Aku kembali menginjakkan kaki di kamar pribadi Tuan Max. Pria itu kini terlihat lebih segar karena baru selsesai mandi.
"Dari mana?" Tanya Tuan Max datar yang duduk bersandar di atas sofa.
Aku mengusap leher perlahan. "Apotek, Tuan," jawabku jujur.
Dia terdiam sebentar, lalu menghela napas sebelum berujar, "Kemarilah," perintahnya datar.
Kulangkahkan kaki mendeka
Aku duduk termenung di dalam kamar sempit yang sudah kutempati sejak aku kecil ini. Pikiranku melayang memikirkan jalan apa yang akan kulalui setelah ini. Semua hancur, hanya karena rasa cinta yang menghanyutkanku hingga kini terombang ambing tak tentu arah.Sudah sebulan berlalu sejak kepergian pria itu, aku masih menjalani rutinitas seperti biasa. Aku masih ke kampus untuk mengurus masalah skripsiku yang sudah hampir rampung, aku juga masih tetap datang ke rumah Tuan Max sesuai perintahnya, meski kini hanya kekosongan yang kurasa.Hingga kini, belum ada kabar dari pria itu. Enta
Aku berdehem pelan sebelum menjawab dengan sopan. "Maaf, Nona, tapi bisakah saya meminta bantuan pelayan laki-laki?""Kenapa seperti itu? Setahuku sejak dulu pelayan yang Max pekerjakan semuanya serba bisa, baik laki-laki dan perempuan," ucapnya santai.Sebenarnya aku sudah merasa kesal dengan wanita anggun tapi tak punya perasaan ini. Bisa-bisanya dia meminta seorang perempuan melakukan pekerjaan itu padahal dirinya sendiri aku yakin melepas satu lembar gorden saja tidak mampu.
Aku duduk termenung di pinggir kolam renang seraya memikirkan langkah apa yang harus kutempuh setelah ini. Niatku berbicara dengan Tuan Max terkubur sudah karena aku yakin akan banyak drama gila yang akan Lydia lakukan untuk megacaukan semuanya. Lagipula, aku belum tahu respon apa yang akan pria tua bodoh itu berikan nantinya.Ya, dia benar-benar bodoh dan tolol. Kenapa semudah itu dia percaya bahwa Lydia adalah Silvana? Kemana semua kemampuan mengendus aroma tubuhku yang katanya sangat ahli dilakukannya? Lalu, apa dia setolol itu hingga tak menyadari suara kami jauh berbeda. Atau jangan-jangan sebenarnya Tuan Max bukan tak tahu, hanya saja tak mau tahu.Oh, astaga, Sil
Fungsi hati adalah menghancurkan racun di dalam darah, menghasilkan protein, hingga membantu proses pencernaan. Tapi sayang, hati tak mampu menghancurkan racun dalam kenangan, menghasilkan lembaran baru, hingga membantu diri mampu menerima dan merelakan.Ya, tak semudah itu. Hati punya cara sendiri untuk kuat bertahan, mengatasi luka dan membiarkan waktu ikut bekerja.Aku sedang menunggu hal itu, menunggu waktu membuatku terbiasa dengan luka yang kini makin menganga.Keme
"Aku sebenarnya nggak mau berurusan dengan dia lagi, Sil. Tapi aku ngerasa nggak tenang biarin kamu masuk perangkap orang itu. Menurutku ... dia berbahaya."Aku berdehem pelan sebelum membenarkan tali tasku. "Aku tahu, dan kamu nggak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri. Thanks udah ingetin aku," ucapku seraya tersenyum tipis.Leo tersenyum dan mengangguk. "Oke, sudah sampai. Aku mau mampir ke warung ibu kamu, tapi sayangnya ada janji dengan teman," ucapnya ringan.
Aku mengerjapkan mata seraya memijat kepalaku yang terasa pusing. Kuamati sekitar dan kusadari aku sedang berada dalam kamar pribadi Tuan Max.Samar kuingat kejadian terakhir kali yang membuatku ingin mengumpat bodoh. Ya, aku pingsan karena ciuman Tuan Max yang sialan panas itu.Aku menoleh ke samping dan mendapati pria itu duduk dengan tatapan tajam serta wajah datar. Entah kenapa tubuhku seolah bergetar dan nyaliku seketika menciut."Apa yang kau makan selama ini hingga berat badanmu turun drastis?" tanyanya tajam.
