"Kamu yakin tidak ingin rujuk lagi, Nay?" tanya mas Bayu saat kami sedang duduk berdua saja di teras rumah ibu."Menurut Mas bagaimana?" Aku balik bertanya. Padahal hati ini menginginkan bila perlu detik ini juga kami menikah lagi."Manalah Mas tau-tau isi hati kamu, Dek. Mas bukan Tuhan yang bisa mengetahui isi hati kamu. Sekarang Mas minta kamu jujur ajalah. Apa kamu menginginkan kita bersatu lagi?" tanya mas Bayu dan aku jawab dengan anggukan kuat. Aku takut, tiba-tiba lelaki yang masih merajai hati ini berubah pikiran karena melihat wanita yang dicintainya tidak menginginkan rujuk lagi."Pak Herman pasti sangat bahagia melihat kita bersatu lagi, Nay. Beliau selalu saja menanyakan kabar kamu. Semalam beliau mau menjenguk ibu tetapi tiba-tiba ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Mungkin besok dia akan menjenguk ibu. Hmmm ... Dek, menurut kamu ibu sudah berubah belum ya? Hmmm ... maksud aku. Kalau pak Herman dan keluarga kemari diterima gak?""Masak gak diterima sih, Mas. Ada-
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Cuaca langit dipagi ini sangatlah cerah. Secerah hati ini yang sebentar lagi akan melakukan ijab kabul.Konsep dekor yang indah dengan nuansa warna putih lily itu menambah suasana semakin sakral. Dengan anggun Naya duduk disebelahku. Dibelakangnya ada pak Herman sekeluarga dan juga bu Lastri serta kak Melly yang mengenakan seragam berwarna putih tulang."Bagaimana apa sudah siap dimulai?" tanya seorang penghulu."Siap, Pak." Dengan mantap aku menjawab. Ini bukan pernikahan pertama bagi kami berdua, walaupun ada sedikit grogi tapi bisa aku atasi."Bismillahirrahmanirrahim." ujarku lirih seraya menarik nafas dalam, kemudian menjabat tangan dengan seorang penghulu."Aku nikahkan engkau dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu Naya Kamalia Ivona binti almarhum Hadiningrat dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas seberat tiga puluh gram serta uang tiga ratus juta yang dibayar tunai.""Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutka
Hari ini kami kembali ke rumah. Tidak enak berlama-lama di rumah ibu mertu. Apalagi kami masih pengantin baru yang tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jangan tanyakan perasaanku saat ini. Aku pun kesulitan mendeskripsikannya. Saking berlipatnya rasa bahagia yang memenuhi relung hati."Dek, ngapain sih dari tadi gak siap-siap nyuci piring? Kayak orang dirumah ini rame aja!" tanya dan protesku pada Naya saat melihat dia sibuk mengotak atik didapur. Apa yang dicuci sementara piring dan gelas kotor hanya dua saja."Lagi membersihkan sisa makanan, Mas," jawabnya asal. "Sisa makanan yang mana? Santai aja kenapa, Say!" protesku.Aku pun mengambil sapu dan meletakkannya disudut pintu. Kemudian kuraih kedua pundak Naya memutar, kurengkuh kedua pinggangnya lalu mengangkat tubuhnya sehingga kududukkan diatas meja makan. Aku berdiri di depannya dengan tangan masih berada di kedua pinggangnya dan kuarahkan tangan dia memegang pinggangku."Mas mau ngapain? Aku belum siap membersihkan rumah," tan
