Petang baru saja tiba saat kurebahkan badan di ranjang. Banyak hal yang terjadi hari ini, membuatku lupa untuk sekadar mencari asupan gizi. Niat hati ingin meneguk darah super lezat itu saat kutemui, malah berakhir di rumah sakit sebagai wali.
Sial!
Sembari berbenah diri, kilas kejadian tadi kembali teringat. Mengenai kondisi Jonathan yang jauh dari kata sehat.
"Kita tak bisa merawatnya di sini, ia ... seperti kehilangan banyak darah."
"Lakukan apa pun, bawa secepatnya!" perintahku pada salah seorang paramedis yang datang memeriksa.
Bersama dengan dua ahli medis, kubawa Jonathan ke rumah sakit terdekat. Lantas segera masuk pada ruang gawat darurat. Tampak beberapa dokter mendengar pernyataan dari paramedis yang memeriksa sebelumnya.
Setelah itu, ia mulai memberi instruksi semb
Yuk, yuk, yuk. Login Jan lupaaa. Aku secerewet ini tuh buat kalian, Gaes. Biar bisa nyimpen koin buat buka babnya si Grace, loh 💚
Dalam sekejap saja, iblis peniru itu telah melarikan diri ke arah sebaliknya. Ia berlari kencang, sedangkan diri ini mencoba mengejar meski enggan. Setidaknya, aku harus benar-benar meyakinkan ia bahwa aku memang temannya."Mau ke mana?!"Kulihat ia hanya menoleh sembari menggeleng padaku. Bersamaan dengan itu, kulihat Jean yang asli melewatiku dari samping. Sementara iblis itu masih melihat, aku tak bisa langsung mendekati yang asli.Jadi, kubiarkan Jean berlalu sembari melihat ke mana ia menuju. Hanya dalam hitungan menit, iblis peniru itu telah hilang ditelan kerumunan masa. Jika dia bisa meniru Jean, sudah pasti ia bisa meniru yang lain.Sebelum hal yang kutakutkan terjadi, lekas kuderap langkah tergesa demi menyusul Jean yang sesungguhnya. Demi Tuhan, jangan sampai iblis itu meniru orang lain untuk kembali kemari. 
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, sembari mencoba melihat ke arah di mana mataku melirik."Tak bisakah kau datang dengan senyum semringah layaknya bocah biasa, huh? Kau sudah terlalu sering menakutiku dengan mengatakan banyak hal yang harusnya tak kau ketahui! Jadi, cobalah bersikap seperti bocah pada umumnya!"Alih-alih menuruti, Dio malah mencebik. Lantas memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku di masing-masing sisi celana. Selalu itu yang akan dilakukan."Dia Jean yang asli.""Ya, aku tau. Lalu, bisakah kau jelaskan banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini?""Bisa, tapi dengan satu permintaan.""Tunggu dulu, tunggu!" Lekas kuambil ponsel dan memberikannya pada Dio. "Tulis alamat dan nomor ponselmu dengan jelas! Sebenarnya, aku tak pernah seperti ini. Apalagi
"Jadi, kau adalah Dio Rene Junior?"Kulihat, Dio tak terkejut. Sebaliknya, ia tampak mengulas senyum. Entah mengapa, tiba-tiba saja perasaanku jadi tak enak."Ya, Grace. Terima kasih telah menjadi malaikat di saat yang tepat."Malaikat katanya? Anganku melayang pada kejadian sepuluh tahun yang lalu, saat menumukan Tonia Rene tengah terkapar bersimbah darah di pinggir jalan. Di tengah-tengah hutan lindung."To-long!"Aku yang baru saja membuang jasad pemuda yang telah kuteguk habis darahnya demi terkendalinya iblis yang bersemayam dalam tubuh pun terkejut saat mendengar erangan wanita. Hampir saja aku pergi, jika ia tak mengancam."Jika aku selamat, aku akan melaporkanmu pada polisi!"Bukan ancamannya
