"Kamu bener-bener keterlaluan, ya?! Udah ngembat anak saya, sekarang mau menjelekkan Bunga," caci Sarita geram.
Tangannya kembali hendak mencakar Gading. Namun, baik aku dan Mas Arif sama-sama menghalangi. Aku yang menjadi tameng buat Gading, sedang Mas Arif menarik lengan istrinya.
"Sari, jaga kelakuan kamu! Ingat tujuan kita datang ke sini!" Mas Arif tampak serius memperingati.
"Tentu saja ingat," sahut Sarita ketus, "kita akan menuntut Gading secepatnya. Biar dia membusuk di penjara karena telah tega memperkosa anak di bawah umur," cerocos wanita itu menggebu-gebu.
"Saya tidak memperkosa Bunga, Bu. Dia sendiri yang datang untuk menggoda saya." Gading kembali melakukan pembelaan.
"Kamu itu bener-bener, ya!" Ketika Sarita hendak menggampar Gading, lagi-lagi sang suami mencegahnya.
"Mas Arif, saya paham Mbak Sari sangat terpukul dengan kejadian ini. Apalagi kalian ada di pihak perempuan. Saya yang berada di pihak laki-laki pun sangat menyayangkan." Aku berkata dengan tenang, "tapi, kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah."
"Kamu benar, Rini," sahut Mas Arif membenarkan omongan aku, "memang niat kedatangan kami ke mari sebenarnya adalah ingin meminta pertanggungjawaban dari Gading."
"Tapi setelah tahu kalo Gading anaknya kamu, saya mengurungkan niat," timpal Sarita masih berapi-api, "mumpung kandungan Bunga masih kecil, kita suruh dia gugurkan saja. Dan Gading harus siap mendekam di penjara!"
"Astaghfirullah hal adzim!" Aku, Gading, dan Mas Arif berseru bersamaan mendengar ancaman serius dari bibir Sarita.
"Mbak, menggugurkan janin itu dosanya besar. Itu sama saja pembunuhan." Aku menyergah cepat.
"Biar saja! Toh bayi itu memang tidak diinginkan. Anak haram!" cetus Sarita kian kasar, "dan yang pasti saya tidak sudi berbesanan dengan kamu, Rin." Usai menumpahkan kegeramannya, Sarita bangkit. "Ayo kita pulang, Mas! Gak ada gunanya berlama-lama di sini!" Wanita itu menarik lengan suaminya.
"Iya, tunggu!" Mas Arif menolak.
Sarita mencibir. Wanita itu angkat kaki dengan mengangkat dagu. Ketika sampai di pintu dia menoleh pada kami. Mas Arif mengibaskan tangan, kode jika menyuruh istrinya masuk mobil terlebih dulu.
"Sekali lagi, saya meminta maaf atas ketidaksopanan istri saya." Mas Arif menangkupkan kedua tangan seraya mengangguk kecil.
"Saya memakluminya, Mas. Tapi, tolong jangan jebloskan anak saya ke penjara," mohonku bersungguh-sungguh, "kita pikirkan semuanya dengan kepala dingin. Terutama tentang niat Mbak Sarita yang menginginkan Bunga menggugurkan kandungannya."
Mas Arif manggut-manggut tanda paham. "Iya, makanya lusa atau kapan kalian datanglah ke rumah saya untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut," pintanya tenang.
TIN TIN!
Terdengar suara klakson mobil di depan. Pastinya Sarita yang membunyikannya. Sepertinya dia sudah tidak sabaran ingin segera pulang.
"Saya akan menenangkan istri saya dulu," pamit Mas Arif sembari bangkit.
Aku dan Gading ikut bangkit berdiri.
"Iya, Mas. Tolong ingatkan Mbak Sarita kalo semua bayi terlahir suci. Orang tuanya yang salah. Dia berhak hidup," ujarku berusaha bijak.
"Iya." Mas Arif mengangguk pelan, "kalo begitu saya permisi."
