Banyu dan Seli sudah merasa kenyang. Mereka gegas meninggalkan gerai bakmi tersebut. Keduanya masuk mobil kembali untuk melanjutkan perjalanan pulang.
"Mbak, pernah gak Layla cerita sama kamu, kalo dia ada kayak trauma terhadap pernikahan?" tanya Banyu sambil fokus menyetir.
Seli menatap adik iparnya. Bukan tanpa alasan Banyu bertanya demikian. Pria itu sudah pernah ditolak sekali oleh Layla satu tahun yang lalu.
Namun, karena rasa cintanya yang kuat, Banyu tidak patah semangat. Dirinya terus memperlihatkan perhatian dan rasa sayangnya pada Layla. Sehingga lima bulan kemudian, dia berani mengungkapkan perasaan lagi.
Entah karena kasihan atau memang sudah ada rasa, Layla sudah mau menanggapi perasaan Banyu. Namun, wanita itu masih b
Benturan keras itu tidak terelakkan lagi. Kedua mobil itu saling bertabrakan. Imbasnya baik Panji maupun Hani mengalami luka.Kening Panji menghantam setir mobil. Perlahan dia merasakan tetesan anyir. Kini bahkan cairan merah tersebut membasahi matanya. Membuat penglihatannya sedikit terganggu.Di sebelahnya Hani memekik keras. Sepertinya wanita itu benar-benar kesakitan. Karena hidungnya memang terantuk dashboard mobil. Kemungkinan hidung Hani patah. Darah segar pun mengalir membasahi bibirnya. Wanita itu menjerit tatkala rasa asin itu terkecap di lidah.Beruntung tidak lama datang bala bantuan. Warga yang menyaksikan insiden serempetan itu gegas mendekat untuk memberikan pertolongan. Mereka meng
Sudah tujuh hari Panji dan Hani dirawat di rumah sakit. Dokter sendiri sudah memperbolehkan suami istri itu untuk pulang. Namun, Panji belum juga chek out. Alasannya tentu saja tidak lain dan tidak bukan adalah uang.Tantri benar-benar tidak bisa membantu. Sementara kedua orang tua Hani adalah seorang yang pengangguran. Kehidupan mereka sendiri ditanggung oleh Panji. Menjadikan beban yang dipikul Panji terasa kian berat.Hanya saja Panji tidak berani mengeluh. Semua sudah menjadi pilihannya. Dulu selagi masih berjaya dirinya pernah berjanji. Dengan jumawa pria itu berikrar bahwa akan terus menanggung kebutuhan sehari-hari orang tua Hani.*
"Eum ... Pak Banyu sudah dapat toko yang dicari?" Rasa tidak percaya membuat Panji mengulang omongan Banyu.Banyu mengangguk pelan. "Iya, yang lalu anak buah saya menemukan sebuah ruko yang sesuai dengan keinginan saya. Ketika saya cek ke lokasi. Saya sangat tertarik.""Tapi ... waktu itu Anda bilang kalo saya harus berpikir matang-matang dulu. Kalo tiba-tiba saya berubah pikiran, Pak Banyu siap menerima," ujar Panji sedikit memprotes.Banyu menatap pria di hadapannya. "Betul, tapi waktu itu saya juga berpesan agar jangan lama-lama berpikirnya bukan?""Iya saya ingat, tapi satu bulan yang lalu saya dan istri baru sa
"Maksud Pak Banyu apa?" Panji berlagak polos, "eum ... apa hubungannya saya dengan anak-anak Layla?" Pria itu memaksakan untuk tertawa.Banyu menarik napas. "Saya sedang sibuk, jadi gak ada waktu untuk melayani gurauan Pak Panji," tegasnya tanpa senyum.Tawa sumbang Panji seketika sirna melihat sikap kaku Banyu. Pria yang biasanya bersikap hangat ini tiba-tiba menjadi dingin."Saya sudah tahu semuanya." Banyu berkata dengan tenang, "baik dari kakak ipar saya, Mbak Seli. Ataupun dari Ibu Hani sendiri," terangnya seraya melirik istri Panji.Panji sendiri merasa sangat malu. Kebohongannya pada Banyu dibongkar oleh istrinya s
Layla sudah cukup meluapkan kebahagiaannya dengan memeluk dan menciumi kedua buah hatinya. Kini ia mulai memperhatikan sekeliling. Dia merasa tidak asing dengan tempat ini.Banyu mendekati. Tangan pria itu menunjuk papan nama yang berhias lampu. Layla terkesima melihat tulisan Layla Bakery's.Sekali lagi Layla menatap sekeliling. Benar ... dia sedang berada di depan toko rotinya yang dulu. Toko yang sudah diklaim oleh Panji dan Hani.Dekorasi toko ini terlihat simpel, tetapi tetap meninggalkan kesan manis yang dinamis. Layla merasa jika toko ini seperti baru saja direnovasi. Namun, warna catnya masih memakai warna favoritnya, yakni peach orange.
