Taksaka menembus atap rumah setelah memastikan Cahaya tertidur lelap dengan perisai yang ia tinggalkan. Manusia harimau itu keluar dan menyambut tantangan dari Astina yang telah menunggunya di langit kota tempat tinggal gusti ratu juga anaknya.Senyum merekah dari bibir Astina. Dua makhluk gaib itu melayang di atas langit dengan kain yang beterbangan karena angin. Jika manusia biasa bisa melihatnya, pasti akan menjadi berita viral yang menyebar dalam sekejap mata.“Apa maumu?” tanya Taksaka baik-baik. Sebab perintah yang turun padanya ialah menjaga tuan putri serta gusti ratu sampai Abhiseka sadar. Namun, dalam keadaan terdesak ia diperbolehkan untuk membunuh siapa pun yang menggangu keadaan tuannya.“Aku mau kau,” jawab Astina. Jemari tangannya lentik di udara, seperti seorang penari yang siap menebarkan pesona.“Jangan mimpi kau, kelabang tak tahu diri!”“Menjijikkan isi kepalamu. Kau pikir aku ingin tubuhmu? Aku tak berselera dengan harimau yang bau seperti kalian. Aku ingin kau ma
“Dia kuat, dia akan bertahan, ada alasan mengapa dia aku pilih sebagai pengawal Gusti Prabu. Walau kalian mengalami kegagalan untuk pertama kalinya. Tetap pada pekerjaanmu, Cakrabuana. Kau harus terus memastikan api untuk Abhiseka terus hidup.”“Baik, Guru, lalu bagaimana dengan putri Gusti Prabu? Bukankah Taksaka sedang terluka?”“Taksaka, dia tidak meninggalkan Cahaya begitu saja. Dia memberikan Tuan Putri sebuah perisai yang sangat kuat. Taksaka mati baru perisai itu hilang. Cahaya, nama yang sangat indah. Aku yakin belasan tahun lagi dia akan menjadi gadis yang cantik dan siap menjadi penerus garis keturunan Gusti Prabu, andaikata beliau harus meninggalkan dunia ini.” Wirata menutup matanya kembali. Ia bertapa, sembari memerintah kerajaan yang singgasananya sedang goyah.***Taksaka merasakan sakit yang teramat sangat pada sekujur tubuhnya. Ia ingin bangun tapi tidak bisa. Ingin berdiri tapi untuk bicara saja tidak bisa buka mulut. Suara Cahaya tidak terdengar lagi di telinganya.
Pak Bondan telah tutup usia tanpa meninggalkan jejak racun sama sekali pada tubuhnya. Amira sempat membawa lelaki itu ke rumah sakti. Indikasi penyebab kematian tiba-tiba pemilik kebun teh itu ialah serangan jantung mendadak. Tiga perempuan di dalam sana, Nyonya Kasih, Amira, serta Cahaya merasakan kehilangan yang teramat sangat. Tidak ada lagi lelaki yang bisa dijadikan tumpuan dan tempat melepas keluh kesah. Pemakaman pun dilakukan sesegera mungkin. Aya yang tidak dekat dengan Amira lebih memilih bersama omanya sambil terus menaburkan bunga di makam lelaki yang tidak akan mungkin hidup lagi. Tiga perempuan beda generasi tersebut kembali menggunakan satu mobil yang sama. Terasa sekali kebekuan di antara ibu dan anak itu. Sedangkan Nyonya Kasih masih cukup terpukul dengan kehilangan yang teramat sangat. “Oma, Oma jangan nangis ya. Kan, Aya masih ada di sini sama Oma.” Aya mengusap pundak omanya. Gadis bermata biru yang sering disangka keturunan orang asing itu tidak menangis walau
