Disclaimer: part ini mungkin tidak akan nyaman bagi beberapa orang karena beberapa kata yang menyinggung seksualitas, mohon untuk kebijaksanaan dari para pembaca, terima kasih. ***Setelah mendapatkan notifikasi pesan dari Virendhra, Benjamin dan Adora berangkat menuju restoran yang dituju sekaligus pulang setelah menyelesaikan dinas mereka. Adora di tempatnya tampak gelisah sendiri, kakinya bergerak---menendang-nendang kecil udara di depannya, tentu pemandangan ini tak luput dari penglihatan Benjamin.Benjamin yang tampak tenang sedari tadi nyatanya selalu mengawasi gerak-gerik Adora, mulai dari saat gadis itu membaca pesan Virendhra sampai gadis itu berada di dalam mobil bersamanya. Tampak Adora resah karena sesuatu, apakah pengaruh Virendhra sebegitu besarnya pada Adora sampai membuat Adora gelisah seperti itu? Benjamin tidak tahu bahwa ternyata pengaruh Virendhra sebesar itu terhadap Adora. "Tenang saja," Ujar Benjamin yang berhasil menarik perhatian Adora. Gadis itu mengerjapka
"Maaf, apa kata Anda barusan, Direktur Wawan?"Adora mengangkat kepalanya saat suara Benjamin mengudara dalam ruangan. Tampak Benjamin memasang ekspresi serius pada wajahnya, berbeda dengan Direktur Wawan yang meringis dan tersenyum kecil."Hoho, Direktur Benjamin, tidak usah serius seperti itu, memiliki sekretaris seperti Sekretaris Adora juga aku akan senang setiap harinya. Melihat penampilannya siapa yang tidak senang? Aku akan betah melihatnya seharian, tidak hanya di kantor, bahkan mungkin di luar kantor juga. Aku tidak akan melepaskannya dari pandanganku sedetik pun."Adora mengalihkan pandangannya saat Direktur Wawan meliriknya genit. Matanya mengerjap beberapa kali, berusaha untuk menahan air mata yang hampir meleleh keluar dari pelupuk matanya. Seluruh tubuhnya merasa merinding saat kalimat-kalimat menjijikkan itu keluar dari mulut Direktur Wawan seakan menghinanya. "Direktur Wawan, bukankah seharusnya Anda memerhatikan kata-kata yang keluar dari mulut Anda? Melihat Anda sep
Note: Part ini adalah part masa lalu. ***Saat itu malam yang dingin menyelimuti keduanya. Setelah melakukan pekerjaan yang begitu keras, keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu mereka berdua dengan menyesap segelas minuman alkohol berkadar rendah untuk meluapkan perasaan stres dan lelah yang menerjang tubuh mereka. Baik Benjamin dan Adora memilih bungkam, tidak membuka suara. Pun Adora sedari tadi hanya menjatuhkan pandangannya pada Benjamin, laki-laki itu tampak serius memandangi ponselnya, membuat bibir Adora merasa gatal dan terbuka untuk memanggil Benjamin. "Pak Benjamin."Pada panggilan pertama, Benjamin sama sekali tidak menoleh ke arah Adora ---masih sibuk dengan ponselnya--- dan hanya berdeham sebagai balasan terhadap panggilan Adora. Hal itu tentu tidak membuat Adora menyerah pada percobaan pertama. Adora berusaha kembali, kali ini dengan debaran gila yang menerjang jantungnya.Kali ini bukan hanya sekedar memanggil Benjamin, melainkan Adora juga memancing laki-laki
