“Dek.”“Ya, Mas.”“Kamu capek nggak?” tanya Bayu. Suara dan hembusan napas hangatnya menerpa tengkuk Amel dan tangannya memeluk pinggang sang istri dari belakang membuat bulu kuduk wanita itu meremang. Amel menggigit bibirnya kecil, ia paham ke mana arah ucapan sang suami. Hanya saja ia malu untuk memulainya terlebih dahulu. “Kenapa, Mas? “Emm aku pengen, boleh?”Amel mengangguk pelan. Bayu membisikkan kata ‘terima kasih’ kembali pada sang istri dan lagi-lagi hal itu membuat bulu roma Amel berdiri. Malam itu Bayu dan Amel kembali menyatukan cinta mereka dan menyelami indahnya lautan asmara. Suara-suara indah yang keluar dari kedua bibir mereka beriringan dengan suara jangkrik membuat malam itu semakin terasa syahdu. Bayu mengecup dahi Amel berkali-kali setelah pelepasan dirinya. “Semoga jadi adiknya Arka ya, Dek,” ucap Bayu saat membaringkan tubuhnya di samping sang istri. Masih dengan dibalut selimut, Bayu memeluk istrinya sembari sesekali menyeka keringat di wajah Amel. “Arka
Tidak lama setelah Arka di rontgen bl dan tes mantoux juga segala macamnya, akhirnya dinyatakan kalau Arka memang benar positif TB.“Ini, Pak, rekap hasil pemeriksaan anak Arka. Sebetulnya anak Pak Bayu dan Bu Amel sudah mengidap TB sejak lama tapi untungnya segera dibawa ke rumah sakit. Jadi saya sarankan untuk menjaganya dari polusi terutama asap rokok. Apakah pak Bayu merokok?” tanya DSA pada Bayu. “Kebetulan saya tidak merokok, Dok.”“Syukurlah kalau seperti itu. Meski penyebab utama penyakit TB pada anak biasanya dari penularan penderita lainnya tapi kemungkinan karena asap rokok maupun polusi juga bisa terjadi. Sebaiknya memang menjaga karena itu memang lebih baik. Ini resep obatnya silakan tebus di bagian farmasi. Saran saya juga sebaiknya Bapak dan Ibu mengurus asuransi kesehatan mandiri seperti BPJS atau bisa ke puskesmas dan melakukan pengobatan TB secara gratis. Karena Arka harus menjalani pengobatan selama 6 bulan berturut-turut. Dan lagi saran saya juga sebaiknya bapak
“Ternyata omongan Sita bukan hanya gertakan sambal saja, Mas. Dia beneran serius dengan ucapannya. Gimana ini, Mas?” Miska dan Fahmi tentu gelisah. Jeruji besi dan dinginnya lantai penjara sudah menari-nari di pelupuk mata keduanya. “Mas, ini gimana? Kok kamu malah diam aja sih?” Miska menyentak sang suami dan menggoyang-goyangkan tubuh Fahmi. “Ck, ya mana aku tahu, Mis. Aku juga pikir Sita cuman gertak aja. Gak taunya beneran.”“Ya kamu mikir dong. Kan kamu suamiku jadi kamu harus bertanggung jawab sama ini semua. Aku gak mau ya kalau sampai tidur di penjara.”“Gimana kalau kita kabur aja? Kita bisa pergi lewat pintu belakang.”“Kali ini aku gak setuju sama idemu, Mas. Kalau ketahuan yang ada kena dor nanti kaki kita berdua. Ih amit-amit aku gak mau jadi pincang.”Di saat keduanya masih sibuk berdebat tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Tok. Tok. Tok. Suara ketukan itu semakin membuat Fahmi dan Miska memucat. Karena takut, pintu tidak kunjung mereka buka. Mereka melihat me
