Perdebatan Bayu dan Sita semakin panas. Saat ini ia benar-benar marah, yang jelas Sita tidak bisa mengganti uang Bayu.“Untuk saat ini aku nggak bisa mengganti uangmu. lagipula kamu kan adikku, percuma dong kamu punya duit banyak tapi nggak bisa membantu keluargamu sendiri,” ujar Sita memberi alasan padahal memang dia enggan untuk membayar hutangnya pada Bayu. “Bagiku hutang ya tetap hutang, tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga. Ingat, Mbak, dalam uang tidak ada kata saudara. Mbak berani meminjam berarti juga harus berani untuk mengganti bukan mengelak seperti ini dan banyak alasannya. Aku butuh uangku, lagian gak malu apa pinjam uang sama si pelit ini? Aku orang pelit lho Mbak.”Bayu terus mendesak Sita bagaimanapun uangnya yang dipinjam Sita harus segera diganti. Namun, Sita tetap menolak untuk membayar hutangnya pada Bayu. ia langsung berdiri dan menarik tangan Bu Nurma mengajak untuk pulang. Bayu hanya bisa mengelus dada dan menggeleng kepala. Semakin ke sini perangai kakakn
“S-suara apaan sih? Gak ada suara kok.”“Jangan bohong kamu! Aku jelas-jelas denger suara perempuan. Kamu selingkuh ha?!”“Apaan sih, kamu salah dengar berarti. Gak usah yang aneh-aneh deh.”“Yaudah coba video call kalau begitu biar aku tau kamu bohong atau enggak.”“Ngapain sih? Aku nih lagi sibuk. Gak sempet terima video call dari kamu.”Setelah itu, Fahmi mendadak langsung mematikan sambungan teleponnya. “Lho, kok mati? Mas! Maas Fahmi! Halo! Ck, kok mati sih? Ini pasti ada yang gak beres nih. Awas aja kamu, Mas, aku potong burungmu itu kalau berani macam-macam.”Sita semakin curiga kalau Fahmi sudah berbohong dan menduakannya. Wanita itu kembali mencoba menghubungi suaminya. Akan tetapi, tidak kunjung diangkat-angkat hingga panggilan kelima tiba-tiba ponsel Fahmi sudah tidak aktif. Sita menjadi gelisah dan perasaannya tidak tenang. Wanita itu langsung saja mengambil kunci motor bututnya. Motor miliknya yang sudah lama tidak dia gunakan karena kemarin-kemarin ada motor yang Bayu
“Apa? P-polisi? Jangan main-main kamu, Sit!” Wajah Fahmi tampak pias saat mendengar sang istri pertama mengatakan akan melaporkannya ke polisi. “Iya nih kamu jadi istri jangan durhaka ya, Sit. Masa suami sendiri kau dilaporkan ke polisi.” Miska menimpali. “Terserah aku dong kenapa kamu yang sewot? Terima saja resikonya karena sudah bermain api maka akan terbakar dengan apinya.”Fahmi yang mendengar ucapan Sita sontak langsung bersimpuh di kaki sang istri. Tidak mau menanggung masalah terlalu jauh atas kelakuannya menduakan istrinya. Fahmi meminta untuk tidak dilaporkan ke polisi, mengingat ia punya dua anak yang harus dinafkahi dan tidak mau menanggung malu atas nama keluarga.“Ck, kamu tetap aja gak bisa lakukan itu, Sita ini tidak ada hubungannya dengan kepolisian. Ini hanya masalah keluarga dan akan diselesaikan secara kekeluargaan juga,” ujar Fahmi agar Sita mau berubah pikiran. Sayangnya Sita tidak sebodoh itu. Dia sangat tau pasal tentang perselingkuhan memang bisa dilaporkan
