Home / Rumah Tangga / BESANAN DENGAN MANTAN / 7. Keputusan Gading

Share

7. Keputusan Gading

last update Last Updated: 2023-07-19 10:29:39

"Bunga beneran bilang seperti itu?" tanyaku tidak percaya ketika Gading merampungkan ceritanya.

 

"Iya, Bu. Buat apa aku bohong?" sahut Gading terlihat jujur, "makanya setelah dengar pengakuan Bunga, aku memutuskan untuk berhenti kasih les ke dia."

 

"Bener-bener bocah nakal ya si Bunga itu," timpal Galang seraya geleng-geleng.

 

"Salah pergaulan kalo menurut aku." Gading menanggapi omongan adiknya.

 

"Kok kamu bisa tahu, Ding?" Kini aku yang penasaran.

 

"Walau gak begitu dekat, tapi aku tahu dengan siapa Bunga bergaul."

 

"Anak-anak nakal?" Aku dan Galang menebak bersamaan.

 

"Lebih tepatnya anak-anak yang kurang kasih sayang." Gading meralat.

 

"Elina, ketua gengnya Bunga setahuku anak broken home. Walau pun kedua orang tuanya berada, tapi selalu kesepian karena tinggal sendiri. Kalo Bunga ... kedua orang tuanya terlalu sibuk menurutku. Seperti gak punya waktu buat anaknya," jelas Gading menerangkan. Anak itu adalah guru privat keduanya, jadi wajar jika sedikit paham kondisi keluarga mereka. "Kasihan ... Bunga kurang didikan agama." Gading memungkas penuturan dengan menggeleng pelan.

 

"Eum ... memang apa pekerjaan ayah dan ibunya Bunga?" 

 

Gading dan Galang menatapku bersamaan. 

 

"Tadi aku sempet denger kalo Ibu dan kedua orang tua Bunga sudah kenal. Bener, Bu?" tanya Galang memastikan.

 

Aku berdeham kecil. "Dulu ibu dan Ibu Sarita adalah tetangga."

 

"Oh ...." Gading dan Galang menyahut berbarengan. 

 

"Berarti rumahnya dekat dengan rumah Mbah Uti dong," tebak Galang terlihat yakin.

 

"Cuma beda lima rumah saja dari rumah Mbahmu."

 

"Oh ...." Galang kembali manggut-manggut.

 

"Tadi kamu belum jawab pertanyaan ibu, Ding," ujarku mengembalikan topik, "apa pekerjaan orang tua Bunga sampai mereka gak punya waktu buat anaknya?"

 

"Mereka punya toko grosiran yang cukup ramai, Bu," terang Gading pelan, "terus Ibu Sarita setahuku juga konveksi gitu."

 

"Eh udah siang nih." Galang menyeletuk seraya melihat jam di pergelangan tangannya. Dia lalu menandaskan susu yang sudah dingin itu. "Aku ada kuliah pagi. Aku berangkat, ya Bu," pamitnya kemudian.

 

Galang menyalami tanganku. Dia juga berpamitan pada kakaknya. Pemuda itu berlalu menuju kamarnya untuk mengambil ransel dan helm. Setelah mengucap salam, Galang benar-benar meninggalkan rumah.

 

"Bu, tolong maafkan aku, ya," mohon Gading dengan wajah penuh penyesalan. Saat dia sungkem padaku, aku mengusap rambutnya.

 

"Kesalahan kamu memang fatal. Tapi ibu gak berhak menghakimi, karena di sini pihak perempuannya yang mengundang," tuturku mencoba bijak, "karena semua sudah terjadi, mau tidak mau kamu harus tanggung jawab, Ding. Kasihan Bunga kalo sampai harus menanggungnya sendiri," nasihatku lembut. Hilang sudah rasa marah selama ini begitu mendengar penuturan Gading barusan.

 

"Bukannya gak mau tanggung jawab, tapi Ibu denger sendiri kan pernyataan Ibu Sarita," tukas Gading terlihat galau, "belum lagi sikap sombong Bunga yang gak butuh tanggung jawab dari aku."

 

Aku menghela napas panjang. "Namanya juga masih kecil, pikiran Bunga belum dewasa, Ding."

 

"Tapi, aku mencintai Nona, Bu."

