Awal Mula Takdir Bekerja
Dua tahun lalu…
Rasanya Gery mulai bosan dengan pembahasan ini, pembahasan yang terus berulang dari waktu ke waktu, bahkan sekarang pembahasan itu mulai sering terdengar dari mulut sang kekasih.
"Bisa gak kita gak bahas ini terus?" ucapnya dengan nada kesal.
"Dan bisa gak kamu pertimbangkan usulan aku?" balas perempuan cantik bernama Gitsa. "Ini demi kita, demi masa depan kita," ucapnya mengiba.
"Demi kita?" Dengan sinis dia mengulang ucapan sang kekasih. "Kita apa kamu?"
"Please, Ger. Jangan kayak gini. Jangan nyudutin aku kayak gitu!" Gitsa mulai mengeluarkan air mata.
Dia pun sama lelahnya dengan Gery, lelah merayu kekasihnya itu untuk mau kerja di bidang yang sebetulnya ia pun tahu, Gery tak berminat sedikitpun untuk terjun ke dunia bisnis. Tapi dia tak bisa mengabaikan permintaan orang tua kekasihnya yang terus mengiba agar bisa meluluhkan hati putra mereka.
Pun dengan keluarganya, bahkan Papanya mengancam tak akan merestui mereka jika kekasihnya itu masih keukeuh dengan bisnis kafenya yang sedang ia jalani beberapa tahun ini. Bagi orang tuanya, bisnis yang Gery jalani saat ini tak ada masa depan, tak akan mampu menghidupi dirinya yang notabenenya terlahir dari keluarga kaya.
"Bukannya kamu sering bilang kalau kamu cinta sama aku, bahkan kamu berniat nikah sama aku. Jadi aku minta, buktikanlah kalau kamu cinta aku, bahwa kamu mau memperjuangkan aku. Karena kalau kamu tetap begini, Papa gak akan pernah restuin kita," ucap Gitsa dengan derai air mata.
"Kamu terus nyuruh aku berjuang. Sekarang aku tanya sama kamu, apa yang udah kamu perjuangkan buat aku? Apa pernah sekali aja kamu ngebanggain aku di depan mereka? Atau apa pernah sekali aja kamu bilang sama Mommy aku, kalau aku begitu bahagia dengan bisnis yang aku geluti sekarang?"
Kali ini Gitsa langsung terdiam, ucapan kekasihnya terlalu memojokkan dirinya.
"Gak pernah, kan?" lanjut pria itu lagi.
"Ya, karena …."
"Cukup! Gue lagi males berantem." Kali ini dia tak lagi berkata aku. "Mungkin seminggu ini gue gak balik ke sini. Elunya juga lagi gak bisa diapa-apain." Pria itu terlampau murka.
Seperti itulah egoisnya seorang Gerry Alexander Chen, dia akan pergi meninggalkan siapa saja begitu saja tanpa memikirkan apa yang orang lain rasakan, termasuk kekasihnya sendiri.
Pria itu langsung bergegas pergi dari apartemen elit miliknya, yang sejak setahun lalu menjadi hunian untuk dirinya dan sang kekasih.
Tapi belum sempat pintu lift yang ia naiki tertutup, wajah sang kekasih kembali terlihat di depan pintu lift sembari menjaga agar pintu itu tidak tertutup.
"Kita bahas ini nanti lagi. Gue lagi males!" ucapnya pada gadis cantik dengan lelehan air mata di pipinya.
"Tapi aku mau bahas ini sekarang. Atau kita gak usah bahas apapun lagi!" Sepertinya moodnya yang sedang naik turun saat datang bulan membuat ego gadis itu meningkat.
"Terserah elo aja. Gak ada ruginya buat gue kehilangan elo," jawab Gery dengan angkuhnya. Nampaknya ego lebih mendominasi pria tampan itu.
