"Seperti pinang pulang ke tampuknya," ucap Mas Zaki ketika aku pamit padanya untuk kembali bekerja di rumah Tuan Edbert.Kalimat itu tidak terdengar asin di telinga. Ya, waktu sekolah dulu seorang teman pernah mengucapkan itu dan memberitahu artinya adalah sudah pada tempatnya.Mungkinkah Mas Zaki mengira aku perempuan murahan karena menguping pembicaraanku dengan Mas Bayu tadi malam? Sungguh kejadian itu bukan tentang perselingkuhan, tetapi usaha agar bisa lepas.Aku merentan hati mendengar kalimat sindiran dari suami sendiri. Bagaimana pun dia ada benarnya karena tidak tahu suasana hati yang sesungguhnya."Bukankah tertungkus lumus lebih tepat, Mas?""Apa itu, Tyas?" sela ibu mertua. Mungkin saja sejak tadi dia belum mengerti suasana hati anak dan menantunya."Tertungkus lumus itu terbenam dalam pekerjaan tentang kesusahan uang dan sebagainya, Bu," jawabku pelan."Apa Ibu senang karena Tyas sebentar lagi akan pergi?" tanya Mas Zaki membuat ibu mertua terlihat salah tingkah.Dia bahk
"Halo, Ed?""Apa yang membuatmu selama ini?!" bentak Tuan Edbert membuatku terperanjat kaget. Ponsel pun spontan menjauh dari telinga."Tidak, hanya saja tadi perutku tiba-tiba sakit jadi Pak Damar menunggu lama.""Baiklah, jangan singgah di mana pun dan langsung ke sini. Bilang pada Pak Damar untuk menambah kecepatan mobil!"Belum sempat aku mengiyakan, Tuan Edbert sudah memutus panggilan telepon. Bentakannya tadi membuatku menghela napas berat berkali-kali."Pak, kita gak usah ke salon. Mending nambah sedikit kecepatan saja, Tuan Edbert sudah marah kayaknya!""Baik, Nona. Anda tidak perlu risau." Pak Damar pun tersenyum.Bahasa yang baku membuatku resah di sana. Bukan hanya ketika bersama Tuan Edbert, tetapi para pelayan pun melakukan hal sama. Bisa dibilang ini aturan wajib yang tidak boleh kita langgar.Sesampainya di rumah yang megah nan indah setelah waktu berputar tak terbilang, aku langsung menuju kamar hendak mandi karena merasa gerah sementara seorang pelayan membawa tas bes
Angin malam berembus begitu syahdu ketika aku menyibak tirai dan membuka jendela. Di luar sana terlihat ramai, tetapi hanya bisa dipandang di balik kamar.Kabarnya Tuan Edbert akan pulang larut, jadi aku bisa leluasa melakukan apa saja. Teringat pukulannya tadi membuat hati sedikit menciut. Aku tidak pernah menyangka hal itu akan terjadi.Mas Zaki saja belum pernah semarah itu padahal kami sudah lama saling mengenal. Tuan Edbert seperti tidak punya hati, dia bertindak sesuai apa yang ada dalam pikirannya.Pintu kamar sedikit terbuka, aku memang sengaja melakukan itu karena Maria dan Louis janji akan menemuiku setelah pekerjaannya selesai. Hanya mereka yang menjadi tempat mencurahkan isi hati.Hidup bagai dipenjara, padahal harta bergelimang. Uang memang bukan sumber kebahagiaan. Jika memang ya, seharusnya aku tidak ingat hal lain lagi karena sibuk memikirkan uang.Uang kalah oleh cinta. Sampai sekarang aku tidak bisa melepas Mas Zaki demi Tuan Edbert sekalipun dia tidak meminta. Setul
POV AUTHOR👩💻Bayu dan Utami yang baru saja selesai diskusi di ruang tamu langsung melangkah cepat menuju kamar Zaki yang masih tertutup rapat padahal jam judah menunjuk angka delapan lewat."Zaki, buka pintunya!" teriak Bayu sambil menggedor tak sabaran.Lia yang sedang bermain boneka terkejut dan langsung menyambar ke dalam pelukan Zaki yang baru selesai berganti pakaian. "Om Bayu, Pa," lirihnya."Lia main lagi, papa mau buka pintu dulu. Oke?"Gadis kecil itu mengangguk, kemudian kembali duduk di lantai dan memainkan boneka barbie-nya. Dengan sekuat tenaga Zaki mendorong kursi itu hingga pintu kamar terbuka lebar.Utami menerobos masuk membawa Lia keluar kamar agar tidak mendengar obrolan orang dewasa. Ibu mertua yang juga baru keluar kamar menghampiri Utami."Bu, bawa Lia keluar sebentar. Dia mau jajan, aku ada urusan!" pinta Utami sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribu.Sementara di depan kamar, Bayu tersenyum miring. Kursi roda yang diduduki Zaki dia dorong ke gudang.
