BIARKAN AKU PERGI (4)
Kujabat tangan wanita yang sepertinya lebih dewasa dari usiaku. Kelebihannya? Aku tak punya kesan mendalam. Sepertinya biasa saja. Tetapi kata orang, cinta pertama bisa jadi sulit dilupakan. Kuberikan seulas senyum padanya, lalu aku memilih ke belakang. Aku sudah menganggap rumah mertuaku ini seperti rumah sendiri. Biasanya aku akan segera ke dapur jika berkunjung ke sini. Mengeluarkan makanan yang kubawa dan menghidangkan kembali untuk kedua orang tua Mas Bayu. Di rumah mertuaku ini, ada Bi Darmi yang suka bantu-bantu. Aku juga sering mengobrol dengannya jika datang ke rumah ini. Mendengarkan ceritanya. Tapi, hari ini kurasa tatapan Bi Darmi sedikit berbeda. Entah apakah ini hanya perasaanku? “Bi, aku masak dimsum nih. Papa dan mama biasanya suka.” Kukeluarkan kotak makan ukuran besar dari tas jinjing yang kubawa. Lalu bergegas kuambil piring besar untuk menyajikan dan mangkuk buat sausnya. Kulihat Bi Darmi sebentar-sebentar melirik padaku. Tapi, dia memilih diam. Padahal biasanya dia banyak bicara. Membicarakan anaknya, kambingnya, bahkan tetangga-tetangga mertuaku yang aku sebenarnya tak mengenalinya. “Bi, aku keluarin ini. Bibi bawa piring kecilnya, ya,” ujarku kemudian memecah kehebingan. Sebenarnya aku tidak menyukai suasana kebisuan seperti ini. Sepertinya ada yang aneh. Misalnya, biasanya kamar Mas Bayu yang aku pakai istirahat biasanya pintunya terbuka, kini tertutup rapat. Bahkan, tadi aku mencoba membukanya untuk meletakkan tas selempang, ternyata pintunya dikunci. Baiklah. Aku tetap akan menjadi menantu yang baik bukan? Kupelankan langkah saat hendak mencapai ruang tamu. Menguping pembicaraan orang tentu bukan sesuatu yang baik. Tetapi, aku pura-pura menunggu Bi Darni yang kuminta membawakan piring kecil yang belum datang. “Mama tidak mau jika orang tua Fahira sampai tahu hal ini,” ujar mama Mas Bayu. Aku hanya bisa menahan nafas. Entah apa yang dibicarakan, tapi mereka menyebut namaku. Segera pura-pura kupanggil Bi Darmi agar mereka mengalihkan pembicaraan sebelum aku datang. Aku tak mau mereka kaget dengan kemunculanku di ruang tamu. “Piringnya ada?” tanyaku dengan suara agak keras. Bi Darni mengangguk. Kami berdua kemudian menyajikan makanannya. “Ira tadi buat dimsum nih pa. Ini ada yang udang sama ayam,” jelasku memecah kecanggungan. Kuambilkan papa mertua empat buah dimsum lalu kutuang saus di atasnya. Begitu juga untuk mama mertuaku. “Mba Nabila, silahkan ambil, Mba,” kutawarkan ke tamu itu sebelum mengambilkan untuk Mas Bayu, karena aku ingin menghormatinya. Wanita itu menatapku lalu tersenyum. Entah senyum yang dibuat-buat ataukah senyum karena aku mempersilahkannya. Aroma dimsum yang masih agak hangat ini memang menggugah selera. Tak sampai setengah jam, dimsum yang aku sajikan sepiring besar sudah tandas. Untung aku menyisakan beberapa di belakang untuk Bi Darmi. “Masakanmu semakin enak,” ujar mama mertua. Tapi kini kurasa sedikit hambar pernyataan mama itu. Dulu, aku biasa curhat dengan mama mertua tentang masakan yang aku coba bikin, lalu aku membawa hasilnya ke mama untuk dinilai. Mama selalu memujiku dan aku senang. Ini seperti hiburan saat Mas Bayu belum bisa menerimaku. Kini, pujian mama terasa seperti tusukan sembilu. Semua usahaku seolah tak ada artinya. Hati Mas Bayu telah berpaling meski aku berusaha keras meraihnya. “Nanti Fahira bisa bikin resto. Papa