Sore telah menghiasi langit. Beberapa teman Lisa telah pulang, termasuk Sarita. Lisa masih menyiapkan berkas-berkas yang akan diserahterimakan saat hand phone miliknya berbunyi.
“Lisa, apa kabar?” Suara berat Rio menyapa. “Hai, Rio. I am good, trims.” “Akhirnya dijawab juga teleponku setelah lama kamu cuekin aku.” Ujar Rio, lalu, “Apa sekarang aku tak bisa lagi mengajak kamu untuk sekedar makan malam?” “Aku sedang banyak pekerjaan. Bisa jadi pulang larut malam ini.” “Aku akan merindukan kerja bareng kita.” “Maksud kamu?” “Kapan kamu akan pindah divisi?”Bahkan Rio sudah mengetahui sebelum 24 jam. “Kok tahu?”Rio tertawa kecil. “Hal-hal yang berkaitan dengan kamu pasti akan cepat kuketahui.” Lisa memicingkan mata. Tak mungkin Sarita memberitahu Rio karena dialah yang pertama kali mengingatkannya tentang Rio dan tak menyukai hubungan mereka. Tapi untuk saat ini, Lisa tak ingin memikirkan lebih jauh. Hal tersebut pun menjadi tidak penting lagi. “Aku pergi dulu, Rio. Masih banyak yang kukerjakan.” “Jadi kita tak bisa bersama malam ini? Makan malam perpisahan?” Lisa tertawa, “Aku masih di sini, hanya beda divisi.” “Lisa, jawablah teleponku. Aku suka sekali jika kita masih bisa ngobrol bareng.”Lisa tersenyum kecil. “Trims telah meneleponku. See you.” Lisa menghela nafas sesaat setelah telepon ditutup. Bergegas, gadis itu membereskan berkas pekerjaannya lalu pulang. Saat keluar gedung, langit telah gelap, lampu jalanan menghiasi malam. Lisa berjalan pelan menuju halte busway. Gadis itu telah terbiasa dengan situasi pekerjaannya dan tak merasa khawatir jika harus pulang terlambat. Jalanan sekitar gedung tempatnya bekerja ramai oleh orang-orang yang juga sepertinya, bekerja hingga di luar jam kantor. Banyak pula mereka sengaja pulang terlambat karena menghindari kemacetan, atau menghindari peraturan ganjil genap. Pun sepanjang jalan banyak pedagang makanan berjualan. Dalam bus, Lisa berdiri di bagian tengah. Meski sudah malam, penumpang busway masih penuh. Untungnya jalanan tidak macet sehingga Lisa memperkirakan waktu yang ditempuh kurang lebih 45 menit. Gadis itu melihat sekelilingnya. Kebanyakan penumpang asyik dengan gadget masing-masing. Lisa masih ingat kata-kata Bapak; nikmati sekeliling kita, meskipun di dalam kendaraan. Dan Lisa menyukai kenikmatan memandang keluar jendela. Mungkin matanya lelah berkutat dengan komputer dan berkas pekerjaan. Bus berhenti di salah satu halte. Beberapa penumpang keluar dan masuk, menyebabkan ia harus menggeser agak ke dalam. Sesaat Lisa melihat wajah seseorang yang telah dihafalnya. Lisa memastikan jika orang itu benar seperti yang ia duga. Ia pun menoleh, dan di sanalah dia, tengah memandang Lisa. The bastard berwajah dingin tanpa ekspresi. Lelaki itu juga menggunakan bus dengan jurusan yang sama. Jangan-jangan selama ini mereka sering satu bus. Huft. Ya, ampun. Apa yang ia lihat dari aku?, pikir gadis itu. Wajahnya terlihat lelah, mungkin juga make up yang dikenakannya telah luntur. Ah, mestinya tadi dia pakai masker seperti Sarita. Jika pulang bareng, Sarita tak lupa dengan masker berikut cairan pembersih tangan. Menurutnya, jika memakai masker, kita tak terlihat apakah bermake up, lelah, kesal, bahkan jika kita sedih. Jadi tujuan utamanya bukan karena kesehatan, tapi karena tampilan. Hahahah! What a bummer. Tapi ada benarnya juga, sih. Sekarang akhirnya Lisa merasa insecure hanya karena memikirkan tampilan. Bus memasuki terminal. Lisa bersiap-siap turun bersama penumpang lain. Bergegas gadis itu keluar terminal, menuju ojek online yang telah menunggu. Ia lupakan lelaki yang akhir-akhir ini menarik perhatian. Lelah menderanya.***
