Benjamin memandang lurus ke depan, melihat bentangan jalan yang sedari tadi dilewatinya. Pikirannya melalang buana, masih membekas jelas dalam kepalanya mengenai perkataan ibunya mengenai pertemuan pernikahan yang diatur untuknya.
"Baiklah kalau kata Mama begitu. Aku rasa tidak ada salahnya menjalani pertemuan pernikahan ini, Ma. Atur saja jadwal temunya. Aku pasti akan datang.""Mama bersyukur kau berpikir begitu, Benjamin. Mama akan mengatur pertemuan kalian segera, lebih cepat lebih baik."Sementara itu, Adora yang duduk di sebelah Benjamin pun hanya melirikkan matanya ke arah Benjamin dan menemukan bosnya itu tengah larut dalam lamunannya.Adora mengamati ekspresi Benjamin yang datar, tampaknya laki-laki itu tidak menyadari bahwa Adora tengah memerhatikannya. Dalam hati kecil Adora, ia bertanya-tanya, benarkah perkataan Irish kemarin?"... Kalau tidak salah aku pernah mendengar rumornya. Pak Benjamin sudah memiliki anak. Sepertinya tidak. Tapi, sepertinya iya. Kalau tidak salah, anak perempuan? Atau anak laki-laki, ya? Aku lupa. Aku akan tanyakan Ghea dulu.Memang kenapa? Pak Benjamin benar sudah punya anak?""Kenapa? Ada yang salah?""Tidak, Pak, tidak! Mempunyai anak itu hak Bapak."Terkejut karena Benjamin tiba-tiba bersuara dan membuyarkan lamunannya, tanpa sadar Adora mengucapkan kata-kata tidak penting yang mungkin dapat menyinggung perasaan Benjamin.Wajah Adora memerah saat melihat Benjamin tampak mengernyit dan membenarkan posisi duduk serta jasnya setelah mendengar kata-kata Adora.Tampak jelas laki-laki itu merasa risih sebab Adora sudah melewati batasnya dengan mengusik kehidupan pribadinya. Hal ini sontak membuat Adora yang melihatnya pun ingin menenggelamkan dirinya sendiri karena rasa malu yang tak dapat tertahankan.Kau sungguh bodoh, Adora. Mau memiliki anak ataupun tidak, itu sama sekali bukan urusanmu. Urusanmu hanya mengurusi pekerjaan dan kebutuhannya, bukan kehidupan pribadinya.Benjamin berdeham, berusaha mencairkan suasana. "Jadi, apa jadwalku selanjutnya, Adora?"Beruntung Benjamin bukan seorang bos yang hobi membuat Adora menderita. Benjamin memiliki toleransi yang cukup baik dan tak ingin tersandung masalah dengan orang lain hanya karena hal-hal sepele.Sontak, kesempatan itu tak dibiarkan begitu saja oleh Adora. Demi meredam kecanggungan di antara mereka, Adora berpura-pura membuka tablet di pangkuannya dan membacakan jadwal Benjamin hari ini.Tentu saja hal itu hanyalah basa-basi di antara mereka berdua. Baik Benjamin dan Adora tahu mengenai jadwal hari ini. Tentu saja. Kalau tidak, kenapa mereka berada di dalam mobil dan berjalan menuju ke luar kota kalau tidak tahu apa-apa?Setelah sepuluh menit membicarakan jadwal, akhirnya Adora mengembuskan napasnya. Sedikit banyaknya ia bisa merasa lega sebab Benjamin tak lagi mengungkit kejadian memalukan tadi.Keadaan hening setelah Adora menjabarkan jadwal Benjamin hari itu. Adora menaruh macbook yang sedari dipegangnya itu kembali ke atas pangkuannya. Jari-jemarinya bermain satu sama lain, berusaha mengusir kecanggungan yang bersembunyi dalam keheningan di antara dirinya dan Benjamin.Benjamin yang memerhatikan gelagat Adora pun menyadari kecanggungan yang dirasakan sekretarisnya. Benjamin kemudian berdeham, membuka suara di antara keheningan yang tercipta di antara keduanya, "Adora, tolong kosongkan jadwalmu akhir minggu nanti.""Maaf, Pak?"Benjamin tersenyum saat melihat ekspresi bingung tercetak