"Gak usah lagi bekerja bagaimana sih, Mas. Gak gampang lolos jadi pegawai negeri sipil, Mas. Adek beruntung banget bisa lolos!""Mas tau itu! Tapi kondisi kamau tidak memungkinkan, Dek. Lihat kamu pucat begini!" kugendong tubuh mungil wanita yang aku cintai itu menuju ke arah cermin besar yang berada diruang keluarga dan menunjukkan betapa pucat dan nampak lelah dia."Mas, ini karena kita kebanyakan. Besok-besok kalau kita sudah terbiasa pasti akan lebih teratur. Seminggu tiga kali atau empat kali, 'kan?" tanya Naya dengan tatapan nakal. Aku tahu maksud dia itu karena kami terlalu banyak bercinta sehingga dia kelelahan dan jadi pucat."Bukan karena itu saja, Dek. Mas gak mau daja kamu bekerja. Mas mau kamu di rumah saja mengurus suami dan anak kita kelak!" usul aku dan Naya keberatan dengan ide yang aku ajukan."Enggak, Mas. Aku gak mau menyesal kemudian,""Kenapa menyesal? Gaji Mas sepuluh kali lipat dari gaji kamu, Dek. Yakinlah. Tidak akan habis dslam sebulan." Aku terus meyakinkan
Naya terkesiap seketika tawanya terhenti."Kamu harus tanggung jawab. Pokoknya aku gak mau tau." Ancam aku dan manatap dengan nakal seraya menaik dan menurunkan alis layaknya lelaki hidung belang yang ada di sinetron-sinetron.Naya berjongkok seperti orang ketakutan dengan tangan diatas kepala dan menyembunyikan wajahnya.Kamudian aku meraih tubuh Naya yang mungil ke dalam dekapan dan memeluk dengan erat, Naya menyambut pelukanku. Tangannya ikut bermain di tulang belakang punggungku. Menimbulkan gelanyar nikmat pada diri ini.Terasa sangat nyaman berada dalam pelukan orang yang kita cintai. Aku ingin kebahagiaan ini jangan pernah berlalu.Kerinduan masa lalu membuat kami berdua hanyut dalam pikiran masing-masing.Sekarang disaat uang begitu mudah di dapatkan, kebersamaan kami berdua jadi berkurang. Disaat uang begitu menimbun dalam hidup ini, para pembenci mencari jalan untuk menghancurkan kami berdua."Mas, Adek gak sanggup dengan semua ini. Adek gak kuat karena terlalu banyak pemben
"Betul ibu ratu. Makanya tadi ibu ratu marah-marah tanpa sebab dan gampang tersinggung. Ternyata kurang piknik toh. Hahaha," ejekku membuat Naya kesal."Ish ... Mas. Ngejek aja kerjanya," ujar Naya seraya memukul lembut punggung suaminya."Udah ... gak usah marah-marah nanti kamu lekas tua." Lagi-lagi aku menyanyikan lagu yang sedang viral saat ini."Apa gak ada lagu lain atau Mas gak bisa nyanyi lagu lain sih. Itu-itu aja yang di nyanayikan dari tadi. Bikin emosi aja," ujar Naya dengan kesal. "Dinda jangan marah-marah, nanti dinda lekas tua. Kanda setia orangnya. Tak 'kan pernah mendua." Suara nyanyianku sangat keras dan sumbang. Membuat sakit telinga siapa saja yang mendengarkannya. Aku sengaja menggoda Naya karena dari tadi subuh bawaan wanitaku marah terus."Suara Mas bagus sih. Tapi lebih bagus diam," ejek Naya. Aku jadi tertawa dibuatnya."Jadi gak ke pantai atau apa mau nyanyi aja nih." Tantang Naya dengan mata melotot tapi bukannya takut malah membuat aku semakin gemas aja.
