Hari dan bulan berganti. Sekarang tiba lah waktunya Bu Nurma harus membayar hutangnya pada rentenir dan itu juga sebenarnya sudah telat beberapa hari. Kekhawatiran perihal kehilangan rumah yang dia tempati sekarang mulai dirasakannya. Sebab rumahnya yang menjadi taruhan jika hutang tidak dibayar.
Akan tetapi, memang tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataannya Bu Nurma saat ini tidak punya uang sama sekali. Begitu juga dengan Sita yang tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Banyak sekali pelanggan warung mereka yang menghubungi. Selalu bertanya kenapa tidak pernah buka lagi atau memang tidak berjualan lagi. Namun, tidak ada tanggapan dari mereka berdua. Sudah pasti para tetangga dan pelanggan sudah tahu perihal masalah mereka.Sudah beberapa hari ini Bu Nurma sering tinggal di rumah Sita, sebab dia takut mau pulang ke rumahnya. Sudah pasti debt collector akan datang untuk menagih hutangnya. Keyakinan Bu Nurma diperkuat karena salah satu tetangganya bilKata-kata Sita sangatlah tidak menyenangkan di telinga orang sekitarnya, para tetangga sampai mengelus dada mendengar ucapan Sita. Sudahlah minta tolong, tetapi malah mencaci. Namun, karena rasa kasihan dengan Bu Nurma akhirnya mereka pun mau untuk membantu Sita.Meskipun begitu, gunjingan para tetangga tentu tak terelakan. Ada yang bersyukur atas musibah yang menimpa bu Nurma dan Sita dan ada juga yang mengatakan itu akibatnya kalau sombong dan angkuh. Bu Nurma dan Sita terkenal tidak pernah bisa menghargai orang lain, tetapi pada saat ada masalah, ujung-ujungnya tetangga juga yang membantu. Tetangga berbondong-bondong masuk kerumah Sita. Benar saja, setibanya di depan pintu kamar mandi rumah Sita. Benda itu masih tertutup rapat dan tidak bisa dibuka karena ternyata dikunci dari dalam.“Sepertinya pintu ini terpaksa harus kita dobrak,” ujar salah satu tetangga yang lebih duluan masuk ke rumah Sita. Dan mereka pada akhirnya setuju karena ti
Meski kesal, Sita terpaksa tetap membersihkan tubuh ibunya meski dia harus beberapa kali menahan napas. Setelah selesai, Sita kembali membaringkan tubuh ibunya di kasur lantai depan televisi sebab kasur yang di kamar basah akibat terkena air kencing bu Nurma. “Untuk sementsrw di sini dulu soalnya di kamar kasurnya basah.” Bu Nurma hanya mengiyakan saja, toh dia juga salah mau buang air kecil tidak melapor ke anaknya. Yah, namanya juga bu Nurma sudah stroke jadi dia sudah tidak bisa menahan keinginannya untuk buang air lagi. ***Sita semakin hari semakin kesal karena harus mengurusi ibunya yang lumpuh, kesabarannya benar-benar sedang diuji. Dia menjadi capek dan muak. Ditambah lagi kesulitan dengan keuangan untuk kebutuhannya sehari-hari. Penghasilan yang tidak menentu membuat Sita tak jarang melampiaskan kekesalan ke ibunya. Ditambah urusan rumah terpaksa dia juga yang harus urus sendiri.Siapa lagi yang harus mengurusnya kalau bu
Tidak pernah Sita sangka kalau hari pertama Bu Nurma mengemis ternyata langsung mendapatkan uang satu juta. Padahal Sita hanya berpikir kalau dia mendapatkan hanya sekitar 100 ribu saja. Namun, uang yang didapatkan justru 10 kali lipatnya. Sita menduga karena kondisi ibunya lumpuh, hal itu lah yang menjadi daya tarik orang-oeang mengasihani bu Nurma. “Ibu tinggal di mana? Apa Ibu ke sini sendirian?” tanya seorang pejalan kaki di sekitar lampu merah tempat Bu Nurma mengemis. Tentu saja dia heran karena belum pernah melihat bu Nurma sebelumnya. Bu Nurma tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau orang lain tau dengan siapa dia datang dan di mana tempat tinggalnya. Walaupun bibir bisa berucap, tetapi Bu Nurma tetap lebih memilih diam. Terkadang dia juga menitikkan air mata karena memikirkan nasib buruk yang kini dijalaninya. “Kasihan sekali Ibu ini, apa dia tidak punya anak? Atau memang keluarganya tidak tau sama sekali? Tapi tidak mungkin dia
