Kei berlari kecil menuruni anak tangga saat Cio mengabari bahwa sebentar lagi pria itu sampai di rumah Arka. Namun langkahnya memelan ketika ia mendapati Clara dan Arka tengah bersenda gurau di sofa ruang tamu."Mau kemana kamu?" Tanya Arka.Kei menghentikan langkahnya, menatap Arka dan Clara bergantian. Tadinya ia tak ingin menjawab, tapi ia teringat sesuatu, bahwa Cio tak boleh melihat keberadaan Clara di rumah itu. Apalagi tahu tentang keadaan rumah tangganya."Jawab!" sentak Clara dengan tatapan tak sukanya."Bisakah kamu pergi dari sini?" tanya Kei, pertanyaan yang membuat Clara naik darah."Berani-beraninya kamu mengusirku?" Teriak Clara, ia lalu menoleh pada Arka, "Kenapa kamu diam saja? dia mengusirku, sayang."Belum sempat Arka menjawab, suara bel rumah terdengar nyaring. Kei sedikit panik, ia lalu berkata, "Itu kakak ku, jika kebusukan mu tidak ingin terbongkar, sembunyikan wanita ini," ucap Kei pada Arka.Arka terkejut, untuk apa Cio datang ke rumahnya malam-malam begini?
"Kamu sengaja meminta Cio datang?" Tuding Arka sesaat setelah Cio meninggalkan rumahnya.Kei menghela nafas panjang, ia mulai lelah dengan semua perdebatan karena prasangka Arka yang selalu negatif padanya. Hal kecil selalu di besar-besarkan hanya agar Arka bisa melampiaskan dendamnya.Semua yang Kei lakukan selalu salah di mata Arka, dalam hal apapun Kei selalu salah. Dan Kei mulai merasa lelah dengan semua itu. Meski rasa cintanya pada pria itu tak berkurang, tapi kesabarannya mulai terkikis. Kei memang bodoh, ia tak pernah bisa bersungguh-sungguh membenci Arka meski pria itu sudah menorehkan begitu banyak luka untuknya."Jawab!" Sentak Arka, kemarahannya naik karena Kei tak juga lekas menjawabnya."Kalau aku mengatakan tidak, apa kamu akan percaya?" Tanya Kei, ia lalu berbalik hendak pergi, tapi Arka menarik tangannya dan mendorongnya ke sofa."Jawab aku! Berani-beraninya kamu balik bertanya!""Aku tidak memintanya kesini, Arka! Aku bahkan tidak tahu simpananmu itu ada disini!" jaw
Hening, di kamar itu hanya denting jarum jam yang terdengar mendominasi. Sementara dua orang yang ada di dalamnya, hanya diam bahkan saling memalingkan wajah.Beberapa saat yang lalu, Arka meminta Kei untuk ikut dengannya, tapi sepuluh menit sudah terlewat, Arka tak juga mengatakan apa tujuannya mengajak Kei ke kamar.Duduk di sofa yang sama namun di ujung berbeda, keduanya tak juga saling bicara. Apalagi Kei, perempuan itu memang kerap menghindari Arka, mana mungkin ia mau memulai bicara. Lagi pula Arka yang memintanya ikut, mana mau Kei bicara lebih dulu."Aku dan Clara mau menikah!"Kalimat pertama yang Arka lontarkan dan mampu membuat jantung Kei seraya terlepas dari tempatnya. Kei pun menoleh, menatap Arka dengan nanar. Ia kira, dengan menghindari Arka, ia akan terhindar dari kata terluka. Nyatanya saat ia kembali dekat dengan pria itu, luka yang lebih dalam mulai Arka gali untuknya.Sekuat tenaga Kei menahan air matanya, juga menahan sesak yang terasa menghimpit dadanya. Bagaima