Dari jauh sayup-sayup terdengar seseorang meminta tolong. Apakah ini halusinasiku saja? Kaki ini terus saja melangkah ke pusat suara tetapi tidak nampak wujud manusia.Semakin jauh kuberjalan suara itu semakin nyata. Tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita muda, dia seperti orang kebingungan."Om, tolong saya. Ada orang yang ingin memperkosa saya." Seorang gadis berumur kisaran tujuh belas tahun tiba-tiba datang meminta tolong untuk diselamatkan dari kejaran seseorang yang katanya sedang mengincarnya."Bantu?" Mungkin pertanyaanku rada bodoh. Tapi jelas aku tidak tahu mau berbuat apa ditempat yang gelap seperti ini. Aku heran, apa yang dia lakukan malam-malam begini berkeliaran ditepi pantai sendirian."Tolong antarkan saya pulang, Om," pintanya sambil memegang erat lenganku."Saya gak bisa antar kamu pulang. Bagaimana kalau kamu saya antar untuk menjumpai pihak keamanan pantai saja ya? Kita minta tolong sama mereka untuk mengantar kamu pulang." tanya dan saranku
"Udah ibu-ibu. Jangan main hakim sendiri. Biarlah pihak berwajib yang menangani masalah ini," ujar salah salah polisi yang sedang bertugas mengamankan dan meredam kemurkaan warga sekitar."Tolong dengarkan saya." Dengan berlutut dan menangkupkan kedua tangan diatas kepala, aku merendahkan diri serendah-rendahnya memohon supaya mereka mendengarkan dan mempercayai bahwa aku tidak pernah melakukan perbuatan yang hina itu."Mau dengarkan apalagi!" bentak ibu bertubuh tambun seraya melemparkan kulit kacang kewajahku."Percayalah. Saya tidak melakukannya," ucapku putus asa."Mau percaya apa lagi. Sudah jelas-jelas kau pelakunya!" bentak lelaki yang aku tidak tahu dimana dia berada. Begitu banyak manusia mengerubungiku, berbagai kata cacian dan makian dilontarkan, diri bagaikan seonggok sampah yang mengganggu sehingga harus segera dilenyapkan."Dia hendak memperkosa saya dengan menodong saya dengan senjata tajam. Masih tidak mengaku juga kamu? Hah!" Gadis belia itu menendang tubuhku yang mas
Tiga bulan telah berlalu. "Kak, tadi malam pak Bayu melamar kakak untuk menjadi istrinya. Beliau sangat menginginkan kakak menjadi ibu sambung bagi putra semata wayangnya," ujarku pada kakak ipar yang sedang membuat sarapan untuk sekeluarga. "Kamu jawab apa?" tanyanya seraya terus mengaduk nasi diatas penggorengan. "Bayu belum berani membuat keputusan. Semua keputusan Bayu serahkan kepada Kakak. Kan yang menjalani rumah tangga bersama pak Abdi, Kakak. Bukan Bayu," ujarku seraya duduk diatas kursi meja makan Pagi-pagi aku telah bertandang ke rumah mertua untuk menyampaikan berita gembira ini. Menurut aku sih kabar gembira. Karena akhirnya kak Melly dilamar oleh pak Bayu yang merupakan seorang perwira polisi. Setelah rumah kami selesai dibangun, kami bertiga pindah ke rumah baru. Sementara kak Melly dan ibu mertua tetap bertahan di rumah sewa, begitu juga pak Abdi. Jadi mereka tetap bertentangga sampai sekarang. "Kakak tidak mau, Bay. Kakak masih betah menjanda," jawab kak Melly.
Melly"Tante, kenapa tidak mau menikah dengan ayahku. Apa ayahku terlalu jelek sehingga tante tidak mau menjadi istrinya?" tanya Aldo memelas.Bukan aku tidak mau menjadi istri dari pak Abdi. Tapi bagaimana ya? Pak Abdi sendiri tidak pernah membahas masalah itu. Masak aku duluan yang harus nyosor beliau? Dimana harga diri aku sebagai wanita. Walaupun seorang janda aku juga punya harga diri. Tidak mudah obral sana sini."Tante tidak bisa menikah dengan polisi. Tante takut melihat lelaki berseragam coklat. Bisa-bisa Tante pipis di celana karena ketakutan," ujarku berbohong. Pak Abdi hanya melihat sekilas saja, kemudian melempar pandangannya keluar kamar hotel. "Ayah Aldo tidak jahat, Tante. Ayolah Tante menikah dengan ayah Aldo. Kalau tidak mau, Aldo bunuh diri!" Ancam bocah lima tahun itu. Kemudian dia berlari ke luar penginapan. Baru saja sampai penginapan dia sudah banyak drama, padahal capeknya saja belum hilang."Aldo!" Teriak pak Abdi seraya mengejar jagoannya yang hendak menyebe