Bu Tini tampak menelan salivanya sembari menatap Sita. Ia tidak menyangka permasalahan sang anak akan berimbas pada dirinya. Ia akui kalau selama ini memang Sita menantu yang baik. Apa yang dia butuhkan diberikan oleh Sita. Biasanya sebulan sekali Sita akan memberinya uang bulanan sebanyak 1 juta rupiah. Dulu sebelum Bayu pergi ke Kalimantan, Fahmi masih sangat royal pada Sita dan Sita tentu membagi uang yang diberikan Fahmi untuknya. Namun, entah kenapa, beberapa bulan setelah kepergian Bayu ke Kalimantan Fahmi mulai pelit pada Sita. Uang bulanan hanya dikirim Fahmi ke Sita sebanyak 2 juta terkadang 3 juta saja. Itu pun harus Sita bagi pada bu Tini. Beruntung Sita selalu mendapatkan uang rampasan dari Amel. Uang yang Bayu kirimkan untuk Amel tentu tidak dimakan bu Nurma sendiri melainkan dibagi oleh Sita sebanyak 3 juta sedangkan sisanya untuk bu Nurma sendiri. Pernah bu Tini memperingatkan Fahmi perihal dirinya yang akan menikah siri dengan Miska kala itu. Namun, Fahmi mengatakan
DdrrttDdrrttPonsel Bayu berdering dan bergetar. Bayu yang saat ini sedang menemani sang anak bermain sementara sang istri sedang memasak mengalihkan atensinya dan melihat ponsel yang ia letakkan tepat di atas meja yang ada di depannya. Tidak ada nama, Bayu mengerutkan dahi. Biasanya Bayu memang malas kalau untuk mengangkat telepon yang tidak dikenalnya. Bukan apa-apa, biasanya itu hanya kerjaan orang iseng. Ddrrtt. Ddrrtt. Lagi-lagi ponselnya berbunyi, Amel yang keluar dari dapur untuk menyimpan kembali bahan masakan ke kulkas sontak mengernyit. Pasalnya Bayu tampak bingung. “Mas, itu ponselmu bunyi, kamu kenapa kayak orang bingung?”“Gak ada namanya, Dek, males ah nanti itu pasti orang iseng.”“Lha kalau itu telpon dari orang penting gimana? Kan kemarin kita pasang nomor di depan tanah mendiang orang tuaku. Mana tau itu orang yang mau beli tanah kan?” Bayu menepuk dahinya. Arka yang melihat tiba-tiba mengikuti apa yang sang ayah lakukan. Sontak membuat Bayu dan Amel tergelak.
“Nggak! Pokoknya Ibu nggak ngijinin kamu bawa anak dan istrimu ke Kalimantan. Atau jangan-jangan kamu udah nggak peduli lagi sama Ibu? Nggak mau lagi membantu ekonomi Ibu? Ingat, Bayu, ayahmu sudah nggak ada, siapa yang akan memberi ibu uang kalau kalian pergi? Kamu mau jadi durhaka?” “Aku tahu Ayah sudah nggak ada, dan aku ngerti arah ucapan Ibu. Tapi bukan berarti Ibu melarang anak dan istriku untuk ikut denganku. Sudah seharusnya begitu, aku ini kepala rumah tangga dan mereka tanggung jawabku. Seharusnya Ibu mendukung dan senang dengan apa yang aku lakukan bukan malah melarangnya. Terus terang kalau Amel dan Arka tinggal di sini, aku nggak yakin kalau Ibu dan mbak Sita yang akan menjaga mereka. Yang udah-udah kalian bohong dan malah memfitnahku. Hampir saja rumah tanggaku hancur karena kalian. Yang sudah terjadi aku nggak mau terulang lagi. Lagian bukannya setiap bulan ibu masih dapat uang pensiunannya Ayah? 2,5 juta lho ibu netima setiap bulan. Setiap bulan juga aku memberika ib
Bayu tampak menghela napasnya berkali-kali. Sedangkan Amel menatap pilu ke arah sang suami. Amel seolah dapat merasakan apa yang dirasa oleh sang suami hanya saja mulutnya bungkam sebab tak tahu harus mengatakan apa. Amel sadar jika dirinya bersuara pasti akan menambah kemurkaan sang mertua. Bayu tanpa kata langsung menggamit tangan sang istri dan mengajaknya pulang. Namun, belum sempat Amel dan Bayu berbalik badan tiba-tiba saja Amel menjerit sebab ada yang menarik jilbab yang dikenakannya hingga membuat kepalanya mendongak. “Mbak Sita! Apa yang kamu lakukan! Lepaskan dia, Mbak!” teriak Bayu saat melihat ternyata kakaknya lah yang melakukan hal itu pada sang istri. “Gak akan! Gara-gara perempuan murahan dan rendahan ini keluarga kita jadi kacau balau seperti ini! Kenapa kau hadir di dalam kehidupan kami sih? Kenapa kau tak mati kelaparan saja sejak kemarin ha!”Bayu setengah mati mencoba memisahkan Sita dengan menarik tangan sang kakak dari kepala Amel, tetapi sia-sia. Tenaga Sita