"Hentikan dendam mu pada Kei!""Apa? Siapa kamu sampai berani bicara seperti itu padaku?!" Arka menatap Rumi dengan tatapan tajam, ia tak terima dengan ucapan Rumi yang hanya seorang pelayan saja."Aku," Rumi menghentikan ucapannya, ia berdehem lalu menarik kulit lehernya sendiri. Arka tentu terkejut, pria itu membulatkan matanya lalu berkata, "Apa yang kamu lakukan?!"Rumi masih diam, ia terus menarik sesuatu dari wajahnya.Arka beranjak saat ia mulai mengenali sosok yang berdiri tak jauh darinya itu, pria itu mendekati Rumi lalu merengkuh bahunya. Air mata menetes dari kedua netranya, "Ya Tuhan, Starla? Ini kamu?"Gadis itu mengangguk, air mata juga menetes dari kedua mata sendunya. "Ini aku, kak."Arka tak lagi mampu bicara, ia menarik Starla ke dalam dekapannya. Banyak pertanyaan yang bergelayut di benaknya, tapi untuk saat ini, ia hanya ingin memeluk erat adik kesayangannya itu."Aku sangat merindukanmu, Star. Kenapa kamu baru menemui ku?""Setiap hari aku menemui mu, kak. Hanya
Kei tengah membereskan barang-barangnya ketika Arka memasuki kamar. Sejenak pergerakan tangan Kei terhenti, ia tak mau menoleh meski Arka duduk di sebelah kopernya. Tak ingin menghiraukan keberadaan pria itu, Kei kembali melanjutkan kegiatannya.Ia hanya ingin cepat pergi, beberapa saat yang lalu ia sudah menghubungi Hiko agar pria itu menjemputnya. Kei belum siap pulang ke rumah orang tuanya, ia ingin mencari tempat tinggal sementara sampai ia siap mengatakan semuanya pada keluarganya."Kei, tolong pikirkan lagi. Aku tahu aku salah, dan kesalahanku sungguh besar, tapi beri aku kesempatan untuk menebus semuanya," pinta Arka. Biarlah ia menjadi pria tak tahu diri yang membuang rasa malunya demi mendapat maaf dari Kei."Kita sudah membicarakan ini mas, aku sudah memaafkan mu, aku bahkan tidak bisa membencimu. Aku bodoh bukan? Setelah semua yang sudah kamu lakukan padaku, aku tetap tidak bisa membencimu. Tapi mas, kamu sudah berjanji akan melepaskan ku saat aku dan kak Cio terbukti tidak
Hujan turun begitu deras, mengguyur bumi sejak satu jam yang lalu. Cahaya jingga sore itu tak terlihat, tertutup awan mendung yang tampak kelabu.Seorang pria tampan tengah berdiri di pintu pembatas antara kamarnya dan area balkon. Menyenderkan tubuhnya pada tiang pintu menatap guyuran hujan di luar sana. Entah apa yang pria itu pikirkan, ia begitu betah menatap hujan.Helaan nafas panjang beberapa kali terdengar berhembus dari mulutnya, sudah satu bulan ia menjalani hidupnya dengan hambar.Entahlah, sejak kepergian istrinya, warna dalam hidupnya seolah ikut pergi juga. Ia bahkan tak pernah menghubungi kekasihnya, entah bagaimana kabar gadis itu, karena gadis itu pun tak pernah menghubunginya atau mencarinya.Adalah Arka, pria yang tampak sedikit tak terurus itu menjalani hari-harinya dengan tak bersemangat. Arka menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja dan bekerja, terkadang ia tak pulang, dengan dalih lembur dan banyak pekerjaan, pria itu menghindari rumah yang sejak dulu menjadi t
Sudah lima belas menit Arka menatap sebuah surat yang beberapa saat lalu Hiko berikan padanya. Surat yang di atasnya bertuliskan sebuah lembaga, PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT. Dalam surat itu tertera namanya dan nama Kei, dan entah mengapa, surat itu mampu mengacaukan hatinya.Satu bulan tak ada kabar, Arka kira Kei akan kembali dan semuanya akan kembali baik-baik saja. Ternyata perempuan itu tak main-main dengan keinginannya untuk berpisah. Arka pun tahu, kesalahannya pada Kei tak akan mudah di maafkan, tapi Kei benar-benar tak memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri dan menebus semua kesalahannya.Tak ingin diam saja, ia pun beranjak untuk menemui Hiko di ruangannya. Ia harus menanyakan keberadaan Kei, karena hanya Hiko yang tahu perempuan itu dimana. Bahkan keluarganya pun tak ada yang tahu.Mengingat tentang keluarga Kei, Arka jadi teringat terakhir kali ia dan kedua orang tua Kei bertemu. Saat itu Bumi dan Elva sangat marah padanya, bahkan ia di hadiahi beberapa bogem menta