jelas di muka Adora saat mendengar permintaan tiba-tibanya. "Kuharap kau dapat mengosongkan jadwalmu akhir minggu ini karena aku ingin memperkenalkanmu pada anakku, Adora."Mata Adora membeliak saat mendengar perkataan Benjamin. Apa Benjamin bersungguh-sungguh dengan perkataannya? Belum sempat Adora melontarkan pertanyaan yang bersemayam dalam benaknya, mobil yang membawa dirinya dan Benjaminberhenti di perkarangan hotel---tempat meeting mereka.Benjamin dengan sikap cueknya membuka pintu, bersiap pergi menuju ruang meeting, melupakan Adora yang masih membeku di tempatnya. "Ayok, Adora, kau tidak ingin membuatku terlambat, bukan?"Mendengar perkataan Benjamin, Adora berusaha menyadarkan dirinya dari lamunan. Buru-buru dia membuka pintu mobil di sebelahnya dan berjalan mengikuti Benjamin yang berada tak jauh di depannya.Dari tempatnya berdiri, Adora dapat memandangi punggung kokoh Benjamin yang bergerak gagah di depannya. Berbeda dengan Adora yang merasakan degupan gila yang menyerang jantungnya, Benjamin sang pelaku justru bersikap seolah tak terjadi apa-apa.Adora mendesis, masih bertanya-tanya dengan kebenaran yang tadi didengar oleh indra pendengarnya, hingga ia tak sadar bahwa mereka kini sudah berada di ruang meeting yang sudah disiapkan oleh pihak hotel.Ruang meeting kali ini berbeda dengan ruang meeting sebelumnya. Apabila sebelum-sebelumnya, Benjamin melakukan meeting secara formal, kali ini sedikit informal, di mana para tamu dapat bebas berkeliaran di ruangan sembari menyantap sajian yang disiapkan. Sedikit lebih santai.Dalam ruang meeting, Adora dapat melihat jajaran direksi perusahaan, baik perusahaan multinasional maupun internasional. Jajaran direksi itulah yang akan Benjamim incar untuk bekerja sama dengan perusahaannya.Benjamin berhenti sebentar, menoleh ke arah Adora yang berada di belakangnya. "Kau tunggu di sini sebentar, aku akan berkeliling seraya bertegur sapa dengan para pimpinan perusahaan."Adora menganggukkan kepalanya dan Benjamin yang melihatnya pun segera menghambur ke dalam kerumunan, meninggalkan Adora yang berada di sudut ruangan, memerhatikan Benjamin yang bertegur sapa baik dengan para pimpinan perusahaan.Benjamin yang tersenyum lebar sembari melemparkan sapaan sangat berbeda dengan sosok yang biasa Adora lihat dalam keseharian. Sosok Benjamin yang saat ini begitu berwibawa dengan kepemimpinannya, tak biasanya kaku seperti saat ia berhadapan dengan karyawan lainnya, atau nakal saat berhadapan dengan Adora.Ya, Adora sudah terlalu banyak melihat sosok Benjamin di matanya, sehingga tak mungkin apabila saat ini Adora tak dapat mengklaim bahwa dia mengenal Benjamin luar dalam.Tak mau berlama-lama memandangi Benjamin, Adora kemidian mengambil langkah menuju meja panjang yang berada dalam ruangan. Di atas meja panjang yang beralaskan kain biru tua itu terdapat jajaran makanan yang mengunggah selera.Adora meraih piring kecil di meja adan memutuskan mengambil beberapa kue untuk ditaruhnya di atas piring. Saat lidahnya mencecap kue kering yang memiliki buah kiwi, jeruk, dan stroberi sebagai topping di atasnya; rasa segar menguasai rongga mulutnya, membuatnya larut dalam kenikmatan kue itu sampai tak menyadari seorang laki-laki yang memakai kacamata bulat sedang mendekatinya.Laki-laki itu memiliki wajah bertipe kelinci dengan bentuk wajah yang mungil. Sekali lihat saja, semua orang tahu pesona imut yang dimiliki laki-laki