Sita sudah menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Bu Tini jika memang ia ingin Fahmi dibebaskan dan tidak bisa diubah lagi. Keputusan Sita sudah bulat. Sita beranjak dari tempatnya berdiri, tetapi baru dua langkah ia kembali membalikkan badan. “Ibu masih bisa pikirkan lagi dan aku kasih waktu 24 jam saja. Setelah itu nggak akan ada lagi yang namanya toleransi.”Bu Tini tertunduk pilu mendengar keputusan Sita yang menurutnya sangat berat. Ada terbesit penyesalan dalam hatinya. Namun, apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur dan ia harus terima konsekuensinya. Siapa pun bila dikhianati pasti akan sakit hati. Setelah itu Sita kembali membalikkan badan lalu melangkah pergi. Bahkan, dia tidak sampai bertanya perihal di mana anak-anaknya. Untuk saat ini Sita memang lagi tidak peduli dengan kedua anaknya. Entah terbuat dari apa hati perempuan itu. Padahal biasanya seorang Ibu akan sangat berat bila berjauhan dengan buah hatinya. Namun lain dengan Sita, dia hanya memikirkan dirinya
“Sudahlah Miska, kita butuh uang sekarang, apa kamu nggak mikir kalau kamu sedang hamil anak kita. Memangnya kamu mau mendekam di penjara lebih lama?” Miska menggeleng. “Nah, makanya ikuti saja kata Ibu atau tidur di penjara selama satu tahun kamu pilih mana? Aku juga ngerti perasaanmu tapi gak ada yang bisa kita lakukan selain menggadaikan tanah milik kamu toh itu juga pemberian dariku kan?”“Seandainya kita tidak pulang ke rumah orang tuamu, semua ini tidak akan terjadi.” Miska masih terus saja menyesali apa yang sudah terjadi pada dirinya. “Cukup Miska! Jangan menyalahkan aku lagi. Aku ajak kamu ke rumah ibu kan juga kamu yang mau. Apa kamu lupa kalau kamu yang pernah minta agar kita terang-terangan ke Sita soal hubungan kita? Sekarang udah begini, dia udah tau, kamu malah nyalahin aku. Kita berdua sama-sama salah, ngerti kamu!” bentak Fahmi pada Miska. Kesabarannya benar-benar setipis tisyu.***“Selamat siang, Ibu.” Suara bu Tini terdengar di depan pintu rumah seseorang. Kebet
“Heh, orang baru ya?! Seharusnya sungkem dulu dong sama yang lebih senior di sini jangan main masuk aja! Dasar gak sopan!”Langkah Amel dan juga Bayu terhenti. Keduanya menoleh ke arah si pemilik suara. Tepat di sebelah kiri dinding rumah mereka berbatasan dengan rumah tetangga sebagaimana pada umumnya perumahan. Namun, dibatasi dengan dinding sebatas dada dan dikelilingi pagar berwarna putih. Semua memang sudah Bayu persiapkan sedemikian rupa agar saat istri dan anaknya datang sudah nyaman. “Maaf, ibu bicara sama kami?” tanya Amel pada perempuan paruh baya itu. Matanya sejak tadi menelisik pada barang-barang yang ada di tangan Bayu dan Amel. Dia juga menelisik penampilan Amel dari atas hingga bawah. Bibirnya yang bergincu merah juga komat kamit tak jelas. Entah apa yang dia gumamkan, tetapi jelas dari tatapannya wanita itu seperti tidak suka melihat kehadiran Bayu juga Amel. “Ya Iyalah, siapa lagi kalau bukan kalian! Kalian penghuni baru kan? Kalian pasti ngontrak di rumah itu ya?!