Hari-hari berlalu, Bu Nurma masih mengemis seperti biasanya dan Sita masih selalu mengantarkannya setiap pagi dan dijemput lagi pada sore hari. Uang semakin terus mengalir dari hasil ngemisnya. Uang yang dia dapatkan bervariasi, mulai dari 300 ribu hingga satu juta. Tergantung hari dan tanggal, kalau tanggal merah atau libur biasanya lebih ramai karena jalanan sangat padat dan tak jarang terjadi kemacetan. Sebab lokasi bu Nurma mengemis itu dekat dengan pasar. Apalagi sekarang mendekati ramadhan. Orang-orang biasanya banyak yang ke pasar. Itu lah kenapa hasil mengemis Bu Nurma cukup banyak.Semenjak Bu Nurma pulang dari rumah sakit, Sita tak pernah sama sekali membawanya untuk berobat. kondisinya betul-betul dimanfaatkan untuk mencari uang dengan cara menghiba. Sebenarnya tidak masalah kalau uangnya digunakan untuk keperluan bu Nurma termasuk kesehatan, tetapi malah ini sebaliknya. Uang itu hanya Sita yang merasakan. Karena Sita setiap hari membawa
Suasana di hari libur tentunya waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Rutinitas yang setiap hari libur Bayu serta anak istrinya lakukan. Pria itu benar-benar sudah merasa nyaman dengan kondisinya yang sekarang. Yah, meskipun terkadang tetangga julid masih saja mengganggu, tetapi masih bisa diatasi oleh mereka. Apalagi impian mereka saat ini sudah terwujud. Memiliki pekerjaan yang mapan, tempat tinggal yang layak serta kumpul keluarga. Hal yang sederhana, tetapi bisa bikin bahagia. Hari itu Bayu berencana akan mengajak keluarganya untuk pergi jalan-jalan, tetapi Amel lebih memilih untuk di rumah saja. Lagi pula wanita itu takut sebab usia kandungannya yang masih rentan apabila banyak gerak termasuk bepergian. “Apa kamu nggak bosan di rumah terus, Dek? Semenjak pindah ke sini kan belum pernah kita berpergian entah ke mana gitu. Itung-itung mumpung aku libur kerja,” ucap Bayu sambil memandangi istrinya yang sedang mempersiapkan makan siang
Rencana Bayu pulang ke kota Pati akhirnya terlaksana. Setelah dia mendapatkan izin dari atasannya untuk cuti beberapa hari dengan alasan ada urusan keluarga akhirnya mereka bersiap-siap. Termasuk perlengkapan Istrinya yang sedang hamil dan juga Arka. Keselamatan keluarga adalah prioritas utama baginya sebab perjalanan menuju kampung halaman yang sangat jauh.Amel tentu saja memberitahukan tetangga sekaligus sahabat dekatnya, Mila. Mila sedikit banyaknya juga sudah tau perkara yang pernah Amel alami saat masih LDM dengan Bayu dulu. Maka saat ini sebetulnya Mila sendiri heran. Entah terbuat dari apa hati wanita yang menjadi teman baiknya itu. Mungkin kalau dirinya yang berada di posisi Amel tidak bisa ikhlas seperti itu seandainya hal itu terjadi pada Mila tentu saja wanita itu lebih memilih untuk menitipkan sang mertua ke panti jompo ketimbang harus merawat dan akan selalu ingat hal menyakitkan yang pernah dilakukan padanya. Namun, masalahnya ini bukan M