Tidak boleh ada perasaan emosional dalam hubungan ini, Adora meneguk ludahnya saat mendengar kata itu. Matanya mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri dari pikiran bodohnya. Adora segera melepaskan kedua tangan Benjamin yang memeluknya."Sebaiknya kita mandi dulu, Pak. Mau Bapak dulu atau saya?""Kau dulu, tidak apa-apa."Bagus, Adora segera menyingkirkan dirinya dari hadapan Benjamin seraya menetralkan degup jantungnya. Setelah sampai di dalam kamar mandi, Adora berulang kali menarik dan mengembuskan napasnya, berusaha menenangkan dirinya. Suasana di antara mereka begitu canggung, Adora sendiri tidak tahu alasan Benjamin memutuskan untuk setuju ikut dalam ide gilanya ini.Setelah memukul kepalanya satu kali, Adora mengambil langkah menuju shower dan membersihkan diri. Adora memutuskan untuk melanjutkan apa yang sudah diputuskan keduanya.Usai Adora membersihkan dirinya, Benjamin yang menjadi nomor selanjutnya. Laki-laki itu kini tengah menghabiskan waktunya di kamar mandi,
Adora terkejut saat menemukan di mana mereka saat ini. Mata bulatnya mengerjap beberapa kali kala melihat bangunan apertemen yang berdiri gagah di depannya, kemudian tatapannya beralih ke arah Benjamin yang duduk di sebelahnya. Adora yang baru saja ingin membuka bibirnya, bertanya dengan maksud Benjamin yang tiba-tiba langsung membawa Adora pulang dan bukannya ke kantor terlebih dahulu pun akhirnya terhenti saat Benjamin menyela dirinya. "Pak Surya, tolong bantu turunkan barang Adora ya dan bawa ke depan pintu apartemennya."Mendengar perintah Benjamin, Pak Surya ---laki-laki yang sedari tadi menjadi supir keduanya--- itu pun turun dan menuruti perkataan Benjamin. Sementara itu, Adora tak berdiam diri, dia membuka mulutnya dan menyuarakan pikirannya. "Kita tidak ke kantor dulu, Pak?"Benjamin tersenyum saat mendengar perkataan Adora. "Kau pasti sangat menyukai pekerjaanmu, ya, Adora.""Tidak!" Sanggah Adora secepat mungkin, tapi di detik berikutnya ia merasa menyesal karena mengata
Keesokan harinya. Adora tidak menemukan keberadaan Irish di mana pun. Meski begitu, Adora tahu bahwa Irish semalam pulang ke apartemen karena jejak yang ditinggalkan temannya itu, tetapi Adora tidak tahu tepatnya kapan Irish pulang atau kapan Irish berangkat bekerja. Adora berusaha untuk tidak menghiraukan kekhawatiran yang kini bersarang dalam pikirannya, dia pun memutuskan untuk mengenakan sepatu hak tingginya setelah menyelesaikan penampilannya dan setelah dirasa siap dengan semuanya, Adora pun berangkat kerja.Adora berusaha untuk tidak menghiraukan keadaan Irish. Bagaimanapun juga, Adora pasti akan bertemu dengan Irish di tempat kerja dan dapat membicarakan masalah ini secara empat mata dengan Irish. Dan benar saja dugaan Adora. Adora bertemu Irish di tempat kerja. Meski melewatkan beberapa waktu untuk mengobrol dengan Irish, Adora berhasil berbicara berdua saja dengan Irish. Sebenarnya hal ini juga tidak dapat dikatakan "bicara" karena sampai saat
Sebenarnya ini masalah pendidikanku, Noona. Irish, dia ... "Adora.Adora. Adora Carinna. Apa kau mendengar apa yang kukatakan tadi?"Adora mengerjapkan matanya saat penampakan Benjamin yang memburam masuk ke dalam penglihatannya. Pikirannya yang sedari pergi entah kemana kini mulai menyatu kembali dengan raganya. Di saat kesadarannya sudah kembali mengambilalih dirinya, Adora kini baru tersadar di mana dia berada, bahkan ia sampai mendapati Benjamin yang tengah menjentik-jentikkan jarinya di depan Adora---berusaha menarik perhatian Adora saat pikiran Adora sedang pergi, hilang entah kemana. Detik itu juga semburat merah muncul pada kedua pipi Adora. Adora cukup merasa malu karena dirinya seakan tidak profesional dengan pekerjaannya karena apa yang baru saja dilakukannya ---melamun di tengah pekerjaan---, Adora kemudian memutuskan untuk meminta maaf. "Maaf, Pak, aku melamun tadi ...""Sepertinya kau memiliki pikiranmu sendiri, ya."Adora
