Jam sudah menunjuk pukul dua siang, tetapi Mbak Utami belum juga kembali. Aku penasaran dia pergi ke mana dengan kartu ATM itu. Pikiran terus melayang entah harus ke mana lagi, aku khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Mama lagi apa?" tanya Lia. Aku yang sedang duduk bersandar pada tembok menoleh dan tersenyum."Lia mau makan?"Gadis kecilku menggeleng pelan. Sejak tadi dia menolak untuk makan, tetapi kali ini harus dipaksa. Aku berdiri, membawanya ke dapur untuk mengisi perut."Mau apa?"Aku menoleh. "Mau kasih makan Lia, Bu. Sejak tadi dia belum makan."Piring kecil yang ada di tanganku dirampas kasar oleh ibu. "Biar ibu yang suapin, kamu urus gih suamimu itu! Tadi ibu dengar dia merintih!""Merintih?" Tanpa menunggu jawaban aku langsung melangkah cepat menuju kamar yang pintunya tertutup rapat."Mas?" Aku terkejut begitu melihat Mas Zaki duduk di lantai."Ada apa?""Harusnya aku yang nanya, ada apa, Mas?"Mas Zaki menggeleng pelan, dia kemudian tersenyum kikuk. Wajahnya
"Maksud kamu apa, Zaki?" tanya ibu mertua memegang bahu Mas Zaki.Seperti tidak suka, dia menepis tangan keriput itu walau dengan lembut aku bisa merasakan kekesalannya. Mas Zaki mendorong kursi rodanya beberapa senti mendekat padaku dengan menatap nanar."Aku tahu kebohongan apa yang sedang terjadi," ucapnya membuat kami terkejut."Tidak ada kebohongan, Mas," elakku."Aku bukan anak kecil. Aku tahu gerak-gerik kalian. Tidak mungkin tiba-tiba Mas Bayu beli mobil, istrinya belanja banyak padahal sudah tidak bekerja dan banyak keanehan lainnya termasuk perhiasan-perhiasan itu.""Kebohongan apa yang kamu maksud, Zaki? Mau memfitnah istrimu karena bekerja di luar rumah? Kalau mau dia terjaga, maka beri dia nafkah, bisa?""Mbak!" selaku, "jangan pernah bilang seperti itu pada Mas Zaki. Dia itu–""Lelaki tak sempurna," sambung Mbak Utami seenaknya."Tidak! Mas Zaki adalah suamiku. Kami ada untuk saling melengkapi. Mungkin detik ini Mas Bayu bisa bekerja di tempat layak, kita tidak tahu epis
"Seperti pinang pulang ke tampuknya," ucap Mas Zaki ketika aku pamit padanya untuk kembali bekerja di rumah Tuan Edbert.Kalimat itu tidak terdengar asin di telinga. Ya, waktu sekolah dulu seorang teman pernah mengucapkan itu dan memberitahu artinya adalah sudah pada tempatnya.Mungkinkah Mas Zaki mengira aku perempuan murahan karena menguping pembicaraanku dengan Mas Bayu tadi malam? Sungguh kejadian itu bukan tentang perselingkuhan, tetapi usaha agar bisa lepas.Aku merentan hati mendengar kalimat sindiran dari suami sendiri. Bagaimana pun dia ada benarnya karena tidak tahu suasana hati yang sesungguhnya."Bukankah tertungkus lumus lebih tepat, Mas?""Apa itu, Tyas?" sela ibu mertua. Mungkin saja sejak tadi dia belum mengerti suasana hati anak dan menantunya."Tertungkus lumus itu terbenam dalam pekerjaan tentang kesusahan uang dan sebagainya, Bu," jawabku pelan."Apa Ibu senang karena Tyas sebentar lagi akan pergi?" tanya Mas Zaki membuat ibu mertua terlihat salah tingkah.Dia bahk
"Halo, Ed?""Apa yang membuatmu selama ini?!" bentak Tuan Edbert membuatku terperanjat kaget. Ponsel pun spontan menjauh dari telinga."Tidak, hanya saja tadi perutku tiba-tiba sakit jadi Pak Damar menunggu lama.""Baiklah, jangan singgah di mana pun dan langsung ke sini. Bilang pada Pak Damar untuk menambah kecepatan mobil!"Belum sempat aku mengiyakan, Tuan Edbert sudah memutus panggilan telepon. Bentakannya tadi membuatku menghela napas berat berkali-kali."Pak, kita gak usah ke salon. Mending nambah sedikit kecepatan saja, Tuan Edbert sudah marah kayaknya!""Baik, Nona. Anda tidak perlu risau." Pak Damar pun tersenyum.Bahasa yang baku membuatku resah di sana. Bukan hanya ketika bersama Tuan Edbert, tetapi para pelayan pun melakukan hal sama. Bisa dibilang ini aturan wajib yang tidak boleh kita langgar.Sesampainya di rumah yang megah nan indah setelah waktu berputar tak terbilang, aku langsung menuju kamar hendak mandi karena merasa gerah sementara seorang pelayan membawa tas bes