 

"Memang kamu setuju Bunga gugurin kandungannya?"

 

Gading hanya terdiam.

 

"Kelakuan kalian memang bejat, tapi anak itu tidak bersalah."

 

"Sudah berapa kali aku bilang, aku di bawah kendali obat." Gading menukas cepat, "aku yakin Bunga mencampurkan sesuatu pada minuman yang aku buat untuknya."

 

"Terlepas dari apapun itu, Ibu tidak setuju kalau Bunga gugurin kandungannya," sahutku tegas. Gading menunduk diam. "Ada satu hal lagi yang ingin ibu tanyakan sama kamu, Ding."

 

Gading mendongak menatapku. "Apa?"

 

"Apa Bunga masih perawan saat itu?"

 

Raut muka Gading langsung berubah merah. Mungkin dia jengah. Pemuda itu hanya mengangguk sebagai jawaban.

 

"Saat kepergok ibu, apa kamu sudah klimaks?" 

 

Gading menelan ludah. Sepertinya dia merasa tidak nyaman diinterogasi seperti ini olehku. 

 

"Sudah." Gading menyahut jujur walau terdengar lirih.

 

"Berarti dia benar calon anakmu, Dong." Aku berkata dengan trenyuh, "tadinya setelah mendengar cerita kamu tentang karakter Bunga, ibu sempat su'udzon kalau anak itu bukan benih kamu."

 

Gading mendesah. Terlihat sekali jika dia tengah bimbang.

 

"Sudah siang, kamu pergi ngajar kan?" ujarku mengingatkan.

 

"Iya, Bu." Gading mengangguk pelan.

 

Lelaki bertubuh tegap itu meraih tas kerjanya. Seperti adiknya, dia pun takzim salim padaku. Kuantan anak itu sampai ke pintu.

 

Begitu Gading berlalu, aku menuju kamar. Kuganti bergo sederhana ini menjadi Khimar yang cukup syar'i. Setelah merasa rapi, aku keluar kamar dengan menenteng tas.

 

Keseharianku adalah berjualan di kios pasar. Almarhum suamiku meninggalkan dua buah kios. Kios baju dan sembako. 

 

Dari usaha tersebut aku mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Serta mampu memberikan pendidikan yang layak untuk kedua buah hati. Walau pun belum diangkat menjadi PNS, tetapi Gading adalah seorang lulusan sarjana pendidikan yang terbaik. 

 

Sementara Galang, kini sedang menempa pendidikan di universitas ternama di kota kami. Andai bapak mereka bukan orang berkecukupan, mungkin aku tidak mampu membiayai mereka hingga tahap ini.

 

Aku mengeluarkan motor matic warna hitam dari garasi. Semenjak ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh bapaknya anak-anak, aku dituntut untuk bisa serba sendiri. Beruntung pula di usia akhir empat puluhan ini aku masih bisa mengendarai motor.

 

"Bismillahirrahmanirrahim ... menjemput rejeki," niatku dalam hati.

 

Usai memakai helm, kulajukan motor  dengan kecepatan sedang menuju kios di pasar.

 

***

 

Tiga hari telah berlalu dari kejadian pelabrakan Sarita ke rumah. Pelan-pelan dan dari hati ke hati aku berbicara dengan Gading. Nasihatku tetap sama, yakni menyuruh Gading untuk bertanggung jawab.

 

"Terima Bunga, bimbing dia menjadi istri dan ibu yang baik untukmu dan anakmu," pintaku selepas makan malam.

 

"Bu ...."

 

"Cinta akan datang dengan sendirinya," ujarku mencoba menguatkannya. 

 

Gading mendengkus. "Andai bukan objek taruhan, tanpa ragu lagi aku juga pasti langsung bertanggung jawab."

 

"Tunjukkan kalau kamu adalah laki-laki gentleman, Ding." Aku menepuk pundak pemuda itu. "Walau pun nantinya nasab anak itu jatuhnya bukan anak kamu, tapi dia butuh figur seorang ayah. Dan demi menutup aib, menikahi wanita hamil di luar nikah itu dibolehkan. Asal dalam pernikahan tersebut kalian tidak bercampur."

 

Gading diam menerawang. "Baiklah ... besok malam kita temui keluarga Bunga, Bu," putusnya setelah cukup lama merenung.