"Oke, fine. Hubungan kita cukup sampe di sini. Gue gak mau lagi mempertahankan cinta palsu tanpa pembuktian dari lo." Entah setan dari mana yang baru saja memprovokasi pikiran Gitsa, akhirnya gadis cantik yang biasanya lebih sering mengalah itu mengucapkan kata-kata putus.
"Bangsatt!" Gery murka, benar-benar murka apalagi saat melihat sang kekasih dengan begitu sombongnya menatap remeh ke arahnya sebelum pergi meninggalkannya dengan langkah tegak dan pasti.
Bagaimana bisa kekasih yang biasanya mengalah itu merendahkan dirinya bahkan memutuskan hubungan mereka dengan cara yang memalukan?
Meskipun ini bukan kali mereka bertengkar hingga putus, tapi biasanya Gery lah yang memutuskan gadis itu, setelahnya Gitsa akan meminta maaf padanya. Kemudian hubungan mereka pun kembali seperti sedia kala. Seperti itulah biasanya. Tapi baru kali ini Gery melihat Gitsa seperti itu, dia tidak seperti Gitsa si gadis baik yang ia kenal.
Dengan marah dan hati membara Gery melajukan mobil sportnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sambil berpikir kemana dia akan tidur malam ini. Dan saat otaknya belum menemukan tempat yang pas untuk ia tuju, ponselnya berbunyi. Ternyata dari Awan, sang manajer kafe yang entah ada apa menelpon malam-malam begini.
"Ada apa?" ketusnya, tanpa mengurangi kecepatan mobilnya.
"Eh, maaf Pak. Saya cuma mau tanya, malam ini Bapak jadi kan rapat dengan karyawan kafe?" tanya Awan agak ragu.
Sialan, Gery betul-betul lupa tentang rapat malam ini. Setelah menghembuskan nafasnya dengan kasar untuk mencoba mengatur emosinya, pria itu pun menjawab, "Saya lagi di jalan menuju kafe." Segera dia menutup panggilan telepon itu secara sepihak tanpa menunggu balasan Awan.
Beberapa menit kemudian, panggilan telepon kembali masuk. "Apa lagi? Kan tadi gue udah bilang, kalau gue udah di jalan. Bentaran lagi juga nyampe," ketusnya yang mengira panggilan itu dari manajer kafenya lagi.
"Gerry!" Suara tua yang begitu familiar di telinganya membentaknya dengan sangat keras.
"Mommy?"
Tanpa berbasa-basi lagi, Rosy sang Mommy langsung memberondongnya dengan banyak cacian, karena saking kesalnya kepada sang putra. Bukan tanpa sebab dia melakukan hal itu, karena beberapa menit lalu, Gitsa yang ia tahu adalah kekasih sang putra, menghubunginya untuk memberitahukan bahwa gadis itu memilih menyerah.
Makin kesal saja Gery setelah mendengar cacian sang mommy, apalagi saat mendengar bahwa Gitsa menghubungi mommynya dan mengadukan dirinya. Dan itu artinya Gitsa tak main-main dengan kalimat perpisahan tadi. Semakin kencang saja laju mobil yang ia kendarai.
Sepenting itukah sebuah jabatan tinggi untuk sebuah hubungan?
Sepenting itukah nama besar untuk dianggap layak jadi calon menantu idaman?
Gery berkali-kali memukul stir mobil tak berdosa yang menjadi sasaran kemarahannya. Sedangkan mulutnya tak henti memproduksi kata-kata kasar sebagai cara meluapkan emosi yang mengungkung dirinya.
"BRENGSEEEEEEKKK!!" pekik Gery memekakkan telinganya sendiri dan kini sambil membentur-benturkan kepalanya ke stir mobil.
Dan tiba-tiba mobil yang baru beberapa pekan ia beli menabrak sesuatu hingga terdengar bunyi yang begitu mengejutkan dirinya.
Benar saja seperti dugaannya, ternyata tanpa sengaja dia telah menabrak sebuah motor.
Seorang wanita berhelm retro berwarna merah muda, terlihat tergeletak beberapa meter dari letak motornya, sedangkan seorang lagi adalah pria tua dengan darah bercucuran dari belakang kepalanya.