Sesuai dengan firasat orang tua, oma dari Aya pun pergi selama-lamanya. Menyusul Pak Bondan yang telah lama tiada. Bukan karena keracunan atau apa pun. Melainkan memang sudah waktunya untuk beristirahat dengan tenang. Oma Kasih pergi dengan tenang, di dalam kamar usai mengunjungi Aya untuk yang terakhir kalinya. Wanita baik hati itu memeluk foto keluarga bersama Pak Bonda yang sudah duluan pergi. Cinta yang begitu mendalam dan hanya dipisahkan oleh maut saja. Pemakaman disegerakan. Oma Kasih dimakamkan di sebelah kuburan suaminya. Ramai handai taulan yang datang. Tentu sebagian dari mereka ingin berebut harta waris. Namun, kehadiran Amira yang bertangan besi tidak akan membuat semua pencapaian itu jatuh ke tangan orang lain. Aya memegang nisan milik omanya. Gadis kecil itu tidaklah menangis. Harus ada alasan yang benar-benar kuat untuknya meneteskan air mata. Dia sangat kuat seperti ayahnya. “Oma, yang tenang di sana,” ucap Aya sambil mengelus nisan omanya. Satu demi satu pelayat
Cahaya keluar dari toilet sekolah. Gadis bermata biru yang sering disangka keturunan bule Eropa itu, mengeluarkan lip balm untuk menjaga kelembaban bibirnya. Mata indah warisan Abhiseka itu mengerjap cepat sesaat. Terkadang Aya seperti melihat dirinya dalam wujud yang lain. Seorang putri dengan memakai pakaian sutra berwarna putih sangat halus. Rambutnya diikat dan diberi makhkota. Tak lupa perhiasan yang indah ya gunakan di leher, telinga, lengan bagian atas, lengan bagian bawah, gelang dan banyak lagi. Indah luar biasa, bahkan ia sampai menyangka bahwa khayalan di cermin itu adalah benar dirinya. Lalu wujud di dalam kaca itu menyentuh cermin dengan telunjuk, Aya melakukan hal yang sama, beberapa detik setelahnya sosok asli Aya menghilang. Dia tidak berwujud harimau putih seperti ayahnya. Untuk bisa berubah, Aya harus meningkatkan kemampuan yang hanya bisa dilatih oleh guru dari Abhiseka sendiri. “Jabang bayik, ngagetin aja, sih kamu!” Aya terkejut ketika menoleh ke kiri lip glosny
“Hai, jerangkong, apa kabar, kok kamu baru nongol sekarang?” Aya bukannya takut berhadapan dengan tengkorak yang dihidupkan oleh Astina. Justu ia mengucapkan salam pada yang dianggap ingin berteman dengannya. Kerangka bahan praktek anak-anak IPA itu menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia menununjuk dirinya sendiri. Memastikan kalau yang dimaksud jerangkong itu dirinya. “Iya, kamu jerangkong, terus siapa lagi? Kan, cuman kamu yang tinggal tulang aja.” Aya masih mencoba mengalihkan perhatian hantu tak jelas di depannya. Tengkorak yang dihidupkan Astina itu garuk-garuk kepala terus manggut-manggut. Aneh. “Nah, yuk, sini sama aku. Cuman aku yang mau terima kamu apa adanya. Kalau perempuan lain minimal good looking habis itu rekening harus good juga.” Putri Abhiseka meraih tangan tengkorak plastik itu. Gadis bermata biru itu mengajak si jerangkok berjalan, tepatnya ke dekat lemari tempat menyimpan bahan kelasnya praktek. “Masooook,” ucap Aya terus tutup lemari cepet-cepet. Geser meja sama k
Manusia harimau kuning itu menjentikkan jemarinya di depan wajah Aya, bermaksud untuk membuat sang putri tertidur. Namun, tidak menimbulkan reaksi apa-apa pada keturunan manusia harimau putih. Saka lupa kalau gadis itu seorang putri dari majikannya“Apaan, mau lomba jentik jari?” Aya ikut melakukan hal yang sama. Taksaka heran. Ia ulang lagi beberapa kali tapi tak mau juga Aya tertidur. “Ih, seru ginian, sampai pagi pun aku betah. Nggak minat gitu, Om, buka topeng waja—” Belum selesai Aya berbicara, ia sudah lemas tak sadarkan diri. Tubuhnya ditangkap oleh Taksaka. Pengawal itu menggunakan mantra sirep tingkat tinggi untuk makhluk sekelas Aya. Setelah itu sang putri dibawa kembali ke kamar yang tidak berubah sejak Aya masih bayi. Gadis itu dibaringkan di ranjang yang spreinya baru saja diganti. Pada saat itu, pintu kamar putri Abhiseka dibuka oleh Amira. Wanita yang belum memasuki usia 40 tahun itu melihat dengan mata kepala sendiri putrinya terlelap menggunakan sepatu dan seragam