Wanita yang ditanyai Amel tersenyum lalu menjawab, “Ah maaf kalau kedatangan saya mengganggu, Mbak, ini ada gulai ayam kebetulan tadi saya masaknya kebanyakan. Sekalian mau kenalan, nama saya Mila, rumah saya persis di sebelah rumah mbaknya ini.”“Ah iya, kenalkan, nama saya Amelia biasa dipanggil Amel. Mari mbak Mila masuk.” Mila mengangguk, sebelum masuk ia menyerahkan mangkuk itu pada Amel. Amel berjalan di depan dan Mila mengekor di belakang Amel. “Silakan duduk, Mbak, maaf saya tinggal sebentar ke belakang mau bilas anak saya tadi habis makan.”“Ah saya mengganggu ya?”“Tidak kok, Mbak, kebetulan juga sudah selesai.”Setelahnya Amel menghampiri Arka dan meletakkan semangkuk gulai ayam itu ke atas meja. Setelah membasuh mulut dan tangan Arka, Amel juga menggantikan kaos yang dikenakan Arka sebab terkena ceceran makanan tadi. Setelah bersih Arka ia dudukkan di depan televisi sembari diberi mainan agar anak itu anteng sedangkan Amel menghampiri Mbk Mila kembali. Amel tidak perlu me
“Oke deh, Mil, kalo gitu. Berarti aku harus lebih hati-hati sama Bu Markonah ya?” Mila mengangguk.Semakin lama Amel dan Mila semakin akrab tanpa terasa malam semakin larut dan jam menunjukan pukul 19.40 hampir jam delapan. Di saat mereka masih asyik bercengkrama tiba-tiba terdengar suara dari arah luar. “Assalamualaikum.” Ternyata Bayu sudah kembali dari masjid. “Waalaikumsalam.” Amel dan Mila menjawab salam Bayu bebarengan.Bayu yang baru tiba di rumah sedikit terkejut ternyata ada tamu dan melirik ke arah wanita yang duduk di samping istrinya sekilas. “Mas Bayu udah pulang? Ini loh, Mas, tetangga sebelah kita.”“Sebelah kita kan yang tadi pagi absurd itu, lha ini kok beda?”“Ish, Mas Bayu nih, kan sebelah ada banyak ada kanan kiri depan belakang. Juga disebut sebelah.”“Jadi ini yang sebelah mana?”“Tuh sebelah kanan rumah kita.” Bayu mengangguk-anggukan kepalanya. Amel pun mengenalkan Bayu pada Mila dan Bayu menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan masing-masing saling m
“Siapa mereka? Kok tiba-tiba ada di depan rumahku? Apa jangan-jangan … ah tidak mungkin, bukankah tidak ada satu pun yang tahu tentang aku dan anakku? Dan tidak mungkin mas Fahmi yang mengadukan aku ke polisi.” Pikiran Sita menjadi kacau seketika. Sita belum mau membukakan pintu sebab dia masih ragu akan keselamatannya di mana dia juga seorang diri, tidak ada orang lain di rumahnya. “Permisi, Ibu Sita!” Kembali Sita mendengar suara pintu rumah diketuk dan namanya juga disebut oleh salah satu dari mereka. “Duh gimana ini, aku belum siap menghadapi mereka. Dan nggak mungkin mas Fahmi mengadukan semuanya ke polisi, aku ini kan ibunya Rifki aku juga berhak atas anakku.” Tubuh Sita seperti gemetaran. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang. Di sekeliling rumahnya pun sudah banyak orang yang memperhatikan seakan ingin tau apa lagi yang terjadi dengan Sita. Karena tidak kunjung dibuka, kedua orang itu menanyakan ke tetangga Sita yang bernama Reni.“Apa Ibu Sita ada di rumahnya?” “Seper
Di perjalanan pulang, Fahmi berniat untuk mendatangi Sita di rumahnya sebab dia tidak menemukan mantan istrinya itu saat menjemput anaknya di jalan tadi. Namun, Bu Tini melarangnya.“Sebaiknya kita langsung pulang saja, percuma kalau kamu ribut dengannya sudah pasti kamu yang kalah. Ibu tau persis watak dan kelicikan mantan istrimu itu. Dia nggak akan semudah itu untuk mengakui kesalahannya,” titah Bu Tini pada Fahmi yang tengah fokus mengendarai sepeda motornya.“Tapi, Bu, aku harus membuat perhitungan dengannya. aku ini juga ayahnya Rifku, aku jelas nggak akan terima kalau anakku disakiti dengan cara seperti ini, Bu.” “Ibu mengerti perasaanmu, tapi kita harus cari waktu yang tepat untuk melawannya, percayalah akan tiba saatnya untuk kita bisa menang melawan Sita. Tapi yang pasti tidak sekarang” Mendengar perkataan sang Ibu, Fahmi akhirnya mengurungkan niatnya untuk melabrak Sita, dan terus melajukan sepeda motornya menuju rumah.Bu Tini sebenarnya tidak ingin terjadi sesuatu pada