Inilah hari dimana dunia Gery dijungkir balikan oleh TAKDIR.
Hari pergantian umur adalah satu momen yang begitu ditunggu banyak orang, tak terkecuali gadis cantik bernama Zaskia. Sejak pagi gadis berusia 20 tahun itu terus saja menyunggingkan senyum saat membaca ucapan selamat yang masuk ke akun WhatsApp-nya."Kalau lagi makan simpen dulu hape kamu. Ketauan Ibu bisa marah dia," ujar Bapak."Kan mumpung gak ada Ibu, Pak. Lagian boleh lah setahun sekali aku makan sambil mainin hape. Orang lagi ulang tahun mah, bebas Pak," ujar gadis cantik itu seraya memamerkan rentetan giginya yang rapi."Kamu ulang tahun hari ini?" Bapak tua itu terlihat kaget."Iya, Pak. Hari ini aku 20 tahun. Udah 20 tahun Pak!" Serunya dengan riang.Tapi tidak dengan pria bernama Kusdi itu, meski wajahnya memancarka
Pening, itulah yang pertama kali Kia rasa saat membuka matanya hingga ia harus memegang kepalanya kuat-kuat. Sepertinya ini masih dalam mimpinya, pikir Kia ketika melihat seorang pria tampan duduk bersandar sambil melipat tangan di dada dengan kedua matanya terpejam. Dia lah bosnya, sang pemilik kafe tempatnya bekerja. Jadi ini pastilah mimpi, karena tak mungkin bosnya itu ada dalam kamarnya.Eh, tunggu!Ini bukan kamar tidur di kontakannya, kamar bernuansa putih dengan aroma menenangkan ini begitu asing di ingatan Kia. Jadi sekarang dia ada dimana?Cepat-cepat Kia bangun dari tidurnya tanpa aba-aba, dan itu membuat sekujur tubuhnya seperti dialiri sengatan listrik yang cukup menyakitkan terutama di bagian kakinya. Jadi ruang tidur ini adalah sebuah ruang rawat inap rumah sakit.
Belum sampai Gery mengiyakan apalagi menjelaskan perihal yang terjadi, pintu kamar rawat inap diketuk, diiringi ucapan salam.“Waalaikumsalam,” jawab Kia dan Gery hampir bersamaan.“Itu suara ibu saya, Pak.” Sambil tersenyum senang. “Bu, masuk, Bu!” panggil gadis itu dengan senyum yang masih melekat di bibirnya.“Biar saya yang buka pintunya!” ucap Gery saat melihat sang pasien akan beranjak turun.Seorang wanita yang tidak terlalu tua berdiri di depan pintu kamar dengan sebuah kantong plastic putih di tangan kirinya.“Punten, Mas. Ini kamarnya Zaskia?” tanya ibu itu dengan logat Sunda yang khas. Matanya nampak sembab.&nb
Gery meminta izin untuk keluar sebentar kepada kedua wanita yang saat itu sedang menikmati makan siang mereka, “saya izin keluar dulu, mungkin nanti sore atau malam saya balik lagi. Ada yang harus saya urus sebentar,” ucapnya dengan sopan.“Iya, istirahat aja yang cukup, jangan sampe nak Gery ikut sakit juga,” jawab ibu dengan nada khawatir. “jangan khawatirin Kia, denger kan kata dokter tadi kalau besok Kia udah boleh pulang, jadi sekarang nak Gery pulang aja, ya! Jangan terlalu tergesa-gesa. Karena biasanya yang tergesa-gesa itu kurang baik hasilnya, wanita itu cuma butuh tindakan nyata tanpa perlu banyak ungkapan kata. Ngerti kan maksud ibu?” lanjut Ibu sambil menepuk-nepuk lengan Gery.Gery dengan bodohnya malah mengangguk seolah menyetujui semua nasihat yang keluar dari mulut wanita tua itu, meskipun sebetulnya tak ada yang bisa dia simpulkan dari nasihat tersebut. Dan segera dia meninggalkan kamar pasien tersebut.Selang satu jam sejak kepergian Gerr
