Seharian itu, Sulastri pergi entah kemana. Sejak subuh ia sudah keluar rumah, karena khawatir Kartika pun akhirnya memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah dulu. Ia membuatkan adiknya sarapan. Lalu membersihkan rumah dan mencuci serta menggosok pakaian. Tak lupa ia juga membereskan rumah yang berantakan karena ulah para preman penagih hutang kemarin.
Sampai menjelang isya, Sulastri akhirnya pulang. Wajahnya tampak begitu lelah. Dan, saat ia menatap Kartika ia hanya mendelik dan langsung masuk ke kamarnya.
"Gung, kau ajak Ibu makan, kalau teteh yang ajak makan nanti Ibu marah," kata Kartika pada Agung adiknya. Namun, belum sempat Agung mengetuk pintu kamar, Sulastri sudah keluar dari kamarnya.
"Ganti pakaian dan bereskan baju-bajumu, lalu ikut Ibu!" perintah Sulastri pada Kartika.
"Kita mau kemana, bu?" tanya Kartika takut- takut.
"Nggak usah banyak tanya, cepat!" bentak Sulastri.
Melihat gerakan Kartika yang lambat, Sulastri langsung menyeret putri sulungnya itu. Dengan gerakan cepat, Sulastri menyambar tas jinjing dan mengisinya dengan pakaian- pakaian Kartika, kemudian ia menyeret Kartika untuk ikut bersamanya.
"Kau jaga rumah, kalau ada apa-apa lari ke rumah Ibu Aminah, dengar?!" kata Sulastri pada Agung. Agung hanya mengangguk dan menatap kepergian Sulastri dan Kartika.
Sementara itu, dengan kasar Sulastri menarik tangan Kartika dengan kasar, hingga gadis itu menjerit kesakitan. Sulastri menyetop taksi yang kebetulan lewat dan langsung mendorong Kartika untuk cepat masuk. Mereka tiba di sebuah kompleks perumahan elite dan taksi itu berhenti di sebuah rumah yang besar.
"Tunggu sebentar, saya tidak lama," kata Sulastri. Ia pun langsung menarik tangan Kartika dan menyeretnya untuk mengikuti langkahnya memasuki rumah besar itu.
Tampaknya kedatangan mereka memang sudah dinanti, tak lama setelah memencet bel, seorang wanita cantik dengan make up yang sedikit tebal membukakan pintu.
"Oh, ini anaknya? Tinggalkan dia di sini, ambillah ini," wanita itu menyerahkan amplop berwarna coklat yang cukup tebal kepada Sulastri. Sulastri langsung meraihnya dan berpaling pada Kartika. "Kau tinggal di sini dan menurut kepada tante Sania," kata Sulastri datar. Belum lagi sempat Kartika berkata-kata tangannya sudah di tarik untuk masuk ke dalam. Kartika hanya sempat melihat Sulastri berjalan dengan cepat dan menaiki taksi kemudian menghilang di balik kegelapan malam.
Kartika berdiri takut-takut sambil memeluk tas yang berisi pakaiannya. Ia tampak sedikit ketakutan, bagaimana tidak jika tatapan mata Sania seolah sedang menelanjanginya.
"Kamu cantik sekali, berapa usiamu?" tanya Sania sambil mengelus pipi mulus Kartika.
"Sa-saya ... u-umur saya 16 tahun, tante," jawab Kartika takut-takut.
"Masih sangat muda. Baiklah, sekarang harus di persiapkan terlebih dahulu. Ingat, kau harus menurut kepadaku. Asal kau tau saja, aku baru saja membelimu sebesar 50 juta rupiah dari Ibumu. Jadi, aku berhak atas dirimu sekarang ini. Apa kau mengerti, anak cantik?" ujar Sania.
"Apa aku akan menjadi pembantu di rumah ini, Tante?" tanya Kartika dengan polos.
Sania tertawa terbahak-bahak, "Kau polos sekali ya, hahaha ... Tapi, bagus itu artinya Sulastri tidak berdusta. Jadi, aku bisa mendapatkan cuan yang lebih banyak. Tetii! Sini cepat kamu, Teti...!"
Seorang pria dengan gaya kemayu tergopoh- gopoh menghampiri mereka, "Ada apa sih, Mamiih? Teriak- teriak aja deh, eike kan lagi sibuk di belakang."
"Sini, bikin gadis polos ini jadi cantik, malam ini kita akan bawa dia ke mess. Aku baru membayarnya 50 juta, jadi kau buat dia cantik," kata Sania. Pria kemayu yang bernama Teti itu langsung berbinar- binar menatap Kartika.