Putri Cahaya berdiri di sebuah tempat dengan menggunakan pakaian kebesarannya. Serba berwarna putih dan ditambah perhiasan yang sangat mewah. Ia melihat dirinya sendiri. Serasa tak percaya dengan penampilannya yang sekarang. Kepulan asap hitam melingkari Cahaya lalu berpendar di udara dan membentuk sebuah wujud perempuan cantik dengan pewarna bibir cokelat tua. Riasan rambutnya yang rumit serta pakaian berwarna hitam membuat Aya tak kenal siapa perempuan di depannya. “Gusti Putri, lama tak berjumpa,” ucap Astina sambil tersenyum. “Siapa?” tanya Aya kembali. Siluman kelabang itu kemudian mengeluarkan sebuah pedang panjang yang telah ia gunakan untuk menghabisi banyak keturunan Abhiseka. Pedang itu diarahkan ke dada Cahaya, tetapi dalam waktu bersamaan, seorang lelaki muncul lagi yang telah berkali-kali menolong dirinya. Namun, lelaki itu kalah dan jantungnya ditikam oleh pedang tersebut. “Jangan, jangan, jangan mati, jangan.” Aya membuka matanya. Yang pertama ia lihat ialah langit-
Abhiseka membuka mata secara tiba-tiba ketika ia merasakan tubuhnya terasa sakit. Lelaki itu sedang menyendiri di puncak Gunung Kalastra. Tanpa kehadiran satu pun pengawalnya termasuk Cakra Buana. “Ada apa ini?” Ia memegang jantungnya yang berdetak kuat. Lelaki itu berdiri perlahan dan hendak turun ke istana. Perlahan-lahan ia melangkah bahkan serasa nyaris tumbang karena raganya tak kokoh lagi. Abhiseka semakin kesakitan. Pada saat ia hampir sampai di depan istana, rasanya lelaki bermata biru itu tak sanggup lagi melangkah. Abhiseka duduk di dekat pohon dan memandang semua pencapaiannya selama menjadi raja di Gunung Kalastra. Anak, cucu, dan cicit yang sudah tewas dan sekarang tergantikan oleh tiga putra yang kini sudah tinggi ukuran tubuhnya. “Apakah ini saatnya?” gumam Abhi sambil menahan rasa dingin yang tiba-tiba merambat dari dari telapak kakinya. Dari kejauhan Amira berjalan ke arahnya, tetapi langkah wanita itu tertahan ketika salah satu putranya mengajaknya bermain. Abhi
Saka mencakar-cakar tabir gaib yang dibuat oleh Sanaha beberapa kali. Namun, benda itu bahkan tak berkurang sedikit pun kadar ketebalannya. Harimau kuning itu mengubah wujudnya menjadi manusia. Ia menarik pedang di pinggang kemudian berkali-kali menacapakannya. Tak menyerah terus diulang Saka tetapi tidak juga ada perubahan. “Tuan, bagaimana ini, nanti Tuan Putri kesakitan di atas sana,” ucap Mei yang tak bisa membantu apa-apa. “Aku juga bingung. Aku belum menguasai dengan baik wilayah ini, aku takut semua akan berakhir tak baik.” Menetes peluh di dahi Saka saking ia telah lelah mencoba. “Kita kembali ke Gunung Kalastra, meminta pertolongan pada Gusti Prabu Abhiseka,” bujuk Mei. “Jangan. Ini bukan urusannya lagi, ini menjadi urusanku. Mei kau tunggu di sini, aku akan kembali ke istana dan mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghantam tabir gaib ini.” Saka menghilang begitu saja. Mei tidak bisa melakukan apa pun. Begitu juga dengan peri capung yang menatap dari kejauhan sa