 

 

Related chapters

  • BESANAN DENGAN MANTAN   8. Nona yang Malang

    Walau pun terlihat tidak begitu bersemangat, tetapi Gading mengindahkan nasihatku. Dia memang anak yang penurut. Makanya saat kusuruh untuk menghubungi Mas Arif tanpa banyak bicara dia mengiyakan. Kuperintahkan agar Gading memberi tahu pada keluarga Bunga, bahwa kami akan bertandang. Tidak lama Gading mendapat balasan."Pak Arif bilang, mereka siap terima kita kapan saja, Bu," kata Gading saat membacakan balasan pesan dari Mas Arif."Baguslah," tanggapku tenang. Tangan ini tengah sibuk melipati baju-baju yang baru saja dijemur tadi siang. "Kira-kira kapan kita bersilaturahmi ke rumah Bunga, Ding?""Terserah Ibu," sahut Gading tampak tidak bersemangat."Kenapa lesu begitu?" tegurku menatap wajah Gading yang terlihat muram."Aku ... aku takut ketemu Nona, Bu." Gading mengaku dengan jujur."Jadi kamu belum bicara soal Bunga sama Nona." Aku menerka dengan heran. "Kenapa?" tanyaku saat Gading hanya menggeleng lemah."Nona kerja di Baturaja, Bu. Jadinya kami jarang ketemu," terang Gading p

    Last Updated : 2023-07-19
  • BESANAN DENGAN MANTAN   9. Kisah Nona

    "Ibu ... Ibu lagi gak bercanda kan?" cecar Nona masih gemetar."Apa untungnya ibu bohong sama kamu?" sergah Sarita secepatnya, "tadi kupingmu dengar sendiri kan kalo ibunya Gading mau membahas masalah Gading dan Bunga bukan dengan kamu."Manik Nona kini beralih ke Gading. "Mas, tolong katakan kalo ini semua adalah bohong," pintanya penuh pengharapan.Gading mendesah bimbang. "Apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan, Non," ujar Gading tidak berdaya."Jadi benar kamu telah menodai adikku?!" sergah Nona mulai naik pitam."Bunga jebak aku, Non." Gading membela diri."Lelaki pengecut!" Sarita meradang, "bukannya minta maaf telah berbuat asusila, malah tega menuduh anakku yang tidak-tidak," makinya sembari menunjuk-nunjuk Gading dengan geram."Sarita, jaga bicaramu!" Mas Arif memperingatkan."Aku marah karena anak kita dihamili gurunya, apa itu salah?!" sahut Sarita ketus. "Bukan kah kita sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin?" Lagi-lagi Mas Arif meng

    Last Updated : 2023-07-19
  • BESANAN DENGAN MANTAN   10. Perundingan

    "Dari kecil aku sudah terbiasa dinomorduakan." Bunga bercerita dengan air mata yang terus luruh membasahi pipi. "Kalian selalu mendahulukan kepentingan Nona. Jika kami bertengkar aku yang disalahkan. Kalo ketahuan Nona yang salah, aku disuruh memaafkan dan mengalah. Di sini aku seperti anak pungut kalian," tuturnya berapi-api dalam kesedihan.Mas Arif, Sarita, dan Nona diam seribu bahasa. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyangkal. Pertanda omongan Bunga adalah kebenaran."Apa pun alasannya, tindakan kamu ikut taruhan itu gak bener," ujar Mas Arif dingin."Kalo ayah beli apa yang aku minta aku juga gak bakalan mau ngelakuin itu." Bunga lekas merespon."Jangan-jangan ini bagian dari akalan kamu untuk menarik perhatian ayah dan ibu, benar?" Nona membuat asumsi.Bunga mengelak. "Gak juga, aku udah capek menarik perhatian mereka. Kejadian ini murni karena kebodohan aku." Bunga meraih tisu kembali. "Aku pikir gak papa ngelakuin itu karena gak bakalan hamil kalo cuma sekali. Ternyata ak

