Fahira mengatur nafasnya. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Tapi dia masih ingin menumpahkan sesak dalam dadanya yang selama ini hanya dipendamnya. Hampir setahun dia memilih untuk diam. Hampir setahun dia tak mau tahu alasan Bayu mengkhianati cintanya. Dan selama itu pula Bayu tak pernah membahas mengenai Nabila karena ia tahu itu hanya akan menyakiti Fahira. “Aku memilih pergi, karena aku malu, Mas. Aku istri yang gagal.” Fahira meraung. Ia tak dapat menahan emosinya. “Aku gagal, Mas...” ulang Fahira. Dia menepuk dadanya sendiri. Menegaskan bahwa kegagalan itu disebabkan oleh dirinya.“Aku sudah membuat malu Ayah dan Ibu…” Fahira melanjutkan kata-katanya. Fahira selalu teringat pesan Ayah dan ibunya agar selalu berkhidmat pada suami. Agar ia membuat suami merasa nyaman dan senang. Dia harus mencukupi semua kebutuhannya. Dia tak boleh mengecewakan suaminya. Dia harus menuruti semua perintahnya. Agar kelak, ia selalu mendapat ridhonya. Agar keluarganya menjadi keluarga Sakinah
Pov FahiraSejak pertengkaran semalam, aku dan Mas Bayu saling diam. Meskipun kami masih tidur seranjang, tapi aku memilih menjaga jarak. Diapun begitu. Hanya saja, kadang dia lupa tanpa sadar memelukku. Aku biarkan saja. Toh, sebenarnya aku memang mencintainya. Aku kadang tak peduli dengan perasaan Mas Bayu kepadaku. Orang bilang aku ini bucin. Ah, biarkan saja. Toh sama suami sendiri. Bukan sama suami orang. Cuma yang aku tidak mengerti, mengapa dia harus menanyakan tentang Kak Faisal? Apakah dia meragukanku? Itu yang aku tidak terima. Sungguh. Bagiku Kak Faisal dan Mas Bayu itu beda. Kak Faisal memang baik dan banyak menolongku. Dan aku pun memilih tidak memberikan harapan palsu kepadanya. Sejak awal, aku menghindar membicarakan masalah privasi dengan Kak Faisal. Aku sudah membatasi diri. Andai ada orang lain yang dapat membantuku selain Kak Faisal, tentu aku akan memilihnya. Masalahnya sekarang, pilihan itu tidak ada. Kak Faisal memang menang banyak. Dia mahasiswa PhD di faku
Tiba-tiba kepalaku menjadi berputar. Aku tak tahu apa reaksi Mas Bayu saat dia pulang nanti. Aku tak tahu harus berkata apa. Jadi, Mas Bayu seolah-olah adalah aku. Dia membalas semua pesan dari Kak Faisal itu. Aku menarik nafas dan menghelanya kembali. Aku baca pelan-pelan satu persatu pesan yang ada. Aku takut ada yang membuat Mas Bayu marah. Pelan-pelan aku sisir pesan pertama yang dikirim kak Faisal saat aku sudah tidur semalam. 23.50 Faisal: Kamu sudah jadi bilang ke Bayu soal lowongan PhD?23.55 Fahira: Belum00.15 Faisal: Belum tidur?00.20 Fahira: Belum00.21 Faisal: Ngapain?00.35 Fahira: bikin slideMas Bayu rupanya sudah mempelajari gayaku menjawab pesan Kak Faisal. Singkat dan pendek-bendek.Aku sedikit lega sekaligus was-was. Lega karena aku memang tidak pernah membalas pesan Kak Faisal dengan bahasa yang neko-neko. Tapi, aku juga was-was dengan anggapan kak Faisal nanti. Dipikirnya aku benar-benar meladeni percakapannya sampai pagi. Aku tahu posisiku sebagai istri Mas
Segera kubuka pintu apartemenku saat terdengar bel di depan unitku berbunyi. Mataku terbuka lebar. “What happened, Meneer?” Spontan aku bertanya pada meneer-meneer yang mengantar Mas Bayu. (Apa yang terjadi, Pak?)Mas Bayu datang dengan dipapah dua orang tinggi besar dengan seragam petugas patroli keamanan kota.Si Meneer menjelaskan dalam Bahasa Belanda. Lagi-lagi telingaku seakan tuli, meskipun aku pernah belajar bahasa ini satu quarter. Mereka bicara terlalu cepat. Beda dengan guru les di kelas yang bicaranya lambat-lambat sehingga dapat mudah kumengerti. Tanpa pikir panjang, segera kutunjukkan kamar dimana Mas Bayu harus diletakkan. Kedua Meneer itu berpamitan setelah mengantarkan Mas Bayu sampai kamar. Sempat kutangkap mereka bilang dalam Bahasa Belanda kalau luka Mas Bayu sudah diobati.Akupun mengangguk, meskipun tidak seratus persen memahami kata demi kata yang diucapkan oleh Si Meneer. “Dit is zijn fietssleutel,” ujar Si Meneer sambil mengangsurkan kunci sepeda Mas Bayu.