yang investasi, ya?” ujarku sambil melirik ke Mas Bayu. Namun, sepertinya guyonku terasa hambar. Apakah kehadiran wanita itu yang membuat suasana berubah. Terakhir aku ke sini, meskipun Mas Bayu masih terasa garing, tapi papa dan mama selalu menanggapi gurauanku dengan gurauan yang lain. Namun, barusan kulihat mereka hanya saling berpandangan. “Mas Bayu, jadi mau pergi jam berapa?” tanyaku untuk memecah kecanggungan. Kulihat papa dan mama ekspresinya makin aneh. Wanita itu juga sesekali melirik ke Mas Bayu. Entahlah. Aku merasa menjadi seseorang yang terbuang di sini. Seingatku, jika kita dikenalkan dengan teman lama, bukannya dia akan menjelaskan kesan apa tentang teman lama itu. Tapi, ini tidak. Bahkan Mas Bayu tak mencoba menjelaskan siapa wanita itu dan mengapa ada disini? Bisa kan dia mengatakan, dia disini mencariku karena sudah lama tidak ketemu. Atau mengatakan mau ada reunian, jadi dia meminta jadi panitia. Atau apa saja yang berhubungan dengan teman lama. Tapi, ya sudahlah. Mungkin dua tahun tak cukup aku menjadi bagian dari keluarga ini. Dan mungkin inilah saatnya aku untuk mengalah. “Mas, katanya mau ketemu temenmu. Nanti terlambat lho,” ujarku lagi mengingatkan. Sebenarnya, ini hanyalah alasan belaka karena aku ingin pergi secepatnya dari sini. Sepertinya tak ada lagi alasan untuk bertahan. “Oh ya, Ma. Kemarin aku habis dinas. Maaf lama tidak ke sini. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk mama dan papa.” Kuangsurkan goodie bag berisi kain tenun khas salah satu daerah yang kukunjungi saat mengambil data di wilayah timur Indonesia. Aku juga memberikan oleh-oleh untuk Bi Darmi sebelum aku berpamitan. Bisa jadi ini terakhir kalinya aku ke sini. Ada rasa sesak di dadaku. Kupindai semua sudut rumah ini sebelum aku benar-benar berpamitan ke papa dan mama. Kupeluk keduanya. “Ma, Pa, maafin Fahira ya,” kubisikan kata maaf saat memeluknya, agar aku tak hutang maaf jika aku benar-benar meninggalkan mereka. Mama dan papa saling berpandangan melihatku sedikit menyeka air mata yang tak sengaja mengalir. Tapi, tak lupa segera kuulas kembali senyum. Aku tak ingin mereka tahu jika aku sudah mengetahui rencana mereka. Aku hanya ingin meninggalkan kesan baik kepada mereka jika mereka tak menemukanku lagi. Ada ganjalan dalam hatiku, mengapa wanita teman Mas Bayu itu masih disana. Bahkan, ketika kami pamit, sepertinya tidak ada niatan segera berpamitan? Tetapi, ya sudahlah. Mungkin mama dan papa mertua memang akan menggantikanku dengannya. Dan kepergianku tentu tak akan membuat mereka repot harus menyembunyikan hubungannya dengan Mas Bayu kan? “Kamu kenapa, Ra?” tanya Mas Bayu sambil meraih jemariku. Aku segera menoleh ke arahnya yang masih fokus menyetir. Begini memang Mas Bayu, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Apakah semua lelaki seperti ini? Pandai bersandiwara? Atau dia sedang latihan mendua? “Aku sedih, Mas. Ternyata kita cukup lama tidak mengunjungi papa dan mama,” ujarku kemudian. Aku memang sedih karena merasa terbuang. Tapi, aku tidak bohong jika kami sudah lama tidak berkunjung. Tepatnya aku yang lama tidak berkunjung, entahlah kalau mas Bayu. Bisa jadi dia diam-diam tanpa mengajakku datang ke sana bukan? Toh, itu rumahnya juga. “Maafin aku, ya,” ujar Mas Bayu sambil mengusap kepalaku. “Mas, kita juga sudah lama tidak ke ayah dan ibuku.” Aku mencoba mengingatkan