Buku tulis tebal dengan hard cover sebagian sudah penuh oleh tulisan iseng Lisa saat menunggu bus datang. Kadang jika tak ada inspirasi menulis, ia hanya membaca hasil tulisan tangannya. Kebanyakan tulisannya diambil dari pengamatan saat menunggu bus. Ternyata banyak inspirasi yang mudah dilihat dalam rutinitas sehari-hari yang bisa ditulis. Sering ia tersenyum sendiri melihat hasil tulisannya karena teringat bagaimana tingkah manusia sangat aneh dan lucu. Dan bisa jadi ia juga aneh, senyum-senyum saat membaca tulisannya sendiri. Tapi hari ini cukup aneh. Beberapa orang tersenyum padanya termasuk seorang perempuan yang pernah menjadi bahan tulisannya. Mungkin karena mereka adalah sesama penumpang bus yang rutin menunggu pada jam yang sama. Lisa membalas senyum mereka. Ada yang salah dengannya, hingga di satu titik, Lisa merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak dan mukanya memerah. Saat m
Entah bagaimana ia muncul dan menyeringai ke arah Lisa. Dan, entah bagaimana gadis itu merasakan kesenangan sekaligus rasa malu. “Simpan rasa malu kamu.” Suara beratnya berbisik.Bagaimana ia… “Muka kamu memerah. Tanda kamu ingat kejadian kemarin saat melihatku.”Lisa melirik ke arah kakinya. “Bagaimana kabar kamu hari ini?” Ia bertanya. “Tebak.” “Senang?” “Apa tandanya?” “Wajahnya kamu memerah jambu, senyum kecil dan menghindar kontak mata denganku. Tandanya kamu senang saat kamu tahu orang yang kamu cari sudah ada di sini.” Ia kembali menyeringai. Lelaki itu, seperti kemarin-kemarin, tak berg
Di ujung senja, Lisa masih berkutat dengan pekerjaannya. Ia merasa akan terlambat dengan janji bertemu, atau sama sekali tidak datang. Dan lucunya, mereka berdua tak ingat bertukar nomor. Lisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Mungkin besok mereka akan bertemu di tempat yang sama, dan Lisa bisa jadi akan melihat wajah sebal Didit. Menjelang malam, messenger berbunyi. "Hei Lisa, ini Didit. Jangan lupa dengan janji kita.' Pesan disertai emo senyum. Huft, dia mencariku juga di media sosial. 'Hei. Aku masih sibuk di kantor.' Dan enter. Lalu ia melanjutkan pekerjaannya. Tak lama balasan masuk. 'Baiklah.'Hanya itu? Baiklah. Lalu apa lagi setelahnya? Huft. Ada sedikit kecewa karena Didit tak bertanya lebih jauh. Berbeda dengan Rio. A
Lisa mematut diri di depan cermin. Hari Senin sangatlah sibuk di kantor. Seperti biasa, awal pekan banyak laporan yang harus ia kerjakan. Sejak pertemuannya dengan Didit seminggu lalu, mereka hanya berhubungan lewat chat. Lisa menolak jika Didit ingin menghubungi lewat video call. Nanti saja, saat bertemu pasti akan melihat langsung, begitu alasannya. Namun sejak Didit hadir, Lisa menjadi terbiasa memberi kabar pada saat malam sebelum tidur dan pagi sebelum berangkat ke kantor. Saat makan siang, Lisa lebih sering mengirim gambar menu makanannya. Hah! Sangat biasa pada orang-orang yang sedang menjajaki suatu hubungan. Sedang Didit lebih sering mengirim video kegiatannya. Ah…jadi begini rasanya sebuah rindu, pikir Lisa. Dulu, saat bersama Rio, Lisa tak pernah merasa rindunya terbalas. Hubungan mereka hanya sebatas kebutuhan lelaki itu belaka. Rio butuh Lisa karena pekerjaannya yang sangat memerlukan jasa perusahaa