"Waduh, ini sih bakalan jadi ladang duit, cucok. Cantik, tinggal di poles dikit udah pasti langsung bersinar kaya bintang, eike dandanin dia dulu, Mami. Cuz, sini ikut eike," kata Teti.
Teti langsung menarik tangan Kartika dan membawanya ke ruangan belakang. Di ruangan itu terdapat sebuah kaca yang cukup besar dan juga pakaian - pakaian yang sangat cantik, namun bagi Kartika pakaian- pakaian itu begitu terbuka dan terlalu seksi. Dengan cepat, Teti mendudukkan Kartika di kursi,lalu ia mengambil alat- alat make up dan mulai memoles wajah Kartika. Kemudian, ia juga menata rambut Kartika menjadi lebih indah. Dan, terakhir Teti meraih beberapa gaun yang cantik- cantik.
Tapi, setelah memilih, Teti mengambil sebuah dress dengan bahan satin berwarna hitam dengan kerah Cheongsam. Dress itu sebenarnya panjang, tapi memiliki belahan yang tinggi di kedua sisi nya.
"Pakai ini, cepat," katanya. Kartika dengan gugup menerima gaun itu.
"I-ini gaunnya bagus sekali. Ini buat saya pakai?"
"Ya iyaa teteh cantik, masa akikah yang pake? Buruan, ganti sekarang."
"Kamar gantinya di mana?" tanya Kartika.
Teti mengembuskan napasnya dengan kasar, dengan sekali tarik ia merobek pakaian yang Kartika pakai membuat gadis itu memekik kecil.
"Pakai sekarang!" katanya. Kartika pun buru-buru mengenakan pakaian yang diberikan oleh Teti. Melihat penampilan Kartika, Teti langsung bertepuk tangan. Tak lupa Teti mengambil sepasang sepatu yang cocok dengan pakaian yang di kenakan oleh Kartika.
Teti pun langsung membawa Kartika ke hadapan Sania. Melihat penampilan baru Kartika, Sania yang sedang bicara dengan seseorang melalui telepon langsung memutuskan sambungan teleponnya.
"Gimana, cucok kan kerjaan eike," kata Teti.
"Kamu nanti antar dia ke Savoy Homann sama Donny dan Wahyu. Antar sampai depan pintu kamar, ini nomor kamarnya. Inget di tunggu di lobby. Sekalian, ambil bayarannya. Inget hanya tiga jam. Nggak lebih, abis itu bawa pulang ke sini. Besok pagi baru bawa dia ke mess."
Kartika merasa bahwa apa yang di katakan oleh Sania bukanlah sesuatu yang baik. Perlahan, Kartika pun memberanikan diri untuk bertanya.
"Tante, maaf sebelumnya. Kenapa saya harus mengenakan pakaian seperti ini? Lalu, kenapa saya harus berdandan begini?" tanya Kartika lirih. Sania tertawa terbahak-bahak. "Kamu ini polos, benar-benar polos ya. Apa Ibumu tidak memberitahu sebelum ia membawamu kepadaku?!" tanya Sania. Kartika menggelengkan kepalanya.
"Nggak, Tante. Ibu tidak mengatakan apapun. Tadi, saat Ibu pulang beliau hanya menyuruh saya untuk mengemasi pakaian dan kemudian langsung membawa saya kemari."
Sania mendekati Kartika, lalu memegang pipi gadis itu. "Dengar baik- baik anak cantik, Ibumu sudah menjualmu kepadaku. Untuk apa? Untuk aku jadikan sebagai wanita penghibur, untuk aku jadikan kupu-kupu malam. KUPU-KUPU MALAM!"
Kartika tersentak kaget, dadanya sesak seketika. Hatinya terasa tersayat- sayat sembilu. Ibu yang sangat ia cintai dan ia hormati dengan tega menjualnya. Air mata Kartika menetes seketika. Ia merasa lemas seperti tidak bertulang. Sania menyeringai, "Tidak perlu menangis, yang perlu kau lakukan sekarang adalah melayani tamu pertamamu sebaik-baiknya. Bawa dia sekarang, dan suruh dia untuk menghapus air matanya," kata Sania kepada Teti.
