Pandanganku gelap, tak ada setitik cahaya pun yang terlihat. Kuraba-raba area sekitar, tetapi tak ada apa pun yang dapat menuntun demi mencari penerangan.
"Jo?"
Aku tergemap lantaran suara yang ke luar menggema berulang-ulang. Untuk kali kedua aku tergemap, karena nama yang pertama kali kucari adalah Jonathan. Namun kulupakan itu barang sejenak sembari berpikir, di mana ini sebenarnya?
Sekali lagi, kuraba-raba sisi bagian yang lain. Berharap menemukan sesuatu untuk menuntun langkah yang tertatih. Sesekali, ujung kakiku terantuk. Terkadang pada benda yang padat, tapi lebih sering pada sesuatu yang halus nan lembut.
Perlahan kulihat cahaya yang datang dari jauh. Seperti de javu, tapi aku tak yakin ada hal seperti itu.
Kupicingkan mata, lantas terbelalak saat sadar cahaya apa yang mendekat. Aku mengenalinya, tahu betul sosok yang kini tengah membulatkan kedua mata merah dengan rambu
Ada yang penasaran nggak sih, kok Dio bisa setau itu? Jomlah, beberapa part ke depan bakal nemuin jawabannya 💚
"Apa? Enggak!"Kedua mata Jonathan melotot penuh amarah. Ia bangkit dari sofa, lalu menatap ke arah luar jendela."Dengar, Jo, kita semua dalam bahaya! Sing--""Kau siapa? Bocah sepertimu mana tahu ada bahaya apa? Aku melihatnya sendiri, ia lebur bersama angin yang berembus!"Aku dan Jean saling berpandangan, entah apa yang ada dalam pikirannya. Hanya saja, sorot matanya tampak ketakutan. Ya, apalagi setelah Dio menceritakan banyak kemungkinan tentang sang iblis yang hendak membalas dendam."Aku memang bocah, tapi kau pun tak lebih baik pula sikapnya dariku."Dio mulai lagi. Ia juga enggan merendah. Kedua tangannya masuk ke dalam saku masing-masing sisi celana."Nggak usah banyak bicara! Pergi dari sini!"Pria bermata hazel itu habis kesabaran. Dengan kasar, ia mendekati Dio dan menarik kerah bagian belakang. Menyeret
Kuderap langkah tergesa ke arah apartemen, mengabaikan sekian banyak kejadian yang memperumit. Sebelumnya, bahkan aku tak pernah mau ikut campur urusan orang lain.Aku masih tak habis pikir, kenapa takdir mempermainkan iblis selucu ini? Rahasia apa lagi yang nantinya akan jadi takdirku?Banyak pikiran yang membuatku merasa kian runyam. Terlebih, saat salah satu orang yang mungkin kupercayai memberi informasi mustahil. Apa katanya tadi? Reinkarnasi?Jika semua orang bisa hidup lagi, lalu kenapa orang-orang lain tak mengenaliku? Bukankah wajahku tak berubah sedikit pun?Aku menggeleng cepat, mengenyahkan banyak ribuan cabang tanya yang menuntut jawab. Namun, semakin kucoba, kian pusing pula rasanya.Di kamar, cepat kurebahkan diri pada sofa dudukan tiga. Berharap, semua hanya mimpi belaka. Lekas bangun, setidaknya lupakan semua kejadian yang ada.Mengenai Jo, J
"Kau bahkan tak tahu? Devil Hunter itu ayahmu!"Aku mengernyit, lantas mengalihkan pandang pada laut lepas. Ada banyak tanya yang kini menuntut jawab. "Maksudmu apa? Dua kesatuan, Devil Hunter, ayah, apa lagi nanti?"Enggan rasanya melihatnya lagi. Bukan karena apa, hanya saja aku tak ingin percaya meski pernyataannya mengusik."Kupikir, kau lebih tau segalanya. Nyatanya, tentang keluargamu saja kau tak tau apa pun."Apa katanya? Keluarga? "Diam sajalah.""Kenapa tak kau tanyakan saja padaku? Aku tau segalanya, Brenda. Tentang ibu, ayah, bahkan dunia sebelum bergantung pada alat-alat canggih.""Aku tak tertarik. Kau bisa membunuhku sekarang atau melepasmu begitu saja.""Lantas, mengapa kau mencoba menghentikanku tempo hari, huh?!"Kedua tangannya telah mencengkeram leherku dengan kuat. Sesaat ada rasa panas menjalar p