    Last Updated : 2023-07-19
  • BESANAN DENGAN MANTAN   11. Drama

    "Maaas! Sini naik cepetan!" Sarita berteriak dari atas. Mas Arif lekas bangkit. Pria itu setengah berlari menaiki tangga. Nona pun mengikuti ayahnya menyusul sang ibu. "Bungaaa, jangan main-main pisau!" Terdengar suara Mas Arif berseru. "Biarkan aku mati saja, Yah. Toh aku gak pernah dianggap juga," balas Bunga di sela isakannya. "Ding, kita lihat ke atas, yuk! Sepertinya Bunga berbuat nekat," ajakku dengan menarik lengan Gading. Gading melepas pegangan tanganku. "Biar saja, Bu. Itu bukan urusan kita," tolak Gading acuh tak acuh. "Kalo sampai terjadi apa-apa dengan Bunga bagaimana?" "Itu kemauan dia. Kita bisa apa?" sahut Gading datar. Sama sekali anak itu tidak tersentuh. Aku menghela napas. "Ibu tahu kamu sangat gedeg melihat kelakuan Bunga, tapi ada benihmu di rahimnya." Gading melengos. "Kamu sudah cukup salah dengan melakukan perzinahan kemarin. Sekarang jangan buat dosa lagi dengan menutup mata pada kondisi Bunga." Aku menasihati dengan lembut. "Bungaaa!" Teriakan dar

    Last Updated : 2023-07-20
  • BESANAN DENGAN MANTAN   12. Terpaksa Menikah

    Aku tersenyum mendengarnya. Akhirnya ada sedikit kepedulian Sarita pada Bunga. "Terserah keluarga Bunga saja. Kami pihak laki-laki menurut saja.""Minggu ini konveksiku lagi banyak dapat orderan. Kalo memang keduanya mau diijabkan sebaiknya minggu depan saja." Sarita mengusulkan."Kami nurut, Mbak." Aku menyetujui."Dan ingat, ijab qobulnya jangan di sini. Tetangga kami akan curiga nanti." Sarita kembali memberi syarat."Boleh diselenggarakan di rumah saya." Aku memberikan penawaran.Pembicaraan sudah menemukan ujungnya. Aku dan Gading pun pamit undur diri. Apalagi waktu kian beranak malam.Dalam perjalanan pulang Gading memilih duduk di depan. Tidak di belakang menemaniku seperti saat berangkat. Anak itu memilih bungkam. Hingga sampai rumah Gading benar-benar tidak bersuara."Sudah pulang?" sambut Galang ketika membukakan pintu untuk kami. Aku tersenyum mengiyakan. Sementara Gading menerobos Galang dan langsung melenggang menuju kamarnya. Lelah membuatku menghempaskan tubuh di sofa.

    Last Updated : 2023-07-20
  • BESANAN DENGAN MANTAN   13. Rengekan Nona

    Acara benar-benar berlangsung dengan sederhana. Penghulu memberikan wejangan sepatah dua patah kata untuk mempelai. Setelah itu para saksi dan Pak penghulu baru menikmati hidangan yang aku siapkan.Sementara Sarita langsung berlalu menuju kamarnya Galang. Dirinya sama sekali tidak melirik sajian yang sudah aku tawarkan. Wanita itu tampak cemas dengan keadaan putri sulungnya. "Aku juga mau lihat kondisi Nona, Bu," pamit Gading ketika kutawari makanan."Kamu temani istrimu makan dulu," suruhku saat melihat Bunga duduk sendirian. "Kasihan mungkin dia sudah kelaparan.""Tapi aku cemas dengan keadaan Nona, Bu." "Cemaskan saja istrimu. Dia lagi hamil muda. Kasihan kalo sampai kelaparan," tukasku sedikit memaksa.Gading mendesah pelan. Anak itu memang penurut. Walau pun sangat ingin melihat keadaan Nona. Namun, Gading tidak membantah. Pria yang kini resmi menyandang status suami itu mendekati Bunga. Gading mengambil makanan ala kadarnya. Lalu duduk di samping Bunga untuk makan bersama. B