Sesuai jadwal, hari ini adalah jadwal sidang pertama perceraian Arka dan Kei. Arka sangat bersemangat untuk hadir, bukan bahagia karena akan berpisah, namun ia berharap bisa bertemu dengan Kei di pengadilan nanti.Ia akan menggunakan kesempatan itu untuk membujuk Kei agar perempuan itu mau memaafkannya dan membatalkan gugatan perceraiannya.Beberapa hari ini ia di landa rasa takut, takut jika suatu saat nanti benar-benar tak bisa bertemu dengan Kei lagi. Hari-harinya terkikis habis oleh lamunannya tentang Kei, Arka baru menyadari, ada rasa yang lain yang hadir tanpa ia sadari."Kei, aku harap kamu hadir di persidangan hari ini," batinnya. Ia tak menyangka, sesuatu yang ia sering katakan dulu ternyata begitu menyakitkan. Ia kerap mengatakan pada Kei bahwa ia tak pernah perduli dengan perempuan itu, mati sekali pun ia tak akan perduli. Nyatanya baru perpisahan karena perceraian saja sudah sangat membuatnya terluka, apalagi perpisahan karena kematian.Ia sudah berusaha mencari tahu diman
Sudah larut malam, tapi Kei belum juga bisa terlelap. Beberapa kali ia mengubah posisi tidur, miring ke kanan miring ke kiri, semuanya tak membuatnya nyaman.Entah mengapa perasannya mendadak tak karuan, pikirannya terus tertuju pada Arka yang beberapa jam yang lalu mengirimnya sebuah pesan, bahwa pria itu akan pulang larut malam. Entah ada apa, mungkin pekerjaannya sedang banyak, atau mungkin juga menghindari Kei karena Kei tak juga mau memberi jawaban atas permintaannya.Terbersit sebuah ide, "Apa aku harus melakukan itu?" gumamnya.Seperti ada sebuah dorongan, Kei pun bangkit dari pembaringan, lalu beranjak keluar kamar.Sepi, bahkan lampu di beberapa ruangan sudah padam, tapi Arka belum juga pulang. Kei tak tenang, tapi Kei enggan mengirim pria itu pesan untuk sekedar bertanya kapan pulang?Perempuan itu menghela nafas panjang, menguatkan tekad untuk melakukan ide yang beberapa saat lalu terbersit dalam benaknya.***Arka menghela nafas panjang saat melangkah memasuki rumah. Sebag
Jam makan siang tiba, tapi Starla masih tak keluar dari kamarnya. Mungkin karena kakinya masih sakit, meski tak sesakit tadi sebelum Cio membantunya."Bi, Starla belum makan siang?" Tanya Kei yang baru saja tiba di ruang makan. "Belum nyonya, mungkin kakinya masih sakit," jawab Bi Inah.Kei menghela nafas panjang, tadi ia sempat mencurigai Starla. Kepercayaannya pada perempuan itu tak mudah untuk kembali seperti dulu, tapi sepertinya Starla memang tak berbohong, sesuai dengan yang Cio katakan tadi."Biar aku saja yang membawakannya makan siang bi, bibi tolong siapkan yah," kata Kei lagi. Mungkin ia harus meminta maaf pada Starla.Bi Inah mengangguk, "Baik Nyonya," jawabnya.Sembari menunggu makanan untuk Starla siap, Kei meminum jus alpukat kesukaannya, lalu menusuk buah melon yang sudah di potong kecil-kecil dengan garpu. Rasanya manis, Kei sangat menyukainya, apalagi buah melon itu mampu mengusir rasa mualnya ketika makan.Beberapa saat kemudian, nampan berisi makanan untuk Starla