Segera kuusap air mata ini. Kuraih ponsel di meja untuk menelpon huisart (dokter keluarga=puskesmas) untuk berkonsultasi. “Goedemorgen, u spreek met de praktijk van dokter van der paas...” Suara dari seberang panjang berbahasa Belanda yang membuatku semakin panik. (Selamat pagi, anda berbicara dengan tempat praktek Dokter van der paas)“Sorry, Mevrouw. Mag ik engels spreken?” aku segera to the point minta bicara pakai Bahasa Inggris saja biar cepet. Lagi pula, memakai bahasa Belanda pada level pas-pasan dalam keadaan darurat tentu tidak dianjurkan, karena bisa terjadi salah persepsi. (Maaf, Bu. Boleh saya bicara dalam Bahasa Inggris?)Segera kuceritakan kondisi Mas Bayu. Baru aku ingat kalau Mas Bayu tidak memiliki asuransi selama tinggal. Dia hanya membeli asuransi perjalanan saja. Asisten dokter itu memberiku petunjuk singkat. Tidak perlu panik. Cukup melihat kondisi Mas Bayu saja. Apakah ada demam, apakah wajahnya pucat, dan pemeriksaan dasar lainnya termasuk mengecek nadinya.
Hatiku terasa ambyar mendengarnya. Hancur! Segera kuberdiri dan berjalan mendekatinya. Seketika aku berlutut di depannya. “Kenapa, Mas? Kenapa? Aku minta maaf, Mas, kalau aku salah….”ucapku mengiba. Aku sudah tak kuasa untuk membendung air mata ini.Dia masih terdiam, bergeming. Pandangannya hanya pada satu titik di depannya.“Mas, kamu marah sama aku? Mas, ngomong, Mas.” Kugoyang-goyang pahanya. Kuseka air mata dan ingus dari hidung dengan lengan baju. Aku sudah tak peduli lagi.Mas Bayu menoleh ke arahku. “Mungkin kita masing-masing butuh waktu untuk sendiri. Untuk instropeksi,” ujarnya tenang. Lalu dia kembali menatap ke depan. Mangkuk supnya sudah kosong. Piring nasinya pun juga sudah kosong. Dia bergegas membereskan bekas makannya. Sementara mangkuk dan piringku belum berkurang isinya. Aku kembali ke kursiku, menyendok makananku. Tetapi rasanya sulit untuk menelannya. Aku tak tahu mengapa Mas Bayu mengatakan itu. Tiba-Tiba mau pulang. Apakah gara-gara chat dengan Kak Faisal
Apa Mas Bayu kecewa karena perilakuku selama ini dingin dan tak menganggapnya selama di sini? Apa Mas Bayu kecewa dengan sikapku merasa berkuasa karena aku yang sekolah? Aku yang merasa berkuasa karena aku telah mengandung dan melahirkan anaknya. Aku yang berkuasa karena aku tahu banyak hal di sini dibanding dirinya. Aku yang berkuasa karena aku lebih pandai darinya. Apakah kamu kecewa mas? Maafkan aku. Aku tak pernah bermaksud…“Foto selfie dulu, yuk sama Nayla.” Suara Mas Bayu mengagetkanku.Aku segera menghapus airmata yang mengalir dengan tissue. Sebenarnya ingin menolak karena wajahku yang tak karuan karena sembab. Tapi, aku tak ingin mengecewakan Mas Bayu. Kami tiba di Kinderdijk disambut dengan cuaca cukup bersahabat. Tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Setelah melihat-lihat situasi sebentar, kami naik boat bersama penumpang lainnya mengitari molen yang berjajar di pinggir kanal. Ada pemandu yang menjelaskan tentang sejarah dan fungsi dari kincir-kincir itu.Ma