Teti membawa Kartika ke sebuah hotel berbintang bersama dengan dua orang bodyguard Mami Sania. Donny dan Wahyu bertubuh tinggi besar dengan wajah yang garang. Wajah Wahyu memiliki bekas sayatan dari pelipis hingga ke pipi sebelah kanan, sehingga keliatan tambah seram. Kartika hanya mampu terisak sedih, hatinya benar-benar sakit. Hanya demi hutang, Ibu kandungnya dengan tega menjualnya."Nggak usah nangis, kamu mau disiksa sama Mami Sania?!" hardik Wahyu sambil menyetir mobil. Teti langsung menyambar tissue dan merapikan make up Kartika yang tampak belepotan karena air mata."Mending diem deh, eike nggak tanggung jawab ya, kalau sampai tamu nggak puas trus ngadu sama Mami," kata Teti."Tolong lepasin saya, saya nggak tau kalau Ibu saya udah jual saya. Saya masih mau sekolah.""Kamu pikir, Mami Sania mau lepasin kamu begitu aja? Kalau kamu mau bebas, kembaliin dulu uang yang sudah diberikan Mami Sania sebesar 50 juta plus dana untuk baju dan s
Sesampai di rumah Mami Sania, Kartika di bawa ke sebuah kamar yang berada di lantai atas. Ternyata, di dalam kamar itu ada dua orang gadis lain yang sebaya dengannya. Mereka menatap Kartika penuh rasa ingin tau."Kau tidur bersama mereka, ingat jangan coba berbuat hal yang aneh-aneh," kata Teti sebelum meninggalkan kamar itu. Kartika melangkah perlahan, ia melihat tas yang ia bawa ketika datang ada di sudut ruangan. Kedua gadis itu bangkit dan menghampiri Kartika. Lalu mereka mengajak Kartika untuk duduk."Sakit ya?" tanya salah seorang gadis itu. Kartika mengangguk, ia memang merasakan sakit. Tidak hanya karena malam pertama yang terpaksa ia lakukan. Tapi, karena sakit yang ia rasakan di hatinya juga."Namaku Wendah dan ini Ayu. Namamu siapa?""Kartika, Teh.""Jangan panggil teteh, kita seumuran kayanya. Panggil saja aku Wendah, kenapa kau bisa sampai ke sini?"
Hampir 3 bulan Kartika berada di rumah Sania. Entah sudah berapa banyak pria yang Kartika layani di kamar hotel. Hampir setiap malam dia dipaksa untuk melayani tamu- tamu. Tamu- tamu yang ia layani adalah tamu- tamu pilihan. Bukan orang sembaranga. Begitu juga dengan Wendah dan Ayu , nasib mereka setali tiga uang dengan Kartika. Ketiganya saat ini hanya bisa pasrah dengan keadaan yang mereka jalani saat ini. Kartika sudah tidak pernah menangis lagi sekarang. Ia hanya bisa pasrah dan menahan sakit hatinya. Dari uang tips yang ia kumpulkan, Kartika mulai belajar memakai make up dari Teti. Sania tidak pernah meminta uang tips yang diberikan oleh para tamu. Bagi Sania, ketiga gadis itu masih sangat menguntungkan. Hingga tiba di bulan ke 4 saat tamu mulai bosan dengan ketiga gadis itu. Sania pun memutuskan untuk memindahkan ketiga gadis itu ke Mess nya untuk bergabung bersama para gadis yang lain. Seumur h
Kartika tersentak saat mendengar bentakan dari seseorang. Begitu juga dengan Wendah dan Ayu.Mereka langsung melepaskan pelukan dan menatap gadis yang berdiri di depan pintu kamar mereka."Kalian ini nggak tau diri ya! Baru datang udah bikin keributan. Kalau siang begini, jam nya istirahat! Emang dulu di rumah Mami Sania kalian kerja kantoran! Sama aja, kerja kaya kami, jangan sok ya karena kemarin-kemarin kalian dapat tamu pejabat dan bos berduit kalian mau sombong!""Maaf ya, Mbak. Kami nggak bermaksud untuk buat Mbak nggak nyaman. Maaf kalau suara kami ganggu Mbak," kata Ayu dengan sedikit gemetar ketakutan. Gadis itu mencebik dan menatap Ayu dengan tajam. "Bilang sama kedua temen kamu ya, terutama yang pakai baju biru," katanya sambil menuding ke arah Kartika. "Jangan sok cantik di sini!" Setelah puas meluapkan emosinya, gadis itu pun segera pergi meninggalkan mereka bertiga. Ayu langsung bangkit lalu menutup pint