Lisa bergegas keluar kamar. Pagi ini Ia akan berangkat bersama Sarita yang rutenya searah dengan letak rumah kos gadis itu. Lisa menunggu di depan jalan rumah. Hanya menunggu sekitar lima menit, mobil milik Sarita tiba. Gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. “Hei, Lisa. Aku lupa beritahu kamu. Tiga hari lalu Rio meneleponku. Ia kesulitan menghubungi kamu. Katanya ada pemesanan barang yang mandeg. Aku bilang itu bukan pekerjaan Lisa lagi.”Lisa tersenyum. “Ignore him, Ta. Itu cuma alasannya saja.”Sarita mengerti. Ia yang paling tahu kisah Lisa dengan Rio. Dari awal, Sarita melihat Rio bukanlah lelaki yang tepat bagi Lisa, tapi ia tak bisa menahan perasaan temannya. “Untunglah kamu dipindahkan menangani brand baru jadi tak lagi berurusan dangan bastard itu.”Lisa menoleh ke arah Sarita l
'Lisa, bagaimana kabar kamu? Kamu suka buket yang kukirim?''Lisa? Kok nggak ada balasan? Aku telepon kamu juga tak mengangkat?' Lisa menghela nafas. Entah, bagaimana ia akan membalas pesan-pesan Rio. Haruskah ia bertanya tujuannya mengirimkan buket bunga, hanya untuk membuatnya kecewa. Bahkan dirinya tak lagi mengharap kehadiran Rio. Dipandanginya buket tersebut. Rio sebenarnya lelaki baik, sangat perhatian dan yang menarik adalah, lelaki itu mampu membuat hati Lisa menunggu penuh harapan meskipun kenyataannya ia hanya bisa berharap. Gadis itumenggelengkan kepala. Kartu ucapan yang tadi dipegang kemudian dikembalikan ke tempat semula dan meletakkan buket tersebut di bawah meja kerja. Ia akan membuangnya nanti saat pulang. Pandangan Lisa beralih pada makan siangnya. Seporsi mi kangkung ditata dan ia mulai mengambil foto, lalu dikirim ke Didit berikut caption ‘Untuk kamu. Maafkan aku.’Ia tak meng
Langit sedikit teduh seiring jatuhnya matahari ke barat. Lisa masih sibuk di depan komputer kala telepon berbunyi. “Halo.” “Hey, Lisa. Sudah jam lima, bersiaplah. Pekerjaan masih bisa menunggu besok.” Suara Sarita terdengar di seberang telepon. “Aye-aye, Captain.”Sarita tertawa kecil. “Kutunggu di lobi bawah jam setengah enam lewat lima. Jangan lebih dan jangan kurang, oke?” “Oke, Sis.” Telepon ditutup. Waktu begitu cepat jika kita begitu fokus pada apa yang dikerjakan. Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai. Namun seperti kata Sarita, masih ada hari esok. Jangan sampai menjadi tua karena memikirkan pekerjaan, begitu Sarita pernah berkata. Pukul setengah enam lewat, Lisa sudah berada di lobi bersama Sarita dan dua orang rekan kerja
Hampir Lisa tersedak cheese cake demi mendengar perkataan Didit. Oh, mengapa ia tak menyadarinya? Mengapa ia tak berpikir ke arah sana? Yang Lisa pikirkan adalah pastilah pemilik Three Times Coffee sangat mengenal Didit. Pantas saja kita bisa makan nasi goreng waktu itu, ucap Lisa dalam hati. Ia menepuk-nepuk jidatnya sendiri. Feel silly. Tiba-tiba Lisa teringat sesuatu. Ia bangkit dan berjalan menuju rak buku. Dengan menaiki kursi, ia mengambil bundle kumpulan majalah anak-anak lalu kembali duduk di tempat semula. “Jadi, ini pasti memiliki cerita.” Lisa memperlihatkan bundle majalah di depan layar hand phone. Melihat itu, Didit tertawa ringan. “Ya. Itu kenangan masa kecil yang indah. Kamu akan tahu ceritanya setelah aku kembali.” “Gambar depannya bagus, aku menyukainya. Kamu yang menggambar?” &nbs
Akhir-akhir ini Lisa merasa kurang fit. Entah bagaimana ia merasa pusing tanpa sebab. Ia akui, selama tak lagi bersama Didit, pola makannya jadi tidak teratur, lebih banyak di kantor untuk menyibukkan diri. Sebenarnya Pak Benny telah menegur dirinya untuk tidak sering pulang terlambat. “Saya tak ingin kamu sakit, Lisa. Kita harus mengejar target sampai akhir tahun dan saya butuh kamu dan yang lain untuk fit. Lagi pula, manajemen bisa menganggap kamu tak mampu menyelesaikankan pekerjaan sesuai jam kerja.” Baiklah. Gadis itu tak punya pilihan lain. Sepuluh menit sebelum pulang kantor, Lisa telah merapikan semua pekerjaan dan bersiap-siap ke toilet. Namun sebelum melangkah, androidnya berbunyi. Sarita pasti mengajaknya pulang bareng. "Halo." "Lisa, kamu sibuk ya?" Gadis itu tak lekas menjawab. Ah, Rio. Dia sudah kembali dari Singapura? "Lisa, aku sedang di lobi bawah sekarang dan menunggu kamu turun. Aku ingin kita bisa makan