“Pie, Mas?” (Gimana, Mas) tanya Amel pada Bayu. Wanita itu menyusul sang suami ke rumah mbak Reni. “Mel? Piye kabare? Sehat?” Mbak Reni menyapa. “Alhamdulillah, Mbak, sehat. Mbak Reni sendiri gimana?” tanya Amel kembali sembari menjabat tangan mbak Reni. “Aku yo alhamdulillah sehat. Oalah iki Arka kok ya wes gede.” Mbak Reni mencubit pelan pipi Arka yang tampak gembul. Dia gemas dengan bayi itu. Sangat berbeda penampilannya saat masih LDM dengan Bayu dulu. Sekarang tubuh Arka jauh lebih berisi dan kulitnya juga bersih karena memang nurun dari kulit Amel dan Bayu yang juga putih. “Jadi sekarang ibu di mana, Mas?”“Ndak tau, Dek. Lha kataú Mbak Reni sudah disamperin ke jalan Penjawi sana tapi ya nggak ada.”Bayu tampak menghela napas. Tidak pernah dia sangka kalau bu Nurma akan menjadi seperti ini. “Ya sudah kalau begitu, Mbak, terima kasih atas informasinya biarlah saya nanti yang mencari keberada
Suara itu sangat familiar terdengar di telinga Bayu. Dia sangat mengenali suara itu. Bayu menghentikan langkahnya saat akan masuk ke dalam mobil. Bu Nurma juga mendengar suara yang berteriak menyebut nama Bayu. Bu Nurma sudah menduga kalau itu pasti anak sulungnya. Bayu menoleh ke belakang dan tidak salah lagi yang datang ternyata Sita. Bergegas Sita mendekati Bayu dan menghardiknya dengan lantang seolah Bayu bukanlah adiknya melainkan orang lain.“Heh mau kamu bawa ke mana Ibu, ha? Biarkan ibu di sini bersamaku,” ujar Sita dengan berdecak pinggang. Bayu segera menutup pintu mobil dan mengatakan pada supir taksi itu untuk tetap menunggu sebentar. Pak supir menyetujuinya. Bayu melihat sekilas ke arah sang ibu dan wajah Bu Nurma tampak ketakutan. “Ibu tunggu di sini ya, aku urus mbak Sita dulu.”“Tapi, Bay ….”“Sudah, ibu gak usah khawatir. Aku jamin akan baik-baik saja.” Pada akhirnya bu Nurma menyerahk
“Siapa mereka? Kok tiba-tiba ada di depan rumahku? Apa jangan-jangan … ah tidak mungkin, bukankah tidak ada satu pun yang tahu tentang aku dan anakku? Dan tidak mungkin mas Fahmi yang mengadukan aku ke polisi.” Pikiran Sita menjadi kacau seketika. Sita belum mau membukakan pintu sebab dia masih ragu akan keselamatannya di mana dia juga seorang diri, tidak ada orang lain di rumahnya. “Permisi, Ibu Sita!” Kembali Sita mendengar suara pintu rumah diketuk dan namanya juga disebut oleh salah satu dari mereka. “Duh gimana ini, aku belum siap menghadapi mereka. Dan nggak mungkin mas Fahmi mengadukan semuanya ke polisi, aku ini kan ibunya Rifki aku juga berhak atas anakku.” Tubuh Sita seperti gemetaran. Dia tidak bisa berpikir dengan tenang. Di sekeliling rumahnya pun sudah banyak orang yang memperhatikan seakan ingin tau apa lagi yang terjadi dengan Sita. Karena tidak kunjung dibuka, kedua orang itu menanyakan ke tetangga Sita yang bernama Reni.“Apa Ibu Sita ada di rumahnya?” “Seper
Di perjalanan pulang, Fahmi berniat untuk mendatangi Sita di rumahnya sebab dia tidak menemukan mantan istrinya itu saat menjemput anaknya di jalan tadi. Namun, Bu Tini melarangnya.“Sebaiknya kita langsung pulang saja, percuma kalau kamu ribut dengannya sudah pasti kamu yang kalah. Ibu tau persis watak dan kelicikan mantan istrimu itu. Dia nggak akan semudah itu untuk mengakui kesalahannya,” titah Bu Tini pada Fahmi yang tengah fokus mengendarai sepeda motornya.“Tapi, Bu, aku harus membuat perhitungan dengannya. aku ini juga ayahnya Rifku, aku jelas nggak akan terima kalau anakku disakiti dengan cara seperti ini, Bu.” “Ibu mengerti perasaanmu, tapi kita harus cari waktu yang tepat untuk melawannya, percayalah akan tiba saatnya untuk kita bisa menang melawan Sita. Tapi yang pasti tidak sekarang” Mendengar perkataan sang Ibu, Fahmi akhirnya mengurungkan niatnya untuk melabrak Sita, dan terus melajukan sepeda motornya menuju rumah.Bu Tini sebenarnya tidak ingin terjadi sesuatu pada