"Siapa kamu?" cecar Panji tegas.Suami Hani itu memperhatikan baik-baik gadis di depannya. Anak itu cukup manis dengan rambut panjang sebahu. Posturnya sebelas dua belas dengan Chelsea."A-aku ... namaku Bela, Om," jawab cewek itu sambil menatap ke arah kamar Atha. Gadis itu seolah menunggu Atha untuk cepat keluar. Tangannya memainkan ujung hoodie menjadi pertanda jika dia terlihat gugup."Ngapain kamu dari kamarnya Atha?" tanya Panji dengan ekspresi yang sama. Serius dan kaku."Lho ... Om, Ma, kalian sudah pulang?" Dari dalam muncul Atha.Gadis yang bernama Bela terlihat menghembus napas lega. Seakan Atha adalah pahlawan baginya.Atha sendiri bersikap santai. Anak itu terlihat cuek hanya dengan mengenakan celana pendek dan kaos tipis.Hani yang kerepotkan menggendong Zea memilih meninggalkan mereka. Wanita
Atha berusaha untuk tidak panik. Anak itu langsung menaruh kembali dompet Kenzi ke dalam tas. Setelah itu dirinya baru balik badan."Ngapain elu masuk kamar gue? Ngacak-ngacak tas lagi," tegur Kenzi waspada. Dia melihat tasnya sudah dalam keadaan melongo."Santai, Brother ... gue cuma mo pinjem catatan IPA elo aja," elak Atha tetap tenang, "ada materi yang perlu gue salin," kilahnya pandai berdusta.Kenzi menatap Atha dengan serius. Sebagai saudara tiri keduanya memang tidak begitu dekat. Tidak pula sering bertengkar.Bisa dibilang Kenzi dan Atha saling cuek. Bahkan kalau di sekolah mereka berlagak tidak saling mengenal.
"Tha, ki-ki-kita ... na-na-nabrak orang," kata Bela dengan ketakutan.Atha yang biasanya selaluselow,kini pun sama paniknya. Dada remaja berhoodie putih itu berdebar kencang. Tidak sadar kaki Atha bergetar."Udah sana ... bu-buruan tolongin!" perintah Bela seraya mendorong tubuh Atha.Masih dengan ketakutan Atha mencoba turun. Langkahnya melambat. Seorang ibu tampak terkapar lemah. Darah mengalir dari kepala wanita seusia ibunya itu. Hati anak Atha mencelus takut.Atha tidak berani mendekat lagi. Apalagi jika melihat kondisi korban yang cukup parah, anak itu takut jika korbannya sudah mati.
Besok pagi adalah pesta ulang tahun Azriel yang kesebelas. Tumben-tumbennya bocah yang sudah mulai beranjak gede itu minta pada ayahnya untuk diadakan pesta. Padahal selama ini Azriel tidak pernah mau jika hari lahirnya dirayakan. Walaupun berkali-kali dulu sudah dibujuk oleh Layla, Panji ataupun Banyu.Bukannya Layla tidak mau menuruti keinginan Azriel. Namun, kondisi tubuh wanita itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengurus persiapan pesta. Hari perkiraan lahir tinggal seminggu lagi. Badannya juga terasa amat berat. Malah sedari pagi sebenarnya dia sudah merasakan mulas-mulas ringan.Kehamilan kali ini membuat berat badan Layla naik lumayan drastis. Jika sebelum hamil bobot tubuhnya paling berat hanya lima puluh kilogram. Sekarang sudah mencapai enam puluh delapan. Hampir dua puluh kilogram penambahannya.Anehnya banyak yang bilang jika hanya bagian perut dan pipi saja yang mengalami peningkatan. Lainnya tetap terlihat normal. Dan yang membuat
Tiga hari kemudianLayla tengah mematutkan diri di cermin. Siang itu dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandunganku sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Layla sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Banyu selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Layla baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Perempuan itu menoleh. Seraut wajah kusut datang. Banyu suami tercinta melangkah masuk dengan gontai.Pria itu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah Banyu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau aku harus menghampiri sang suami."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Layla lembut. Perlahan dia memegang pundak suami tercinta. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegurnya perhatian.Banyu membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Bu