Mas Bayu. Memang ayah ibuku tinggal lebih jauh dibanding orang tua Mas Bayu. Tapi seharusnya tidak ada alasan tidak mengunjunginya, karena kami masih belum ada kerepotan mengurus anak, ataupun kerepotan kendaraan. “Iya, Ra. Nanti kita atur habis aku ke luar kota, ya,” ujarnya sambil menepuk lenganku dengan tangan kirinya. Aku hanya mengangguk. Setiba di rumah, Mas Bayu hanya menurunkanku dari mobil. Dia buru-buru pergi untuk bertemu teman, katanya. Tak lupa dia memberikan kecupannya sebelum meninggalkanku. Aku segera membersihkan diri dan berganti baju. Rasa malas membuatku ingin mengurung saja di kamar sambil membuka laptop.Sebenarnya aku malas untuk mencari tahu tentang Mas Bayu. Sudah cukup rasa pedihku dibuang oleh keluarga Mas Bayu, meskipun itu hanya perasaanku saja. Meskipun mereka tak mengeluarkan kata apapun kepadaku. Aku tahu, karena mereka masih segan kepada kedua orang tuaku. Bagaimanapun yang mengajak perjodohan ini adalah orang tua Mas Bayu, bukan orang tuaku. Tentu saja posisi tawar orang tuaku lebih kuat jika keluarga Mas Bayu akan mengembalikanku ke orangtuaku. Tetapi, aku harus benar-benar mencari bukti sebelum aku melangkah jauh. Visa studi sudah di tangan. Aku tinggal mengeksekusi tiket. Tapi aku harus mencari tanggal yang tepat saat Mas Bayu sibuk. Aku tidak mau Mas Bayu atau keluarganya mencegahku. Kubuka aplikasi GPS dan kumasukkan nomor Mas Bayu. Ah, dia kembali lagi ke rumah mertuaku tadi ternyata. Mungkin pembicaraan tadi belum usai. Mungkin teman yang mau ditemui Mas Bayu memang Nabila yang tadi sudah ada disana. Tapi, mengapa Mas Bayu tidak jujur saja? Atau mertua tidak jujur saja kepadanya?Aku hanya bisa menghembuskan nafas berat.Percuma untuk marah. Mereka memang sudah bersepakat membuangku. Lebih baik aku duluan yang pergi sebelum mereka mencampakkanku. Ya Tuhan, hilangkanlah rasa benci dan dendam di hati ini. Tiba-tiba aku teringat ke misi awalku. Aku hanya boleh meninggalkan kenangan yang baik saja. Tanpa sakit hati. Kubuka kembali akun medsos yang jarang aku pakai ini. Kulihat akun Nabila dan mas Bayu dari akunku. Tak ada update terbaru. Mungkin di setting hanya teman-temannya yang bisa melihat. Tanpa pikir panjang, aku sign in kembali di akun Mas Bayu. Jantungku berdebar saat kulihat beberapa notifikasi di sana. Aku klik notifikasi itu yang mengarah pada postingan terbaru. Tepatnya postingan Nabila. Meskipun itu tidak di tandai ke akun Mas Bayu, tetapi postingan teman yang sering berinteraksi dengan kita kadang ditandai dengan notifikasi. [H-7] Postingan itu singkat dan tentu saja menyiratkan sebuah arti. Artinya, Nabila sedang mempersiapkan sesuatu yang besar dengan menghitung mundur. Apakah ini ada kaitannya dengan rencana Mas Bayu ke luar kota? Ah, sayangnya aku tidak kenal dengan satu orang pun teman kantor Mas Bayu untuk ditanya. Namun, jikalau aku kenal, apa tidak mencurigakan jika aku menanyainya. Segera kutinggalkan akun mas Bayu. Kututup akun itu agar tidak berjejak. Sepertinya aku harus menggunakan cara sedikit ‘kasar’ untuk mengetahui rencana besar Mas Bayu. Kubuka akun kalender milik Mas Bayu. Biasanya orang sibuk seperti dia akan menandai kalendernya. Dan, benar! Aku sudah mendapatkan jawabannya sekarang. --BERSAMBUNGBIARKAN AKU PERGI (5)Mas Bayu pulang sudah larut malam. Mungkin banyak yang harus dia persiapkan di rumah orang tuanya, atau bisa jadi dengan