“Dek.”“Ya, Mas.”“Kamu capek nggak?” tanya Bayu. Suara dan hembusan napas hangatnya menerpa tengkuk Amel dan tangannya memeluk pinggang sang istri dari belakang membuat bulu kuduk wanita itu meremang. Amel menggigit bibirnya kecil, ia paham ke mana arah ucapan sang suami. Hanya saja ia malu untuk memulainya terlebih dahulu. “Kenapa, Mas? “Emm aku pengen, boleh?”Amel mengangguk pelan. Bayu membisikkan kata ‘terima kasih’ kembali pada sang istri dan lagi-lagi hal itu membuat bulu roma Amel berdiri. Malam itu Bayu dan Amel kembali menyatukan cinta mereka dan menyelami indahnya lautan asmara. Suara-suara indah yang keluar dari kedua bibir mereka beriringan dengan suara jangkrik membuat malam itu semakin terasa syahdu. Bayu mengecup dahi Amel berkali-kali setelah pelepasan dirinya. “Semoga jadi adiknya Arka ya, Dek,” ucap Bayu saat membaringkan tubuhnya di samping sang istri. Masih dengan dibalut selimut, Bayu memeluk istrinya sembari sesekali menyeka keringat di wajah Amel. “Arka
“Siapa mereka? Kok tiba-tiba ada di depan rumahku? Apa jangan-jangan … ah tidak mungkin, bukankah tidak ada satu pun yang tahu tentang aku dan anakku? Dan tidak mungkin mas Fahmi yang mengadukan aku ke polisi.” Pikiran Sita menjadi kacau seketika. Sita belum mau membukakan pintu sebab dia masih ragu akan keselamatannya di mana dia juga seorang diri, tidak ada orang lain di rumahnya. “Permisi, Ibu Sita!” Kembali Sita mendengar suara pintu rumah diketuk dan namanya juga disebut oleh salah satu dari mereka. “Duh gimana ini, aku belum siap menghadapi mereka. Dan nggak mungkin mas Fahmi mengadukan semuanya ke polisi, aku ini kan ibunya Rifki aku juga berhak atas anakku.” Tubuh Sita seperti gemetaran. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang. Di sekeliling rumahnya pun sudah banyak orang yang memperhatikan seakan ingin tau apa lagi yang terjadi dengan Sita. Karena tidak kunjung dibuka, kedua orang itu menanyakan ke tetangga Sita yang bernama Reni.“Apa Ibu Sita ada di rumahnya?” “Seper
Di perjalanan pulang, Fahmi berniat untuk mendatangi Sita di rumahnya sebab dia tidak menemukan mantan istrinya itu saat menjemput anaknya di jalan tadi. Namun, Bu Tini melarangnya.“Sebaiknya kita langsung pulang saja, percuma kalau kamu ribut dengannya sudah pasti kamu yang kalah. Ibu tau persis watak dan kelicikan mantan istrimu itu. Dia nggak akan semudah itu untuk mengakui kesalahannya,” titah Bu Tini pada Fahmi yang tengah fokus mengendarai sepeda motornya.“Tapi, Bu, aku harus membuat perhitungan dengannya. aku ini juga ayahnya Rifku, aku jelas nggak akan terima kalau anakku disakiti dengan cara seperti ini, Bu.” “Ibu mengerti perasaanmu, tapi kita harus cari waktu yang tepat untuk melawannya, percayalah akan tiba saatnya untuk kita bisa menang melawan Sita. Tapi yang pasti tidak sekarang” Mendengar perkataan sang Ibu, Fahmi akhirnya mengurungkan niatnya untuk melabrak Sita, dan terus melajukan sepeda motornya menuju rumah.Bu Tini sebenarnya tidak ingin terjadi sesuatu pada