Air mata Kartika tak terbendung lagi, ia pun menangis di pelukan Sundari."Terimakasih, bu.""Ibu akan mengurus KTP mu ya nak. Oya, kau harus belajar untuk menabung, nak. Sedapat mungkin Ibu akan memberimu tamu yang baik dan tidak kasar juga royal dalam memberikan uang tips. Sehingga kau bisa cepat keluar dari sini. Ibu nggak mau kau bernasib sama seperti Ibu. Sampai tua di tempat seperti ini. Jangan berlama-lama di tempat ini, nak. Kau masih terlalu muda dan, kau masih berhak untuk merasakan kehidupan yang jauh lebih baik. Nah, sekarang kau bergabung dengan yang lain. Kalian akan segera diantar ke klub. Berdandanlah yang cantik. Biasanya tamu-tamu datang pukul 11 malam. Ibu akan memilih tamu yang baik untukmu ya, nak. Ada kok, tamu yang hanya booking untuk menemani karaoke. Tidak selalu harus menemani di atas ranjang.""Sekali lagi, terimakasih bu.""Sama-sama, nak." Kartika pun beranjak keluar ruangan d
Setelah puas bermain-main dengan Kartika, Teddy pun mengantarkan Kartika pulang."Kita makan dulu, ya. Nanti baru Akang antar pulang, ya.""Iya, terserah akang aja." Teddy dan Kartika pun langsung keluar dari kamar untuk cek out. Sebelum mengantarkan Kartika pulang, Teddy pun mengajak Kartika untuk mampir ke rumah makan. Namun, tiba-tiba saat sedang makan, seseorang menepuk bahu Kartika."Kartika, kamu Kartika kan? Kemana aja, kok udah berapa bulan nggak masuk sekolah? Lagi apa di sini?"Kartika pucat pasi, ia menatap gadis dengan seragam SMU yang berdiri di hadapannya."Rengganis?""Iya, kamu ngapain di sini? Dua bulan lalu, bu Atin datang ke rumah kamu, kayanya kamu kabur dari rumah? Kamu kelewatan, nggak kasian sama Ibu dan adik kamu? Bukannya bantu orang tua, malah kabur jangan-jangan kamu jadi simpenan om-om, ya? Ih, amit-amit, ngga
Setelah puas bermain-main dengan Kartika, Teddy pun mengantarkan Kartika pulang."Kita makan dulu, ya. Nanti baru Akang antar pulang, ya.""Iya, terserah akang aja." Teddy dan Kartika pun langsung keluar dari kamar untuk cek out. Sebelum mengantarkan Kartika pulang, Teddy pun mengajak Kartika untuk mampir ke rumah makan. Namun, tiba-tiba saat sedang makan, seseorang menepuk bahu Kartika."Kartika, kamu Kartika kan? Kemana aja, kok udah berapa bulan nggak masuk sekolah? Lagi apa di sini?"Kartika pucat pasi, ia menatap gadis dengan seragam SMU yang berdiri di hadapannya."Rengganis?""Iya, kamu ngapain di sini? Dua bulan lalu, bu Atin datang ke rumah kamu, kayanya kamu kabur dari rumah? Kamu kelewatan, nggak kasian sama Ibu dan adik kamu? Bukannya bantu orang tua, malah kabur jangan-jangan kamu jadi simpenan om-om, ya? Ih, amit-amit, ngga
Siang itu Sundari mengajak Kartika untuk membuat pas foto. Kartika hanya bisa menurut meskipun merasa cemas dan was-was. Ia takut apabila harus bertemu dengan kawan-kawannya. Apalagi jika mereka memakinya seperti yang dilakukan oleh Rengganis kemarin. Setelah selesai foto, Sundari mengajak Kartika membeli beberapa potong pakaian dan juga sepatu di Matahari Department store yang memang ada di daerah Cicadas."Ini buat siapa, Bu?" tanya Kartika."Buatmu...""Tapi...""Sudah, bawa saja, tidak usah berkata apapun. Ingat perjanjian kita, di luar kau adalah anak angkatku. Jadi, aku boleh membelikan apa saja untuk anakku.". Kartika tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menuruti kemana Sundari mengajaknya."Kamu suka makan bakso?" tanya Sundari."Suka, bu.""Ya sudah, nanti kita makan bakso rudal di Padasuka saja.