Kesabaran Bu Tini akhirnya membuahkan hasil, apa yang dia pikirkan terjawab sudah. Semua jawabannya sudah di depan mata, hanya saja dia tidak habis pikir anak seusia Rifki kok ada di tempat keramaian seperti ini. Entah di mana Sita, karena wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Bu Tini merasakan shock saat anak yang dia lihat ternyata benar Rifki meski awalnya dia sudah mengantisipasi. Tanpa berpikir lagi, wanita tua itu langsung memeluk cucunya dengan erat. Fahmi yang melihat dari kejauhan mulai melangkah dan mendekati sang anak. Alangkah terkejutnya dia sebab anaknya yang seharusnya berada di rumah bersama Ibunya, tetapi sekarang justru berada di tempat seperti itu. Rasa bersalah bercampur dengan emosi menyatu dalam diri Fahmi, karena dia seorang ayah seharusnya melindungi, tetapi malah seperti menelantarkan anaknya. Tentu saja luapan kemarahannya tertuju pada Sita.“Rifki, kenapa kamu ada di sini, Nak?” tanya Bu Tini pada Rifki.“Nenek, aku … hmm … aku di sini sama Ibu,”
Tak sabar rasanya, Bu Tini ingin sekali kembali ke tempat itu, di mana dia melihat sosok Rifki yang tengah digandeng oleh seseorang dengan pakaian yang sangat lusuh. Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak dan tidak tenang selalu dibayang-bayangi kehadiran cucunya. Entah kenapa, Bu Tini tidak ada menaruh rasa percaya pada Sita sedikit pun. ***Keesokan harinya, Bu Tini kembali mengajak dan mendesak Fahmi untuk diantarkan kembali ke simpang lampu merah tempat dia melihat sosok Rifki pertama kali. keyakinan serta rasa penasarannya pada sosok anak kecil itu begitu kuat. “Ibu yakin mau ke situ lagi? Apa nggak kita ke rumah Sita aja terlebih dahulu?” Fahmi sengaja mengalihkan apa yang ada di pikiran Ibunya, setidaknya keinginan Ibunya itu hanya mau bertemu dengan Rifki.“Enggak! Ibu mau kamu juga ikut cari tau apa yang terjadi pada anakmu, memangnya kamu tidak penasaran apa? Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rifki kamu juga tidak akan Ibu maafkan, ngerti kamu!?” sentak Bu Tini pada Fahmi.
Entah kenapa Bu tini punya firasat kalau yang dia lihat adalah betul Rifki, tetapi dia harus lebih memastikan kalau dugaannya benar. Perhatiannya tidak lepas dari anak yang sangat mirip dengan cucunya itu.“Eh eh, berhenti Fahmi,” ucap Bu Tini sambil menepuk bahu Fahmi yang sedang fokus melihat jalan. “Iya ada apa sih, Bu?” Fahmi menoleh pada Ibunya.“Coba deh kamu lihat anak itu, sepertinya tidak asing bagi Ibu, fisiknya sangat mirip dengan Rifki.” Fahmi menoleh ke arah yang ditunjuk bu Tini. Dia menajamkan penglihatannya. Meski menurut Fahmi memang mirip, tetapi masa iya anaknya afa di tempat seperti itu? “Ah, negak mungkin itu Rifki, Ibu salah lihat kali. Nggak mungkin anakku jadi pengemis.” Pandangan Fahmi juga tidak lepas dari sosok anak yang dia lihat, tetapi dia belum percaya kalau itu adalah anaknya. Pasalnya anak itu terlihat sedang meminta-minta di sekitar lampu merah bersama seorang perempuan paruh baya. Fahmi berusaha meyakinkan kalau Bu Tini kalau dia hanya salah l