Suara penyanyi wanita muda yang mengalun merdu di ruangan kafe memberikan suasana yang nyaman dan memanjakan bagi siapapun yang mendengar. Tak heran apabila kafe ini digandrungi banyak orang sebab suasana yang diciptakan berhasil menyentuh hati setiap orang. Sayangnya, citra dan kesan yang dibangun susah payah oleh kafe itu tidak berhasil menembus Irish yang saat ini tengah duduk di sebrang Adora. Bukan perasaan positif yang didapat, muka Irish justru tertekuk dengan bibirnya yang maju ke depan. Muka Irish terlihat sangat asam. Sekali lihat saja, semua orang tahu bahwa saat ini Irish sedang berada dalam perasaan yang tidak baik. Kebanyakan orang saat melihat Irish yang saat ini tengah mengeluarkan aura gelap dari tubuhnya mungkin akan memutuskan untuk pergi atau melarikan diri secepat mungkin. Namun, Adora tidak melakukannya. Hal ini Adora lakukan agar Irish tidak terlalu berlarut dalam masalah seorang diri selama berhari-hari. Adora ingin membantu Irish; me
Diari FaraHari ini Fara tahu akhir cerita dari Peri dalam kisah dongeng CinderellaMereka tidak menghilangMereka justru mendapatkan kebahagiaan milik merekaHari ini Peri Fara, Kak Fai-Rina, berbahagia dengan PapaFara senang sekali karena Kak Fai-Rina menjadi Mama Fara"Fara!!"Fara menutup buku diarinya saat mendengar Thalita memanggil namanya."Iya, Nek!""Sini, Sayang! Kita foto bersama!"Mendengar hal itu Fara membawa kaki kecilnya ke luar kamar, sedikit berlari ke arah Adora dan Benjamin yang berada di tengah kapal. Fara kemudian berdiri di antara Benjamin dan Adora.Fotografer yang ada tepat di hadapan Fara pun mengambil jepret gambar. Dalam hitungan ketiga, gambar-gambar terus diambil. Tak ada satupun momen yang terlewati.Setelah beberapa menit kemudian, para keluarga berhamburan. Fara dapat melihat Nenek Thalita dan Nenek Yuni sedang bercengkrama. Mereka terlihat bahagia ketika melemparkan tawa."Fara! Ayok, main!"Kak Nindy menepuk bahu Fara menyadarkan Fara dari lamunann
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam, acara panggang dan makan bersama juga telah berakhir empat puluh menit lalu. Semua orang yang tadi berpartisipasi dalam acara tersebut juga sudah tertidur di kamar masing-masing dengan perut yang penuh dan perasaan gembira.Namun, hal itu justru berbeda dengan Benjamin dan Adora yang masih betah berada di luar. Keduanya duduk bersama di depan teras rumah Nenek Yuni, menikmati secangkir jahe panas untuk mengusir angin malam yang dingin.Benjamin lantas melirik ke arah Adora yang duduk di sebelahnya, tampak gadis itu sedang menikmati menyeruput jahe hangat yang ada di tangannya. Sesekali Benjamin juga mengedarkan matanya ke arah lain, memandangi langit malam yang kini berhamburan banyaknya bintang yang kelap-kelip, seakan mendukung keadaannya malam ini."Ini adalah malam terakhirku di sini," kata Benjamin yang berhasil menarik perhatian Adora.Adora memandang lirih ke arah Benjamin. Kedua tangannya menggenggam erat gelas, merasakan pa