Sepanjang malam aku tidak dapat memejamkan mata. Air mata terus saja deras mengalir dari ujung netraku. Aku hanya bisa menatap Mas Bayu yang memeluk bayi mungil kami, ada perasaan cemburu. Mereka adalah bapak dan anak. Sebentar lagi mereka berpisah. Dan Nayla berhak untuk itu. Berhak mendapat kasih sayang ayahnya. Apakah ini cara Mas Bayu menegurku. Menegur aku yang pernah menolaknya.Ya, aku ingat saat dia ke Belanda dan kita pulang dari Volendaam, aku sempat mendiamkannya. Meskipun dia tidur memelukku, aku tak meresponnya. Kau hanya diam saja. Apakah dia masih menyimpan kemarahannya hingga saat ini? Kemaren, usai pertengkaran pun, aku juga malas diajak tidur karena dia tak kunjung memberiku penjelasan.Apa lalu dia berfikir aku memang layak untuk ditinggalkan? Karena aku telah mengecewakannya? Tak adakah kesempatan tersisa lagi untukku? Apakah Mas Bayu sungguh tak mau mempertahankan hubungan ini? Aku memang salah. Aku memang pergi darinya. Apakah aku harus menyesalinya jika akhi
EPILOG Setelah beberapa bulan ikut bekerja di tempat Pak Ahmad, Bayu akhirnya memberanikan diri membuka sendiri usaha pencucian motor di dekat kampus tempat Fahira bekerja. Bayu terlebih dahulu meminta izin pada mantan atasannya itu. Dia juga melakukan pengembangan dengan ide-ide yang dimilikinya. Beruntung, Pak Ahmad tidak keberatan. Malah dia merasa bangga ada anak buahnya berhasil mengembangkan idenya. Bahkan Pak Ahmad mengijinkan tanpa harus memberi bagi hasil apapun terkait ide bisnis tersebut. Bayu menyewa tempat di dekat kampus Fahira. Dia pun merekrut para mahasiswa yang memang merupakan ide awal bisnisnya. Dia ingin membantu para mahasiswa yang membutuhkan uang tambahan dengan memberi kesempatan sistem part time. Bayu memberi kelulasaan waktu bekerja meskipun ada jadwal dan insentif khusus, yang membuat bisnisnya tetap berjalan, tanpa terganggu dengan sistem yang dia bangun. Pada awalnya memang sepi. Bayu harus memutar otak untuk memberikan promo-promo di awal pembukaan
"Mas Bayu! Mas! Bangun, Mas!" pekikku saat kulihat dia tergeletak di karpet. Sementara tangan kanannya mengenggam erat sebuah buket bunga. Segera kuletakkan Nayla di atas karpet. Kulepas juga kain gendongan Nayla dari tubuhku.Kutepuk-tepuk pipi Mas Bayu. Aku langsung meraba nadinya. Nafasnya masih teratur. Hanya wajahnya pucat sekali. Aku teringat dengan kejadian di Belanda saat itu. Segera jendela ruang depan ini aku buka lebar agar udara segar masuk. Lalu kuambil minyak angin. Bantal kuletakkan untuk menyangga kepala Mas Bayu. Tak lama matanya dia mulai mengerjap. “Ra…”panggilnya. Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku bersyukur. Mas Bayu sudah sadar. “Minum, Mas…” Aku sudah menyiapkan segelas air putih di dekat Mas Bayu. Kulihat dia langsung menegak habis minum itu setelah aku membantunya untuk duduk. “Aku lupa alamat rumah ini. Aku kemarin habis kerja, beli ini.” Mas Bayu menunjukkan buket bunga dan memberikannya padaku.Seketika aku terharu. Buket bunga yang cantik. Entah
Aku terduduk di depan depot yang masih tertutup itu sambil menggendong Nayla. Untungnya, Nayla tidak rewel. Wajah imutnya dan damai, membuatku makin teriris saat memandanginya. Maafkan Mamamu ini, Nak. Yang tak mampu menjaga papamu untuk terus bersamamu, gumanku. Sudut mataku tak sadar mengeluarkan air mata. Hatiku makin nelangsa. Namun, aku segera tersadar. Aku nggak boleh lemah. Jika iya, Nayla pun akan turut menjadi lemah. Dia harus tumbuh menjadi anak yang kuat. Biasanya, akhir pekan aku pulang ke rumah orangtuaku. Awalnya, aku pun berencana ke sana jika Mas Bayu sudah pulang. Pasti Ayah dan Ibu akan senang jika tahu Mas Bayu kini sudah bekerja. Meski bekerja apa saja, aku rasa, orang tuaku tak akan pernah mempermasalahkan. Tapi, justru kini ia kembali menghilang.Ada apa denganmu, Mas? Gumanku. Kembali ponselku bergetar. [Ndhuk, kamu nggak ke sini?] Rupanya pesan singkat dari Ibu.Aku tahu, ibu pasti cemas karena aku sama sekali tidak memberinya kabar kalau tidak ke sana. [N