Dua orang dewasa yang sibuk memandang ke luar jendela itu tidak sadar bahwa ada anak kecil yang sedang mencoba menyampaikan perasaanya. Dia masih polos, tetapi cinta memberinya pengertian."Mama pergi sebentar, tidak lama," kata Lia sambil menggoyangkan boneka barbie di tangan kirinya."Mama, aku selalu rindu," kata gadis kecil itu lagi sambil menggerakkan boneka di tangan kanannya.Usia memang masih sekecil itu—hampir tiga tahun—tetapi Allah menganugerahinya otak yang tangkas. Tiba-tiba dia berdiri menghampiri papanya yang masih setia menatap kosong ke depan."Ini papa, Ma. Papa selalu menangis malam-malam."Mendengar penuturan sang anak membuat Zaki menoleh tidak percaya. Dia tidak menyangka pernah ketahuan Lia sedang menangis."Lia pernah lihat papa nangis, Nak?""Pernah. Lia bangun dan lihat Papa nangis panggil-panggil mama, padahal mama tidak ada.""Allah," gumam Zaki seraya menutup mata. Bulir bening jatuh membasahi pipinya.Lelaki yang sedang duduk di kursi roda itu kembali teri
Hari sudah beranjak siang, Zaki merasa bosan berada dalam rumah. Cuaca mendung begitu cocok untuk memikirkan banyak hal, begitu pikirnya. Sementara Lia tidur lelap di depan televisi, dia merasa memang harus memanfaatkan situasi ini.Kursi roda itu melaju pelan berkat usaha Zaki sendiri. Sesampainya di depan rumah, pandangan matanya berubah sendu. Di sana, pada bola mata itu tersimpan luka yang enggan disampaikan.Bayangan masa lalu mengusik pikiran, tepat ketika dia pulang kerja langsung disambut hangat oleh Tyas. Mereka saling melempar senyum karena rindu seharian tidak bertemu.Tangan kekar itu terulur berharap seseorang yang sedang merajai pikiran menyambut dan mencium punggungnya. Sayang sekali, hanya embusan angin yang menggelitik di sela jemarinya.Hatinya berteriak menanyakan pada langit, 'Kapan aku bisa berjalan lagi?' Akan tetapi, sayang seribu sayang langit hanya bisa diam membisu dengan awannya yang berkabut tebal.Seperti menyimpan rindu. Seperti menyimpan luka."Ngapain?
"Zaki, kamu ngapain di sini? Tadi ibu bawa Lia ke kamarmu."Lelaki malang itu tidak menyahut, pikirannya terlalu sibuk untuk menjawab sendiri pertanyaan yang sudah lama dipendam. Bu Septi telah berhasil membawa pengaruh buruk.Zaki mengusap wajah gusar karena kesal. Dia ingin marah, memberontak atau membunuh siapa pun yang menjauhkannya dari Tyas. Akan tetapi, itu sekadar angan karena berdiri pun dia tidak sanggup.Sang ibu menjatuhkan bokong di kursi. Dia merasa anaknya menyimpan perih. Ada rasa bersalah untuk beberapa saat, tetapi mimpi untuk menjadi orang kaya selalu merusak segalanya."Tyas bekerja keras untuk menghidupi kita. Dia menantu yang baik.""Benarkah, Bu?" Zaki bertanya, tetapi bukan karena bangga istrinya disebut menantu baik."Hari itu dia menangis bahkan meneriaki ibu karena menolak pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di tempat Tuan Edbert, bahkan tidak segan Tyas mendorong ibu. Sekarang, lihat bagaimana keadaannya. Tyas bahkan jauh lebih cantik dari Utami.""Seora
POV TYAS ARYANI🤍"Maria, tolong kamu panggil Louis ke sini sekarang!" perintahku ketika melihat Maria lewat."Tapi, kenapa, Nona?""Panggil saja. Sekarang!"Perempuan cantik itu bergegas ketika melihat wajahku yang memasang wajah masam. Siapa yang tidak khawatir mendengar kabar dari Mas Bayu kalau di rumah sedang ribut.Aku kenal betul siapa Bu Septi. Gara-gara lisannya, sudah dua suami istri yang bercerai pun tiga orang anak yang menelantarkan orangtuanya. Miris sekali. Itu terjadi karena rasa iri dalam hatinya.Napas kian memburu, aku benar-benar bingung sekarang bagaimana meyakinkan Mas Zaki kalau aku sungguh bekerja di sini sebagai pelayan bukan di klub malam. Hati berharap penuh Tuan Edbert tidak lekas kembali."Nona, Anda mencari aku?""Ya, Louis. Aku butuh bantuan kamu.""Tapi, bantuan apa?""Tolong pinjamkan baju pelayan yang kamu punya. Aku terdesak sesuatu."Louis tidak bertanya, dia langsung ke luar kamar untuk mengambil pakaian pelayan miliknya. Aku berusaha bersikap ten