Selama dua hari belakang ini, Jason baru merasa untuk pertama kalinya tidak aman di rumahnya sendiri. Bukan karena apa-apa, keberadaan Benjamin begitu mengintimidasinya. Benjamin kerap kali memandangi wajah Jason, bahkan juga tubuh ataupun otot lengan Jason. Jason pikir Jason salah mengira atau sudah melakukan kesalahan kepada Benjamin, maka dari itu Jason menegur Benjamin saat Benjamin sibuk memandanginya."Kenapa? Ada yang salah?"Benjamin hanya memalingkan wajahnya, bersikap seperti ia tidak pernah memandangi tubuh Jason, tetapi beberapa detik setelahnya Benjamin akan kembali sibuk memandangi Jason.Pertama, kedua, ketiga, masih oke. Tapi, kejadian itu terus berulang dalam rentan waktu yang sering, membuat Jason nyaris gila karenanya. Satu-satunya cara hanyalah Jason tidak mengacuhkan keberadaan Benjamin, tetapi Nenek Yuni yang mampir ke toko menegur menarik perhatian Benjamin."Nak Jason, apa boleh Nenek minta tolong untuk membawakan
Benjamin berjalan beriringan dengan Adora. Cuaca siang itu tidak begitu terik sebab pepohonan besar yang menjulang ada di sepanjang bahu jalan, dedaunan yang rimbun dari pohon-pohon itu tentu tidak memberikan celah untuk sinar mentari menembus kulit.Musim panas membiarkan semilir angin menerpa wajah Benjamin, terkadang juga memainkan surai panjang milik Adora, sehingga mereka berkibar di udara—menggoda Benjamin dengan aroma sampo yang digunakan Adora.Lamunan Benjamin buyar kala Adora menghentikan langkahnya di depan sebuah toko. Benjamin melirik sebentar ke arah toko itu. Sekilas toko itu memiliki penampilan toko yang sederhana, tetapi berhasil menciptakan kesan khas keluarga. Adora lantas masuk ke dalam toko bertuliskan Toko Keluarga Jun itu yang tentunya diikuti Benjamin di belakangnya."Permisi~~" Adora menyapa saat tidak ada seorang pun di balik meja kasir.Butuh beberapa menit bagi Benjamin dan Adora menunggu sampai akhirnya figure seorang
"Oh iya—" Nenek Yuni melirik ke arah Adora, berusaha mengamati reaksi Adora. Adora memiliki reaksi yang sebelas dua belas dengan milik Nenek Yuni. Keduanya sama-sama bingung ketika menemukan keberadaan Benjamin yang begitu tiba-tiba di hadapan mereka.Akan tetapi, Nenek Yuni menutupi kebingungannya dengan menyambut hangat kedatangan Benjamin."—silakan duduk, Nak Benjamin."Mendengar Nenek Yuni mempersilakannya, Benjamin kemudian menuntun Fara untuk duduk berdekatan dengan Jason yang juga berada di rumah Nenek Yuni. Semua orang di rumah Nenek Yuni menampakkan ekspresi bingung, kecuali Benjamin, Fara, dan Nindy.Adora yang merasa atmosfer canggung pun mendekat ke arah Nenek Yuni dan berbisik, "... Nek, Adora mau ngomong dulu bentar ya sama Pak Benjamin.""Iya."Adora segera berjalan mendekati Benjamin, kemudian melingkarkan tangannya ke lengan Benjamin. Benjamin tampak tersentak sejenak sebelum akhirnya ia menerima sentu
Keesokkan harinya,Setelah menempuh enam jam perjalanan, mobil yang kini membawa Benjamin sudah memasuki area pedesaan yang terasa asing bagi Benjamin dan Fara. Dari dalam mobil, Benjamin dapat melihat beberapa anak-anak yang sedang bermain di jalanan memutuskan untuk menepi kala mobil Benjamin menyusuri jalanan. Anak-anak itu memandang bingung saat melihat mobil Benjamin melintas melewati mereka.Fara yang duduk di sebelah Benjamin pun terpukau saat melihat anak-anak yang tengah bermain di jalanan desa. Kisaran usia anak-anak itu beragam, mulai dari remaja dewasa sampai juga seusia Fara. Mereka tampak senang bermain permainan sederhana. Pemandangan yang jauh berbeda dengan teman sebaya Fara di sekolah yang sibuk dengan gadget masing-masing ataupun berkutat dengan buku teks yang sangat tebal."Papa, lihat," tunjuk Fara. Benjamin mengikuti arah pandang Fara. "Fara nanti boleh main ya Pah?"Benjamin terdiam sebentar, menimang-nimang sebelum akhirnya