“Elu mau sampe kapan ngejogrok di sini?” tanya sahabat Gery.“Bentaran ngapa Mbek. Gue bingung harus ngejelasin dengan cara apa ke mereka kalau sebetulnya gue yang bikin bokapnya si Kia koma,” keluh Gery sambil menyeruput tetes terakhir kopi pahitnya.“Yaelah, apa susahnya tinggal bilang, ‘bu, sebetulnya saya yang tabrak motor suami ibu semalem, dan dari lubuk hati ...’” “Gak usah pake lubuk hati, lubuk hati, nanti lubuk hati mereka salah penerimaan lagi,” bentak Gerry.Sahabatnya yang bernama Satria itu hanya cengengesan, melihat kegelisahan di wajah sang sahabat. “Sorry, Nyet gue lupa kalau hati elu kan buluk,” selorohnya, hingga membuat bantal sofa mendarat di wajah tampannya.Seharusnya satria ikut merasa sedih dan prihatin atas musibah yang menimpa sahabatnya, tapi entah mengapa sejak awal Gery bercerita tentang awal mula musibah itu tercipta, hingga terjadinya kesalahpahaman antara Gerry dan korban, Satria malah tidak bisa men
“Makasih Pak,” ujar Kia pada sopir keluarga Chen yang mengantarnya pulang ke kontrakan. Awalnya ia menolak dengan halus tawaran mommy bosnya untuk diantarkan pulang oleh sopir keluarga itu, malu rasanya harus menerima semua kebaikan yang sudah diberikan keluarga kaya raya itu untuknya, yang hanya mengalami cedera ringan. Tapi nyatanya tak mudah bagi Kia dan ibunya untuk menolak tawaran Nyonya Chen, karena mommy bosnya itu malah mengiba agar Kia mau diantar pulang. Jadi mau bagaimana lagi, dengan sedikit rasa terpaksa Kia akhirnya menerima tawaran baik itu. Untung saja sekarang dia sudah tahu fakta yang sebenarnya, karena jika tidak, makin besar kepala saja Kia diperlakukan baik oleh mommy bosnya.“Tunggu Mbak!” cegah sopir itu sebelum Kia dan ibunya masuk ke dalam kontrakan.“Kenapa? Ongkos?” tanya Ibu dengan polosnya.“Zbukan,” jawab si sopir cepat, sambil membuka bagasi belakang. “Ini dari Ibu Rossi, ada sedikit bingkisan kecil darinya.” Sambi
Sebetulnya bukan mau Gery jadi seperti ini. Masalah jadi tambah runyam saja sejak Kia memintanya untuk menjadikan semua biaya rumah sakit Pak Kusdi sebagai piutang, karena Gery memang tulus ingin membantu mereka sebagai bentuk penyesalan dirinya. Masa bodoh lah Kia akan membayar utangnya dengan cara apa nantinya, bahkan Gery dengan bodohnya sempat ikut menghitung jumlah populasi ternak kambing keluarga gadis itu di tiga tahun ke depan, jika dalam satu tahun induk kambing melahirkan 3 ekor anak, maka dari empat ekor kambing ada sekitar 12 anak kambing dalam satu tahun, belum lagi kambing yang melahirkan kembar, tambah banyak lagi kambing yang akan keluarga Kia miliki dan jika dikalkulasikan jumlah itu dalam tiga tahun, hasilnya adalah… Gery langsung tersadar dan segera berhenti menghitung jumlah mereka. Buang-buang waktunya saja. Sudah 20 menit dari jam kerja Kia dimulai, tapi gadis itu belum juga tercium baunya. Gerry yang memang akhir-akhir ini lebih banyak