    Last Updated : 2023-07-20
  • BESANAN DENGAN MANTAN   14. Kisah Masa Laluku

    Aku dan Galang mengantar kepergian kakak beradik itu hingga pintu. Masing-masing mengendarai motor. Ketika kami masuk terdengar suara Mas Arif. Ternyata pria itu sedang berbicara dengan Pak penghulu dan adik kandungnya.Mas Arif tampak menyerahkan amplop pada Penghulu tersebut. Tidak lama pria berpeci itu berpamitan pada kami. Mas Arif dan adiknya mengantar Pak Penghulu sampai ke luar. Ternyata pria itu sudah memesan taksi untuk pak penghulu. Aku dan Galang menuju ruang tengah kembali. Rupanya Nona dan Sarita sudah pindah duduk di situ. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada pundak sang ibu."Mas, Nona minta pulang terus ini," kata Sarita begitu melihat suaminya kembali."Makan dulu, Mbak," tawarku hangat. Sementara Galang sudah melangkah pergi ke meja makan sendiri."Kami gak lapar," sahut Sarita tidak bersahabat."Tapi Mas Arif dan adiknya pasti lapar," balasku terus berusaha sabar."Betul, kami memang sudah lapar." Mas Arif menimpali omonganku. Sarita mencibir. Namun, wanita itu b

    Last Updated : 2023-07-20
  • BESANAN DENGAN MANTAN   15. Antara Aku, Arif, dan Sarita

    "Rif, itu ada Sari." Aku menunjuk gadis yang sedang melirik kami dengan judes itu. Sarita lalu bergegas melajukan kakinya ke rumah Arif yang letaknya persis di depan rumah kakekku.Arif menengok sekilas. "Biar saja. Paling juga mau ketemu emakku," tanggapnya cuek. Pemuda itu kembali menggambar pada kertas. Kami sedang bahu membahu membuat layang-layang untuk dijual. Hasilnya akan dibagi dua untuk tambahan uang jajan kami. Namun, seringkali Arif memberikan lebih. Alasannya tidak lain karena aku sering kekurangan uang. Adikku ada dua masih kecil-kecil. Bapak harus mencukupi kebutuhan kami sekeluarga plus kakek nenek seorang diri Padahal tugasku hanya membantu Arif saja. Karena di sini yang berbakat memang dia. Bahkan pemuda itu yang memodali usaha jualan layang-layang ini. "Rif, kok tiap bagi hasil kamu selalu ngasih lebih ke aku, kenapa?" tegurku sembari memotong kertas-kertas yang sudah digambari itu.Arif menghentikan gambarnya. Dia melemparkan senyum untukku. "Gak papa, kan kam

    Last Updated : 2023-07-21

Latest chapter

  • BESANAN DENGAN MANTAN   85. Hamil Bareng-bareng

    Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M

  • BESANAN DENGAN MANTAN   84. Kedatangan Anak-anak

    Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi

  • BESANAN DENGAN MANTAN   83. Jodoh Takkan Kemana

    Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau

  • BESANAN DENGAN MANTAN   82. Nonton Bioskop

    Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba

  • BESANAN DENGAN MANTAN   81. Bersedia

    Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce

  • BESANAN DENGAN MANTAN   80. Pencarian Jawaban

    "Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s

  • BESANAN DENGAN MANTAN   79. Lamaran yang Memaksa

    Pagi harinya sekitar pukul tujuh pagi Mas Arif sudah bertandang ke rumah. Pria itu hadir bersama Pak Wisnu. Kami akan mengantar Nona untuk memenuhi panggilan.Mas Arif terlihat rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda tampak masuk dengan kulitnya yang bersih. Begitu aku mendekat, semerbak parfum aroma kopi tercium begitu menyengat. Sepatu dan sabuk yang ia kenakan menambah kesan maskulin.Sayangnya pria itu bersikap kaku padaku. Dari datang, dalam perjalanan, hingga ke kantor polisi dirinya sama sekali tidak mau mengajakku bicara.Bingung dengan tingkahnya, aku mencoba mengalah. Aku beberapa kali melempar pertanyaan basa-basi padanya. Namun, Mas Arif menjawab dengan seperlunya. Bahkan jika pertanyaan seputar kasus Nona yang menjawab justru Pak Wisnu.Usai melakukan pemeriksaan, Nona ditahan hingga diadakan sidang. Ketika akan pulang, aku menguatkan anak itu."Aku gak papa, Bu," ujar Nona mencoba untuk tersenyum. Walau aku tahu itu senyum yang dipaksakan. "Kalo berkenan tolong besok bawa

  • BESANAN DENGAN MANTAN   78. Diledek

    Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak

  • BESANAN DENGAN MANTAN   77. Keputusan Galang Untuk Nona

    Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status