Jawaban Arif terdengar begitu manis. Namun, hatiku tidak membenarkan."Kelihatannya kamu gak suka dengan ideku, Rin?" terka Arif sedikit menunduk untuk menatap mataku."Apa itu gak berisiko, Rif?" tanyaku ragu."Apa pun risikonya kalo kita jalani berdua, Insya Allah tidak akan berat," balas Arif terdengar begitu percaya diri. "Kamu mau kan hidup bersama denganku?" Dia bertanya dengan serius.Aku hanya mengangguk kecil."Maka jangan pernah ragu jika kita mau bersatu." Arif pun merengkuh tubuhku. Tangannya mengusap pelan punggungku. Ketika rasa nyaman menjalari hati, aku menyandarkan kepala ini pada dadanya. Namun, semesta sepertinya tidak menyukai tingkah laku kami. Langit langsung memuntahkan isi. Hujan deras turun tanpa bisa dicegah. Kami berdua berlari-lari menembus hujan menuju rumah.*Waktu melompat dengan begitu cepat. Omongan Ginanjar terbukti. Dua hari kemudian, dia datang bertandang bersama dengan kakeknya. Para tetangga tampak takjub melihat kendaraan yang dibawa Juragan
"Saya terima nikah dan kawinnya Marini binti Abdullah. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan kalung emas lima puluh gram, dibayar tunai."Walau pun tampak tidak bersemangat dan bersuara lirih. Namun, Ginanjar mampu mengucap ikrar tersebut dengan lancar."Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu menoleh pada saksi dari pihak Ginanjar. Lalu menengok pula ke saksi dari pihak aku sebagai mempelai wanita."Sah!""Sah!""Alhamdulillah!"Bapak dan Juragan Ngarso terlihat begitu semangat saat menyahut pertanyaan Penghulu. Sementara seulas senyum selalu menghiasi bibir Ibu dan Nenek. Keluargaku benar-benar bahagia.Berbanding terbalik dengan hatiku yang terasa membeku. Hampa. Sama sekali tidak ada gairah. Karena bukan pada Ginanjar hati ini tertawan. Namun, demi bakti pada kedua orang tua khususnya Bapak, aku rela menerima."Barakallahu laka wa Baraka alaika wa jama'a bainakuma fi Khair!""Hentikan! Pernikahan ini tidak sah!"Teriakan lantang itu membuat aku menengok. Sosok Arif sudah menjulang
Ketika pemuda itu diseret pulang, Arif menoleh padaku. Lagi-lagi tatapannya menyiratkan kekecewaan. Membuat rasa bersalah kembali menyerang dada.Acara kembali berlangsung setelah kepergian Arif. Sehabis pembacaan sighat taliq talak oleh Ginanjar, acara dilanjutkan dengan walimatul ursyi.Juragan Ngarso memberikan uang seserahan dengan sangat banyak pada Bapak. Sehingga acara syukuran ini dapat terselenggara dengan baik. Baik papan dan hidangan semua memadai. Bapak bahkan mampu merenovasi rumah kami sebelum acara akad kami dimulai.Sore harinya, Juragan Ngarso langsung memboyongku ke rumahnya. Tentu saja aku tidak bisa menolak. Air mata ini tidak bisa di cegah saat pamitan pada keluarga semua.Kesedihan ini kian menggerus saat akan menaiki mobil. Dari teras rumahnya, tampak Arif memandangi kepergianku. Tatapannya kosong dan hampa.Namun, aku harus menguatkan hati kalau kami tidak berjodoh. Aku sudah menikah dengan Ginanjar. Sedangkan Arif akan ditunangkan dengan Sarita. Itu sebagai sy
"Terima kasih," ucap Juragan Ngarso lemah. Pria itu baru saja menelan obat yang kusodorkan. Sejak tiga hari lalu asma Juragan kambuh kembali. Namun, baru kali ini dirinya mau beristirahat."Kalo bukan aku yang ngawasi pabrik, siapa lagi?" ujar Juragan Ngarso pelan, "Anjar masih belum bisa diandalkan. Kerjone dolanan ae," imbuhnya terlihat kesal. Aku sendiri memilih diam sembari memberesi gelas ke nampan."Pie, kamu sudah periksa lagi belum?" Juragan Ngarso bertanya lagi."Periksa apa, Yang?" Alisku bertaut karena bingung."Ya, itu ... periksa kandungan." Juragan Ngarso lantas menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi goyang. Kursi tersebut lantas bergerak pelan, "mosok udah mau setahun nikah, kamu belum isi juga." Bibir keriput itu mengerucut. "Aku yo pengen lihat anak kalian sebelum ajal menjemput." Lelaki itu terbatuk pelan, "Anjar gak nyuruh kamu pake KB, toh?" tebaknya terlihat curiga."Mbonten, Yang." Aku mengelak pelan, walau dalam hati menjerit. Ya ... aku baru saja berbo