itu."Halo, Senior," Sapa laki-laki itu yang membuat Adora menolehkan kepalanya.Laki-laki itu tersenyum tipis, sedikit mengulum bibirnya, merasa ragu apakah dia harus melanjutkan pembicaraannya, tetapi melihat Adora berada di depannya, bibir laki-laki itu sedikit gatal, jadi dia melanjutkan kembali ucapannya."Apakah Senior masih mengingat diriku?"Adora tersenyum saat melihat laki-laki itu mengalihkan pandangannya, kemudian mengintip lagi. "Tentu saja, Sekretaris Virendhra."Mendengar Adora menyebut namanya, Virendhra tak kuasa menahan semburat merah yang muncul di kedua pipinya, membuat Adora yang melihat pemandangan itu tak kuasa menahan dirinya untuk tidak melebarkan senyumannya. Benar kata para gadis di grup, Virendhra memang terlihat sangat imut apabila bertemu langsung. Apalagi, laki-laki itu terlihat malu-malu di hadapannya, membuat Adora gemas sendiri saat melihatnya, rasanya dia ingin mencubit kedua pipi laki-laki itu, tapi Adora masih ingat tempat dimana dia berada. Dia harus menjaga sikap kalau tidak mau membuat masalah. Adora kemudian mengalihkan pikiran kotornya dengan kembali berbincang, "Bagaimana kabarmu, Vi? Masih kuat dengan Direktur Wawan?" Ujar Adora dengan nada bercanda, tetapi Virendhra menanggapinya dengan serius---terlihat dari punggung laki-laki itu yang langsung menegap begitu nama Direktur Wawan disebut dalam pembicaraan. Virendhra membenarkan kacamatanya dengan gerakan tubuh yang kaku saat menjawab pertanyaan Adora, "Aku bai
Adora mengembuskan napasnya perlahan, merasakan sensasi menenangkan yang mulai merangkak naik dari ujung kakinya kini berusaha menguasai hampir seluruh tubuhnya. Adora menenggelamkan setengah wajahnya, indra penghidunya dapat mencium aroma lavender yang berasal dari air yang kini membasuh bagian bawah tubuhnya, aroma bunga yang menghantarkannya pada ketenangan, sementara itu telapak tangannya bermain di dalam air hangat pada permandian kolam panas hotel. Sudah lama Adora tidak merasakan ketenangan seperti ini. Seluruh otot tegangnya saat ini mulai mengendur. Adora merasa bersyukur karena Benjamin telah memberikan fasilitas ini untuknya, untuk melepas penat sejenak dari pekerjaan. Benjamin, laki-laki itu memberi Adora voucher sebelum dirinya masuk ke kamar, sebuah voucher yang mampu membuat mata Adora berbinar karenanya. Katanya sebagai bentuk apresiasi pada Adora, Benjamin memberikan voucher kolam mandi permandian panas privat untuknya. Adora tentu berterima kasih karenanya, sebab
Mendengar pintu yang terbuka tentu membuat Adora ingin melepaskan pagutan bibirnya dengan Benjamin, tetapi Benjamin seakan tidak ingin menyudahi permainan mereka, justru sebaliknya, ia malah menahan tengkuk Adora agar gadis itu tak melepaskan pertautan bibir mereka. Di pertengahan acuan permainan mereka, Adora dapat mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat, sontak hal itu memacu degup jantung Adora berdebar kencang. Adora menajamkan indra pendengarannya guna memperkirakan pergerakan orang lain yang bersama mereka saat ini, tetapi tindakan Benjamin yang lagi-lagi berusaha merangsang dirinya membuat fokus Adora terpecah belah, dirinya kini sedang berada di antara kenikmatan dan ketakutan yang merayap di sekujur tubuhnya. Dan, Adora merasa tersiksa karena itu. Beberapa menit berlalu, keheningan yang tadi menyapa kini mulai sirna, membuat mata Adora terbelalak saat mendengar suara orang di balik sekat, "Woah, Pak Benjamin memang yang terbaik."Betapa terkejutnya Adora mendenga