"Kau yang memanggilku?" Suara berat itu terdengar menakutkan, apalagi saat moncong senjatanya menarget kepala. Aku mengangguk sembari mencoba berbalik. "Ja-jadi, kau adalah pemburu iblis?" "Dan kau adalah iblis!" Mendengar pernyataannya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Entah apa yang akan dilakukannya pada diri ini. Padahal, ia mengungkapkan fakta itu dengan nada suara datar. Namun, terasa begitu mengintimidasi. "Kau benar." Aku memejamkan mata saat bunyi pelatuk ditekan kembali terdengar. Namun, bukannya suara letusan senjata tajam yang kudengar. Melainkan tawa yang menggelitik. Lekas kualihkan pandang ke arah belakang, melihat siapa sosok di balik pemburu iblis. Terlihat jelas seorang pria dengan iris mata kebiruan. Hidungnya yang mancung kian membuatku mengernyit heran. Wajahnya hampir mirip den
Mengenai dunia bawah tanah, aku tak begitu paham. Sedikit banyak yang kutangkap, dunia bawah tanah tak berbeda jauh dari kehidupan manusia pada umumnya. Hanya saja, selalu ada perbedaan di antara keduanya. Tentang para penghuni, kedamaian, serta peraturan yang harus diikuti. Satu yang membuatku terkejut bukan main adalah saat ini, masing-masing iblis tak lagi punya keturunan. Terlebih, dari kalangan empusa dan inkubus. Kata Ayah, itu karena peperangan itu. Banyak iblis yang mati di tangan iblis lain. Hanya karena melanggar satu peraturan, maka hilanglah nyawa kebanyakan. "Lalu, sejak saat itu tak lagi ada pemburu iblis?" tanyaku kemarin malam. "Banyaknya iblis yang mati membuat Dewi Hecate marah. Ia menghukum banyak petinggi karena telah lalai menjaga perdamaian. Lalu, amarahnya lesap bersamaan dengan ucapan istri Dewa Zeus. Para iblis akan kembali berperang hingg
Aku masih menimbang-nimbang, memikirkan ulang tentang usulan dari Ayah. Terlebih, mengingat bagaimana respon Jonathan sebelumnya.Masih dalam rencana yang sama. Aku dan Jo harus memiliki sebuah hubungan atas nama kepercayaan dan cinta. Meski hanya pura-pura, setidaknya label kepemilikan di depan Tuhan akan mampu menjadi tameng terkuat.Percakapan kemarin kembali mengusikku yang tak kunjung mampu memejamkan mata. Setidaknya, aku tak tidur karena memikirkan strategi, 'kan?"Apa hubungannya tameng dengan hubungan, Hard?""Ada banyak aturan dari dunia bawah tanah mengenai para mangsa, Grace. Kau pikir, iblis sebanyak itu tak punya aturan main dalam berburu?"Hard beranjak dari balik jendela kaca dengan cara memundurkan langkah. Ia terhenti, tepat saat pahanya menyentuh sandaran sofa. Lantas, ia menyandarkan diri di sana, masih dalam posisi setengah berdiri."Kata
Aku masih sibuk berguling ke sana kemari meski pagi mulai datang. Semalam suntuk mataku enggan terpejam. Rencana Ayah masih terus terngiang di kepala.Aturan-aturan yang semestinya memberi kedamaian, malah membuatku berpikir terlalu keras. Terlebih bagi seorang pemburu seperti Ben Hardy. Mengawasi banyak iblis di dunia tentu saja bukan hal mudah. Beruntung, saat ini tak banyak iblis tersisa.Kini, bagaimanapun juga aku harus segera menemui Jonathan. Ialah satu-satunya kunci agar semua aturan bisa ditegakkan. Bukan untukku, melainkan demi keselamatan semua orang."Kau mencintainya?" tanya Hard.Mendengar pertanyaannya tentu saja diri ini enggan menjawab. Alih-alih berdalih, aku malah asyik menatap mata kebiruan Ayah."Ibumu jatuh cinta saat menatap kedua mataku, Grace, jadi berhenti menatapku seperti itu.""Setelah seratus tahun, akhirnya aku menemukan keluarg
