Share

07. Tak Terkendalikan

Setelah kejadian buruk yang membuatnya merasa hina, Lia tak bisa menuntut atau kabur dari masalah itu. Mungkin sekarang dia sudah sama buruknya dengan perempuan panggilan, tapi Lia tak berdaya. 

Melihat bagaimana Davin setelah sekian lama dan bagaimana pria itu sekarang, memang tak bisa dipungkiri membuat Lia sangat takut. Apalagi dengan ancaman dan kekuasaannya. Teringat akan keberadaan Raka, mungkin karena hal itu, Lia putuskan untuk menyembunyikannya saja. 

Tidak perduli dengan apa yang dialaminya sekarang, penderitaan dan siksaan yang tiada habisnya, tapi Lia tetap akan memastikan kalau anaknya akan baik-baik saja. Termasuk jika dia harus jadi jala-ngnya Davin. Dia mencoba untuk tak perduli itu, meski sangat menyakitkannya. 

"Apa kamu baik-baik saja, Lia? Aku perhatikan sejak kamu bekerja kembali kamu bertambah stress saja dan beberapa hari terakhir kamu terlihat murung?!" tanya Lyra sahabatnya yang selama ini mengasuh Raka di penitipan anak.

Lia menghela nafasnya kasar, kemudian tersenyum dengan paksa karena tak mau membuat sahabatnya khawatir. "Aku baik-baik saja Lyra. Aku stress masalah pekerjaan saja."

"Tapi sebelum ini kamu juga sudah bekerja Lia, kamu tidak seburuk ini. Kenapa kali ini berbeda?" tanya Lyra tak langsung tertawa.

Lia terdiam, untuk sesaat dia tak punya jawaban dan berpikir keras. "Ak-aku bekerja di perusahaan besar sekarang Lyra, tentu saja berbeda. Ini lebih capek dan pekerjaannya lebih menumpuk," jawab Lia tak sepenuhnya berbohong. Meski sejujurnya memang itu penyebab utamanya. Sebab Davinlah yang membuatnya demikian.

"Kamu tidak bohong?" tanya Lyra memastikan.

Lia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Beneran Lyra. Kamu nggak percayaan bangat sih?!"

"Ok. Aku percaya. Awas ya jika kamu sampai bohong?!"

"Engga! Udah sana pulang dan terima kasih sudah menjaga Raka seharian," ujar Lia tulus.

"Ngalus bangat ngusirnya," cibir Lyra bercanda.

"Nggak gitu Lyra. Kalau mau kamu menginap di sini saja," tawar Lia.

"Nggak, nanti suami dan anakku sendirian di rumah. Udah, ah. Aku pulang dulu ya," ujar Lyra akhirnya pamit dan melakukan ucapannya.

Sementara itu, Lia masuk ke kamar Raka dan memeriksa keadaan putranya.

"Mama teman-teman aku semuanya ternyata punya papa, tapi kenapa aku tidak ya?!" tiba-tiba Raka menodong Lia dengan pertanyaan yang sangat sulit.

Wanita itu bahkan sampai tertohok, tidak menyangka masalah lukisan putranya sampai begitu fatal.

Menarik nafasnya pelan kemudian Lia menghampiri Raka dan mengajaknya duduk di atas tempat tidur. "Sebenarnya kamu juga punya Sayang, tapi Papamu sedang pergi bekerja jauh sekali. Sangat jauh untuk mencari uang supaya bisa membeli makanan enak dan mainan yang banyak untuk Raka. Raka mau mainan bukan?" tanya Lia diakhir kalimatnya.

Wanita itu pikir setelah berkata demikian masalahnya akan selesai, tak berpikir kalau Raka malah menganggap serius hal itu.

"Kalau gitu, Raka tidak usah punya mainan saja, Mama. Raka ingin ketemu Papa, Ma!"

Lia kembali terdiam dan syok dengan ucapan itu, tapi dia juga tak mungkin memenuhi keinginan anaknya, karena Lia tak mau Raka kenapa-napa jika bertemu dengan Davin.

"Kalau begitu Raka harus jadi anak yang baik dulu dan jangan nakal, supaya Papa pulang," jelas Lia dengan kembali mengelak.

