semua berjalan seperti yang kau inginkan. Jess sudah mati setelah melewati penderitaan yang pantas." Seorang laki-laki menjawab. Dev merasa tidak asing dengan suara tersebut."Bagus. Semua berkat Dewi Lilith. Haimm untuknya." Wanita itu menyeru."Wanita cantik, Lilith! Kau adalah angin malam. Ketika rambut panjangmu mengalir tanpa suara, tatapanmu menusuk hati para pria. Dalam kegelapan bayanganmu tumbuh. Dark Moon Lilith, ular yang menyiksa. Aku mengagumimu tanpa rasa takut. Dewi, kau penting dan kaulah yang aku hormati. Ibu Lilith yang selamat dari sisa-sisa waktu, roh dari semua yang liar. Perwujudanmu kematian Ilahi. Aku datang sebagai anakmu. Lindungi aku
"Kau pikir aku tertarik dengan dunia sihir?" Elfara memandang gusar pada Dev."Aku tidak bertanya seperti itu, kan? Aku menemukannya di kamarmu.""Terserah kau, aku tidak peduli." Elfara berkata dingin dan Dev memilih diam. Tidak ingin memperburuk suasana hati Elfara.Sesampainya di rumah, keduanya saling diam hingga malam menjelang. Keanehan pun kembali terjadi. Dev di dalam kamarnya beberapa kali mendengar eraman naga, tetapi tidak bisa melihat wujudnya.Dalam keresahan, Dev menutup kedua lubang telinganya. Entah mengapa, tiba-tiba rasa panas mulai mengalir ke seluruh tubuhnya. Keringat mulai lolos dari pori-pori. Tetiba, Dev sangat membenci audio yang Mehmet setting putar otomatis setiap pagi, siang, dan malam. "Argh!" Dev mulai menggelinjang dan mulai merasakan listrik bertegangan rendah menyengat kakinya."Asmodeus!" gumamnya. Dia melihat makhluk berkepala tiga pada pantulan lemari kaca dengan wajah yang sangat murka."Mehmet é um inimigo em um cobertor! Você tem que matá-lo!" A
"Elfara!" Dev tergopoh-gopoh ke kamar rawat kakaknya. Gadis itu tampak sangat ketakutan."Apa ada yang menyakitimu?" Dev berusaha menenangkan Elfara."Nania! Nania menerorku!" Elfara menjawab setelah beberapa lama terpaku sejak kedatangan Dev. Genggaman Dev terlepas dari bahu kakaknya."Tenanglah! Aku akan memastikan dia tidak akan mengganggumu lagi." Sekeluarnya Dev dari kamar rawat Elfara, dia memutuskan keluar dari gedung rumah sakit."Cari tahu kebenarannya terlebih dahulu sebelum kau melakukan sesuatu." Langkah Dev terhenti di halaman depan rumah sakit."Kau mendengar semuanya. Apa kau tidak percaya pada Elfara?" Dev bertanya dengan tatapan lurus ke depan."Orang cerdas akan bersikap bijak, bukan?""Ya, aku mengamati Nania sejak lama. Aku harap kau tidak keberatan, Paman Mehmet!""Tentu. Aku selalu berpihak pada kebenaran."Dev menyiram tubuhnya yang lengket di bawah shower. Sejak dikejutkan oleh perubahan bentuk fisiknya, dia belum merasakan segarnya sentuhan air. Di bawah guyur