Aku dan Gading mengiringi pria berkacamata itu hingga pintu. Terlihat Sarita duduk di samping bangku kemudi. Wanita itu mendelik tajam pada Gading.
Sementara tetangga yang penasaran karena mendengar keributan di rumahku lekas kembali ke aktivasinya masing-masing. Ada yang langsung pura-pura menyapu, menyiram bunga, atau sibuk memilih sayuran pada tukang sayur.
"Sudah pulang tamunya, Bu?" Tiba-tiba Galang sudah mendekat. Aku yang malas menanggapi pertanyaan Galang hanya mengangguk pelan. "Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah ini yang membuat Ibu akhir-akhir ini gak menyapa Mas Gading?" cecar Galang terlihat begitu penasaran.
"Kamu tanyakan langsung saja ke orangnya, Lang," suruhku lesu.
Kaki tergerak menuju meja makan. Niat hati ingin meneruskan sarapan yang sempat tertunda barusan. Namun, selera makanku sudah menguap entah ke mana.
"Bu, tolong maafkan Gading." Gading datang dan langsung bersimpuh di kakiku.
"Duduk!" suruhku datar.
"Gak mau sebelum Ibu maafin aku." Gading bersikeras untuk bersimpuh.
Aku menghela napas panjang. Sementara Galang hanya memandangi kakaknya dengan wajah yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin dia kasihan pada Gading. Tapi aku yakin, Galang juga tidak mungkin membenarkan perbuatan kakaknya.
"Jangan minta maaf sama Ibu. Minta maaflah sama Allah," balasku masih datar. "Taubat nasuha sana!"
"Pasti, Bu. Aku pasti akan melakukannya." Gading tampak bersungguh-sungguh saat berjanji.
"Baguslah, sekarang yang terpenting siapkan mentalmu." Kupandangi pemuda berkulit kecokelatan itu dengan prihatin. "Semoga saja Ibu Sarita tidak jadi menjarakan kamu," harapku sedikit cemas.
Gading hanya mendesah resah.
"Mas, tadi aku sempet mendengar saat kamu bilang kalo Bunga menggoda kamu duluan. Itu maksudnya bagaimana, Mas?" Galang yang sedari tadi diam tiba-tiba mengajukan pertanyaan.
Gading mengangguk pelan. "Iya, dia memang anak yang nakal," kecamnya terlihat kesal.
"Kenapa kamu ngomong seperti itu?" cecarku sembari menyipit bingung. "Itu omongan laki-laki pengecut yang mau lari dari tanggung jawab." Kesal membuatku sedikit mengutuk.
"Memang begitu kenyataannya, Bu." Gading tetap kokoh dengan ucapannya.
"Apa yang mendorong Mas berkata begitu?" Galang menimpali.
"Baiklah aku akan menceritakan kronologis kejadian sore itu," putus Gading serius.
Pemuda itu terlihat menghirup oksigen perlahan-lahan. Sepertinya dia sedang menata omongan.
"Jadi begini ...."
FLASH BACK
Sore itu sebulan lalu, Gading sedang sibuk mengoreksi hasil ulangan siswanya di ruang tengah. Dia sendirian di rumah. Aku masih berada di kios. Sedangkan Galang belum juga pulang dari kampusnya.
Di luar hujan turun begitu deras. Hawa dingin cukup mengusik kulit. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu di luar. Gading juga mendengar seseorang memanggil namanya.
Gedoran pintu kian terdengar jelas. Gading pun bangkit untuk melihat siapa yang datang. Pemuda itu cukup kaget melihat siapa yang telah mengetuk pintu.
"Bunga?" sapa Gading sedikit kaget.
Pasalnya gadis itu datang sendirian dalam keadaan basah kuyup. Belum lagi gadis itu masih mengenakan seragam. Padahal waktu pulang sekolah sudah dua jam yang lalu.
"Pak Gading, bo-boleh ... sa-saya ma-masuk?" izin Bunga sambil memeluk tubuhnya yang basah.