Sudah lebih dari dua hari Jonathan dirawat secara intensif di rumah sakit ternama tengah kota. Sudah selama itu pula ia mengunci bahasa, enggan menimpali tanya atau bahkan untuk sekadar mendengar informasi dariku untuk sekejap. Ia bersikukuh dengan komitmen yang dikatakan sejak tahu siapa diri ini sebenarnya.Meski begitu, aku tak bisa melepasnya begitu saja. Aku yang sudah memutuskan untuk membantunya, memberinya kesempatan hidup kali kedua, harus membuatnya percaya bahwa Jean yang ditemui akhir-akhir ini bukanlah sosok yang sebenarnya."Kau tau, Jo, Jean yang asli bahkan enggan menemuimu sebelumnya!"Tak ada gurat keterkejutan pada wajahnya yang pucat bak tanpa aliran darah. Begitu pula gestur tubuhnya yang sama sekali enggan memberi respon saat kusentuh bahunya yang kekar."Terserah jika
"Kali ini kau harus mempercayaiku, Jo! Aku memang tak tahu banyak tentang dunia lain yang ditinggali para iblis. Hanya saja, jika kau sudah pernah melihat wujudku, bukankah harusnya kau lebih percaya bahwa para iblis itu memang diciptakan di dunia yang sama?" Sembari mondar-mandir, sekali lagi kuyakinkan pada pria yang tengah berbaring di brankar tentang Jean yang ditemui adalah bukan yang sebenarnya. Melainkan seorang iblis yang tengah menyamar. "Aku percaya." Sontak saja, aku terperangah. Secepat inikah ia percaya? Ma-maksudku, bukankah pagi tadi ia belum mau bicara padaku? "A-apa? Kau percaya padaku?" tanyaku, memastikan. Ia menoleh, lalu menatapku tajam. "Aku hanya percaya pada pernyataanmu mengenai iblis yang diciptakan di dunia yang sama. Bukan padamu." Ah, tentu saja. Aku yang hampir membunuhnya, mana mungkin dipercayai begitu saja. "Setida
"Brenda? Kenapa kau kemari?"Matanya ... terpancar warna kemerahan di balik pekatnya gulita. Ia benar-benar iblis itu. Pantas saja aku tak mendapatinya masuk. Kemungkinan besar, ia dalam wujud yang berbeda saat datang."Oh, halo, Jean. Kita bertemu lagi! Aku tadi ... anu, cuma mau mastiin kalo itu kau dan Jonathan.""Ah, iya. Ini kami. Lalu kau mau apa?" tanya Jean yang melipat tangan di dada. Ia tampak terganggu."Bisa kita berbincang sebentar?"Iblis itu menoleh ke belakang sebentar, kulihat tak ada respon dari Jonathan. "By the way, aku lagi sibuk. Maksudku, Jonathan menungguku. Kau tau betul, 'kan, apa maksudku?""Ah, iya benar. Tapi, kupikir ini lebih penting!""Kau bisa tinggalkan nomor telepon, Brenda, biar kuhubungi setelah urusanku selesai, oke?" Ia mencoba memberi jalan ke luar dan mengulurkan ponsel ke
Pandanganku gelap, tak ada setitik cahaya pun yang terlihat. Kuraba-raba area sekitar, tetapi tak ada apa pun yang dapat menuntun demi mencari penerangan."Jo?"Aku tergemap lantaran suara yang ke luar menggema berulang-ulang. Untuk kali kedua aku tergemap, karena nama yang pertama kali kucari adalah Jonathan. Namun kulupakan itu barang sejenak sembari berpikir, di mana ini sebenarnya?Sekali lagi, kuraba-raba sisi bagian yang lain. Berharap menemukan sesuatu untuk menuntun langkah yang tertatih. Sesekali, ujung kakiku terantuk. Terkadang pada benda yang padat, tapi lebih sering pada sesuatu yang halus nan lembut.Perlahan kulihat cahaya yang datang dari jauh. Seperti de javu, tapi aku tak yakin ada hal seperti itu.Kupicingkan mata, lantas terbelalak saat sadar cahaya apa yang mendekat. Aku mengenalinya, tahu betul sosok yang kini tengah membulatkan kedua mata merah dengan rambu