Kesabaran Bu Tini akhirnya membuahkan hasil, apa yang dia pikirkan terjawab sudah. Semua jawabannya sudah di depan mata, hanya saja dia tidak habis pikir anak seusia Rifki kok ada di tempat keramaian seperti ini. Entah di mana Sita, karena wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Bu Tini merasakan shock saat anak yang dia lihat ternyata benar Rifki meski awalnya dia sudah mengantisipasi. Tanpa berpikir lagi, wanita tua itu langsung memeluk cucunya dengan erat. Fahmi yang melihat dari kejauhan mulai melangkah dan mendekati sang anak. Alangkah terkejutnya dia sebab anaknya yang seharusnya berada di rumah bersama Ibunya, tetapi sekarang justru berada di tempat seperti itu. Rasa bersalah bercampur dengan emosi menyatu dalam diri Fahmi, karena dia seorang ayah seharusnya melindungi, tetapi malah seperti menelantarkan anaknya. Tentu saja luapan kemarahannya tertuju pada Sita.“Rifki, kenapa kamu ada di sini, Nak?” tanya Bu Tini pada Rifki.“Nenek, aku … hmm … aku di sini sama Ibu,”
Tak sabar rasanya, Bu Tini ingin sekali kembali ke tempat itu, di mana dia melihat sosok Rifki yang tengah digandeng oleh seseorang dengan pakaian yang sangat lusuh. Tidurnya pun menjadi tidak nyenyak dan tidak tenang selalu dibayang-bayangi kehadiran cucunya. Entah kenapa, Bu Tini tidak ada menaruh rasa percaya pada Sita sedikit pun. ***Keesokan harinya, Bu Tini kembali mengajak dan mendesak Fahmi untuk diantarkan kembali ke simpang lampu merah tempat dia melihat sosok Rifki pertama kali. keyakinan serta rasa penasarannya pada sosok anak kecil itu begitu kuat. “Ibu yakin mau ke situ lagi? Apa nggak kita ke rumah Sita aja terlebih dahulu?” Fahmi sengaja mengalihkan apa yang ada di pikiran Ibunya, setidaknya keinginan Ibunya itu hanya mau bertemu dengan Rifki.“Enggak! Ibu mau kamu juga ikut cari tau apa yang terjadi pada anakmu, memangnya kamu tidak penasaran apa? Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Rifki kamu juga tidak akan Ibu maafkan, ngerti kamu!?” sentak Bu Tini pada Fahmi.
Entah kenapa Bu tini punya firasat kalau yang dia lihat adalah betul Rifki, tetapi dia harus lebih memastikan kalau dugaannya benar. Perhatiannya tidak lepas dari anak yang sangat mirip dengan cucunya itu.“Eh eh, berhenti Fahmi,” ucap Bu Tini sambil menepuk bahu Fahmi yang sedang fokus melihat jalan. “Iya ada apa sih, Bu?” Fahmi menoleh pada Ibunya.“Coba deh kamu lihat anak itu, sepertinya tidak asing bagi Ibu, fisiknya sangat mirip dengan Rifki.” Fahmi menoleh ke arah yang ditunjuk bu Tini. Dia menajamkan penglihatannya. Meski menurut Fahmi memang mirip, tetapi masa iya anaknya afa di tempat seperti itu? “Ah, negak mungkin itu Rifki, Ibu salah lihat kali. Nggak mungkin anakku jadi pengemis.” Pandangan Fahmi juga tidak lepas dari sosok anak yang dia lihat, tetapi dia belum percaya kalau itu adalah anaknya. Pasalnya anak itu terlihat sedang meminta-minta di sekitar lampu merah bersama seorang perempuan paruh baya. Fahmi berusaha meyakinkan kalau Bu Tini kalau dia hanya salah l