Layla dan Banyu tengah jalan pagi mengitari komplek. Aktivitas menyehatkan itu sudah Layla jalani dari awal hamil. Syukurnya Banyu selalu setia menemani.Padahal Layla tidak pernah mengajak sang suami. Namun, Banyu punya kesadaran untuk melakukan olahraga tersebut. Karena kata Banyu, jalan pagi itu selain mudah, murah, juga kaya manfaat yang baik untuk kesehatan tubuh.Banyu sendiri berusaha menjadi suami yang siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia menyempatkan diri untuk menemani sang istri jalan pagi. Selain itu dirinya juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Layla merasa cukup berolahraga. Peluh sudah mulai membanjiri badan. Belum lagi cacing di dalam perut sana meminta jatah makan pagi. Akhirnya wanita itu pun mengajak sang suami untuk
"Hani hamil anakku?” gumam Panji tidak percaya. Pria itu tertawa sumbang, “kami bahkan sudah berpisah hampir dua bulan, Pak. Dan sebelum itu, aku dan Hani juga sudah pisah ranjang,” papar Panji menerangkan keraguan hatinya. “Terus kalo bukan anak kamu, itu anaknya sapa?” sergah Bapaknya Hani mulai meradang, “Hani memang bukan wanita yang alim, tapi saya bisa menjamin kalo dia gak akan mungkin murahan menjajakan diri,” semburnya cukup lantang. “Ayah!” Dari dalam menghambur Zea yang diikuti oleh Bik Ijah dan Tantri. Kakak Panji itu sengaja mampir begitu pulang dari kantor. Perempuan itu ingin mendengar jalannya sidang perdana perceraian sang adik. “Pak Hadi?” sapa Tantri begitu sadar akan kehadiran mertua adiknya, “dari Bogor langsung ke sini kah?” “Gak,” sahut
“Dia bukan istri saya,” tampik Bapak Beni begitu dokter menyangka Hani adalah istrinya.“Oh bukan? Lantas adiknya?” Dokter bertanya seraya membetulkan letak kaca matanya.“Bukan adik saya juga.” Pak Beni kembali menggeleng.Dokter seumuran Pak Beni itu tersenyum. “Oke ... entah itu teman, saudara atau pun tetangga, saya cuma mau menjelaskan kalo ibu ini lagi hamil. Dan sekarang sudah menginjak minggu ke delapan.”Bapak Beni hanya mengangguk.
Ibu Lia menyeringai puas. Hatinya cukup merasa bahagia melihat Hani beranjak pergi dengan menarik dua kopernya. Wanita itu lantas memotret Hani dari belakang.Walau pun tidak terlihat jelas wajah Hani, tetapi Ibu Hani tetap akan menyebarkan foto Hani yang mengenaskan tersebut. Jika dituruti hawa nafsunya, wanita itu ingin sekali melihat Hani menangis berdarah-darah di hadapannya.Perempuan itu lantas mengeluarkan satu gepok uang pada amplop cokelat. Ibu Lia mengangsurkan amplop tersebut pada seorang kepala preman. Dia sengaja menyewa preman guna mengusir Hani.Ibu Lia pikir Hani masih sama seperti yang dulu. Pintar beradu mulut dan keras kepala. Makanya dirinya mengantisipasi dengan membawa preman.
"Diperintahkan?” Dahi Hani berkerut indah.“Apakah Mas Panji yang menyuruh?”otak Haniberpikir gusar, “tidak mungkin!”Hani menggeleng keras sendiri, “jika dia mau menggunakan ruko ini untukmembuka usaha, harusnya dari kemarin-kemarin cek keadaan ruko ini.”Hani lantas menatap para preman bertubuh besar dihadapannya. “Memangnya siapa yang memerintahkan kalian untuk mengosongkan rukoini?” tanya dia cukup penasaran.“Aku yang menyuruh mereka, Hani.”Hani menoleh. Saking kagetnya melihat kedua kopernyadikeluarkan oleh orang yang tidak dikenal, dia sampai tidakngehjikaada mobil yang berhenti tidak jauh dari pelataran ruko itu.Hani mengenal mobil me
Hani baru saja keluar dari kamar mandi. Hari ini adalah jadwal sidang perceraiannya. Dia akan datang untuk mempertahankan rumah tangganya.Sebenarnya Hani enggan keluar dari kediamannya. Karena sejak tadi pagi dia mual-mual. Padahal dirinya sudah meminum obat masuk angin dan juga asam lambung. Tetap saja perempuan itu diserang enek.Hani membuka koper. Dia mengambil kotak make up yang kini tinggal bedak dan lipstik. Bagaimana pun juga wanita itu ingin tetap terlihat menarik di hadapan Panji.Usai memoles wajah, Hani meraih salah satu koleksi busana terbaik yang dipunyai. Sebuah dress lengan panjang Korea. Koleksi baju panjang perempuan itu tidaklah banyak. Dulu dia begitu menyukai baju-baju mini dan sed
Sopir Ibu Lia mengangguk patuh. Pria paruh baya itu mulai melajukan mobilnya.“Pelan-pelan saja, Pak! Jangan sampai wanita itu tahu kalo kita lagi ngikutin,” suruh Ibu Lia dengan fokus tetap tertuju pada Hani.“Baik.” Pak sopir kembali mengiyakan.Sementara di luar sana, Hani terus melangkah. Pikirannya kosong. Sungguh pemutusan hubungan kerja ini membuatnya bingung.Hani bukanfreshgraduateyang gampang mencari pekerjaan. Dia hanya seorang ibu-ibu yang tidak punya keterampilan khusus. Apalagi berkas-berkas ijazah tertinggal di rumah ibunya.