"Bajingan kamu," teriak Andre. Tangannya memegang sebilah belati dan melempar ke arahku. Bersyukur tidak mengenai tubuh ini karena sempat mengelaknya. "Jangan kau harap akan keluar hidup-hidup dari sini." Ancam mas Andre dengan melancarkan tendangan demi tendangan ke arahku sehingga mengenai perut ini. Bugh Sebuah tendangan mengenai dada membuat tubuh ini limbung dan hampir saja terjatuh jika saja tidak segera aku pegangan ke dinding. Sebelum dia melancarkan kembali aksinya, para aparat keamanan sudah mengepung sehingga membuat dia tidak bisa berkutik lagi. Aku segera mundur dan polisi pun melaksanakan tugasnya. "Bedebah kau, pengkhianat. Kau menjebakku dengan pura-pura menjadi kurir. Dasar bajingan!" Segala sumpah serapah keluar dari mulut busuk mas Andre. Dia sangat sakit hati karena telah dijebak tetapi dia tidak sadar jika perbuatannya dengan menjebak aku dengan Risma lebih sakit lagi. "Kamu tidak kenapa-kenapa kan, Bay?" tanya pak Abdi. Dia bertanya dengan nafas tersengal-s
"Tadi malam wanita yang bernama Sofia menelpon aku. Dia mengancam akan menyebarkan foto bugil kita berdua jika kita tidak jadi menikahi!" ucapan Risma membuat emosiku naik keubun-ubun."Jadi, dalangnya Sofi?" tanyaku dan dijawab dengan anggukan oleh wanita yang telah dijebak denganku dikamar hotel itu."Kamu kenal wanita itu?" tanya Risma takut-takut."Aku gak terlalu kenal sama dia tapi setauku, Sofi sahabat dekat dengan Andre, mantan kakak ipar," beberku. Kurasa ini ada hubungannya dengan Andre. Mungkin juga dia sudah keluar dari tahanan dan pasti sedang merencanakan kehancuran aku dan Naya. Aku tidak akan tinggal diam atas perlakuan mereka itu. Akan kutuntut siapapun dia, walaupun sampai ke lobang semut. Tidak akan kubiarkan mereka bebas menikmati udara segar diluar sana."Tapi kenapa aku yang dijadikan korban disini?" tanya Risma dengan suara serak."Kebetulan saja kamu ada disitu," jawabku dengan tangan mengepal kuat, buku-buku jariku memutih sangking kuatnya. Jika ada Andre di
"Kau harus menikah dengan Bayu." titah Sopia."Kau tau sendiri 'kan. Bayu itu sudah punya anak dan istri. Aku tidak sudi berbagi suami. Aku tidak mau menjadi pelakor dalam rumah tangga orang," tandasku."Sekarang pilihan semuanya kuserahkan padamu. Menikah dengan Bayu dan namamu akan bersih. Video syur kamu akan ku hapus tetapi ... " suara Sopia terputus dan aku merasakan ada yang tidak beres dengan perkataannnya."Tetapi apa." Aku semakin penasaran dengan wanita berhati srigala ini. Yang jelas aku sudah dijebak oleh mereka."Jika kamu menolaknya siap - siap aja kamu menerima hinaan dan cacian karena foto syur kamu dengan Bayu akan aku sebarkan.""Kamu manusia paling jahat berhati iblis.""Hahaha ... sekarang kamu pilih mana. Aku tidak akan memaksamu. Semua ku serahkan kepadamu," ujar Sofia seraya memutuskan panggilannya.Aku harus mengikuti perintah Sofia sebelum foto itu disebar. Diri ini menjadi curiga kenapa bisa aku dan Bayu bisa berada sekamar hotel. Berarti Sofia yang telah mem