"Mari masuk!" Gading mengizinkan karena tidak tega melihat Bunga kedinginan.
"Te-terima kasih," ucap Bunga dengan bibir yang sudah terlihat biru.
Kedua insan muda itu memasuki rumah. Gading mempersilakan Bunga duduk di ruang tamu.
"Ada apa hujan-hujanan ke sini? Jadwal les dengan saya bukannya masih dua hari lagi?" tanya Gading sedikit menundukkan pandangan.
Gading lumayan terganggu melihat keadaan Bunga. Seragamnya yang kuyup membuat dadanya tercetak begitu jelas. Gading bahkan bisa melihat warna bra yang digunakan gadis delapan belas tahun itu.
"Sa-saya kedinginan, Pak," ujar Bunga tanpa menjawab pertanyaan Gading.
"Boleh saya pinjam handuk?" izin Bunga dengan terus menggigil."Oh ... ya." Gading mengangguk. Sebentar saya ambilkan."Gading bangkit. Dia menderap menuju kamar. Pemuda itu menarik salah satu handuk koleksinya di lemari. Pemuda beralis tebal itu kembali menemui Bunga. Dirinya lantas menyerahkan handuk pada Bunga."Terima kasih," ucap Bunga saat menerima handuk dari Gading.Bunga langsung mengeringkan rambutnya. Lalu turun mengeringkan tangan dan kaki. Tiba-tiba tanpa malu gadis itu membuka dua kancing depan seragamnya. Seperti tengah menggoda, dia menggosok lehernya dengan sangat pelan."Saya buatkan teh hangat untuk kamu, ya," putus Gading karena merasa risih melihat tingkah murid didiknya itu.Gading kembali meninggalkan Bunga. Dirinya kini beranjak ke dapur. Dia membuka kabinet atas dapurnya. Tangannya cekatan mengambil cangkir dan dua toples berisi gula dan teh, lantas meraciknya menjadi teh manis hangat. Setelah jadi Gading membawanya ke hadapan Bunga."Silakan diminum," suruh
Aku dan Galang saling berpandangan. Kami mengenal Gading dengan baik. Dia anak yang tidak neko-neko. Jarang berbohong pada kami. Ketika kutatap seksama, sinaran maniknya memancarkan kejujuran."Kira-kira apa motif Bunga menggoda kamu?" tanyaku penasaran."Entahlah, Bu." Gading menggeleng pelan, "walaupun aku mengajar dia privat, tapi di luar kami gak begitu deket. Eum ... di sini aku yang memang membatasi diri bergaul dengan murid perempuan.""Mungkin Bunga naksir kamu, Mas." Galang beropini.Gading menghela napas. "Aku gak tahu.""Kelakuan dia bagaimana di sekolah?" Aku bertanya lagi."Setahuku Bunga itu anak yang ceria. Dia termasuk siswa yang populer. Temannya banyak," terang Gading kalem. "Sayangnya nilai akademisnya gak begitu bagus. Makanya dia minta privat sama aku.""Oh ...." Aku dan Galang mengangguk bersamaan."Bunga ada punya cowok gak, Mas?""Aku gak tahu. Kan sudah dibilang, kami gak begitu dekat," balas Gading sembari menatap adiknya, "cuma sepertinya dia banyak penggema
"Jadi serius kamu sudah bisa mendapatkan ciuman dari Pak Gading?" tanya teman Bunga dengan penasaran. Gading yang mendengar namanya disebut menghentikan langkah. Dia bersembunyi di balik pilar untuk mencuri dengar percakapan siswi-siswi populer itu."Gak cuma ciuman, aku malah bisa ngajak Pak Gading tidur," sahut Bunga jumawa.DEG!Gading sendiri tertohok mendengar jawaban Bunga. Dia tidak menyangka jika Bunga bisa berkata seperti itu dengan santainya."Nih kalo gak percaya." Bunga mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Sontak ketiga teman Bunga langsung berebut ingin melihat.Gading kini ternganga. Pemuda itu teringat kejadian seminggu yang lalu. Di sela permainan panasnya dengan Bunga, Gading teringat jika remaja itu terlihat mengotak-atik ponselnya. Namun, karena nafsunya sedang di ubun-ubun, saat itu Gading tidak peduli. "Gilaaa! Kalian bener-bener hot," seru ketiga teman Bunga begitu melihat video pada gadgetnya Bunga. Ketiganya saling bersitatap, lalu terbahak bersama. "Lh