Yeah, mestinya Lisa tidak tenggelam begitu dalam hingga lupa jika kalung itu masih ia pakai. Salahnya sendiri karena menunda-nunda untuk mengembalikan kembali kalung itu ke tempatnya karena masih merindukan sosok Didit. Tapi, apakah kamu akan seperti Lisa, begitu berat akan kehilangan dan masih mengenang benda yang menjadi bukti ikatan mereka hingga berat untuk melepasnya? Lagi pula, hell yeah, kalung ini sangat cantik. Lisa mengangguk. "Ya, Didit memberikannya padaku." ujar Lisa pelan, seraya melepas kaitan kalung tersebut. Diambilnya kotak dari dalam tas dan meletakkan kembali perhiasan tersebut. "Aku kembalikan pada kamu, Mae. Aku tidak menginginkannya, begitu juga ini." Lisa mengeluarkan satu kotak kecil berisi cincin. "Aku yakin Didit belum beri tahu kamu, tapi kami sudah tak lag
Android Lisa beberapa kali berdering. Nomor tak dikenal. Gadis itu hanya melihat sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya mengecek stok barang dalam gudang kantor. Beberapa minggu ini pemesanan brand baru yang ia pegang semakin meningkat. Ini menjadikannya bertambah sibuk mengatur produk yang ingin didistribusikan berdasarkan pemesanan. Setidaknya pekerjaan ini mengalihkan pikirannya dari Didit. Lelaki itu tidak menghubunginya lagi sejak terakhir Pak Sapri mengantarnya ke kantor. Namun Lisa merasakan jika dirinya diikuti. Ada kekhawatiran Didit sudah kembali ke Jakarta dan menguntitnya. Atau bisa jadi bukan dia. Bisa saja orang yang dibayar untuk mengikutinya kemana pun ia pergi. Ah, semoga itu hanya perasaannya yang masih merasakan kesepian. Suara ketukan di pintu mengagetkannya. "Hei, Lisa. Sudah sore, kamu enggak siap-siap pulang?" "Sedikit
Tatapan mata Lisa menerawang ke halaman dari balik jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Halaman samping rumah kosnya terdapat parkiran kecil dengan beberapa kendaraan milik penghuni kos. Pukul enam pagi di hari Rabu. Beberapa kali Didit menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak ia gubris. Tak ada telepon dari lelaki itu yang ia jawab. Bahkan ia menolak saat Pak Sapri menjemputnya. Sudah dua hari ini ia menerima tawaran Sarita untuk ikut berangkat kerja bareng. Sebenarnya ia enggan karena sering Sarita berangkat kerja bersama suaminya. Namun lebih baik dari pada harus diantar Pak Sapri. Tiga hari ini sangat berat. Lisa tak mengira ia jatuh begitu dalam. Mata bengkak sebagai pertanda sisa air mata berikut kurang tidur, sesuatu yang belum pernah terjadi selama ia menjalin hubungan dengan seorang lelaki, tidak juga dengan Rio. Hal ini cukup mengganggu ritme kerja. Ia jadi lebih suka berada dalam gudang, memeriksa barang sam
Yang terlihat di depannya sekarang adalah satu kesempurnaan yang telah tuhan ciptakan. Wajahnya bersih bersinar, hidung bangir dengan mata indah berkelopak ditambah alis yang dibentuk alami oleh sang pencipta, tulang pipi menawan, dan bibirnya itu. Bibir Melissa begitu indah dan senyumnya bagai magnet, bahkan Lisa sesaat terpesona olehnya. Belum lagi postur tubuh perempuan yang berdiri tepat di depan Didit. Kulit putih dengan bentuk tubuh proporsional, begitu terawat. Tak ada yang kurang dari perempuan ini. Bahkan kedipan mata Melissa mampu menggoda setiap yang menatapnya. "Kamu belum mengembalikan kunci seperti yang kuminta." "Sudah, tapi aku hanya meminjam pada Mae. Ada barang-barangku yang masih tertinggal." Pandangan Melissa beralih pada Lisa. Dua pasang mata beradu, bertatapan tanpa senyum sama sekali. Oh, dia sungguh cantik, desis hati Lisa. &nbs