Raka segera terlihat kecewa, tapi kemudian dia pun mengangguk paham. Hari ini si kecil mulai mempelajari tentang sosok ayah yang mungkin sangat dia butuhkan. Baru perkenalan singkat tanpa kesenjangan, lalu bagaimana suatu hari nanti, Raka mulai mengerti dan benar-benar paham, apakah dia tidak akan lebih menuntut.

"Lupakan itu, sekarang waktunya bersih-bersih. Ayo, waktunya Raka mandi," ujar Lia yang langsung berdiri dan menarik Raka untuk mengikutinya ke kamar mandi.

'Apa yang harus aku katakan padamu, Nak. Papamu bahkan tidak pernah berpikir tentang kehadiranmu, Nak. Dia tidak pernah tahu tentang kamu atau bahkan membayangkanmu, dan Mama yakin dia juga tidak akan menginginkanmu!' batin Lia merasa sesak.

❍ᴥ❍

"Pokoknya aku nggak mau tahu, kamu harus memecat wanita itu Davin. Wanita rendah-an seperti dia tak pantas bekerja di perusahaan!" tukas Liona yang baru datang dan menemui Davin di apartemen milik pria itu.

"Jangan ikut campur. Itu hanya akan menjadi urusanku!" ujar Davin tegas. Wajahnya cukup kesal saat Liona datang-datang langsung membahas Lia.

"Apa maksudmu Davin. Bagaimana kamu bisa berkata begitu. Sebentar lagi kita akan tunangan, tapi kamu berani berkata hal yang menyakitiku?!" ujar Liona dengan nada tak percaya sekaligus kecewa.

Davin berdiri, memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. "Tolong jangan membuat semuanya rumit. Jangan membesarkan masalah!"

"Davin!!" bentak Liona kesal.

Davin membuang nafasnya kasar. Sial, harinya benar-benar buruk. Lia sudah berhasil dia siksa dan bahkan membuat wanita itu sangat menderita, tapi anehnya bukannya senang ... hidupnya malah tak bisa tenang.

 "Pulanglah. Aku sedang tidak ingin diganggu!" ujar Davin membuat Liona tersinggung.

 "Oh, jadi sekarang kau menganggap aku pengganggu?!" tanya Liona yang langsung membentak tak terima.

Davin segera menatapnya tajam dan mengintimidasi perempuan itu. "Aku bilang keluar!!"

Lalu dengan tanpa hati, Davin mengusirnya kasar. Pria itu tidak peduli pada status mereka, karena jika Davin ingin sesuatu ... maka dia akan mendapatkannya, dan jika dia ingin Liona keluar dari apartemen miliknya, maka dia akan mengusirnya. Termasuk dengan membentak dan menyeretnya kasar.

"Aku sudah memperingatkanmu agar tidak menggunakan posisimu sebagai tunangan untuk mengancamku. Kau pikir dirimu bisa mengaturku, hah?! Pergi dan jangan berani menemuiku lagi!!" bentak Davin memperingatkan.

Dia bahkan dengan tega mendorong calon tunangannya sampai tersungkur. "Jika bukan karena ibuku, maka aku juga tidak mau berhubungan denganmu, jadi kendalikan dirimu!"

"Davin!" teriak Liona kesal, tapi karena tak punya pilihan, dia segera berubah, dari yang tadinya ingin mengendalikan Davin kini berubah memohon belas kasihnya. "Aku sayang sama kamu, aku cuma nggak mau dilukai perempuan penghianat itu lagi! Tolong mengertilah posisiku?!"

"Aku tidak mengerti, tapi sepertinya aku yang harus memberikan pengertian untukmu. Dengarkan ini baik-baik Liona!" peringat Davin kejam. "Aku tidak lemah sampai butuh bantuanmu!"

Brak!!

Davin menutup pintu apartemennya, setelah sempat membantingnya keras di hadapan Liona.

"Arrrggghhh, Davin!!" teriak Liona putus asa.

Namun apa memangnya yang bisa dia perbuat? Bahkan Davin tidak punya perasaan, tidak punya hati ataupun rasa kasihan.

Davin seperti tak tersentuh. Di dalam hidupnya tak ada yang diperdulikan, selain orang tuanya, perusahaan dan juga dendamnya pada Lia. Tak ada yang bisa menghentikannya, saat dia mempunyai pikiran yang sangat picik dan juga kekuasaan.

❍ᴥ❍

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
CacaCici
hanya tersenyum dengan manis. ( ◜‿◝ )♡
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status