"Bunga beneran bilang seperti itu?" tanyaku tidak percaya ketika Gading merampungkan ceritanya."Iya, Bu. Buat apa aku bohong?" sahut Gading terlihat jujur, "makanya setelah dengar pengakuan Bunga, aku memutuskan untuk berhenti kasih les ke dia.""Bener-bener bocah nakal ya si Bunga itu," timpal Galang seraya geleng-geleng."Salah pergaulan kalo menurut aku." Gading menanggapi omongan adiknya."Kok kamu bisa tahu, Ding?" Kini aku yang penasaran."Walau gak begitu dekat, tapi aku tahu dengan siapa Bunga bergaul.""Anak-anak nakal?" Aku dan Galang menebak bersamaan."Lebih tepatnya anak-anak yang kurang kasih sayang." Gading meralat."Elina, ketua gengnya Bunga setahuku anak broken home. Walau pun kedua orang tuanya berada, tapi selalu kesepian karena tinggal sendiri. Kalo Bunga ... kedua orang tuanya terlalu sibuk menurutku. Seperti gak punya waktu buat anaknya," jelas Gading menerangkan. Anak itu adalah guru privat keduanya, jadi wajar jika sedikit paham kondisi keluarga mereka. "Kasi
Walau pun terlihat tidak begitu bersemangat, tetapi Gading mengindahkan nasihatku. Dia memang anak yang penurut. Makanya saat kusuruh untuk menghubungi Mas Arif tanpa banyak bicara dia mengiyakan. Kuperintahkan agar Gading memberi tahu pada keluarga Bunga, bahwa kami akan bertandang. Tidak lama Gading mendapat balasan."Pak Arif bilang, mereka siap terima kita kapan saja, Bu," kata Gading saat membacakan balasan pesan dari Mas Arif."Baguslah," tanggapku tenang. Tangan ini tengah sibuk melipati baju-baju yang baru saja dijemur tadi siang. "Kira-kira kapan kita bersilaturahmi ke rumah Bunga, Ding?""Terserah Ibu," sahut Gading tampak tidak bersemangat."Kenapa lesu begitu?" tegurku menatap wajah Gading yang terlihat muram."Aku ... aku takut ketemu Nona, Bu." Gading mengaku dengan jujur."Jadi kamu belum bicara soal Bunga sama Nona." Aku menerka dengan heran. "Kenapa?" tanyaku saat Gading hanya menggeleng lemah."Nona kerja di Baturaja, Bu. Jadinya kami jarang ketemu," terang Gading p
"Ibu ... Ibu lagi gak bercanda kan?" cecar Nona masih gemetar."Apa untungnya ibu bohong sama kamu?" sergah Sarita secepatnya, "tadi kupingmu dengar sendiri kan kalo ibunya Gading mau membahas masalah Gading dan Bunga bukan dengan kamu."Manik Nona kini beralih ke Gading. "Mas, tolong katakan kalo ini semua adalah bohong," pintanya penuh pengharapan.Gading mendesah bimbang. "Apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan, Non," ujar Gading tidak berdaya."Jadi benar kamu telah menodai adikku?!" sergah Nona mulai naik pitam."Bunga jebak aku, Non." Gading membela diri."Lelaki pengecut!" Sarita meradang, "bukannya minta maaf telah berbuat asusila, malah tega menuduh anakku yang tidak-tidak," makinya sembari menunjuk-nunjuk Gading dengan geram."Sarita, jaga bicaramu!" Mas Arif memperingatkan."Aku marah karena anak kita dihamili gurunya, apa itu salah?!" sahut Sarita ketus. "Bukan kah kita sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin?" Lagi-lagi Mas Arif meng