Lisa duduk berhadapan dengan Sarita di sudut kafe dekat jendela, memegang secangkir besar moccachino. Sebenarnya, Lisa bukan pecinta kopi. Ia lebih menyukai teh dengan perasan jeruk, atau tanpa jeruk pun tak masalah. Rasa teh yang simpel menyimpan kesederhanaan dan tak rumit. DIsajikan hangat atau dingin, teh tetaplah teh. Simpel, sederhana, mudah. Tapi ia tak menolak jika harus berhadapan dengan kerumitan kopi, yang memiliki rasa lebih kaya dan sensasi yang diberikan. Demikian juga dirinya dan hidup yang sekarang ia jalani. Ia tak berpikir jika hubungannya dengan Didit sedemikian rumit. Mestinya simpel; mereka menjalin kasih, Didit melamar, lalu menikah. Layaknya teh, rasa ringan dan menenangkan. Kalaupun ada senggolan-senggolan, tentunya takkan serumit yang sekarang ia hadapi. Tapi, entah bagaimana, Lisa justru tak memiliki kekuatan untuk menjauh. Inikah cinta? “Hei, apa sekarang kit
Sayup-sayup lagu You mengalun di dalam kafe. Didit menggenggam tangan Lisa, melewati kursi-kursi yang telah penuh oleh pengunjung, berjalan ke arah meja barista menuju pintu yang didesain seperti tembok. Begitu masuk, yang pertama kali terlihat adalah ruang kantor dengan luas sekitar tiga kali tiga meter berjendela kaca hingga ruangan tersebut bisa terlihat dari luar. Di sisi kanan, Lisa melihat dapur yang kelihatannya kecil tapi memiliki peralatan masak lengkap. Paling pojok terdapat meja makan untuk dua orang. Seorang barista sedang memasak sesuatu. Sepertinya disinilah mereka bisa beristirahat dan memasak makanan sendiri. Begitu melihat Didit, ia tersenyum dan menyapa. Didit membalas dengan menepuk pundaknya, lalu berjalan menuju lemari pendingin. "Kita akan masak apa, Lisa?" Tanya Didit seraya membuka lemari pendingin, melihat-lihat sebentar, lalu pandangannya beralih ke arah Lisa. "Ehm, n
'Hei, Lisa. Aku merindukanmu.'Lisa tercenung menatap pesan dari Rio. Perlukah dirinya membalas pesan itu? Apa yang akan ia katakan? Hei, Rio. Aku tak merindukanmu. Atau, Hei, Rio. Jangan hubungi aku lagi. Oh. Ia takkan menulis itu. Rio tetaplah lelaki yang pernah menghiasi relung hati dan selalu ada pada awal ia bekerja di perusahaan sekarang, sering memberi tahu cara kerja mereka dan tak bisa ia lupa betapa hangat sikap lelaki itu. Ia masih tetap baik di mata Lisa. "Lisa, kamu sudah siap?" Suara Didit terdengar dari balik pintu kamar. Sore telah menjamah waktu tanpa terasa, dan mereka berencana akan ke Three Times Coffee. Pada sabtu malam, kafe itu ramai oleh pengunjung, karena gedung perkantoran tempat Three Times Coffee bersebelahan dengan mal. Lisa membuka pintu. Di luar, lelaki itu telah menunggu. Ia tersenyum melihat pakaian Lisa yang begit
Seketika otak Lisa membeku, tak bisa berpikir apapun kecuali satu kata spontan yang telah keluar dari mulutnya sejenak setelah mendengar apa yang barusan dikatakan Didit. Antara percaya dan tidak, beberapa detik semua kata menghilang. Didit mengangguk, lalu, "Aku sudah bertemu bapak dan ibu kamu sebelum kencan kita yang kedua. Saat kuutarakan maksudku, ibumu menangis dan bertanya, apakah kamu hamil. Ibumu sangat mudah panik dan menangis dan menelepon kakak lelaki kamu, Mas Setya. Aku jelaskan bahwa kamu baik-baik saja, tak ada yang hamil dan tak terjadi apa-apa di antara kita." Lisa mengangkat tangannya sebagai tanda agar Didit berhenti bicara. "Kamu ke rumah orang tuaku? Are you insane?" "Tidak. Aku memikirkan semuanya, Lisa." Lisa bangkit dari duduk, berdiri gelisah sambil memegang