“Di minum, Mbak…” ujar si ibu penjual es kelapa.Aku mengangguk. Pandanganku tetap tak lepas pada lelaki itu.“Bu, saya nitip sebentar,” ujarku.Tanpa menunggu persetujuannya, aku menyeberang mendekat ke depot cucian motor itu. Sayangnya, belum sempat aku mendekat. Pria yang hendak kudekati menyadari kehadiranku. Diletakkannya alat pembersih yang ada di tangannya. Lalu dia berlari ke dalam. Aku hanya diam mematung di depan depot itu, hingga seorang pria berusia empat puluhan dengan perawakan tambun mendekat ke arahku. “Mencari siapa, Mbak?” sapa pria itu menyentakkan lamunanku. “Mas…ee…Mas tadi yang lagi nyuci…yang masuk ke dalam…” ujarku sedikit gelagapan. Pria itu tersenyum simpul, lalu bertanya penuh selidik.“Mbak saudaranya?”Aku menghela nafas. Ada degup jantung penuh harap dengan pertanyaan pria itu. Aku berharap dia betul Mas Bayu. “Apakah dia bernama Bayu?” Aku mencoba meyakinkan sebelum menjawab pertanyaannya. Pria itu mengangguk, lalu mengajakku menjauh dari depotnya,
Kutanyakan ke tetangga sebelah dan depan rumah, adakah yang melihat Mas Bayu. Semua menggeleng. Meskipun Mas Bayu hanya di rumah, setiap sholat lima waktu selalu ke masjid. Tentu saja tetangga banyak yang tidak asing dengannya. Aku pun bertanya pada marbot masjid, katanya sejak sholat dhuhur sudah tidak ke masjid. Deg! Kemana Mas Bayu? Kususuri jalanan di sekitar perumahan tempat kami tinggal hingga sekitar kampus di mana aku mengajar. Tiga bulan lamanya kami tinggal di kota ini, aku jarang mengajak Mas Bayu jalan-jalan. Sesekali setiap akhir pekan aku hanya mengajak Mas Bayu dan Nayla pulang ke rumah orang tuaku. Jadi, mustahil Mas Bayu kenal baik daerah sini. Apalagi, dia tak punya teman di sini. Pikiranku menjadi kalut. Kemana Mas Bayu pergi? Kalau dia tidak tahu jalan, bagaimana? Karena Mas Bayu sekarang bukanlah Mas Bayu yang dulu. Mas Bayu yang baik-baik saja. Belakangan, setelah kepergian Mama Mertua, Mas Bayu hanya banyak diam dan melamun. Tak bisa disebut normal jik
“Mas, kamu sudah sadar?” Fahira mendekatkan wajahnya ke wajah Bayu saat mendengar lenguhan suara suaminya itu. Orang tua Fahira beserta kakaknya langsung pulang. Hanya Fahira yang berjaga. Baju milik Fahira dan Bayu sudah dibawakan saat mereka datang membezuk. Sementara Nayla diasuh oleh Wulan di rumah Bayu. Terlalu kecil untuk di bawa ke rumah sakit. Bayu membuka matanya. Raut wajahnya menunjukkan penolakan atas kehadiran Fahira. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kakaknya di sana “Mas, hanya aku yang di sini. Aku yang akan merawatmu. Bukan Mbak Wulan,” ujar Fahira seolah tahu isi pikiran Bayu. Fahira menggenggam tangan Bayu. Punggung tangannya terbalut verban. Bayu menatap Fahira. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berkata, “Ra, kamu tidak seharusnya di sini. Aku tak pantas buatmu.” Suara itu terdengar lirih dan putus asa. Fahira menggeleng. “Siapa bilang kamu tak pantas. Justru, seharusnya akulah yang mengurusmu. Bukan Mbak Wulan. Aku berhutang banyak pada Mbak Wulan. Mbak Wulan