wanita tadi. Aku tak ingin banyak bertanya. Aku tak ingin mencecarnya dengan pertanyaan yang mungkin membuatnya tertekan, lalu memilih berbohong. Aku ingin dia bahagia dengan kondisinya saat ini. Mas Bayu segera mengambil baju gantinya dan beranjak ke kamar mandi begitu masuk kamar. Aku sendiri memilih pura-pura tidur saat dia masuk dan pura-pura tidak terbangun saat dia menyalakan lampu. Padahal, aku sebenarnya sudah bersiap dengan kejutan. Malam ini mungkin malam terakhirnya bersamaku. Atau bisa jadi aku masih memiliki satu malam lagi dengannya jika dia tidak punya acara lain. Makanya, tadi sore aku sengaja membersihkan daki-daki dari tubuhku, memanjakan diri dengan lulur yang aromanya wangi dan kelembutan kulitku masih sangat terasa. Bahkan aku sengaja menggunakan baju tidur terbaikku agar aku terlihat istimewa di mata Mas Bayu saat ia b
“Kenapa, Mas? Kok buru-buru?” tanyaku saat kami sudah di mobil. Sebenarnya aku penasaran dengan pria tadi. Aku ingin mendapat informasi dari Mas Bayu. Ingin memancingnya, tapi dari raut mukanya, sepertinya dia enggan menjawabnya. “Sudah malam, Ra. Besok aku berangkat pagi-pagi. Kamu juga harus kerja, 'kan?” sahut Mas Bayu seperti mengelak membahasnya. Aku hanya bisa mengangguk. Ah, Mas Bayu banyak juga rahasiamu. Sepertinya memang banyak hal yang aku tak tahu tentangmu. Apakah karena kamu malu memiliki istri seperti aku? Apa aku tak pantas menjadi pendampingmu? Atau aku memang tak layak menjadi orang yang kamu percaya? Kenapa menjadi sesak begini dada ini, saat menyadari posisiku yang tak berarti di depan Mas Bayu. -- Pagi-pagi, Mas Bayu sudah rapi. “Mas, kamu keluar kota pakai mobil?” tanyaku saat melihat Mas Bayu meletakkan tasnya di bagasi mobil. Biasanya Mas Bayu pergi keluar kota dengan pesawat. Jadi, dari rumah ia berangkat dengan taksi. Tetapi, hari ini kenapa di
Ada rona penyesalan sekaligus kemarahan di wajah Ayah. Mungkin beliau menyesal pernah menjodohkanku dengan pria yang tidak mencintaiku. Tepatnya, belum mencintaiku. Dulu ayah sangat yakin, cinta bukanlah modal utama dalam suatu pernikahan. Dan cinta akan tumbuh layaknya tanaman yang harus dipupuk dan disiram. Jika aku bisa selalu menghadirkan kenyamanan buat Mas Bayu, tentu saja, cinta Mas Bayu akan bersemi. “Ira hanya mohon Ayah dan Ibu mau merestui rencana Ira,” ujarku. Kuberanikan diri menatap keduanya, bergantian. Jika pun ayah dan ibu mau menuntut tanggung jawab orang tua Mas Bayu, tapi lalu apa? Apa aku akan bisa mendapatkan Mas Bayu seutuhnya? Aku takut Mas Bayu hanya akan menerimaku sebagai wujud tanggung jawab saja, tapi cintanya bukan untukku.Aku takut di belakangku Mas Bayu masih mencintai orang lain. Dan aku belum bisa menerima itu untuk saat ini. “Fahira, kamu saat ini masih istri Bayu. Kamu harus mendapatkan restu dan ridho darinya kemanapun kamu pergi, agar hidupm
Ingin rasanya aku menangis mendengar suara Mas Bayu mengucapkan lafaz itu. Sungguh aku tak percaya telah mendengarnya.Ada penyesalan. Seandainya aku tidak melihatnya, bukannya aku tidak menjadi sesakit ini? Aku berjanji dalam hati, tak akan membuka aplikasi biru milik Mas Bayu lagi.Segera kututup aplikasi itu dan mematikan laptop. Sesak rasanya rongga dadaku. Aku memilih segera memasukkan laptop ke dalam tas. Hingga, tak sadar panggilan keberangkatan nomor penerbanganku sudah terdengar. Penumpang dengan pelayanan member eksekutif sudah bersiap.Masih ada beberapa menit untuk melakukan panggilan dengan Mas Bayu. Aku harus berhasil mendapatkan izinnya untuk pergi. Aku berdoa dalam hati agar panggilan ini segera diangkat.Namun, hasilnya nihil! Hingga akhirnya semua penumpang regular diminta berbaris.Aku memilih berbaris di belakang karena tanganku masih sibuk menekan panggilan ke nomor Mas Bayu. “Mas, aku pamit ya,” ujarku saat terdengar nada panggil yang entah keberapa telah terh