"AAAAARRRRGGGGHHHH." Aku menyugar kasar rambut ini. Apa yang telah terjadi tadi malam. Kenapa diri ini bisa berada di kamar hotel bersama wanita? Siapa yang telah membawa aku berdua dengan Risma kemari?Dan ...Wanita ini kenapa tidak menolak saat dibawa ke hotel dan tidur dengan orang yang tidak dikenal sama sekali. Atau ini semua hasil perbuatan Risma? Otakku terus bertanya - tanya.Masih teringat terakhir aku minum jus orange dan aku masih sadar, sesudah itu kepala ini terasa sangat pusing dan tiba - tiba saja pandangan ikut gelap. Hmmm ... apakah ada orang yang sengaja menjebakku dengan menaroh sesuatu dalam minuman?"Aku gak mau tau. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu terhadap aku.""Risma ... aku gak kenal kamu. Dan aku juga tidak tahu apa yang telah terjadi tadi malam. Aku yakin kamu telah menjebak aku. Kamu kan yang menaruh obat dalam minumanku?" Tuduhku kepada wanita yang baru kukenal tetapi telah membuat hancur duniaku. Apa yang akan terjadi jika Naya mengetahui
"Bay, aku ke kamar mandi dulu, ya?" pamit Hendra. "Silahkan, Hen." Setelah kepergian Hendra aku sendirian saja duduk dikursi tamu. Tidak ada yang berkeinginan untuk duduk sekedar basa basi saja. Diri ini seperti tersangka yang siap dikuliti hidup-hidup. Tidak enak rasanya seperti ini. Kalau tahu begini jadinya tidak akan aku menghadiri acara ini. Mereka betul - betul telah memperlakukan aku begitu hina didepan khalayak ramai. Tak berapa lama datang seorang wanita muda dan aku betul-betul tidak ingat siapa namanya. Sepertinya dia bukan kalangan pengusaha. Mungkin salah satu istri dari anggota pengusaha. Entahlah. Aku pusing gara-gara Ratih yang sedang meringkuk di jeruji besi. "Bay, aku tau bagaimana serba salahnya kamu. Aku juga tau kamu tidak bersalah dalam masalah ini. Gak usah terlalu kamu pikirkan mereka itu yang bisanya hanya menuduh dan menghakimi orang aja bisa tanpa mau tau kebenarannya." Aku hanya melihat wanita yang sok akrab tersebut tanpa bereaksi apa-apa. Entah kenap
"Dek, Mas berangkat dulu, ya?" Berat rasanya meninggalkan belahan jiwaku. Kenapa rasanya seperti akan meninggalkan mereka dalam waktu yang lama? Aku sangat menyayangi Naya dan Daffa. Bersama merekalah aku bahagia. Naya pandai menghargai aku sebagai seorang suami. Bersamanya aku bisa merasakan menjadi lelaki seutuhnya, lelaki yang mempunyai martabat dan harga diri. "Iya. Hati-hati ya, Mas. Jangan lama-lama pulang. Nanti kami kangen," titah Naya seraya tersenyum. "Iyalah. Sebenarnya Mas sangat malas menghadiri acara itu. Gak ada manfaatnya bagi kita. Makanya mas ajak Adek biar ada alasan nanti jika mau pulang sebelum jam 12.00." "Kalau Adek sih mau-mau aja. Kasian Daffa kena angin malam, Mas!" "Kan gak setiap malam kita bergadang di jalan. Sekali setahun. Yok lah." Ajakku dan tetap saja Kinan menolaknya. "Bukan masalah begadang. Bahaya bawa anak kecil di jalan malam-malam. Jalannya macet, padat merayap. Biasanya banyak kecelakaan. Nauzubillah. Mas hati-hati ya?" pesan Naya seraya
"Mas, jangan lupa besok lusa ada acara temu ramah dan silaturrahim antara pengurus dan anggota Himpunan pengusaha muda di hotel Leon jalan pahlawan, ya!" ujar Naya mengingatkan karena dia sangat tau jika suaminya pelupa. "Adek ikut juga ya." ajakku. "Kalau Adek ikut, bagaimana dengan Daffa? Dia sudah terlalu sering kita tinggal, Mas. Anak itu jadi kurang kasih sayang dari orang tuanya. Takutnya dia tidak dekat sama kita. Malah lebih nurut kepada orang lain daripada orang tuaya sendiri." Alasan Naya ada benarnya juga. "Bukan gitu, Dek. Mas ingin mengenali istri kepada sesama pengusaha muda, Nay? Mereka gak ada yang kenal Adek katanya." "Adek rasa tidak perlu juga adek terlalu dikenali sama kawan Mas. Nanti mereka kepincut pula," seloroh Naya sambil berlalu dan aku hanya bisa tersenyum - senyum sendiri melihat tingkah istriku. "Dek, besok ikut aja ya?" Aku memohon pada Naya untuk tetap menemaniku pada acara temu ramah yang diadakan dihotel menjelang pergantian tahun. Acara puncak d