Kesabaran Bu Tini akhirnya membuahkan hasil, apa yang dia pikirkan terjawab sudah. Semua jawabannya sudah di depan mata, hanya saja dia tidak habis pikir anak seusia Rifki kok ada di tempat keramaian seperti ini. Entah di mana Sita, karena wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Bu Tini merasakan shock saat anak yang dia lihat ternyata benar Rifki meski awalnya dia sudah mengantisipasi. Tanpa berpikir lagi, wanita tua itu langsung memeluk cucunya dengan erat. Fahmi yang melihat dari kejauhan mulai melangkah dan mendekati sang anak. Alangkah terkejutnya dia sebab anaknya yang seharusnya berada di rumah bersama Ibunya, tetapi sekarang justru berada di tempat seperti itu. Rasa bersalah bercampur dengan emosi menyatu dalam diri Fahmi, karena dia seorang ayah seharusnya melindungi, tetapi malah seperti menelantarkan anaknya. Tentu saja luapan kemarahannya tertuju pada Sita.“Rifki, kenapa kamu ada di sini, Nak?” tanya Bu Tini pada Rifki.“Nenek, aku … hmm … aku di sini sama Ibu,”
Tak sabar rasanya, Bu Tini ingin sekali kembali ke tempat itu, di mana dia melihat sosok Rifki yang tengah digandeng oleh seseorang dengan pakaian yang sangat lusuh. Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak dan tidak tenang selalu dibayang-bayangi kehadiran cucunya. Entah kenapa, Bu Tini tidak ada menaruh rasa percaya pada Sita sedikit pun. ***Keesokan harinya, Bu Tini kembali mengajak dan mendesak Fahmi untuk diantarkan kembali ke simpang lampu merah tempat dia melihat sosok Rifki pertama kali. keyakinan serta rasa penasarannya pada sosok anak kecil itu begitu kuat. “Ibu yakin mau ke situ lagi? Apa nggak kita ke rumah Sita aja terlebih dahulu?” Fahmi sengaja mengalihkan apa yang ada di pikiran Ibunya, setidaknya keinginan Ibunya itu hanya mau bertemu dengan Rifki.“Enggak! Ibu mau kamu juga ikut cari tau apa yang terjadi pada anakmu, memangnya kamu tidak penasaran apa? Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rifki kamu juga tidak akan Ibu maafkan, ngerti kamu!?” sentak Bu Tini pada Fahmi.
Entah kenapa Bu tini punya firasat kalau yang dia lihat adalah betul Rifki, tetapi dia harus lebih memastikan kalau dugaannya benar. Perhatiannya tidak lepas dari anak yang sangat mirip dengan cucunya itu.“Eh eh, berhenti Fahmi,” ucap Bu Tini sambil menepuk bahu Fahmi yang sedang fokus melihat jalan. “Iya ada apa sih, Bu?” Fahmi menoleh pada Ibunya.“Coba deh kamu lihat anak itu, sepertinya tidak asing bagi Ibu, fisiknya sangat mirip dengan Rifki.” Fahmi menoleh ke arah yang ditunjuk bu Tini. Dia menajamkan penglihatannya. Meski menurut Fahmi memang mirip, tetapi masa iya anaknya afa di tempat seperti itu? “Ah, negak mungkin itu Rifki, Ibu salah lihat kali. Nggak mungkin anakku jadi pengemis.” Pandangan Fahmi juga tidak lepas dari sosok anak yang dia lihat, tetapi dia belum percaya kalau itu adalah anaknya. Pasalnya anak itu terlihat sedang meminta-minta di sekitar lampu merah bersama seorang perempuan paruh baya. Fahmi berusaha meyakinkan kalau Bu Tini kalau dia hanya salah l
Percakapan Amel dan Ibu markonah didengar oleh Ibu-Ibu yang lainnya yang juga lagi belanja di warung tempat langganan mereka. Wajar saja karena setiap pagi adalah waktu untuk membeli bahan untuk dimasak setiap harinya. Begitu juga dengan Amel yang sudah menjadi kegiatannya setiap hari. Ditambah dia harus mengurus sang mertua.Bu markonah tampak kesal karena diminta harus melunasi hutangnya terlebih dahulu jika mau pinjam uang lagi. Apalagi di depan orang banyak, tentunya dia merasa sangat malu jika yang lain pada tahu kalau dirinya punya hutang pada warga baru seperti Amel. Padahal selama ini dia selalu menghina Amel miskin hanya karena tampilannya yang sederhana. “Ck, halah duit segitu aja diminta terus, kayak orang susah. Katanya orang kaya masa hutang nggak seberapa diributin, nggak malu apa?” ujar Bu Markonah dengan expresi wajah mengejek. Dia berusaha membalikan keadaan seolah Amel yang menjadi penyebab keributan.“loh-loh ada apa ini, Mel?” tanya Mila sambil mendekati Amel.“i