Aku pulang diantar oleh Mbak Nadine, sedangkan sepedaku masih ditinggal di warung makan. Mayang masih menemani di kamar meski aku sudah menyuruhnya pulang. “Kamu istirahat aja, Fa. Kata Mbak Nadine, besok kamu tidak usah kerja dulu,” ujar Mayang. Aku menatapnya lekat. Jangan-jangan gara-gara insiden ini, Mbak Nadine memecatku?Padahal, aku baru mulai bekerja di tempatnya. Dan aku suka kesibukan yang seperti itu. Membuat hariku berjalan lebih cepat. “Kalau kamu udah sehat betul, baru kasih tahu ke Mbak Nadine aja,” tambah Mayang seolah paham apa yang ada dalam pikiranku. “Tapi aku merasa sehat, May,” ujarku. Aku sejatinya takut kehilangan kesempatan bekerja di warung milik Mbak Nadine. Bagiku, ini adalah kesempatan berharga dapat pengalaman bekerja di sini. “Sudah, jangan dipaksa. Kalau kamu pingsan lagi, yang repot ngga hanya kamu. Tapi, Mbak Nadine juga bisa kena masalah, memperkerjakan kamu,” jelas Mayang. Aku heran, Mayang tahu banyak hal di sini. Mungkin karena dia supel da
-Pov Author- Supermarket berada di luar area kampus. Jaraknya hanya sekitar sepuluh menit bersepeda menuju pusat kota. Mayang hanya membeli barang-barang yang diperlukan saja. Kebetulan, dia sudah terbiasa merencanakan apa yang hendak di beli. Jadi tak perlu memakan waktu lama. Antrian kasir juga tidak panjang. Pada jam-jam tertentu, jumlah kasir disesuaikan dengan jumlah pengunjung supermarket untuk mengurangi kepadatan di lajur antrian. Untuk membeli titipan Fahira, Mayang hanya cukup pindah ke toko di sebelah supermarket. Di sana ada toko khusus kosmetik dan obat-obatan. Kalau enggan mencari-cari, tinggal bilang ke petugas untuk ditunjukkan rak display-nya. Yang paling disukai di toko obat dan kosmetik ini, mereka juga menjual pernak-pernik. Kadang-kadang Mayang menghabiskan berjam-jam untuk melihat barang-barang lucu itu. Namun, hati ini tidak, dia harus bergegas karena sahabatnya menunggu obat sakit kepala. Tak sampai satu jam, dia sudah tiba kembali ke apartemen dengan se
-Pov Fahira-Meski aku tak jadi masuk kelas karena sakit, aku tetap memaksakan diri untuk belajar mandiri. Aku tak mau tertinggal. Senangnya, materi kuliah bisa dengan mudah diakses. Hanya bedanya, kalau tidak masuk kelas, kita nggak bisa mendengar langsung penjelasan dosen. Kalaupun tidak paham, tak bisa langsung bertanya. Enaknya lagi, di sini, dosen terbuka. Jika ada yang kurang paham, kita bisa kirim email. Kadang, beliau memberi waktu dan mengijinkan kita datang ke ruangannya, untuk minta dijelaskan hal yang kurang paham.Kalau bicara tentang sistem pendidikan tinggi, aku yakin cara dosen mengajar dan sistem perkuliahan di sini sudah banyak diadopsi oleh kampus ternama di Indonesia. Fasilitas kampus yang ditawarkan pun sebenarnya sudah mulai banyak ditawarkan di kampus-kampus top di Indonesia. Sayangnya, memang pendidikan di Indonesia masih kurang merata. Misalnya kampus yang berada di kota besar dan masuk top kampus, akan berbeda kualitasnya dengan kampus daerah dan belum masu