Percakapan Amel dan Ibu markonah didengar oleh Ibu-Ibu yang lainnya yang juga lagi belanja di warung tempat langganan mereka. Wajar saja karena setiap pagi adalah waktu untuk membeli bahan untuk dimasak setiap harinya. Begitu juga dengan Amel yang sudah menjadi kegiatannya setiap hari. Ditambah dia harus mengurus sang mertua.Bu markonah tampak kesal karena diminta harus melunasi hutangnya terlebih dahulu jika mau pinjam uang lagi. Apalagi di depan orang banyak, tentunya dia merasa sangat malu jika yang lain pada tahu kalau dirinya punya hutang pada warga baru seperti Amel. Padahal selama ini dia selalu menghina Amel miskin hanya karena tampilannya yang sederhana. “Ck, halah duit segitu aja diminta terus, kayak orang susah. Katanya orang kaya masa hutang nggak seberapa diributin, nggak malu apa?” ujar Bu Markonah dengan expresi wajah mengejek. Dia berusaha membalikan keadaan seolah Amel yang menjadi penyebab keributan.“loh-loh ada apa ini, Mel?” tanya Mila sambil mendekati Amel.“i
Hari pertama Rifki bersama Ibunya sangat membuatnya senang dan gembira, yang biasa dirasakan di kalangan anak-anak se usianya pada umumnya. Tidak heran, karena anak laki-laki akan cenderung lebih dekat dengan sang Ibu. kerinduannya pun terobati, wajah ceria terpancar dari wajah anak itu.Pagi itu Rifki dibangunkan Sita serta diberi sarapan, tidak seperti biasanya yang dialaminya sewaktu tinggal bersama ayah dan neneknya. Bangun siang adalah hal yang lumrah bagi mereka sebab sang anak masih sangat dini untuk dimintai bangun pagi. Namun, sang anak tentu belum bisa berpikir seperti orang dewasa. baginya dekat dengan sang Ibu adalah kebahagiaan yang selalu ingin dia rasakan. begitu juga dengan Rafa. Hanya saja Sita cuma ingin salah satu dari mereka. “Bu, aku pengen sekolah dong. Aku juga mau kayak teman-teman sekolah dan bisa main sama mereka. Aku juga ingin jajan, Bu.” Ucapan itu membuat Sita yang sedang menyuapi Rifki menghentikan gerakan ta
“Pagi, Sita, kamu mau ke mana?” tanya Reni. Kebetulan hari itu Reni dan keluarganya mau pergi jalan-jalan. Biasanya tak.jauh dari rumahnya tepat di stadion Joyo Kusumo kalau setiap hari minggu selalu ramai. Jadi mumpung hari libur, pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk berangkat.“Iya pagi!” jawab Sita ketus. Akan tetapi, Reni mengabaikan jawaban dari Sita. pasalnya dia sudah tau bagaimana karakter Sita. Mereka bertetangga, tetapi tidak dengan hati mereka. Ya begitu lah Sita, hanya mementingkan dirinya sendiri. Sita juga masih kesal pada tetangganya itu. Pasalnya dulu dia pernah meminjam sejumlah uang yang cukup besar pada tetangganya itu, tetapi tidak didapatkannya. Dan akhirnya Sita kesal lalu membenci Reni. Sita menganggap yang tidak satu frekuensi dengannya adalah musuh bagi dirinya. Seperti yang sudah direncanakan, Sita akan menjemput anaknya di rumah mantan mertuanya. Dengan menggunakan motor yang dia beli bebe
“Tuh lihat, manusia kejam yang tega menghancurkan hidup keluarganya sendiri, dulu adiknya sekarang ibunya. Dasar manusia serakah dan tak tau diri. Perempuan seperti itu tak pantas dianggap keluarga,” ujar tetangga Sita yang sedang belanja di tukang sayur keliling di dekat rumahnya. Intonasi suaranya sengaja dia buat tinggi agar Sita mendengar. Yah, sudah menjadi rahasia umum perlakuan Sita pada bu Nurma. Mereka yang awalnya mengira Sita anak yang berbakti karena mau merawat bu Nurma yang lumpuh nyatanya hanya tipu daya belaka. Sita justru mengeksploitasi ibunya sendiri. Miris ….“Kemarin kalau gak salah si Bayu sam Amel pulang bawa si Nurma kan? Pantas dia tinggal sendirian sekarang. Memang dia itu anak durhaka. seperti yang kita tahu kalau selama ini si Nurma kan lebih cenderung sayang ke dia. Eh bukannya balas budi malah menyiksa orang tuanya sendiri, kalau aku sih amit-amit punya anak kayak gitu. Setidaknya kalau belum bisa membahagiakan orang tua ya jangan menyus