Tangis pilu Kia pecah saat melihat kondisi sang ayah yang saat itu sedang di bisikan ayat-ayat Alquran oleh sang ibu. Sudah tak ada lagi alat bantu yang terpasang di tubuh pria tercintanya, menandakan jik para dokter sudah angkat tangan.Kia segera menghampiri tubuh yang terbujur dengan mata terpejam itu, memanggil dengan lirih orang yang begitu ia cinta. “Bapak, bangun!” ucap Kia dengan bibir bergetar. “Pak, maafin Eneng!” sambungnya sambil menggenggam erat telapak tangan yang begitu kasar itu.Gery pun tak kalah sedih melihat pemandangan memilukan di hadapan matanya itu. Kumohon jangan seperti ini.Ya Allah, biarkan aku meminta maaf secara langsung padanya. Akhirnya pria itu meminta bantuan Penciptanya.Beri kesempatan aku untuk meminta maaf secara langsung!Kumohon. Apapun yang dia inginkan, pasti akan kukabulkan. Batin Gery lirih.“Pak, tunggu anak-anak datang ya, Pak. Izinkan mereka meminta maaf pada Bapak!” ucap i
Perubahan hormon ibu hamil,membuat sifat gadis itu jadi banyak berubah, perempuan yang biasa giat bekerja itu jadi tiba-tiba saja jadi malas bekerja, jangankan bekerja, mandi pagi saja malas, karena setiap kali badannya tersentuh airnya, rasa mual pasti datang mendera. Bukan hanya itu saja, moodnya sangat mudah berubah, rasa bahagia dan sedih seperti hanya terpisah sehelai benang. Pagi ini contohnya, Gerry begitu terkejut saat mendengar suara isak tangis dari balik selimut yang masih membungkus tubuh sang istri. Dia menangis seperti seorang istri yang teraniaya, sama persis dengan para aktris di sinetron azab.“Kamu kenapa? Mual?” tanya Gerry dengan lembut dan penuh kasih. Sungguh, Kia pun bingung dengan dirinya sendiri, hanya karena mengingat drama romantis yang ia tonton semalam saja sudah membuat dirinya seperti seorang istri yang tidak dicintai, karena sikap Gerry yang tidak seromantis aktor-aktor dalam drama itu.“Kamu kenapa, aku tanya? Atau mau apa?” Gerry masih bersabar men
“Kalian emang mau kemana sih?” tanya Amora penuh curiga saat melihat sang suami dan dua pria sableng lainnya itu berpakaian rapi di malam hari.“Nganter Gerry, katanya ada sesuatu yang harus dia urus di sini,” jawab Thomas sambil melingkarkan jam rolex di pergelangan tangannya.“Kamu gak ada niatan macem-macem kan?” Amora langsung memandang sang suami dengan sinis.“Ini bukan waktunya kamu cemburu, Sayang. Di sini gak ada klab malam atau sejenisnya, cuman ada pasar malem yang katanya baru besok malem mulai buka,” jawab Thomas, dan segera mengecup singkat bibir sang istri sebelum wanita itu kembali mengucapkan hal-hal negatif kepadanya.Kejadian yang hampir sama pun terjadi di kamar lainnya, tepatnya di kamar Gerry dan Kia. Kia merasa ada yang sedang suaminya sembunyikan kepadanya, karena Gerry yang biasa mageran tiba-tiba memberitahukan dirinya bahwa dia dan kedua sahabatnya akan keluar malam itu.“Aa sebenernya mau kemana sih? Kalau emang mau ke rumah Pak Kades, kenapa gak ajak Pak R
Kia pikir ucapan Gerry yang akan mendatangi rumah Pak Kades hanya bualan saja. Untungnya saja semalam Kia berhasil mengalihkan perhatian sang suami yang ngeyel ingin mendatangi rumah kepala desa dengan cara mengajak sang suami melakukan ritual mengasikan yang mereka sukai, ditambah lagi cuaca malam tadi memang kurang mendukung, makin giat saja Gerry membuat suasana kamar mereka memanas.Tapi tidak untuk pagi ini, sebab Gerry sudah meminta sang adik ipar memanggil ketua RT di sana untuk menemani dirinya ke kantor balai desa agar bisa bertemu langsung dengan si kepala desa.“Aa, gak usah ke sana sih, mending titip pesen aja sama Pak RT, jadi biar Pak RT yang nyampein pesen Aa, ke Pak Kades,” pinta Kia, masih berusaha merayu sang suami di detik-detik terakhir.Pak RT yang ternyata masih kerabat Kia segera mengangguk setuju, sebab dia juga cukup sungkan untuk bertemu kepala desa hanya untuk membahas soal perbaikan jalan ke kampung mereka dalam waktu singkat, ditambah lagi hanya karena al