Mata gelap itu masih memandangku dengan tajam, aura yang dikeluarkan Tuan Max begitu membuatku bergidik tak karuan. Pria itu menarik wajahku hingga merapat padanya. Hembusan napas hangatnya mengakibatkan jantungku berdebar semakin kencang."Aku ingin sekali menidurimu saat ini. Tapi, ada yang lebih penting yang harus kita lakukan," ucapnya datar dengar suara serak.Aku menelan saliva kesusahan, reaksinya membuatku tak mengerti. Jika ia lebih dulu tahu daripada aku, mengapa ia tak memberitahu dan memilih bungkam. Jika begitu, apakah artinya hubungan kami akan seperti ini saja?
Aku merasakan pusing luar biasa saat pertama kali membuka mata, spontan aku meringis dan memegangi kepala."Syukyrlah, kamu sudah sadar."Aku menoleh dan mendapati Ibu duduk di sebelah ranjangku dengan raut wajah lega.Samar aku mengingat kembali kejadian demi kejadian yang terjadi sebelum aku jatuh pingsan, mungkin terlalu shock untuk menerima kenyataan yang tak pernah terlintas di kepalaku walau hanya sekali.
Cinta adalah sesuatu yang tak terduga, dia datang dan pergi tanpa diminta. Menyakiti ataupun mengobati adalah keahliannya. Sama seperti yang kurasakan saat ini. Tak pernah kubayangkan akan jatuh hati pada pria kejam dan pemarah ini yang dulu selalu melecehkanku dengan sengaja. Meski menurutnya itulah cara dia mencari perhatianku.Tuan Max menang karena memang kenyataannya aku benar-benar merasa terusik dengan sikapnya. Ingatanku selalu tertuju padanya meski perasaan jengkel yang dulu selalu ada. Hingga kian hari perasaan itu berkembang menjadi suatu rasa menggembirakan yang menjungkirbalikkan duniaku.Aku menghela napas dan tersenyum setiap ada tamu yang datang untuk sekadar memberi ucapan selamat dan berjabat tangan. Ya, saat ini Tuan Max tengah mengadakan sebuah pesta pernikahan mewah dan megah di Moskow yang menjadi topik perbincangan publik.Banyak pro dan kontra dengan status suami istri yang kini telah kami umumkan, dan menduga aku hanya memanfaatkan hati
Aku tersenyum lebar saat menerima laporan yang kuminta pada Jo. Sebentar lagi Antonius akan tahu seberapa berbahaya musuh yang sedang di hadapinya. Tak perlu menggunakan kekerasan kepada pria tua itu. “Ada yang harus anda tahu, Tuan,” ucap Jo serius. Aku mengangkat alis tanda bertanya. “Kecelakaan yang menimpa anda waktu itu adalah rencana Antonius,”
Tuan Max POV Cinta adalah suatu hal yang tabu dalam hidupku. Sejak kecil aku sudah dididik dengan keras oleh kakekku. Ia beralasan bahwa dunia di luar sana begitu kejam sehingga aku harus berlatih sedini mungkin. Awalnya aku sangat terganggu dengan hal itu, waktu bermainku hilang digantikan dengan belajar akademik dan ilmu bela diri. Namun itu se
“Hei, pembantu rendahan.” Suara mendesahnya yang menjijikan itu mengotori gendang telingaku. Apa katanya? Rendahan? Wanita ini sepertinya tidak pernah berkaca pada kelakuannya. Aku menarik sudut bibir menampilkan senyum merendahkan sebelum mengayunkan tangan ke wajah mulus wanita itu. Suara pekikan nyaring serta beberapa orang yang terkesiap kaget tak membuatku berhenti begitu saja. “Dengar ya perempuan murahan yang tak tahu malu memeluk suami orang sembarangan! Kamu tidak lebih tinggi dari apapun. Bukan hanya soal harta dan kecantikan, tapi