"Jangan pikirkan apa pun, Grace, tapi coba kau renungi ini. Selama lebih dari seratus tahun kau menemui banyak pria, tak ada yang mampu membuat hatimu menghangat. Lalu, saat kau temukan sosok itu, relakah kau jika dia diambil paksa dari sisimu? Hatimu akan membeku, untuk sekali lagi.Kehilangan, kau akan merasakan hukuman yang teramat berat saat menyadari segalanya telah berubah. Apalagi, kau juga turut andil dalam keberdayaan untuk membuatnya terbunuh. Lalu, masih bisakah kau bernapas lega?"Aku mengerjap, tak mampu menjawab. Dalam hitungan detik aku terpaku, untuk menggerakkan bibir pun kelu.Setelah Hard mengedipkan matanya, ia tersenyum, sedangkan aku kembali mampu menggerakkan anggota tubuh. Lekas, aku bangkit dan mendelik, menuntut jawab."Apa-apaan, Hard?""Maaf, Grace, kau merasa tak nyaman?""Konyol! Pertanyaan macam apa itu?""S
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad
Hari sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi baru saja mendarat dengan mulus. Penerbangan dari Miami ke London memakan waktu lebih dari delapan jam. Terhitung, sudah seminggu aku dan Hard mengumpulkan banyak sekutu.Menurut perhitungan dari laporan seluruh iblis yang menerima persekutuan, sudah ada sekitar 18 iblis murni yang mengulurkan tangan. Belum iblis turunan yang memang mereka ikut sertakan."Itu bahkan sebelum seperempat dari total iblis murni yang memihak Nathalie, Hard."Ucapan Jonathan memang benar adanya. Namun, hampir semua iblis yang telah rela mengubah haluan itu adalah para barisan makhluk tertua. Bahkan, terkuat pada eranya.Terlebih Jersey. Ia tak akan mati semudah itu. Tak ada yang tahu apa kelemahannya, kecuali aku. Pukulannya mampu membelah bebatuan besar. Jika ia masih memegang janjinya, aku tak perlu khawatir pada musuh yang mungkin tubuhnya lebih besar.
"Kau beruntung tanduknya bisa tumbuh lagi, Grace."Aku membuang muka. Bukan salahku jika harus meladeni amarahnya, 'kan?""Memang bukan salahmu karena membela diri. Hanya saja, kau lupa bahwa ada peraturan mengenai hak wilayah perburuan. Bukan hanya manusia yang punya dasar-dasar aturan. Kita juga punya."Kuhela napas panjang, lantas kembali menatap titik-titik cahaya di dekat telaga. Mungkin, para manusia itu sedang mencari sumber suara geraman yang tercipta tadi. Aku tak yakin, mereka akan menyimpulkan ini ulah hewan buas. Kerusakan yang terjadi di luar nalar dan batas binatang."Biarkan mereka dengan opini masing-masing. Setidaknya, jangan sampai manusia tahu banyak iblis berada tak jauh dari mereka."Aku bergeming, lantas menatap Hard dan Jersey bergantian. "Ia tak kembali ke wujud manusia?"Hard mendekat, lalu duduk bersisian denganku. "Dia bukan iblis s
"Beraninya kau melanggar batas!"Suara berat itu menggelegar, membuatku sedikit terguncang. Ia melompat, dalam sekejap saja sudah berada di hadapan. Seluruh tubuhnya yang merah, serta tanduk yang memanjang membuatku ngeri menatapnya lebih lama.Tubuhnya yang gempal langsung membekap dan membawaku bersamanya. Dari ketinggian, kulihat Jonathan yang bergeming di bawah sana. Pun Hard yang juga mematung di tempat.Cepat kubentang sayap hendak meloloskan diri dari cengkeraman tangan besarnya yang kuat. Sayangnya, untuk bergerak seidkit pun aku tak mampu. Apalagi hendak membentangkan kedua sayap."Kau tak akan bisa lepas!"Sekali lagi, suara itu menggema bak lindu yang mengguncang. Kulihat sekeliling, mengabaikan embusan angin. "Hard!"Brak!Tubuhku dibanting, aku terpelanting hingga menabrak bebatuan di pinggiran danau. Kepalaku pusing. "Tu ...