POV Bayu Namaku Bayu. Dalam hal percintaan aku tipenya setia. Bahkan, aku berpacaran dengan Nabila selama 8 tahun, meski akhirnya hubungan kami harus putus. Nabila menerima perjodohan dari orang tuanya. Aku mengerti mengapa Nabila memilih calon yang ditawarkan oleh orang tuanya dibandingkan aku. Calon dari orang tuanya usianya lima tahun di atasku dan secara ekonomi, ia sudah mapan. Beda dengan kondisiku yang saat orang tua Nabila menghendaki kekasihku itu segera menikah, aku masih tertatih dengan masa depanku. Ditinggalkan Nabila bukanlah hal yang mudah bagiku. Delapan tahun bersamanya, tentu saja tiba-tiba aku mengalami kekosongan jiwa. Meskipun kami pacarannya tidak melakukan hubungan terlarang, tetap saja aku merasa kehilangan. Rasa kehilanganku sering kuluapkan dengan emosi pada orang terdekat, yaitu mama dan papa. Di rumah aku sering marah-marah tanpa alasan. Hingga akhirnya mama dan papa memutuskan menikahkanku dengan anak teman baiknya dengan harapan aku segera move on
EPILOG Setelah beberapa bulan ikut bekerja di tempat Pak Ahmad, Bayu akhirnya memberanikan diri membuka sendiri usaha pencucian motor di dekat kampus tempat Fahira bekerja. Bayu terlebih dahulu meminta izin pada mantan atasannya itu. Dia juga melakukan pengembangan dengan ide-ide yang dimilikinya. Beruntung, Pak Ahmad tidak keberatan. Malah dia merasa bangga ada anak buahnya berhasil mengembangkan idenya. Bahkan Pak Ahmad mengijinkan tanpa harus memberi bagi hasil apapun terkait ide bisnis tersebut. Bayu menyewa tempat di dekat kampus Fahira. Dia pun merekrut para mahasiswa yang memang merupakan ide awal bisnisnya. Dia ingin membantu para mahasiswa yang membutuhkan uang tambahan dengan memberi kesempatan sistem part time. Bayu memberi kelulasaan waktu bekerja meskipun ada jadwal dan insentif khusus, yang membuat bisnisnya tetap berjalan, tanpa terganggu dengan sistem yang dia bangun. Pada awalnya memang sepi. Bayu harus memutar otak untuk memberikan promo-promo di awal pembukaan
"Mas Bayu! Mas! Bangun, Mas!" pekikku saat kulihat dia tergeletak di karpet. Sementara tangan kanannya mengenggam erat sebuah buket bunga. Segera kuletakkan Nayla di atas karpet. Kulepas juga kain gendongan Nayla dari tubuhku.Kutepuk-tepuk pipi Mas Bayu. Aku langsung meraba nadinya. Nafasnya masih teratur. Hanya wajahnya pucat sekali. Aku teringat dengan kejadian di Belanda saat itu. Segera jendela ruang depan ini aku buka lebar agar udara segar masuk. Lalu kuambil minyak angin. Bantal kuletakkan untuk menyangga kepala Mas Bayu. Tak lama matanya dia mulai mengerjap. “Ra…”panggilnya. Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku bersyukur. Mas Bayu sudah sadar. “Minum, Mas…” Aku sudah menyiapkan segelas air putih di dekat Mas Bayu. Kulihat dia langsung menegak habis minum itu setelah aku membantunya untuk duduk. “Aku lupa alamat rumah ini. Aku kemarin habis kerja, beli ini.” Mas Bayu menunjukkan buket bunga dan memberikannya padaku.Seketika aku terharu. Buket bunga yang cantik. Entah