Percakapan Amel dan Ibu markonah didengar oleh Ibu-Ibu yang lainnya yang juga lagi belanja di warung tempat langganan mereka. Wajar saja karena setiap pagi adalah waktu untuk membeli bahan untuk dimasak setiap harinya. Begitu juga dengan Amel yang sudah menjadi kegiatannya setiap hari. Ditambah dia harus mengurus sang mertua.Bu markonah tampak kesal karena diminta harus melunasi hutangnya terlebih dahulu jika mau pinjam uang lagi. Apalagi di depan orang banyak, tentunya dia merasa sangat malu jika yang lain pada tahu kalau dirinya punya hutang pada warga baru seperti Amel. Padahal selama ini dia selalu menghina Amel miskin hanya karena tampilannya yang sederhana. “Ck, halah duit segitu aja diminta terus, kayak orang susah. Katanya orang kaya masa hutang nggak seberapa diributin, nggak malu apa?” ujar Bu Markonah dengan expresi wajah mengejek. Dia berusaha membalikan keadaan seolah Amel yang menjadi penyebab keributan.“loh-loh ada apa ini, Mel?” tanya Mila sambil mendekati Amel.“i
Hari pertama Rifki bersama Ibunya sangat membuatnya senang dan gembira, yang biasa dirasakan di kalangan anak-anak se usianya pada umumnya. Tidak heran, karena anak laki-laki akan cenderung lebih dekat dengan sang Ibu. kerinduannya pun terobati, wajah ceria terpancar dari wajah anak itu.Pagi itu Rifki dibangunkan Sita serta diberi sarapan, tidak seperti biasanya yang dialaminya sewaktu tinggal bersama ayah dan neneknya. Bangun siang adalah hal yang lumrah bagi mereka sebab sang anak masih sangat dini untuk dimintai bangun pagi. Namun, sang anak tentu belum bisa berpikir seperti orang dewasa. baginya dekat dengan sang Ibu adalah kebahagiaan yang selalu ingin dia rasakan. begitu juga dengan Rafa. Hanya saja Sita cuma ingin salah satu dari mereka. “Bu, aku pengen sekolah dong. Aku juga mau kayak teman-teman sekolah dan bisa main sama mereka. Aku juga ingin jajan, Bu.” Ucapan itu membuat Sita yang sedang menyuapi Rifki menghentikan gerakan ta
“Pagi, Sita, kamu mau ke mana?” tanya Reni. Kebetulan hari itu Reni dan keluarganya mau pergi jalan-jalan. Biasanya tak.jauh dari rumahnya tepat di stadion Joyo Kusumo kalau setiap hari minggu selalu ramai. Jadi mumpung hari libur, pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk berangkat.“Iya pagi!” jawab Sita ketus. Akan tetapi, Reni mengabaikan jawaban dari Sita. pasalnya dia sudah tau bagaimana karakter Sita. Mereka bertetangga, tetapi tidak dengan hati mereka. Ya begitu lah Sita, hanya mementingkan dirinya sendiri. Sita juga masih kesal pada tetangganya itu. Pasalnya dulu dia pernah meminjam sejumlah uang yang cukup besar pada tetangganya itu, tetapi tidak didapatkannya. Dan akhirnya Sita kesal lalu membenci Reni. Sita menganggap yang tidak satu frekuensi dengannya adalah musuh bagi dirinya. Seperti yang sudah direncanakan, Sita akan menjemput anaknya di rumah mantan mertuanya. Dengan menggunakan motor yang dia beli bebe
“Tuh lihat, manusia kejam yang tega menghancurkan hidup keluarganya sendiri, dulu adiknya sekarang ibunya. Dasar manusia serakah dan tak tau diri. Perempuan seperti itu tak pantas dianggap keluarga,” ujar tetangga Sita yang sedang belanja di tukang sayur keliling di dekat rumahnya. Intonasi suaranya sengaja dia buat tinggi agar Sita mendengar. Yah, sudah menjadi rahasia umum perlakuan Sita pada bu Nurma. Mereka yang awalnya mengira Sita anak yang berbakti karena mau merawat bu Nurma yang lumpuh nyatanya hanya tipu daya belaka. Sita justru mengeksploitasi ibunya sendiri. Miris ….“Kemarin kalau gak salah si Bayu sam Amel pulang bawa si Nurma kan? Pantas dia tinggal sendirian sekarang. Memang dia itu anak durhaka. seperti yang kita tahu kalau selama ini si Nurma kan lebih cenderung sayang ke dia. Eh bukannya balas budi malah menyiksa orang tuanya sendiri, kalau aku sih amit-amit punya anak kayak gitu. Setidaknya kalau belum bisa membahagiakan orang tua ya jangan menyus