Abhiseka membuka matanya. Ia tidak tidur, hanya sedang mengawasi tiga anak lelakinya bermain bersama Amira. Sang prabu mengulang dari awal lagi membangun keluarga besar ketika semuanya meninggal. “Apa yang kau harapkan dengan mengirim Cahaya ke sana, putraku?” Ratu Swastamita muncul. Abhiseka menoleh. Sang ratu duduk di sisinya. “Aku berharap Cahaya dan Saka bisa membangun semua peradaban kita dari awal lagi, Ibu.” Hanya Abhiseka saja yang bisa melihat Ratu Swastamita yang bentuknya tembus pandang. “Bahkan ibu saja tidak bisa melawan ular hijau itu. Apalagi Cahaya yang setengah manusia biasa.” “Ada Saka yang melindunginya.” “Bagaimana kalau Saka juga tewas, lalu putrimu tak bisa bertahan?” Pertanyaan sang ratu membuat Abhiseka terdiam sejenak. “Kalaupun Cahaya tewas, aku masih memiliki tiga putra yang akan meneruskan takhta.” Abhiseka menjawab sambil menahan nyeri di hatinya. Sang ratu kemudian menghilang. Tak pernah ada yang menyangka Abhiseka tega berbuat demikian pada putri
Ratu harimau tewas di tangan Sanaha. Jantung binatang itu masih berdetak ketika diambil paksa oleh sebuah tangan berkuku panjang. Ibunda sang pangeran berubah wujud menjadi harimau lalu berpendar menjadi abu. Tak ada lagi yang tersisa dari dalam istana. Semua sudah habis. Sanaha mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya, ia melayang di atas istana. Siluman ular tersebut menyaksikan sendiri betapa banyak darah yang tumpah akibat murkanya. Murka yang disebabkan oleh perbuatan panglima elang dan harus ditanggung oleh seluruh rakyat. “Apakah semuanya mati?” tanya Sanaha pada jantung gusti ratu yang masih berdetak. “Apakah Abhi juga tewas?” Siluman ular itu meneteskan air mata walau tanpa terisak. Walau bagaimanapun mereka punya kisah yang sangat manis. Abhiseka tidak mati, ia terlihat berlari dan melompat menuju istana. Hingga terlihat olehnya Sanaha menggunakan sutera campuran berwarna hijau hitam dan di tangannya ada sesuatu yang membuat Abhiseka tak mampu lagi melangkah. “Terlamb
Sanaha tersenyum ketika beberapa hari lagi bayi dalam kandungannya akan lahir ke dunia. Akhirnya ia tak akan kesepian lagi. Selama hamil ular hijau itu memang melemah kekuatannya, ditambah Abhiseka tak pernah datang ke tempatnya lagi. Sanaha tak tahu kalau di atas sana panglima elang dan beberapa anak buahnya datang mengawasi dan menunggu saat yang tepat baginya untuk menghabisi keturunan ular hijau penghuni telaga. Pernikahan dilangsungkan oleh Abhiseka bersama seorang putri dari kerajaan lain. Sanaha tahu dari desas-desus yang ia dengar. Ular itu tidak bisa mencegah takdir yang terjadi. Malam itu kerajaan sedang berbahagia atas penobatan pangeran dan putri makhota serta dua selirnya. Selama tujuh hari tujuh malam para duyung menyanyikan lagu-lagu bahagia hingga Abhiseka tak sempat memikirkan Sanaha. Gusti Ratu Swastamita tak melihat kedatangan panglima elang. Artinya makhluk yang setia padanya masih mengawasi telaga dan menunggu waktu yang tepat. Tengah malam ketika pesta perni
Abhiseka bangky dari pembaringannya. Di sana ia tidur bersama Amira. Manusia biasa yang ia jadikan permaisuri setelah semua istrinya tewas di tangan siluman kelabang. Meski sudah hampir ribuan tahun tinggal di Gunung Kalastra. Harimau putih itu masih merindukan kampung halaman tempatnya lahir. Tempat itu ia tutup rapat dari pandangan baik manusia atau siluman, bahkan Guru Wirata tak bisa menemukannya. Hingga pada akhirnya ia serahkan pada Cahaya dan Saka agar tempat itu hidup kembali. Apakah ia tak memikirkan apabila Sanaha bangkit dari tidur panjangnya dan tak akan mengganggu Cahaya. Abhi memikirkan semua itu. Ia yakin putrinya yang dari garis manusia biasa bisa menangani ditambah kehadiran Saka—pengawal yang sangat ia percaya. Walau demikian ia termasuk mempertaruhkan semuanya. Bisa saja Cahaya mati. “Sanaha, aku harap kemarahanmu tidak seperti dulu lagi. Sudah ribuan tahun berlalu, biarkan putriku mengambil tempat nenek moyangnya kembali. Aku sudah menepati janjiku untuk tidak k