"Apa? Enggak!"Kedua mata Jonathan melotot penuh amarah. Ia bangkit dari sofa, lalu menatap ke arah luar jendela."Dengar, Jo, kita semua dalam bahaya! Sing--""Kau siapa? Bocah sepertimu mana tahu ada bahaya apa? Aku melihatnya sendiri, ia lebur bersama angin yang berembus!"Aku dan Jean saling berpandangan, entah apa yang ada dalam pikirannya. Hanya saja, sorot matanya tampak ketakutan. Ya, apalagi setelah Dio menceritakan banyak kemungkinan tentang sang iblis yang hendak membalas dendam."Aku memang bocah, tapi kau pun tak lebih baik pula sikapnya dariku."Dio mulai lagi. Ia juga enggan merendah. Kedua tangannya masuk ke dalam saku masing-masing sisi celana."Nggak usah banyak bicara! Pergi dari sini!"Pria bermata hazel itu habis kesabaran. Dengan kasar, ia mendekati Dio dan menarik kerah bagian belakang. Menyeret
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad
Hari sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi baru saja mendarat dengan mulus. Penerbangan dari Miami ke London memakan waktu lebih dari delapan jam. Terhitung, sudah seminggu aku dan Hard mengumpulkan banyak sekutu.Menurut perhitungan dari laporan seluruh iblis yang menerima persekutuan, sudah ada sekitar 18 iblis murni yang mengulurkan tangan. Belum iblis turunan yang memang mereka ikut sertakan."Itu bahkan sebelum seperempat dari total iblis murni yang memihak Nathalie, Hard."Ucapan Jonathan memang benar adanya. Namun, hampir semua iblis yang telah rela mengubah haluan itu adalah para barisan makhluk tertua. Bahkan, terkuat pada eranya.Terlebih Jersey. Ia tak akan mati semudah itu. Tak ada yang tahu apa kelemahannya, kecuali aku. Pukulannya mampu membelah bebatuan besar. Jika ia masih memegang janjinya, aku tak perlu khawatir pada musuh yang mungkin tubuhnya lebih besar.
"Kau beruntung tanduknya bisa tumbuh lagi, Grace."Aku membuang muka. Bukan salahku jika harus meladeni amarahnya, 'kan?""Memang bukan salahmu karena membela diri. Hanya saja, kau lupa bahwa ada peraturan mengenai hak wilayah perburuan. Bukan hanya manusia yang punya dasar-dasar aturan. Kita juga punya."Kuhela napas panjang, lantas kembali menatap titik-titik cahaya di dekat telaga. Mungkin, para manusia itu sedang mencari sumber suara geraman yang tercipta tadi. Aku tak yakin, mereka akan menyimpulkan ini ulah hewan buas. Kerusakan yang terjadi di luar nalar dan batas binatang."Biarkan mereka dengan opini masing-masing. Setidaknya, jangan sampai manusia tahu banyak iblis berada tak jauh dari mereka."Aku bergeming, lantas menatap Hard dan Jersey bergantian. "Ia tak kembali ke wujud manusia?"Hard mendekat, lalu duduk bersisian denganku. "Dia bukan iblis s
"Beraninya kau melanggar batas!"Suara berat itu menggelegar, membuatku sedikit terguncang. Ia melompat, dalam sekejap saja sudah berada di hadapan. Seluruh tubuhnya yang merah, serta tanduk yang memanjang membuatku ngeri menatapnya lebih lama.Tubuhnya yang gempal langsung membekap dan membawaku bersamanya. Dari ketinggian, kulihat Jonathan yang bergeming di bawah sana. Pun Hard yang juga mematung di tempat.Cepat kubentang sayap hendak meloloskan diri dari cengkeraman tangan besarnya yang kuat. Sayangnya, untuk bergerak seidkit pun aku tak mampu. Apalagi hendak membentangkan kedua sayap."Kau tak akan bisa lepas!"Sekali lagi, suara itu menggema bak lindu yang mengguncang. Kulihat sekeliling, mengabaikan embusan angin. "Hard!"Brak!Tubuhku dibanting, aku terpelanting hingga menabrak bebatuan di pinggiran danau. Kepalaku pusing. "Tu ...