Sulastri dimakamkan di hari berikutnya. Bu Aminah membantu segala proses pemakaman. Widya dan Aryani yang mendengar berita kematian ibu kandung Kartika juga datang melayat. Aryani dan Widya tampak bahagia melihat Reni yang kini sudah menerima Kartika dengan tangan terbuka. "Saya senang melihat Jeng Reni sekarang akur dengan Kartika. Dia itu anak yang baik, Jeng," kata Widya saat proses pemakaman Sulastri selesai. Reni mengangguk dan menepuk punggung tangan besannya itu sambil tersenyum."Iya, dia anak yang baik. Saya menyesal sekali waktu itu sudah bersikap kasar dan kurang baik kepadanya.""Yang penting sekarang kan kalian berdua sudah akur." Sampai Sulastri selesai dimakamkan, keluarga angkat Agung tidak ada datang, padahal Aminah sudah memberi kabar. Kartika hanya bisa mengelus dada ,padahal ia ingin sekali bertemu dengan ad
Kartika menundukkan kepalanya, ah, sudah berapa tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya? Rasanya lama sekali ia tidak bertemu. Rindu? Ya, ia merindukan ibunya bahkan sejak ia kecil. Kartika selalu merindukan sang ibu. Merindukan belai kasih sayangnya, rindu ungkapan cinta seperti yang selalu ia bisikkan di telinga Dania sebelum tidur. Kapan ia bisa merasakan hal itu juga? "Ib-ibu ... saya tidak tau apakah ibu masih hidup atau sudah ...."Melihat menantunya terisak, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, Reni bisa merasakan apa yang Kartika rasakan."Dia bukan ibu yang baik untukmu, Tika," kata Reni dengan lirih. Perlahan, Kartika mengangkat wajahnya yang sudah berlinang air mata."Dia memang bukan ibu yang baik, bahkan sejak kecil ibu rasanya tidak pernah memanjakan saya, Bu. Beliau selalu berkata
Sejak keributan di rumah makan yang ia buat, Reni tak lagi mengganggu Kartika dan juga Dania. Bahkan ia mulai mau memakan makanan yang dikirimkan oleh Kartika melalui Rania yang sering datang menemui Kartika dan Dania. "Ini makanan dari Kartika?" tanya Reni sore itu saat Rania datang sambil membawa kolak dan soto kesukaannya."Iya, Bu. Mbak Kartika yang membuat makanan ini. Kalau ibu nggak mau biar aku yang abisin," kata Rania."Eh, jangan dong. Kamu kan udah makan di sana. Ini jatah ibu, udah tau ini makanan favorit ibu masih aja kamu ambil," gerutu Reni. Sementara itu, Rania hanya mencibir, "Makannya mau, tapi sama orangnya Ibu selalu memusuhi," sindir Rania membuat wajah Reni memerah karena malu."Aku sudah tidak pernah marah-marah kepadanya lagi," kata Reni sambil mencicipi kolak. Wajah Reni berbinar se
Reni menggebrak meja dengan kesal saat ia menerima pesan dari Rivan. Anaknya itu baru saja mengirimkan sejumlah uang yang dia minta. Padahal ia ingin sekali Rivan meminta padanya dan mengemis supaya ia bisa memisahkan Rivan dan Kartika. Entahlah, sejak pertama bertemu Kartika ia merasa seperti bertemu seseorang di masa lalunya. Orang yang pernah ia benci sekaligus ia cintai. Wajah Kartika sungguh mirip dengan orang itu."Bu , sudahlah jangan ganggu Mas Rivan terus. Toh dia tidak pernah merepotkan ibu," ujar Riana. Wanita cantik itu merasa heran dengan sikap ibunya yang ia rasa cukup kelewatan. Reni menoleh dan memicingkan mata kesal pada putrinya itu."Nggak! Ibu mau perempuan itu pergi dari Rivan!""Mereka ada anak, dan lagi perempuan itu tidak salah apa-apa. Aku sudah mendengar semuanya dari Mbak Aryani. Kalau ibu begini terus ,aku nggak mau lagi mengurus Sask