Abhiseka menghidupkan kayu kering dengan api biru dari tangannya. Sang pangeran memandang rumput tempat mereka berdua memadu kasih tadi. Sanaha mengajarkan banyak hal padanya. Sayangnya ular itu pergi dan hanya tersisa sisik yang rontok di tanah saja. Abhiseka berenang dan kembali ke danau bagian atas tempat ia pertama kali bertemu dengan ular hijau itu. Sanaha masih tidak ada. Abhiseka berpamitan pada angin di atas tebing. “Aku tahu kau mendengarku, aku akan kembali lagi, aku harus pulang karena masih punya istana,” gumam Abhiseka. Tidak ada yang menjawab, lelaki bermata biru itu turun dengan cara melompat dari atas tebing. Di sana panglima elang ternyata telah menunggu. “Pangeran tidak apa-apa? Mengapa tidak pulang, Gustri Ratu mencari,” ucap penjaga dengan sayap menjuntai sampai ke tanah itu. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir, aku bisa pulang sendiri.” “Untuk apa Pangerang ke tebing itu. Bukankah kau tahu larangan?” “Aku tidak apa-apa, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan.
Seekor ular berwarna hijau seperti lumut menggeliat di dalam danau. Danau itu berada di atas tebing tertinggi, bahkan elang pun belum pernah sampai terbang ke sana. Wilayah yang memang berada dalam kuasa manusia harimau, tetapi tidak ada yang berani mengusik kediaman ular setengah manusia itu. Binatang meleta tersebut menyembulkan kepalanya. Lidah cabang duanya keluar. Mata berwarna hijau itu memandang mangsa di atas pohon. Seekor monyet yang sedang tertidur pulas dan dan tak sadar sebentar lagi akan berpindah ke perut ular. Tubuh licin itu tegak dan dalam waktu cepat, kera yang tadinya baik-baik saja kini telah berada di dalam mulutnya. Empat gigi tajam tersebut mematahkan tulang seekor kera dan tenggorokannya mendorong masuk makanan terus masuk ke perut. Setelah teredam laparnya ular hijau itu masuk ke dalam danau. Kemudian bagian atas tubuhnya berubah menjadi setengah manusia dan ia pun berjemur di bawah sinar matahari yang malu-malu menyapa wajah cantiknya. Sanaha—nama ular it
Saka memastikan dirinya terkunci di dalam ruang rahasia yang semalam tak sengaja ia temukan. Di dalam sana tidak ada satu makhluk pun selain dirinya. Di sana juga tidak ada para peri yang akan mengganggunya. “Tempat ini masih banyak misterinya. Aku harus tahu, karena aku seorang raja,” gumamnya perlahan. Saka menyentuh satu demi satu benda asing yang ia temukan. Selama beberapa saat lamanya pun tidak ada perubahan. Termasuk zirah perang yang ia sentuh, seakan-akan tempat itu kosong dari segala sihir yang biasanya memenuhi kediaman mereka. “Kalau tidak ada apa-apa, lebih baik aku kembali saja. Sudah terlalu lama aku meninggalkan Cahaya.” Manusia harimau itu tidak tahu kalau istrinya pun pergi berkelana ke luar. Pendengaran Saka di dalam ruang rahasia itu pun tertutup rapat. Baru saja ingin menggeser dinding, sebuah kitab lama terlempar dan menghantam kepalanya. Saka mengaduh dan menoleh ke belakang. Ia ambil kitab lama yang penuh lukisan itu. Sang raja ingin membaca di sebelah ist