“Ma, makan dulu, ya. Bayu nanti pasti pulang bersama Fahira dan cucu mama." Wulan membujuk mamanya yang masih dengan tatapan kosong di atas ranjang. Sejak kepergian Papa Bayu, kesehatan sang mama menurun drastis. Beruntung ia masih bisa dirawat di rumah, meski dua minggu sekali kontrol ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu tampak semakin terlihat tua dari usia yang sesungguhnya. Keseharian hanya dihabiskan diatas tempat tidur saja. Meskipun kadang Wulan berusaha mengajaknya keluar jalan-jalan dengan kursi roda, mencari udara segar, tapi mama Bayu memilih tinggal di rumah. Dia merasa sungkan dengan tetangga. Takut menjadi omongan orang karena telah gagal menjadi orang tua. Karena telah menyetujui Bayu menikah dengan mantan kekasihnya setelah dijodohkan dengan wanita lain.Wanita paruh baya itu semakin rapuh setelah kepergian suaminya. Dulu, meskipun anak-anak sudah tak lagi tinggal bersamanya, masih ada suaminya yang selalu menemani. Kini, jiwanya merasa kosong. Separuh hatinya telah
Pagi itu, Fahira mendapat jadwal ujian sidang thesis pukul 09.00 waktu Belanda.Beruntung saat itu sudah menjelang musim panas, sehingga jam 09.00 tidak terlalu pagi bagi Fahira untuk menyiapkan dirinya dan membawa Nayla ke kampus.Sejak Bayu tidak ada, tentu saja kemanapun Nayla harus bersamanya. Termasuk saat hari pentingnya saat ini, ujian tesis. Faisal sudah mengetahui jadwal itu, karena setiap ada mahasiswa yang akan ujian, namanya akan terpampang di berbagai layar pengumuman yang terdapat di fakultas.Faisal tahu kalau dirinya diblokir. Tapi, dia tak mengerti apa alasannya. Tapi, dia menduga ini semua karena Bayu.Sejak percakapannya terakhir via pesan singkat saat Fahira mengerjakan presentasi, Fahira tak bisa dihubungi. Ingin rasanya bertanya saat melihatnya di sekitar apartemennya, tapi dia khawatir, Bayu akan melihatnya dan marah pada Fahira. Entah mengapa, saat dia sedang ingin mendekat ke Fahira, Bayu selalu saja memergokinya. Mungkin memang sudah saatnya bagi Faisal men
Fahira hanya membawa satu koper saja. Barang lainnya sudah dia kirim melalui jasa ekspedisi. Hanya Mayang yang mengantarnya ke Bandara Schipol. Tak ada yang farewell seperti halnya mahasiswa lainnya. Tak ada foto bersama dengan teman lamanya sebagai kenangan terakhirnya. Hanya ada foto dirinya dan Mayang, sahabat terbaiknya.“Sampai Indonesia, langsung kirim kabar, ya.” Mayang mengusap punggung Fahira saat mereka berpelukan. Ada rasa senyap saat dia melambaikan tangan ke Mayang usai menerima boarding pass.Fahira berjalan gontai masuk ke imigrasi. Karena membawa bayi, Fahira diberikan akses masuk pada antrian khusus. Sehingga, tidak sampai sepuluh menit dia sudah menyusuri hall dalam bandara menuju ruang tunggu untuk penumpang yang akan kembali ke Jakarta dengan maskapai nasional. Tak ada kecemasan meskkipun dia membawa Nayla yang belum berumur 4 bulan itu naik pesawat. Yang ada dalam pikirannya, dia ingin pergi dari Belanda, menghapus semua kenangan di sini. Kenangan di mana dia in
“Faisal?!” guman Bayu. Mata Bayu melebar saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang tamunya. Biasanya Bayu jarang keluar kamar. Hari ini, Wulan sedang keluar dengan Bi Darni. Setelah ketukan ke sekian, Bayu terpaksa beranjak dari kamarnya menuju ruang tamu dan membuka pintu. Dipindainya lelaki muda yang berdiri di depan pintu. Ya, dia yang selama ini menjadi rivalnya dalam merebut hati Fahira. Tapi, siapa wanita muda yang bersama Faisal. Bukan. Dia bukan adik Faisal. Bayu tahu siapa adik Faisal. “Bayu?!” Faisal tak kalah kaget saat melihat Bayu yang sangat berubah. Penampilannya sangat tak terurus. Matanya cekung, pandangannya terlihat kosong, pipinya tirus dengan jambang halus. Sementara rambutnya dibiarkan panjang hingga melewati bahu. Hampir dia tak mengenalnya. Tapi, mengapa, Bayu bisa berubah seperti ini. Kemanakah Fahira? Terakhir kali dia bertemu Fahira saat Fahira ujian tesis, tanpa Bayu. Setelahnya, Fahira seperti hilang ditelan bumi. Mayang satu-satunya yang