Kartika menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan dari Widya dan Aryani. Ia dan Rivan benar-benar memulai kehidupan yang baru. Semua bisnis keluarga yang tadinya dijalankan oleh Rivan kini dijalankan oleh Agung, suami Riana adiknya. Semua itu karena Reni yang tidak ikhlas jika Kartika menikmati hasilnya. Hanya rumah makan yang masih Rivan jalankan. Karena modal rumah makan itu murni dari uang pribadi Rivan yang ia kumpulkan. Kartika tidak mengeluh dengan itu semua. Bahkan, terkadang ia datang ke rumah makan bersama Dania di jam makan siang sekadar untuk menemani suaminya makan siang. Jika dulu Rivan hanya datang sesekali untuk mengecek, maka sekarang Rivan lebih fokus menjalankan usaha itu sehingga rumah makan miliknya yang sudah hampir 15 tahun ia bangun menjadi lebih berkembang. Karyawan di sana beberapa sudah ganti. Hanya Ella
Kartika menunduk mendengar perkataan Widya."Kenapa,sayang?"Sontak, Kartika mengangkat wajahnya. Seumur hidup belum pernah ia dipanggil sayang oleh ibunya, Sulastri. Bahkan mertuanya pun mati-matian membencinya. Tetapi, wanita di hadapannya ini begitu lembut dan penuh kasih sayang. Air mata tak terbendung lagi jatuh membasahi pipinya yang putih mulus itu."Loh ,kenapa kok malah nangis? Ibu salah bicara?" tanya Widya kebingungan. Kartika menggelengkan kepalanya perlahan , "Bu, seumur hidup belum pernah saya dipanggil sayang oleh ibu kandung saya. Tapi, ibu barusan memanggil saya sayang? Saya nggak salah dengar, kan?""Ya Allah, Tika ...."Widya pun langsung membawa Kartika ke dalam pelukannya. Ia merasa iba dan terharu mendengar pengakuan Kartika. Bahkan mendengar kisah hidupnya pun ia merasa sangat terharu. &nb
Saat pemakaman berlangsung, Aryani dan Kartika tidak hadir , barulah ketika Widya mengirimkan pesan bahwa Reni dalam perjalanan untuk menjemput Saskia, Aryani bergegas membawa Kartika pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rivan. Hal itu sengaja dilakukan supaya Reni dan Kartika tidak bertemu. Widya merasa tidak tega jika Reni terus menerus mengatakan bahwa Kartika pembawa sial. Ternyata Gazali yang mengurus kepindahan rumah sakit Rivan dan tentu Kartika pun tidak kesulitan untuk melihat kondisi suaminya itu. Dania yang melihat kondisi Rivan yang dipasang beberapa alat bantu langsung menangis sedih."Menurut dokter kondisinya kini belum stabil, Rivan sempat sadar sebentar, tapi kembali seperti ini," kata Gazali. Dania perlahan mendekati Rivan dan memegang tangan ayahnya itu. Kemudian gadis kecil itu mengecup dahi Rivan.&nbs
Bu Widya pulang ke rumah pukul tiga pagi, ia terkejut saat melihat Kartika baru saja keluar dari kamar mandi."Kamu tidak tidur, Nak?" tanyanya. Kartika tersenyum, "Saya mau tahajud, Bu," jawabnya."Ya Allah, Nak ... Kamu ternyata memang anak baik," ujar Widya sambil memeluk Kartika."Kita solat bersama, ya, tunggu ibu sebentar," ujarnya lagi lalu Widya pun bergegas mengambil air wudhu dan mereka pun melaksanakan solat sepertiga malam bersama. Setelah selesai solat, Widya mengajak Kartika duduk bersamanya di ruang keluarga."Aryani sudah bercerita kepada Ibu, Nak. Kartika, ibu mohon jangan pernah mengatakan bahwa dirimu ini pembawa sial. Tidak ada hal yang seperti itu, Nak.""Ibu belum tau siapa saya yang sebenarnya, jika ibu tau mungkin ibu akan mengusir saya dari rumah ini saat ini juga," kata Kartika. Widya menghela napas panjang, "
Aryani menoleh ke pintu, dua orang gadis kecil tampak berdiri namun ragu untuk melangkah ke kamar karena melihat kehadiran Kartika dan Dania."Saskia, Yunita, ayo sini!" panggil Aryani pada kedua gadis kecil itu. Mendengar nama Saskia, Kartika tau bahwa salah satu dari kedua gadis itu adalah anak RIvan dan Salsa."Yang berambut panjang dan sedikit lebih tinggi itu adalah Yunita anakku, TIka. Hmm ... boleh aku panggil Tika?""Boleh, Mbak ....""Ya, itu Yunita anakku, dan yang satunya Saskia anaknya Salsa. Saskia, Yunita ini Dania, dia adalah sepupu kalian. Jadi, kalian harus akur, ya?""Iya, Ma. Oya , ini tante siapa?" tanya Yunita."Ini Tante Kartika, mamanya Dania." Yunita langsung tersenyum ramah pada Kartika lalu mendekat dan mencium punggung tangan Kartika."Tante, saya Yunita," ujar Yunita dengan ramah. Tampak bahwa sikap