Starla menepis tangan Cio saat pria itu hendak memapahnya dan membantunya berjalan, “Aku bisa sendiri,” katanya dengan sedikit ketus.Cio mengerutkan dahinya, bukankah beberapa saat yang lalu sikap gadis itu sudah sedikit mencair? Atau karena ada hal urgent saja Starla mau bicara dengannya?“Kaki kamu terkilir, aku hanya ingin membantumu,” ucap Cio. Pria itu mengerutkan dahi saat Starla memanggil pak Bimo yang masih berbicara dengan petugas pemadam kebakaran yang berhasil menaklukan ular cobra di sana.“Pak, tolong banti saja ke sana,” Starla menunjuk sebuah bangku, kakinya benar-benar sakit, sepertinya ia harus beristirahat sebentar.Pak Bimo menatap Cio, ia tak mengerti dengan situasi antara Cio dan Starloa. Tapi taka da salahnya ia bertanya pada Cio lewat tatapan mata. Dan cio memberikan jawaban dengan gelengan kepala, Bimo yang mengerti pun menjawab, “Maaf bu, tapi tangan saya kotor. Tadi saya sempat memegang ular itu.”Cio bersorak dalam hati, Bimo bisa ia ajak berkompromi meski
Cio mengambil payung dari jok belakang, ia buka lalu ia gunakan untuk memayunginya dan Starla. Membuat gadis itu memutar bola matanya dengan malas."Tidak perlu menggunakan payung, aku sudah terbiasa dengan panas," Starla menolak, ia menjauh dari Cio, tapi Cio tak menyerah dan kembali melindungi gadis itu dengan payung."Kalau tidak memakai payung, kepala kamu bisa pusing. Panasnya lagi terik, sudahlah, apa susahnya menurut?"Starla berdecak, tapi ia tak menolak lagi. Mungkin Cio salah meminum obat, kenapa pria itu menjadi sangat perhatian padanya? Biasanya Cio tak akan perduli apapun tentangnya, apalagi sejak kejadian di villa dulu, pria itu bersikap seperti tak mengenalnya.Dulu, ketika mereka bersahabat, Cio memang sangat perhatian, melindungi Starla seperti layaknya melindungi Kei. Tapi setelah kejadian di villa, Cio seperti orang asing. Apalagi Kei menjadi objek balas dendam Arka, Cio semakin membencinya.Lalu kenapa sekarang Cio kembali bersikap baik? Apa pria itu ingin menjalin
Beberapa saat berdiam diri di balik pintu sebuah ruangan, helaan nafas panjang terdengar berhembus dari mulutnya. Setelah benar-benar siap, tangannya terangkat mengetuk pintu di hadapannya."Masuk," sahutan dari dalam sana.Sekali lagi Starla menghela nafas panjang, kemudian ia hembuskan dengan sedikit kasar, jika bukan karena paksaan sang kakak, ia malas menemui Cio lagi. Bukan karena benci, tapi kata-kata pria itu seketika berputar begitu saja ketika ia melihat wajah Cio. Dan hal itu membuat hatinya kecewa."Selamat pagi pak."Suara itu membuat Cio sontak mengalihkan pandangan, tanpa ia sadari, bibirnya melengkung mengukir senyum, "Starla?" sapanya."Maaf pak, saya kesini ingin melakukan peninjauan proyek, apa Zifa bisa menemani saya?" Starla tak ingin berbasa-basi bicara, ia langsung membicarakan tujuannya datang kesana."Zifa?" ulang Cio, mungkin ia ingin mengatakan, KENAPA HARUS ZIFA? AKU ADA DI SINI!Starla mengangguk, "Kalau begitu, saya langsung ke ruangan Zifa saja. Permisi,
"Kenapa aku lagi kak? Kakak saja, aku sibuk," tolak Starla saat Arka kembali memintanya bertemu dengan Cio untuk meninjau proyek mereka."Kakak lebih sibuk darimu, ayolah Star, kakak akan memberikan tanggung jawab penuh untukmu di proyek ini. Bukankah ini jalan yang menguntungkan untuk karirmu? Ini proyek pertamamu, dan ini bukan proyek abal-abal, Star. Proyek besar loh, kalau kamu berhasil, kemampuan kamu akan di perhitungkan banyak lawan," Arka terus membujuk. Melihat perkembangan mental sang adik yang sudah sangat baik, ia ingin Starla juga bisa seperti dirinya, berdamai dengan masa lalu lalu hidup lebih tenang dan bahagia. "Kakak, aku tidak perduli dengan karirku, aku bekerja hanya untuk belajar dan juga membantumu. Jadi kakak saja yang pergi," tolak Starla lagi, ia enggan bertemu dengan Cio. "Tapi kamu sudah pintar, kamu tidak perlu belajar lagi. Kamu hanya perlu menunjukkan kemampuanmu pada semua orang. Star, kelak yang akan memegang perusahaan ini juga kamu, kamu harus mencar