“Fahira?!” Kedua pria itu saling berpandangan. Bayu segera menyeka air matanya. Ia memastikan yang di depan matanya betul Fahira, wanita yang ditinggalkannya enam bulan lalu, di negeri asing belasan ribu kilometer dari Jakarta. “Mas Bayu?! Itu kamu, Mas? Kamu Mas Bayu?!” Fahira tak percaya dengan sosok lelaki di depannya. Wajahnya tirus, matanya cekung, jambang halus memenuhi sisi kanan kiri wajahnya. Rambutnya gondrong. Benar-benar jauh berbeda dengan enam bulan lalu, saat dia meninggalkan Fahira. Dua pria di depannya kembali saling berpandangan. Fahira tak terlalu memperhatikan Faisal. Fokusnya hanya Bayu. Lelaki yang pernah mengisi hari-harinya lalu pergi begitu saja. “Fahira, jangan ke sini. Biarkan aku pergi.” Mendadak, Bayu membalikkan badannya, lalu ia berlari menjauh. Seolah tak mempedulikan apa yang di depannya, hingga tiba-tiba Bayu sudah tiba di jalan raya yang ada di ujung gang. Faisal dan Fahira saling menatap, karena tak mengira Bayu akan kabur. Begitu menyadari Ba
“Aku malu, Sal. Aku tak punya muka lagi. Ini semua salahku, Sal. Aku yang membuat mama sakit. Aku yang membuat mama meninggal. Semua karena aku. Aku yang telah membuat papa meninggal. Aku yang telah membuat Nabila meninggal. Aku yang membuat Fahira pergi.Andai saja aku tak memaksa mama dan papaku menyetujui aku menikah lagi dengan Nabila. Andai saja aku bisa mengendalikan diriku untuk tidak bertemu Nabila. Andai saja aku tidak menutup hatiku dari Fahira saat itu….” Bayu tak dapat menahan uraian air matanya. Dia kembali tergugu dalam tangis penyesalannya. “Bay, semua sudah takdir…maut itu urusan Alloh. Bukan urusan kita sebagai manusia. Kamu sudah berusaha yang terbaik.” Faisal merangkul saudaranya, agar tenang. “Aku tidak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian mama. Aku tak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian papa. Aku ingin dia bahagia,” lanjut Bayu. Pandangannya kembali menerawang. Faisal menghela nafasnya, “Kembalilah ke Fahira. Dia wanita yang baik. Dia istri yang bai
“Faisal?!” guman Bayu. Mata Bayu melebar saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang tamunya. Biasanya Bayu jarang keluar kamar. Hari ini, Wulan sedang keluar dengan Bi Darni. Setelah ketukan ke sekian, Bayu terpaksa beranjak dari kamarnya menuju ruang tamu dan membuka pintu. Dipindainya lelaki muda yang berdiri di depan pintu. Ya, dia yang selama ini menjadi rivalnya dalam merebut hati Fahira. Tapi, siapa wanita muda yang bersama Faisal. Bukan. Dia bukan adik Faisal. Bayu tahu siapa adik Faisal. “Bayu?!” Faisal tak kalah kaget saat melihat Bayu yang sangat berubah. Penampilannya sangat tak terurus. Matanya cekung, pandangannya terlihat kosong, pipinya tirus dengan jambang halus. Sementara rambutnya dibiarkan panjang hingga melewati bahu. Hampir dia tak mengenalnya. Tapi, mengapa, Bayu bisa berubah seperti ini. Kemanakah Fahira? Terakhir kali dia bertemu Fahira saat Fahira ujian tesis, tanpa Bayu. Setelahnya, Fahira seperti hilang ditelan bumi. Mayang satu-satunya yang