Hari pertama Rifki bersama Ibunya sangat membuatnya senang dan gembira, yang biasa dirasakan di kalangan anak-anak se usianya pada umumnya. Tidak heran, karena anak laki-laki akan cenderung lebih dekat dengan sang Ibu. kerinduannya pun terobati, wajah ceria terpancar dari wajah anak itu.Pagi itu Rifki dibangunkan Sita serta diberi sarapan, tidak seperti biasanya yang dialaminya sewaktu tinggal bersama ayah dan neneknya. Bangun siang adalah hal yang lumrah bagi mereka sebab sang anak masih sangat dini untuk dimintai bangun pagi. Namun, sang anak tentu belum bisa berpikir seperti orang dewasa. baginya dekat dengan sang Ibu adalah kebahagiaan yang selalu ingin dia rasakan. begitu juga dengan Rafa. Hanya saja Sita cuma ingin salah satu dari mereka. “Bu, aku pengen sekolah dong. Aku juga mau kayak teman-teman sekolah dan bisa main sama mereka. Aku juga ingin jajan, Bu.” Ucapan itu membuat Sita yang sedang menyuapi Rifki menghentikan gerakan ta
“Pagi, Sita, kamu mau ke mana?” tanya Reni. Kebetulan hari itu Reni dan keluarganya mau pergi jalan-jalan. Biasanya tak.jauh dari rumahnya tepat di stadion Joyo Kusumo kalau setiap hari minggu selalu ramai. Jadi mumpung hari libur, pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk berangkat.“Iya pagi!” jawab Sita ketus. Akan tetapi, Reni mengabaikan jawaban dari Sita. pasalnya dia sudah tau bagaimana karakter Sita. Mereka bertetangga, tetapi tidak dengan hati mereka. Ya begitu lah Sita, hanya mementingkan dirinya sendiri. Sita juga masih kesal pada tetangganya itu. Pasalnya dulu dia pernah meminjam sejumlah uang yang cukup besar pada tetangganya itu, tetapi tidak didapatkannya. Dan akhirnya Sita kesal lalu membenci Reni. Sita menganggap yang tidak satu frekuensi dengannya adalah musuh bagi dirinya. Seperti yang sudah direncanakan, Sita akan menjemput anaknya di rumah mantan mertuanya. Dengan menggunakan motor yang dia beli bebe
“Tuh lihat, manusia kejam yang tega menghancurkan hidup keluarganya sendiri, dulu adiknya sekarang ibunya. Dasar manusia serakah dan tak tau diri. Perempuan seperti itu tak pantas dianggap keluarga,” ujar tetangga Sita yang sedang belanja di tukang sayur keliling di dekat rumahnya. Intonasi suaranya sengaja dia buat tinggi agar Sita mendengar. Yah, sudah menjadi rahasia umum perlakuan Sita pada bu Nurma. Mereka yang awalnya mengira Sita anak yang berbakti karena mau merawat bu Nurma yang lumpuh nyatanya hanya tipu daya belaka. Sita justru mengeksploitasi ibunya sendiri. Miris ….“Kemarin kalau gak salah si Bayu sam Amel pulang bawa si Nurma kan? Pantas dia tinggal sendirian sekarang. Memang dia itu anak durhaka. seperti yang kita tahu kalau selama ini si Nurma kan lebih cenderung sayang ke dia. Eh bukannya balas budi malah menyiksa orang tuanya sendiri, kalau aku sih amit-amit punya anak kayak gitu. Setidaknya kalau belum bisa membahagiakan orang tua ya jangan menyus