Aku terduduk di depan depot yang masih tertutup itu sambil menggendong Nayla. Untungnya, Nayla tidak rewel. Wajah imutnya dan damai, membuatku makin teriris saat memandanginya. Maafkan Mamamu ini, Nak. Yang tak mampu menjaga papamu untuk terus bersamamu, gumanku. Sudut mataku tak sadar mengeluarkan air mata. Hatiku makin nelangsa. Namun, aku segera tersadar. Aku nggak boleh lemah. Jika iya, Nayla pun akan turut menjadi lemah. Dia harus tumbuh menjadi anak yang kuat. Biasanya, akhir pekan aku pulang ke rumah orangtuaku. Awalnya, aku pun berencana ke sana jika Mas Bayu sudah pulang. Pasti Ayah dan Ibu akan senang jika tahu Mas Bayu kini sudah bekerja. Meski bekerja apa saja, aku rasa, orang tuaku tak akan pernah mempermasalahkan. Tapi, justru kini ia kembali menghilang.Ada apa denganmu, Mas? Gumanku. Kembali ponselku bergetar. [Ndhuk, kamu nggak ke sini?] Rupanya pesan singkat dari Ibu.Aku tahu, ibu pasti cemas karena aku sama sekali tidak memberinya kabar kalau tidak ke sana. [N
“Di minum, Mbak…” ujar si ibu penjual es kelapa.Aku mengangguk. Pandanganku tetap tak lepas pada lelaki itu.“Bu, saya nitip sebentar,” ujarku.Tanpa menunggu persetujuannya, aku menyeberang mendekat ke depot cucian motor itu. Sayangnya, belum sempat aku mendekat. Pria yang hendak kudekati menyadari kehadiranku. Diletakkannya alat pembersih yang ada di tangannya. Lalu dia berlari ke dalam. Aku hanya diam mematung di depan depot itu, hingga seorang pria berusia empat puluhan dengan perawakan tambun mendekat ke arahku. “Mencari siapa, Mbak?” sapa pria itu menyentakkan lamunanku. “Mas…ee…Mas tadi yang lagi nyuci…yang masuk ke dalam…” ujarku sedikit gelagapan. Pria itu tersenyum simpul, lalu bertanya penuh selidik.“Mbak saudaranya?”Aku menghela nafas. Ada degup jantung penuh harap dengan pertanyaan pria itu. Aku berharap dia betul Mas Bayu. “Apakah dia bernama Bayu?” Aku mencoba meyakinkan sebelum menjawab pertanyaannya. Pria itu mengangguk, lalu mengajakku menjauh dari depotnya,
Kutanyakan ke tetangga sebelah dan depan rumah, adakah yang melihat Mas Bayu. Semua menggeleng. Meskipun Mas Bayu hanya di rumah, setiap sholat lima waktu selalu ke masjid. Tentu saja tetangga banyak yang tidak asing dengannya. Aku pun bertanya pada marbot masjid, katanya sejak sholat dhuhur sudah tidak ke masjid. Deg! Kemana Mas Bayu? Kususuri jalanan di sekitar perumahan tempat kami tinggal hingga sekitar kampus di mana aku mengajar. Tiga bulan lamanya kami tinggal di kota ini, aku jarang mengajak Mas Bayu jalan-jalan. Sesekali setiap akhir pekan aku hanya mengajak Mas Bayu dan Nayla pulang ke rumah orang tuaku. Jadi, mustahil Mas Bayu kenal baik daerah sini. Apalagi, dia tak punya teman di sini. Pikiranku menjadi kalut. Kemana Mas Bayu pergi? Kalau dia tidak tahu jalan, bagaimana? Karena Mas Bayu sekarang bukanlah Mas Bayu yang dulu. Mas Bayu yang baik-baik saja. Belakangan, setelah kepergian Mama Mertua, Mas Bayu hanya banyak diam dan melamun. Tak bisa disebut normal jik
“Mas, kamu sudah sadar?” Fahira mendekatkan wajahnya ke wajah Bayu saat mendengar lenguhan suara suaminya itu. Orang tua Fahira beserta kakaknya langsung pulang. Hanya Fahira yang berjaga. Baju milik Fahira dan Bayu sudah dibawakan saat mereka datang membezuk. Sementara Nayla diasuh oleh Wulan di rumah Bayu. Terlalu kecil untuk di bawa ke rumah sakit. Bayu membuka matanya. Raut wajahnya menunjukkan penolakan atas kehadiran Fahira. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kakaknya di sana “Mas, hanya aku yang di sini. Aku yang akan merawatmu. Bukan Mbak Wulan,” ujar Fahira seolah tahu isi pikiran Bayu. Fahira menggenggam tangan Bayu. Punggung tangannya terbalut verban. Bayu menatap Fahira. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berkata, “Ra, kamu tidak seharusnya di sini. Aku tak pantas buatmu.” Suara itu terdengar lirih dan putus asa. Fahira menggeleng. “Siapa bilang kamu tak pantas. Justru, seharusnya akulah yang mengurusmu. Bukan Mbak Wulan. Aku berhutang banyak pada Mbak Wulan. Mbak Wulan