Seperti janji Benjamin, laki-laki itu melanjutkan permainan mereka. Adora sama sekali tidak diberikan istirahat oleh bosnya itu.Tangan besar Benjamin kemudian membalikkan tubuh Adora, mengubah posisi Adora yang tadi membelakanginya jadi berdiri berhadapan dengannya. Adora mengerjapkan matanya saat Benjamin tersenyum miring ke arahnya, Adora tahu niatan nakal yang bermain dalam kepala Benjamin saat ini.Dalam seperkian detik, Benjamin kemudian memasukkan alatnya ke dalam diri Adora, membuat Adora meringis kesakitan karenanya. Sisi wanita Adora berkedut, menyesuaikan diri dengan bentuk Benjamin yang panjang dan besar."Kau suka sekali mempermainkanku ya, Adora?" Benjamin melenguh saat merasakan tubuh Adora menjepit miliknya dengan kuat, membuatnya merasakan nikmat dari tubuh Adora yang kini tengah membungkus dirinya.Benjamin perlahan menggoyangkan pinggulnya; maju dan mundur secara perlahan, dan pergerakan Benjamin nyatanya berhasil membuat Adora meloloskan desahannya. Adora kemudian m
Disclaimer: part ini mungkin tidak akan nyaman bagi beberapa orang karena beberapa kata yang menyinggung seksualitas, mohon untuk kebijaksanaan dari para pembaca, terima kasih. ***Setelah mendapatkan notifikasi pesan dari Virendhra, Benjamin dan Adora berangkat menuju restoran yang dituju sekaligus pulang setelah menyelesaikan dinas mereka. Adora di tempatnya tampak gelisah sendiri, kakinya bergerak---menendang-nendang kecil udara di depannya, tentu pemandangan ini tak luput dari penglihatan Benjamin.Benjamin yang tampak tenang sedari tadi nyatanya selalu mengawasi gerak-gerik Adora, mulai dari saat gadis itu membaca pesan Virendhra sampai gadis itu berada di dalam mobil bersamanya. Tampak Adora resah karena sesuatu, apakah pengaruh Virendhra sebegitu besarnya pada Adora sampai membuat Adora gelisah seperti itu? Benjamin tidak tahu bahwa ternyata pengaruh Virendhra sebesar itu terhadap Adora. "Tenang saja," Ujar Benjamin yang berhasil menarik perhatian Adora. Gadis itu mengerjapka
"Maaf, apa kata Anda barusan, Direktur Wawan?"Adora mengangkat kepalanya saat suara Benjamin mengudara dalam ruangan. Tampak Benjamin memasang ekspresi serius pada wajahnya, berbeda dengan Direktur Wawan yang meringis dan tersenyum kecil."Hoho, Direktur Benjamin, tidak usah serius seperti itu, memiliki sekretaris seperti Sekretaris Adora juga aku akan senang setiap harinya. Melihat penampilannya siapa yang tidak senang? Aku akan betah melihatnya seharian, tidak hanya di kantor, bahkan mungkin di luar kantor juga. Aku tidak akan melepaskannya dari pandanganku sedetik pun."Adora mengalihkan pandangannya saat Direktur Wawan meliriknya genit. Matanya mengerjap beberapa kali, berusaha untuk menahan air mata yang hampir meleleh keluar dari pelupuk matanya. Seluruh tubuhnya merasa merinding saat kalimat-kalimat menjijikkan itu keluar dari mulut Direktur Wawan seakan menghinanya. "Direktur Wawan, bukankah seharusnya Anda memerhatikan kata-kata yang keluar dari mulut Anda? Melihat Anda sep