Angin malam berembus begitu syahdu ketika aku menyibak tirai dan membuka jendela. Di luar sana terlihat ramai, tetapi hanya bisa dipandang di balik kamar.Kabarnya Tuan Edbert akan pulang larut, jadi aku bisa leluasa melakukan apa saja. Teringat pukulannya tadi membuat hati sedikit menciut. Aku tidak pernah menyangka hal itu akan terjadi.Mas Zaki saja belum pernah semarah itu padahal kami sudah lama saling mengenal. Tuan Edbert seperti tidak punya hati, dia bertindak sesuai apa yang ada dalam pikirannya.Pintu kamar sedikit terbuka, aku memang sengaja melakukan itu karena Maria dan Louis janji akan menemuiku setelah pekerjaannya selesai. Hanya mereka yang menjadi tempat mencurahkan isi hati.Hidup bagai dipenjara, padahal harta bergelimang. Uang memang bukan sumber kebahagiaan. Jika memang ya, seharusnya aku tidak ingat hal lain lagi karena sibuk memikirkan uang.Uang kalah oleh cinta. Sampai sekarang aku tidak bisa melepas Mas Zaki demi Tuan Edbert sekalipun dia tidak meminta. Setul
POV AUTHOR👩💻Bayu dan Utami yang baru saja selesai diskusi di ruang tamu langsung melangkah cepat menuju kamar Zaki yang masih tertutup rapat padahal jam judah menunjuk angka delapan lewat."Zaki, buka pintunya!" teriak Bayu sambil menggedor tak sabaran.Lia yang sedang bermain boneka terkejut dan langsung menyambar ke dalam pelukan Zaki yang baru selesai berganti pakaian. "Om Bayu, Pa," lirihnya."Lia main lagi, papa mau buka pintu dulu. Oke?"Gadis kecil itu mengangguk, kemudian kembali duduk di lantai dan memainkan boneka barbie-nya. Dengan sekuat tenaga Zaki mendorong kursi itu hingga pintu kamar terbuka lebar.Utami menerobos masuk membawa Lia keluar kamar agar tidak mendengar obrolan orang dewasa. Ibu mertua yang juga baru keluar kamar menghampiri Utami."Bu, bawa Lia keluar sebentar. Dia mau jajan, aku ada urusan!" pinta Utami sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribu.Sementara di depan kamar, Bayu tersenyum miring. Kursi roda yang diduduki Zaki dia dorong ke gudang.
Dua orang dewasa yang sibuk memandang ke luar jendela itu tidak sadar bahwa ada anak kecil yang sedang mencoba menyampaikan perasaanya. Dia masih polos, tetapi cinta memberinya pengertian."Mama pergi sebentar, tidak lama," kata Lia sambil menggoyangkan boneka barbie di tangan kirinya."Mama, aku selalu rindu," kata gadis kecil itu lagi sambil menggerakkan boneka di tangan kanannya.Usia memang masih sekecil itu—hampir tiga tahun—tetapi Allah menganugerahinya otak yang tangkas. Tiba-tiba dia berdiri menghampiri papanya yang masih setia menatap kosong ke depan."Ini papa, Ma. Papa selalu menangis malam-malam."Mendengar penuturan sang anak membuat Zaki menoleh tidak percaya. Dia tidak menyangka pernah ketahuan Lia sedang menangis."Lia pernah lihat papa nangis, Nak?""Pernah. Lia bangun dan lihat Papa nangis panggil-panggil mama, padahal mama tidak ada.""Allah," gumam Zaki seraya menutup mata. Bulir bening jatuh membasahi pipinya.Lelaki yang sedang duduk di kursi roda itu kembali teri
Hari sudah beranjak siang, Zaki merasa bosan berada dalam rumah. Cuaca mendung begitu cocok untuk memikirkan banyak hal, begitu pikirnya. Sementara Lia tidur lelap di depan televisi, dia merasa memang harus memanfaatkan situasi ini.Kursi roda itu melaju pelan berkat usaha Zaki sendiri. Sesampainya di depan rumah, pandangan matanya berubah sendu. Di sana, pada bola mata itu tersimpan luka yang enggan disampaikan.Bayangan masa lalu mengusik pikiran, tepat ketika dia pulang kerja langsung disambut hangat oleh Tyas. Mereka saling melempar senyum karena rindu seharian tidak bertemu.Tangan kekar itu terulur berharap seseorang yang sedang merajai pikiran menyambut dan mencium punggungnya. Sayang sekali, hanya embusan angin yang menggelitik di sela jemarinya.Hatinya berteriak menanyakan pada langit, 'Kapan aku bisa berjalan lagi?' Akan tetapi, sayang seribu sayang langit hanya bisa diam membisu dengan awannya yang berkabut tebal.Seperti menyimpan rindu. Seperti menyimpan luka."Ngapain?