Sore harinya, aku mulai menjalankan ide yang Mbok Narti perintahkan. Kubuka salah satu laci tempat Ginanjar menyimpan pengamannya selama ini. Masih ada beberapa bungkus. Aku buang benda tersebut jauh-jauh di tong sampah depan rumah.Kemudian pada malam harinya, aku memakai gaun tidur yang cukup mengundang. Ini sungguh tidak nyaman. Namun, demi tercapainya misi aku harus kuat menjalani.Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Belum ada tanda-tanda Ginanjar akan datang. Biasanya aku sudah tidur dulu sebelum dia pulang. Dan kali ini aku harus kuat menahan kantuk.Kutunggu kepulangan Ginanjar dengan menyisir rambut di di depan cermin rias. Tidak lama terdengar bunyi pintu berderit. Ginanjar datang."Belum tidur?" Dia menyapa datar.Saat menoleh, matanya tampak menatapku heran. Aku melempar senyum manis untuknya. Perlahan bangkit untuk mendekat."Mau makan atau mandi?" tawarku lembut sembari melepas jaket kulitnya."Sudah semuanya." Anjar menyahut singkat. Dia membuka lemari
"Selamat, Bu, bayinya laki-laki dan ganteng."Perawat menyerahkan bayi mungil yang baru satu jam lahir ke dunia itu padaku. Kuterima dengan sangat hati-hati. Pelan kucium kening berwarna merah itu dengan lembut."Monggoh kalo bayinya mau diazani." Usai berkata demikian perawat itu berlalu."Mas Anjar mana, Mbok? Apa belum datang?" tanyaku sambil melihat pintu kamar. Berharap pria itu datang."Tadi sih belum datang, Mbak." Mbok Narti menyahut pelan, "coba saya tengok lagi ke depan, siapa tahu sudah datang," pamitnya kemudian.Wanita berkebaya kembang-kembang itu melangkah pergi.Aku sendiri sibuk menciumi putra pertama kami. Rasa sakit yang menghebat ketika kontraksi telah sirna berganti keharuan saat melihat wajah mungil ini. Bahkan perihnya jahitan oleh bidan sudah tidak lagi kurasa. Segala kesakitan dan perjuangan sudah terbalaskan dengan kebahagian.Gelak tawa dari pasien tetangga membuat aku menoleh. Sepasang suami istri itu tampak bahagia. Keduanya menciumi bayi mereka yang lahir
Tepat satu tahun usia Gading, Juragan Ngarso menghembus napas terakhir. Tentu saja aku sangat terpukul dengan kenyataan ini. Sudah tidak ada lagi orang yang bisa dimintai pertolongan.Dengan perginya Juragan Ngarso, sudah tidak lagi orang yang akan menegur Anjar. Pria itu semakin jauh untuk dijangkau olehku mau pun Gading.Anjar kembali pada kesenangannya, yakni melayab. Dia juga bergaul dengan orang-orang yang salah. Tiap hari pulang hingga dini hari. Berangkat ke pabrik semau sendiri. Dia mempercayakan usaha kakeknya pada orang lain.Terus seperti itu. Jika kuingatkan tentang pabrik dan tanggung jawabnya pada anak, Anjar akan marah-marah. Apalagi sudah tidak ada yang dia takutkan. Kini bahkan omelanya padaku sudah masuk tahap kasar."Kalo kamu masih saja cerewet, maka aku gak akan segan untuk menjatuhkan talak," ancam Anjar dingin saat kami sedang bertengkar, "kamu dan anak kamu bisa angkat kaki dari rumah ini kalo tidak suka dengan kelakuanku."Pengusiran itu tentu membuat aku keta