Mommy Rossi berusaha mengalihkan ngidam sang menantu dengan berbagai makanan mewah. Dia bahkan menyewa koki hotel bintang lima untuk memasak menu-menu andalan yang biasa diminati para tamu.“Ayo sayang, dimakan. Mommy sengaja sewa koki hotel buat masak makanan buat kamu,” ujar wanita itu, saat memanggil sang menantu untuk makan siang. “Tadi pagi Mommy liat kamu gak ngabisin sarapan kamu.”“Iya, Mom. Gak tau kenapa rasa makanan yang aku makan jadi aneh semua, dan kadang bikin aku mual,” jelas Kia yang masih betah meringkuk di balik selimutnya.“Wajar, kebanyakan perempuan yang lagi hamil muda emang begitu.”“Emang Mommy gak ngalamin kayak gini waktu hamil si Aa?” Kia yang sebetulnya sangat malas beranjak dari ranjang, akhirnya memaksakan diri untuk bangun. Sungguh perlakuan sang ibu mertua yang terlampau baik membuatnya sangat tidak enak hati.“Mommy tau hamil aja pas udah lima bulan, karena ada yang gerak di perut Mommy.”“Mommy emang gak merhatiin siklus haid Mommy?”“Siklus haid Mom
Gerry yang begitu bahagia langsung membawa Kia kepada sang Mommy yang saat itu masih berada di salah satu butiknya. Dengan senyum yang sejak tadi tak pernah pudar dari wajah tampannya, Gerry menggandeng tangan Kia ke dalam butik dengan tergesa-gesa.“Sabar A, pelan-pelan atuh!” tegur Kia yang merasa dirinya seperti diseret-seret sang suami.“Aku udah gak sabar liat reaksi mertua kamu,” jawabnya bersemangat. “Mau aku gendong, takutya kamu capek?”Belum apa-apa Gerry sudah berlebihan memperlakukan istrinya.“Dari rumah ibu ke sini aja, aku kuat nyetir sendiri, masa jalan dari parkiran ke dalem aja pake digendong?” Kia terkekeh geli. “Ya siapa tau aja kamu capek abis nyetir,” jawab Gery kemudian kembali menggandeng tangan sang istri, namun kini dengan langkah lebih santai, walaupun hatinya sama sekali tidak santai. Seperti biasa, kedatangan mereka selalu disambut ramah para karyawan butik, tapi jika biasanya Gerry bersikap cuek dan selalu tak acuh pada sapaan mereka, namun hari ini ber
(Beberapa jam sebelum kedatangan Kia)“Maaf, karena ada sedikit kesalahan teknis, acara harus kami undur sekitar 30 sampai 60 menit,” ujar Gerry kepada semua narasumber yang datang siang itu. meskipun kesalahan ini murni bukan karena ulahnya, Gerry selaku anak dari pemilik stasiun televisi itu tetap harus menurunkan egonya untuk meminta maaf.“Mau gimana lagi?” sahut salah seorang dari mereka.“Dan sebagai permintaan maaf kami, saya akan mentraktir makan siang di restoran saya. Bagaimana?” usul Gerry, mencairkan suasana.Para narasumber pun terlihat senang menanggapi usulan calon penerus kerajaan bisnis Chen. Beberapa di antara mereka bahkan baru mengetahui bahwa Gerry adalah anak tunggal dari pemilik stasiun televisi swasta tersebut. Mereka termasuk Gitsa langsung diantar oleh mobil operasional perusahaan yang cukup mewah ke salah satu cabang restoran Cina milik Gerry yang letaknya tak jauh dari tempat tersebut.Gerry sengaja memesankan sebuah privat room ukuran besar untuk menjaga