"Aku sudah kenyang, Mas ..." Kei menghindar saat Arka hendak kembali menyuapinya, perutnya terasa penuh.Bagaimana tidak, satu suap nasi yang ia kunyah, akan di barengi dengan potongan buah melon juga. Ia benar-benar kekenyangan, belum lagi jus alpukat yang harus ia habiskan, Kei benar-benar tak sanggup lagi menelannya."Tinggal dua suap lagi sayang," Arka masih mencoba membujuk.Kei menggeleng, "Aku benar-benar tidak sanggup."Arka mengusap puncak kepala perempuan itu dengan lembut, "Ya sudah, aku ke bawah dulu. Aku juga mau ganti pakaian," ucapnya seraya mengambil nampan yang isinya nyaris tandas."Kamu tidak kembali ke kantor?" Arka menggeleng, "Aku di rumah saja, menjagamu dan anak kita. Tunggu sebentar, nanti aku kembali lagi," jawabnya.Kei hanya mengangguk sebagai jawaban. Sepeninggal Arka, Kei kembali merenung, sudah benarkah keputusannya memberi kesempatan kembali pada Arka?Pertanyaan yang sama yang terus berulang-ulang dalam hatinya, membuat kepalanya pusing dan ia memutus
"Apa sudah lebih baik?" Tanya Arka, ia tersenyum saat Kei mengangguk, "Mungkin anak kita merindukan papanya," kata Arka lagi, ia kembali tersenyum meski Kei tak menjawabnya.Kei hendak bangun, dan Arka sigap membantunya. Pria itu menumpuk bantal di belakang punggung istrinya, agar perempuan itu duduk bersandar dengan nyaman."Terima kasih," lirih Kei. Ia memejamkan mata sejenak, bersyukur kini perutnya tak terasa sakit lagi."Jangan berterima kasih, apa pun yang yang aku lakukan untukmu, adalah kewajiban ku sebagai seorang suami. Aku senang bisa merawat mu dan anak kita. Dengan kamu tidak menolak ku saja, sudah cukup untukku. Karena aku tidak mau lagi berjauhan denganmu, apalagi kamu sedang mengandung anakku," jelas Arka, siapa tahu Kei menerimanya kembali setelah ini.Kei memalingkan wajahnya, entahlah, apa ia bisa seperti dulu lagi? Menerima pria itu dengan sepenuh hati setelah semua perbuatan yang pria itu lakukan padanya. Setelah merasakan rasa sakit yang teramat dalam karena ulah
Siang ini Kei hanya berbaring di atas ranjang, entah mengapa perutnya beberapa kali mengalami kram.Biasanya Arka akan pulang untuk memastikannya makan siang dengan benar, tapi siang ini pria itu tak menampakan batang hidungnya. Kei kesal, kenapa di saat ia membutuhkan pria itu, Arka tak pulang. Saat ia tak ingin berdekatan dengan Arka, Arka justru kerap memaksa dan terus berada di sampingnya. Itu lah alasan kenapa Kei bersikap ketus pada Arka saat pria itu mendekatinya. Selain karena kekecewaannya pada pria itu masih ada, ia juga kerap merasa kesal pada Arka tanpa sebab, mungkin bawaan bayi."Aw, kok sakit lagi sih? Apa aku harus menghubunginya? Tidak tidak tidak, nanti dia besar kepala," Kei terus bermonolog, sesekali tampak meringis menahan sakit."Hiko, apa aku menghubunginya saja?" Kei menggigit bibir bawahnya, menahan sakit yang kian terasa. Bersamaan dengan itu, pintu kamar di ketuk, Kei pun menyahut dengan suara berat, "Masuk!"Bi Inah memasuki kamar, membawa sebuah nampan y