"Dari kecil aku sudah terbiasa dinomorduakan." Bunga bercerita dengan air mata yang terus luruh membasahi pipi. "Kalian selalu mendahulukan kepentingan Nona. Jika kami bertengkar aku yang disalahkan. Kalo ketahuan Nona yang salah, aku disuruh memaafkan dan mengalah. Di sini aku seperti anak pungut kalian," tuturnya berapi-api dalam kesedihan.Mas Arif, Sarita, dan Nona diam seribu bahasa. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyangkal. Pertanda omongan Bunga adalah kebenaran."Apa pun alasannya, tindakan kamu ikut taruhan itu gak bener," ujar Mas Arif dingin."Kalo ayah beli apa yang aku minta aku juga gak bakalan mau ngelakuin itu." Bunga lekas merespon."Jangan-jangan ini bagian dari akalan kamu untuk menarik perhatian ayah dan ibu, benar?" Nona membuat asumsi.Bunga mengelak. "Gak juga, aku udah capek menarik perhatian mereka. Kejadian ini murni karena kebodohan aku." Bunga meraih tisu kembali. "Aku pikir gak papa ngelakuin itu karena gak bakalan hamil kalo cuma sekali. Ternyata ak
"Maaas! Sini naik cepetan!" Sarita berteriak dari atas. Mas Arif lekas bangkit. Pria itu setengah berlari menaiki tangga. Nona pun mengikuti ayahnya menyusul sang ibu. "Bungaaa, jangan main-main pisau!" Terdengar suara Mas Arif berseru. "Biarkan aku mati saja, Yah. Toh aku gak pernah dianggap juga," balas Bunga di sela isakannya. "Ding, kita lihat ke atas, yuk! Sepertinya Bunga berbuat nekat," ajakku dengan menarik lengan Gading. Gading melepas pegangan tanganku. "Biar saja, Bu. Itu bukan urusan kita," tolak Gading acuh tak acuh. "Kalo sampai terjadi apa-apa dengan Bunga bagaimana?" "Itu kemauan dia. Kita bisa apa?" sahut Gading datar. Sama sekali anak itu tidak tersentuh. Aku menghela napas. "Ibu tahu kamu sangat gedeg melihat kelakuan Bunga, tapi ada benihmu di rahimnya." Gading melengos. "Kamu sudah cukup salah dengan melakukan perzinahan kemarin. Sekarang jangan buat dosa lagi dengan menutup mata pada kondisi Bunga." Aku menasihati dengan lembut. "Bungaaa!" Teriakan dar
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s
Pagi harinya sekitar pukul tujuh pagi Mas Arif sudah bertandang ke rumah. Pria itu hadir bersama Pak Wisnu. Kami akan mengantar Nona untuk memenuhi panggilan.Mas Arif terlihat rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda tampak masuk dengan kulitnya yang bersih. Begitu aku mendekat, semerbak parfum aroma kopi tercium begitu menyengat. Sepatu dan sabuk yang ia kenakan menambah kesan maskulin.Sayangnya pria itu bersikap kaku padaku. Dari datang, dalam perjalanan, hingga ke kantor polisi dirinya sama sekali tidak mau mengajakku bicara.Bingung dengan tingkahnya, aku mencoba mengalah. Aku beberapa kali melempar pertanyaan basa-basi padanya. Namun, Mas Arif menjawab dengan seperlunya. Bahkan jika pertanyaan seputar kasus Nona yang menjawab justru Pak Wisnu.Usai melakukan pemeriksaan, Nona ditahan hingga diadakan sidang. Ketika akan pulang, aku menguatkan anak itu."Aku gak papa, Bu," ujar Nona mencoba untuk tersenyum. Walau aku tahu itu senyum yang dipaksakan. "Kalo berkenan tolong besok bawa
Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak
Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den