“Aya naon?” tanya ibu melihat perubahan raut wajah sang putri setelah mendapat telepon dari menantunya.“si Aa nyuruh aku cepet pulang,” jawab Kia dengan kesal.“Baru juga beberapa jam di sini, masa langsung nyuruh pulang? Gimana sih?” ibu juga tak kalah kesal. Ya, bagaimana tak kesal, sudah lebih dari satu bulan sang putri tidak mengunjunginya, dan baru beberapa jam saja menginjakan kaki di rumahnya, sang menantu sudah menyuruh putrinya untuk meninggalkannya lagi.Ingin sekali sang ibu menelpon menantu titisan Sultan itu seraya berkata ‘APA-APAAN?’, sambil memarahi menantunya itu yang tak tahu adab. Tapi kenyataannya, boro-boronya dia memarahi sang menantu, baru menatap wajah tampan pria yang menikahi putrinya saja langsung membuat nyalinya menciut. Entah karena malu atau karena segan, yang jelas Ibu tak pernah bisa mengobrol banyak pada menantunya sendiri.“Bawaan orok kali, jadi bapaknya kangen terus sama Neng Kia,” sahut si ibu penjual rujak.Sontak saja kedua ibu dan anak itu men
Setiba di kampung halamannya, entah mengapa membuat hati Kia gelisah, seperti ada sesuatu yang membuat dirinya begitu tidak nyaman dengan tempat itu. apa mungkin karena rumahnya yang telah dirombak habis sang suami, membuat Kia jadi harus beradaptasi dengan suasana rumah orang tuanya?Beberapa bulan lalu, Gerry meminta izin dari Kia untuk merenovasi rumah sederhana milik orang tuanya, dan itu cukup membuat Kia terharu saat itu. Akan tetapi, Kia tidak tahu jika renovasi versi Gerry sangat jauh dari bayangannya. Gerry bahkan membeli sebagian tanah warga yang ada di sekitar rumahnya, untuk memperluas rumah yang kini hanya diisi oleh sang ibu dan adik bungsunya. Rumah sederhana itu kini disulap layaknya kediaman seorang pejabat, bahkan rumah yang dulu hanya seluas kamar tidur utama di kediaman keluarga Chen, sekarang sudah melebihi rumah Pak Lurah di desa tempat sang ibu tinggal.(percakapan dalam bahasa Sunda)“Ini tanah siapa aja yang si Aa beli?” tanya Kia yang takjub dengan renovasi
“Gue harus gimana ini?” tanya Gerry dengan tergesa.Satria dan Thomas yang baru saja akan menikmati minumannya kembali tegang saat melihat Gerry kembali di hadapan mereka.“Ya minta maaf aja sih, apa susahnya?” sahut Thomas.“Gampang ya kalian para cowok minta maaf setelah ngelakuin kesalahan yang bikin perempuan sakit hati.” Amora terlihat kesal dengan jawaban suaminya.“Ya, gak gampang juga. Emang kamu pikir gampang bikin rayuan yang bikin kamu maafin aku? kadang aku sendiri aja lupa apa salah aku, tapi aku tetep berlapang dada minta maaf ke kamu.” Thomas tak mau kalah.“Oh, jadi selama ini kamu minta maaf ke aku karena terpaksa? Iya?”“Kok kamu jadi marah ke aku gini sih? Sekarang aku tanya, emang apa salah aku sampe kamu sewot gitu?” Thomas tak terima dituduh seperti itu oleh sang istri.“Pake nanya salah kamu apa lagi. Mas, aku tuh gak suka cara kamu nyelesein masalah, kamu tuh ter