“Aku malu, Sal. Aku tak punya muka lagi. Ini semua salahku, Sal. Aku yang membuat mama sakit. Aku yang membuat mama meninggal. Semua karena aku. Aku yang telah membuat papa meninggal. Aku yang telah membuat Nabila meninggal. Aku yang membuat Fahira pergi.Andai saja aku tak memaksa mama dan papaku menyetujui aku menikah lagi dengan Nabila. Andai saja aku bisa mengendalikan diriku untuk tidak bertemu Nabila. Andai saja aku tidak menutup hatiku dari Fahira saat itu….” Bayu tak dapat menahan uraian air matanya. Dia kembali tergugu dalam tangis penyesalannya. “Bay, semua sudah takdir…maut itu urusan Alloh. Bukan urusan kita sebagai manusia. Kamu sudah berusaha yang terbaik.” Faisal merangkul saudaranya, agar tenang. “Aku tidak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian mama. Aku tak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian papa. Aku ingin dia bahagia,” lanjut Bayu. Pandangannya kembali menerawang. Faisal menghela nafasnya, “Kembalilah ke Fahira. Dia wanita yang baik. Dia istri yang bai
“Fahira?!” Kedua pria itu saling berpandangan. Bayu segera menyeka air matanya. Ia memastikan yang di depan matanya betul Fahira, wanita yang ditinggalkannya enam bulan lalu, di negeri asing belasan ribu kilometer dari Jakarta. “Mas Bayu?! Itu kamu, Mas? Kamu Mas Bayu?!” Fahira tak percaya dengan sosok lelaki di depannya. Wajahnya tirus, matanya cekung, jambang halus memenuhi sisi kanan kiri wajahnya. Rambutnya gondrong. Benar-benar jauh berbeda dengan enam bulan lalu, saat dia meninggalkan Fahira. Dua pria di depannya kembali saling berpandangan. Fahira tak terlalu memperhatikan Faisal. Fokusnya hanya Bayu. Lelaki yang pernah mengisi hari-harinya lalu pergi begitu saja. “Fahira, jangan ke sini. Biarkan aku pergi.” Mendadak, Bayu membalikkan badannya, lalu ia berlari menjauh. Seolah tak mempedulikan apa yang di depannya, hingga tiba-tiba Bayu sudah tiba di jalan raya yang ada di ujung gang. Faisal dan Fahira saling menatap, karena tak mengira Bayu akan kabur. Begitu menyadari Ba
“Mas, kamu sudah sadar?” Fahira mendekatkan wajahnya ke wajah Bayu saat mendengar lenguhan suara suaminya itu. Orang tua Fahira beserta kakaknya langsung pulang. Hanya Fahira yang berjaga. Baju milik Fahira dan Bayu sudah dibawakan saat mereka datang membezuk. Sementara Nayla diasuh oleh Wulan di rumah Bayu. Terlalu kecil untuk di bawa ke rumah sakit. Bayu membuka matanya. Raut wajahnya menunjukkan penolakan atas kehadiran Fahira. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kakaknya di sana “Mas, hanya aku yang di sini. Aku yang akan merawatmu. Bukan Mbak Wulan,” ujar Fahira seolah tahu isi pikiran Bayu. Fahira menggenggam tangan Bayu. Punggung tangannya terbalut verban. Bayu menatap Fahira. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berkata, “Ra, kamu tidak seharusnya di sini. Aku tak pantas buatmu.” Suara itu terdengar lirih dan putus asa. Fahira menggeleng. “Siapa bilang kamu tak pantas. Justru, seharusnya akulah yang mengurusmu. Bukan Mbak Wulan. Aku berhutang banyak pada Mbak Wulan. Mbak Wulan
Kutanyakan ke tetangga sebelah dan depan rumah, adakah yang melihat Mas Bayu. Semua menggeleng. Meskipun Mas Bayu hanya di rumah, setiap sholat lima waktu selalu ke masjid. Tentu saja tetangga banyak yang tidak asing dengannya. Aku pun bertanya pada marbot masjid, katanya sejak sholat dhuhur sudah tidak ke masjid. Deg! Kemana Mas Bayu? Kususuri jalanan di sekitar perumahan tempat kami tinggal hingga sekitar kampus di mana aku mengajar. Tiga bulan lamanya kami tinggal di kota ini, aku jarang mengajak Mas Bayu jalan-jalan. Sesekali setiap akhir pekan aku hanya mengajak Mas Bayu dan Nayla pulang ke rumah orang tuaku. Jadi, mustahil Mas Bayu kenal baik daerah sini. Apalagi, dia tak punya teman di sini. Pikiranku menjadi kalut. Kemana Mas Bayu pergi? Kalau dia tidak tahu jalan, bagaimana? Karena Mas Bayu sekarang bukanlah Mas Bayu yang dulu. Mas Bayu yang baik-baik saja. Belakangan, setelah kepergian Mama Mertua, Mas Bayu hanya banyak diam dan melamun. Tak bisa disebut normal jik