Aku memasuki kamar luas di sebuah hotel ternama di ibu kota, entah mengapa Jo malah membawaku ke sini. Tapi yang pasti, saat ini jantungku berdebar tak terkendali. Langkahku terayun pelan, menyusuri ruangan dengan warna abu yang dominan. Semakin jauh berjalan, jantungku semakin berdetak tak karuan. Sebuah ranjang king size terlihat begitu menggiurkan di tengah ruangan. Aku memilih duduk di sana dan memijat pelan kakiku. Jujur saja sebenarnya aku agak lelah saat berjalan di pasar tadi. Mungkin karena kehamilanku yang kini sudah memasuki bulan ke tiga. Ruangan ini sepi sekali, tak ada tanda-tanda bahwa tempat ini dihuni. Berarti kata-kata Jo tadi hanya bualan semata, pria tua itu tak benar-benar pulang. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur seraya menghembuskan napas kecewa. Apakah ia belum puas meli
Dua hari berlalu sejak Tuan Max berbicara lewat telepon waktu itu, masih belum ada tanda-tanda ia akan kembali, bahkan mengabari juga tidak sama sekali. Ia datang dan pergi sesuka hati, mengatur kehidupanku seenaknya sendiri. Kali ini aku sudah tak mau memusingkan hal itu lagi, aku berusaha mencari kegiatan agar tak terus menerus ingat dengan pria kejam itu. Seperti hari ini, aku pergi ke pasar untuk berbelanja dengan Ibu, meski aku harus membiarkan para bodyguard mengikuti kami dari jarak yang tidak terlalu dekat. Aku sudah menolak, tapi mereka berkeras dan tak mengizinkan kami pergi tanpa penjagaan. Keranjang belanjaan Ibu sudah penuh, kami hanya tinggal membeli daging dan sayur saja. Saat aku sedang memilih sayuran, seseorang menyapa dengan antusias.
Ibu meletakkan dua cangkir teh di atas meja untuk kedua tamu kami, lalu beliau ikut duduk di sebelahku yang berhadapan dengan Jerry dan papanya, sementara adikku duduk di sudut ruangan sambil memainkan ponsel, tapi aku tahu ia ikut mendengarkan."Jadi, Jerry apa kabar?" tanyaku lembut, membuatnya yang sejak tadi tertunduk merasa tersentak. Entahlah, daripada orang yang murung karena kehilangan, dia lebih terlihat seperti sedang ketakutan."Ba ... baik, Bu," sahut anak lelaki itu gugup.Aku berdehem pelan, memperhatikan mata anak itu yang tak mau menatap langsung padaku. Gerak tubuhnya juga terlihat sangat tidak nyaman.Aku tak tahu bagaimana cara menghibur anak ini. Dulu dia memang muridku, tapi sudah lama kami tak bertemu dan aku juga sedikit canggung karena papa Jerry terlihat sangat memperhatikanku."Bagaimana sekolahmu, Nak?" Kali ini ibu yang bertanya, mungkin dia menyadari kecanggunganku, untuk itu aku harus berterimakasih pada beliau."Baik
Satu Minggu berlalu sejak perpisahan kami di bandara waktu itu. Aku kian murung saat tanda-tanda kepulangan Tuan Max tak kunjung menemukan titik terang. Aku rindu dan hanya dirinya yang bisa mengobati.Aku menghela napas panjang dan melangkah menuruni anak tangga. Pagi ini aku berniat ke kampus untuk mengurus syarat wisuda yang sempat terbengkalai karena Tuan Max cukup menyita waktuku."Anda tidak diizinkan keluar sendiri, Nyonya." Miama tergopoh-gopoh dari arah dapur menuju tempatku berdiri yang kini hampir mencapai pintu keluar.Aku menghela napas berat. "Ya, aku tahu. Kalian sudah mengingatkan itu seribu kali. Aku bahkan mematuhinya dengan tak pergi ke mana-mana selama seminggu ini," sahutku.Miama mengangguk pelan. "Anda mau ke mana, Nyonya?" tanyanya sopan."Aku harus mengurus masalah wisudaku, Miama.""Tuan sudah membereskannya untuk anda, bahkan tanggal wisuda anda sudah ditetapkan.""Apa? Jangan bercanda, Miama!" tegurku."Tent
Aku memutar kunci lalu mendorong pintu dengan perlahan, tak dapat kupungkiri jantungku berdetak begitu kencang. Ruangan ini terlihat berdebu meski barang-barang tetap tertata rapi.Langkahku semakin jauh ke dalam, aku mengamati sekitar dan tak menemukan sesuatu yang kucari. Entahlah, apa aku berharap menemukan bukti percintaan mereka di sini?"Tuan Max mengurung Nona Lydia dan pelayan-nya di sini selama seminggu." Miama bersuara di belakangku.Aku