Note: Part ini adalah part masa lalu. ***Saat itu malam yang dingin menyelimuti keduanya. Setelah melakukan pekerjaan yang begitu keras, keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu mereka berdua dengan menyesap segelas minuman alkohol berkadar rendah untuk meluapkan perasaan stres dan lelah yang menerjang tubuh mereka. Baik Benjamin dan Adora memilih bungkam, tidak membuka suara. Pun Adora sedari tadi hanya menjatuhkan pandangannya pada Benjamin, laki-laki itu tampak serius memandangi ponselnya, membuat bibir Adora merasa gatal dan terbuka untuk memanggil Benjamin. "Pak Benjamin."Pada panggilan pertama, Benjamin sama sekali tidak menoleh ke arah Adora ---masih sibuk dengan ponselnya--- dan hanya berdeham sebagai balasan terhadap panggilan Adora. Hal itu tentu tidak membuat Adora menyerah pada percobaan pertama. Adora berusaha kembali, kali ini dengan debaran gila yang menerjang jantungnya.Kali ini bukan hanya sekedar memanggil Benjamin, melainkan Adora juga memancing laki-laki
Tidak boleh ada perasaan emosional dalam hubungan ini, Adora meneguk ludahnya saat mendengar kata itu. Matanya mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri dari pikiran bodohnya. Adora segera melepaskan kedua tangan Benjamin yang memeluknya."Sebaiknya kita mandi dulu, Pak. Mau Bapak dulu atau saya?""Kau dulu, tidak apa-apa."Bagus, Adora segera menyingkirkan dirinya dari hadapan Benjamin seraya menetralkan degup jantungnya. Setelah sampai di dalam kamar mandi, Adora berulang kali menarik dan mengembuskan napasnya, berusaha menenangkan dirinya. Suasana di antara mereka begitu canggung, Adora sendiri tidak tahu alasan Benjamin memutuskan untuk setuju ikut dalam ide gilanya ini.Setelah memukul kepalanya satu kali, Adora mengambil langkah menuju shower dan membersihkan diri. Adora memutuskan untuk melanjutkan apa yang sudah diputuskan keduanya.Usai Adora membersihkan dirinya, Benjamin yang menjadi nomor selanjutnya. Laki-laki itu kini tengah menghabiskan waktunya di kamar mandi,
Diari FaraHari ini Fara tahu akhir cerita dari Peri dalam kisah dongeng CinderellaMereka tidak menghilangMereka justru mendapatkan kebahagiaan milik merekaHari ini Peri Fara, Kak Fai-Rina, berbahagia dengan PapaFara senang sekali karena Kak Fai-Rina menjadi Mama Fara"Fara!!"Fara menutup buku diarinya saat mendengar Thalita memanggil namanya."Iya, Nek!""Sini, Sayang! Kita foto bersama!"Mendengar hal itu Fara membawa kaki kecilnya ke luar kamar, sedikit berlari ke arah Adora dan Benjamin yang berada di tengah kapal. Fara kemudian berdiri di antara Benjamin dan Adora.Fotografer yang ada tepat di hadapan Fara pun mengambil jepret gambar. Dalam hitungan ketiga, gambar-gambar terus diambil. Tak ada satupun momen yang terlewati.Setelah beberapa menit kemudian, para keluarga berhamburan. Fara dapat melihat Nenek Thalita dan Nenek Yuni sedang bercengkrama. Mereka terlihat bahagia ketika melemparkan tawa."Fara! Ayok, main!"Kak Nindy menepuk bahu Fara menyadarkan Fara dari lamunann
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam, acara panggang dan makan bersama juga telah berakhir empat puluh menit lalu. Semua orang yang tadi berpartisipasi dalam acara tersebut juga sudah tertidur di kamar masing-masing dengan perut yang penuh dan perasaan gembira.Namun, hal itu justru berbeda dengan Benjamin dan Adora yang masih betah berada di luar. Keduanya duduk bersama di depan teras rumah Nenek Yuni, menikmati secangkir jahe panas untuk mengusir angin malam yang dingin.Benjamin lantas melirik ke arah Adora yang duduk di sebelahnya, tampak gadis itu sedang menikmati menyeruput jahe hangat yang ada di tangannya. Sesekali Benjamin juga mengedarkan matanya ke arah lain, memandangi langit malam yang kini berhamburan banyaknya bintang yang kelap-kelip, seakan mendukung keadaannya malam ini."Ini adalah malam terakhirku di sini," kata Benjamin yang berhasil menarik perhatian Adora.Adora memandang lirih ke arah Benjamin. Kedua tangannya menggenggam erat gelas, merasakan pa