“Fahira?!” Kedua pria itu saling berpandangan. Bayu segera menyeka air matanya. Ia memastikan yang di depan matanya betul Fahira, wanita yang ditinggalkannya enam bulan lalu, di negeri asing belasan ribu kilometer dari Jakarta. “Mas Bayu?! Itu kamu, Mas? Kamu Mas Bayu?!” Fahira tak percaya dengan sosok lelaki di depannya. Wajahnya tirus, matanya cekung, jambang halus memenuhi sisi kanan kiri wajahnya. Rambutnya gondrong. Benar-benar jauh berbeda dengan enam bulan lalu, saat dia meninggalkan Fahira. Dua pria di depannya kembali saling berpandangan. Fahira tak terlalu memperhatikan Faisal. Fokusnya hanya Bayu. Lelaki yang pernah mengisi hari-harinya lalu pergi begitu saja. “Fahira, jangan ke sini. Biarkan aku pergi.” Mendadak, Bayu membalikkan badannya, lalu ia berlari menjauh. Seolah tak mempedulikan apa yang di depannya, hingga tiba-tiba Bayu sudah tiba di jalan raya yang ada di ujung gang. Faisal dan Fahira saling menatap, karena tak mengira Bayu akan kabur. Begitu menyadari Ba
“Aku malu, Sal. Aku tak punya muka lagi. Ini semua salahku, Sal. Aku yang membuat mama sakit. Aku yang membuat mama meninggal. Semua karena aku. Aku yang telah membuat papa meninggal. Aku yang telah membuat Nabila meninggal. Aku yang membuat Fahira pergi.Andai saja aku tak memaksa mama dan papaku menyetujui aku menikah lagi dengan Nabila. Andai saja aku bisa mengendalikan diriku untuk tidak bertemu Nabila. Andai saja aku tidak menutup hatiku dari Fahira saat itu….” Bayu tak dapat menahan uraian air matanya. Dia kembali tergugu dalam tangis penyesalannya. “Bay, semua sudah takdir…maut itu urusan Alloh. Bukan urusan kita sebagai manusia. Kamu sudah berusaha yang terbaik.” Faisal merangkul saudaranya, agar tenang. “Aku tidak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian mama. Aku tak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian papa. Aku ingin dia bahagia,” lanjut Bayu. Pandangannya kembali menerawang. Faisal menghela nafasnya, “Kembalilah ke Fahira. Dia wanita yang baik. Dia istri yang bai
“Faisal?!” guman Bayu. Mata Bayu melebar saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang tamunya. Biasanya Bayu jarang keluar kamar. Hari ini, Wulan sedang keluar dengan Bi Darni. Setelah ketukan ke sekian, Bayu terpaksa beranjak dari kamarnya menuju ruang tamu dan membuka pintu. Dipindainya lelaki muda yang berdiri di depan pintu. Ya, dia yang selama ini menjadi rivalnya dalam merebut hati Fahira. Tapi, siapa wanita muda yang bersama Faisal. Bukan. Dia bukan adik Faisal. Bayu tahu siapa adik Faisal. “Bayu?!” Faisal tak kalah kaget saat melihat Bayu yang sangat berubah. Penampilannya sangat tak terurus. Matanya cekung, pandangannya terlihat kosong, pipinya tirus dengan jambang halus. Sementara rambutnya dibiarkan panjang hingga melewati bahu. Hampir dia tak mengenalnya. Tapi, mengapa, Bayu bisa berubah seperti ini. Kemanakah Fahira? Terakhir kali dia bertemu Fahira saat Fahira ujian tesis, tanpa Bayu. Setelahnya, Fahira seperti hilang ditelan bumi. Mayang satu-satunya yang