Sudah tiga puluh hari Gading resmi menyandang status sebagai suami dari Bunga. Namun, dalam rentang waktu tersebut kulihat belum pernah sekalipun lelaki itu berkunjung ke sang istri. Kini bahkan dia tidak lagi mengajarkan les pada Bunga."Kenapa setelah jadi suami kamu malah menjauh dari Bunga, Ding?" tegurku suatu pagi."Bukan menjauh, Bu, tapi lebih menjaga perasaan Nona saja," elak Gading kalem. Dia mengunyah nasi uduk yang kubeli dengan pelan. "Sampai sekarang Nona masih terlihat membenciku."Aku menghirup udara. "Beruntung kamu gak jadi nikahi dia, Ding," ujarku ikut sarapan."Lha bisa Ibu bilang begitu?" Mata Gading menatapku dengan pandangan tidak terima."Lah dia kekanak-kanakan begitu," sahutku tenang, "sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut. Wong pepatah juga bilang cinta itu tidak harus memiliki kok."Gading mendesah. "Ibu bilang begitu karena gak pernah merasakan patah hati.""Kisah cinta Ibu dengan mertuamu lebih tragis dari kisah cintamu dengan Mbak Nona lho, Mas." Gala
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s
Pagi harinya sekitar pukul tujuh pagi Mas Arif sudah bertandang ke rumah. Pria itu hadir bersama Pak Wisnu. Kami akan mengantar Nona untuk memenuhi panggilan.Mas Arif terlihat rapi sekali hari ini. Kemeja biru muda tampak masuk dengan kulitnya yang bersih. Begitu aku mendekat, semerbak parfum aroma kopi tercium begitu menyengat. Sepatu dan sabuk yang ia kenakan menambah kesan maskulin.Sayangnya pria itu bersikap kaku padaku. Dari datang, dalam perjalanan, hingga ke kantor polisi dirinya sama sekali tidak mau mengajakku bicara.Bingung dengan tingkahnya, aku mencoba mengalah. Aku beberapa kali melempar pertanyaan basa-basi padanya. Namun, Mas Arif menjawab dengan seperlunya. Bahkan jika pertanyaan seputar kasus Nona yang menjawab justru Pak Wisnu.Usai melakukan pemeriksaan, Nona ditahan hingga diadakan sidang. Ketika akan pulang, aku menguatkan anak itu."Aku gak papa, Bu," ujar Nona mencoba untuk tersenyum. Walau aku tahu itu senyum yang dipaksakan. "Kalo berkenan tolong besok bawa
Adzan ashar berkumandang. Aku terbangun dari istirahat siang. Segala lelah dan pegal telah lenyap. Rumah tampak sepi. Hanya terdengar suara gemericik air di kamar mandi."Eh Ibu sudah bangun?" sapa Nona ketika keluar dari kamar mandi. Wajah dan anggota tubuh lainnya tampak basah. Dia bukan habis mandi. Sepertinya baru saja bersuci."Pada ke mana? Kok sepi, ya?" tanyaku basa-basi."Galang pergi main futsal. Gading nganter Bunga beli popoknya Fawwaz ke Indoapril.""Fawwaz diajak juga?""Iya.""Oh." Mulutku membulat kecil. Aku pun melangkah masuk ke kamar mandi."Ibu gak tanya ayahku?"Aku balik badan lagi. "Iya, ayahmu di mana?""Ayah pamit balik. Padahal aku dan Bunga sudah bujuk dia buat tidur di sini, tapi ayah gak mau," terang Nona tampak kecewa.Aku tersenyum tipis mendengarnya."Kasihan di rumah ayah pasti kesepian," lanjut Nona kini terlihat sedih."Mungkin ayahmu butuh tempat yang tenang buat beristirahat. Di sini kan rame." Aku memberikan dalih dengan asal."Ayah juga ngajak ak
Selama menjadi menantu dan tinggal di rumahku, anak itu selalu menolak ketika diajak berjamaah. Alasannya adalah ingin ibadah di kamar saja. Usai sholat kami menunggu para bapak-bapak pulang. Aryanti melarang ketika aku ingin membantunya mempersiapkan meja makan."Udah kamu duduk sing manis saja, Mbak. Kamu itu tamu kok, wajar saja kalo kami layani," kilah Aryanti sembari menata piring."Iya, Budhe kan jarang main ke sini," timpal Bening membenarkan omongan ibunya.Aku hanya bisa menurut. Tidak lama kaum pria datang. Kami makan malam bersama. Untung Aryanti punya meja makan yang lumayan besar. Sehingga mampu menampung sepuluh orang dalam waktu yang bersamaan. Kebetulan juga bayi Aryanti sudah tidur sehingga dia bisa ikut makan besar ini.Makan malam ini berlangsung dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Tidak kusangka suami Aryanti punya selera humor yang tinggi. Beberapa candaannya pecah hingga mengundang gelak tawa kami semua.Baru pada kali ini aku melihat seorang Nona tertawa den