Selama dua hari belakang ini, Jason baru merasa untuk pertama kalinya tidak aman di rumahnya sendiri. Bukan karena apa-apa, keberadaan Benjamin begitu mengintimidasinya. Benjamin kerap kali memandangi wajah Jason, bahkan juga tubuh ataupun otot lengan Jason. Jason pikir Jason salah mengira atau sudah melakukan kesalahan kepada Benjamin, maka dari itu Jason menegur Benjamin saat Benjamin sibuk memandanginya."Kenapa? Ada yang salah?"Benjamin hanya memalingkan wajahnya, bersikap seperti ia tidak pernah memandangi tubuh Jason, tetapi beberapa detik setelahnya Benjamin akan kembali sibuk memandangi Jason.Pertama, kedua, ketiga, masih oke. Tapi, kejadian itu terus berulang dalam rentan waktu yang sering, membuat Jason nyaris gila karenanya. Satu-satunya cara hanyalah Jason tidak mengacuhkan keberadaan Benjamin, tetapi Nenek Yuni yang mampir ke toko menegur menarik perhatian Benjamin."Nak Jason, apa boleh Nenek minta tolong untuk membawakan
Benjamin berjalan beriringan dengan Adora. Cuaca siang itu tidak begitu terik sebab pepohonan besar yang menjulang ada di sepanjang bahu jalan, dedaunan yang rimbun dari pohon-pohon itu tentu tidak memberikan celah untuk sinar mentari menembus kulit.Musim panas membiarkan semilir angin menerpa wajah Benjamin, terkadang juga memainkan surai panjang milik Adora, sehingga mereka berkibar di udara—menggoda Benjamin dengan aroma sampo yang digunakan Adora.Lamunan Benjamin buyar kala Adora menghentikan langkahnya di depan sebuah toko. Benjamin melirik sebentar ke arah toko itu. Sekilas toko itu memiliki penampilan toko yang sederhana, tetapi berhasil menciptakan kesan khas keluarga. Adora lantas masuk ke dalam toko bertuliskan Toko Keluarga Jun itu yang tentunya diikuti Benjamin di belakangnya."Permisi~~" Adora menyapa saat tidak ada seorang pun di balik meja kasir.Butuh beberapa menit bagi Benjamin dan Adora menunggu sampai akhirnya figure seorang
"Oh iya—" Nenek Yuni melirik ke arah Adora, berusaha mengamati reaksi Adora. Adora memiliki reaksi yang sebelas dua belas dengan milik Nenek Yuni. Keduanya sama-sama bingung ketika menemukan keberadaan Benjamin yang begitu tiba-tiba di hadapan mereka.Akan tetapi, Nenek Yuni menutupi kebingungannya dengan menyambut hangat kedatangan Benjamin."—silakan duduk, Nak Benjamin."Mendengar Nenek Yuni mempersilakannya, Benjamin kemudian menuntun Fara untuk duduk berdekatan dengan Jason yang juga berada di rumah Nenek Yuni. Semua orang di rumah Nenek Yuni menampakkan ekspresi bingung, kecuali Benjamin, Fara, dan Nindy.Adora yang merasa atmosfer canggung pun mendekat ke arah Nenek Yuni dan berbisik, "... Nek, Adora mau ngomong dulu bentar ya sama Pak Benjamin.""Iya."Adora segera berjalan mendekati Benjamin, kemudian melingkarkan tangannya ke lengan Benjamin. Benjamin tampak tersentak sejenak sebelum akhirnya ia menerima sentu