Irish sebenarnya malas sekali menghampiri meja Benjamin saat ini, tetapi mau bagaimana lagi, kalau tidak karena Benjamin kemarin, mungkin hubungan Irish dan Noah tidak akan membaik dengan cepat, ditambah karena jasa Benjamin juga lah Noah melamar Irish kemarin. Ya, Irish memang tidak bisa menyangkal adanya tangan Benjamin yang kemarin membantu kisah asmaranya. Jadi, sebagai balasan dari utang budinya, Irish bermaksud mengundang Benjamin ke pernikahannya, meski dalam hati Irish sudah dongkol setengah mati pada atasannya itu.Saat jam istirahat, dengan setengah terpaksa Irish mendekati meja tempat Benjamin makan siang. Benjamin yang menyadari keberadaan Irish pun mengangkat pandangannya, membuat Irish sedikit tersentak kala menemukan pandangan Benjamin begitu datar seakan tidak memiliki kehidupan."P-permisi, Pak—saya ingin memberikan ini," ujar Irish sembari mengulurkan undangan yang ada di tangannya ke Benjamin.Benjamin hanya melirik tanpa penuh
Dua minggu telah berlalu, tentunya banyak hal yang telah berubah seiring berjalannya waktu, tetapi Adora merasa dirinya masih tetap sama. Pikirannya masih jauh nan di sana, meski raganya berada di tempat lain. Adora terus memikirkan kejadian yang sudah lama berlalu. Kejadian yang membuatnya sedikit bingung harus membawa kemana hatinya pergi dan berlabuh."Adora."Di tengah lamunannya yang tak berujung, Adora tersadarkan oleh suara sang nenek yang memanggil namanya.Adora menoleh dan mengulas senyum tipis ke arah neneknya, "Iya, Nek."Nenek Yuni yang baru keluar dari ruang peristirahatannya pun ikut duduk bergabung dengan Adora di depan teras rumah. Sore hari kala itu Adora dan Neneknya memilih untuk menikmati waktu santainya dengan melihat anak-anak yang tengah bermain di jalanan. Anak-anak itu bercanda, berlari, dan berbagi tawa satu sama lain. Adora dapat melihat masa kecil yang indah tercetak jelas pada wajah anak-anak itu."Nenek perh
Malam harinya,Adora memandangi ponsel di tangannya dengan tatapan gelisah. Berjam-jam sudah berlalu dari kejadian siang tadi, tetapi belum ada satu pun panggilan yang datang dari Benjamin. Jangankan panggilan, pesan pun tidak ada. Hal ini tentu membuat Adora merasa tak karuan. Dadanya berdegup kencang hanya untuk menunggu Benjamin menghubunginya.Kriet ..."Ngapain lo?" Tanya Irish, menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Adora menoleh sebentar sebelum akhirnya melambaikan tangannya, mengusir keberadaan Irish dari kamarnya."Yeh, ya udah gua keluar dulu. Mau ngedate sama Noah. Hati-hati lho sendirian di apartemen, hiiihhh~~ ada hantuu, tatut!"Alih-alih ketakutan dengan jokes receh yang dilempar oleh Irish, Adora lebih memilih mengambil bantal dan melemparnya ke pintu.Duk!Bunyi bantal jatuh diiringi suara pintu ditutup kencang menyambut telinga Adora. Sudah tidak kena Irish, Adora juga harus memungut kembali bantalny