Keesokkan harinya,Setelah menempuh enam jam perjalanan, mobil yang kini membawa Benjamin sudah memasuki area pedesaan yang terasa asing bagi Benjamin dan Fara. Dari dalam mobil, Benjamin dapat melihat beberapa anak-anak yang sedang bermain di jalanan memutuskan untuk menepi kala mobil Benjamin menyusuri jalanan. Anak-anak itu memandang bingung saat melihat mobil Benjamin melintas melewati mereka.Fara yang duduk di sebelah Benjamin pun terpukau saat melihat anak-anak yang tengah bermain di jalanan desa. Kisaran usia anak-anak itu beragam, mulai dari remaja dewasa sampai juga seusia Fara. Mereka tampak senang bermain permainan sederhana. Pemandangan yang jauh berbeda dengan teman sebaya Fara di sekolah yang sibuk dengan gadget masing-masing ataupun berkutat dengan buku teks yang sangat tebal."Papa, lihat," tunjuk Fara. Benjamin mengikuti arah pandang Fara. "Fara nanti boleh main ya Pah?"Benjamin terdiam sebentar, menimang-nimang sebelum akhirnya
Irish sebenarnya malas sekali menghampiri meja Benjamin saat ini, tetapi mau bagaimana lagi, kalau tidak karena Benjamin kemarin, mungkin hubungan Irish dan Noah tidak akan membaik dengan cepat, ditambah karena jasa Benjamin juga lah Noah melamar Irish kemarin. Ya, Irish memang tidak bisa menyangkal adanya tangan Benjamin yang kemarin membantu kisah asmaranya. Jadi, sebagai balasan dari utang budinya, Irish bermaksud mengundang Benjamin ke pernikahannya, meski dalam hati Irish sudah dongkol setengah mati pada atasannya itu.Saat jam istirahat, dengan setengah terpaksa Irish mendekati meja tempat Benjamin makan siang. Benjamin yang menyadari keberadaan Irish pun mengangkat pandangannya, membuat Irish sedikit tersentak kala menemukan pandangan Benjamin begitu datar seakan tidak memiliki kehidupan."P-permisi, Pak—saya ingin memberikan ini," ujar Irish sembari mengulurkan undangan yang ada di tangannya ke Benjamin.Benjamin hanya melirik tanpa penuh
Dua minggu telah berlalu, tentunya banyak hal yang telah berubah seiring berjalannya waktu, tetapi Adora merasa dirinya masih tetap sama. Pikirannya masih jauh nan di sana, meski raganya berada di tempat lain. Adora terus memikirkan kejadian yang sudah lama berlalu. Kejadian yang membuatnya sedikit bingung harus membawa kemana hatinya pergi dan berlabuh."Adora."Di tengah lamunannya yang tak berujung, Adora tersadarkan oleh suara sang nenek yang memanggil namanya.Adora menoleh dan mengulas senyum tipis ke arah neneknya, "Iya, Nek."Nenek Yuni yang baru keluar dari ruang peristirahatannya pun ikut duduk bergabung dengan Adora di depan teras rumah. Sore hari kala itu Adora dan Neneknya memilih untuk menikmati waktu santainya dengan melihat anak-anak yang tengah bermain di jalanan. Anak-anak itu bercanda, berlari, dan berbagi tawa satu sama lain. Adora dapat melihat masa kecil yang indah tercetak jelas pada wajah anak-anak itu."Nenek perh
Malam harinya,Adora memandangi ponsel di tangannya dengan tatapan gelisah. Berjam-jam sudah berlalu dari kejadian siang tadi, tetapi belum ada satu pun panggilan yang datang dari Benjamin. Jangankan panggilan, pesan pun tidak ada. Hal ini tentu membuat Adora merasa tak karuan. Dadanya berdegup kencang hanya untuk menunggu Benjamin menghubunginya.Kriet ..."Ngapain lo?" Tanya Irish, menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Adora menoleh sebentar sebelum akhirnya melambaikan tangannya, mengusir keberadaan Irish dari kamarnya."Yeh, ya udah gua keluar dulu. Mau ngedate sama Noah. Hati-hati lho sendirian di apartemen, hiiihhh~~ ada hantuu, tatut!"Alih-alih ketakutan dengan jokes receh yang dilempar oleh Irish, Adora lebih memilih mengambil bantal dan melemparnya ke pintu.Duk!Bunyi bantal jatuh diiringi suara pintu ditutup kencang menyambut telinga Adora. Sudah tidak kena Irish, Adora juga harus memungut kembali bantalny