Saat Pak Wahyu keluar dari kantor, pria itu berjalan mendekat. Zulkifli langsung keluar dengan hati yang membuncah. Zulkifli berlari seperti ia mengejar sesuatu yang telah hilang dan baru terlihat lagi. Melihat Zulkifli berlari mendekatinya, Pak Wahyu berhenti sembari mengangkat alisnya karena bingung. Langkah Zulkifli berhenti di depan Pak Wahyu dengan napas naik turun. Gemetar tangan dan lidah Zulkifli. "Pppaaak ...."Sekuat tenaga Zulkifli menahan air matanya. "Iya, Zul?""Ba-ba-bapak ....""Ya, Zul. Kenapa kamu sampai lari begini? Ayo kita pulang."Sekuat tenaga Zulkifli menggenggam tangannya menahan batinnya yang menyeruak. Apa obat kerinduan selain pertemuan? *Hampir lepas nyawa ibumu untukmu, Pli*Suara Bu Nurul terus menelisik memenuhi pikirannya. *Sementara ini, junjung tinggi ibumu. Jangan lewati izinnya, Pli*Zulkifli menelan air liurnya yang terasa menggumpal banyak. Ia ingin memeluk bapaknya, ia ingin menangis di pundak bapaknya dan dia ingin menceritakan betapa berat
Pagi itu Zulkifli asik merokok sambil memandang mobil yang baru saja dia lap sehingga kinclong mentereng. Tiba-tiba lima lembar uang gambar Presiden Soekarno tergeletak di depannya. Refleks Zulkifli menoleh."Ba-bapak," sapanya dari hati paling dalam. Panggilan benar-benar untuk bapaknya sendiri."Bawa Qirani jalan-jalan sana. Sumpek di rumah terus. Hari ini kita kan libur."Zulkifli tersenyum. "Sudah sana. Pergi bawa mobil. Jangan pakai motor.""Iiya, Pak. Terimakasih banyak, Bapak," lirih Zulkifli dengan perasaan membuncah senang. Pandangannya tak berkedip melihat punggung ayahnya yang kembali masuk rumah. 'Begini rasanya punya ayah. Ya Allah, nikmatnya. Alhamdulillah' batin Zulkifli berbinar meraih uang yang berjejer itu. Wussh! Tiba-tiba uang itu sudah berpindah tangan. Zulkifli melongo, uang di tangannya hilang. Laki-laki itu mendongak dan Bu Anggun sudah berdiri dengan wajah angkuh. "Gayamu mau pake uang suamiku. Kamu di sini hanya supir dan jangan melonjak. Dasar gak punya
"Kita pulang ya, Mak. Aku jemput Mamak terus kita temui Bapak. Kasihan Bapak karena sudah sangat lama menunggu kita. Ayo, Mak! Aku rindu Bapakku, Mak! Tolong, Mak ...."Zulkifli sampai sesegukan memohon pada ibunya. "Ya Allah, Zul ... anakku."Bu Ningsih gemetar meraih ponsel yang sempat jatuh ke tanah. Ia melihat putranya juga menangis. "Iya, ya Mak. Aku jemput ya, Mak. Kita ke Bapak ya!""Ya Allah anakku. Bagaimana ... bagaimana Mamakmu ini berujar, Zulkifli. Aku begitu takut keluarga ayahmu membahayakanmu, Nak. Aku tidak takut dengan keselamatan diriku sendiri, Zul. Tapi aku takut, istri ayahmu dan ibu ayahmu membuatmu celaka, anakku yang semata wayang. Ya Allah ....""Tidak, Mak. Mereka tidak akan mampu mencelakaiku. Percaya padaku, Mak. Aku bisa jaga diriku. Kita ketemu Bapak, ya, Mak!"Berputar isi kepala Bu Ningsih bersamaan dengan dadanya yang bergemuruh hebat. Menggema kembali ucapan ibu mertuanya yang mengancamnya akan membunuh putranya. Ooh tidak! Bu Ningsih menggeleng-ge
Fadli berhasil menemui Badrul, ketua begal yang tertangkap. Ia memberikan pria itu uang lima juta untuk membuka mulut dan rupanya itu berhasil. Meskipun di dalam penjara, Badrul bisa bertransaksi. Apa yang tidak bisa dibeli oleh uang? Bahkan Badrul bisa menentukan kebebasannya karena ia memiliki uang. Mendapatkan informasi bahwa malam itu, aksi begalnya disponsori oleh Zulkifli, Fadli luar biasa kagetnya. "Mas! Cabut laporanmu!" seru Qiran setelah berhasil menemui Fadli. Sedari tadi dia menunggu mantan suaminya itu di depan kantor. "Ngimpi kamu, Dek. Dia sudah begal aku, ambil motorku. Lalu kamu mau suruh aku cabut laporan?! Jangan asbun deh. Asal bunyi!""Mas! Aku siap ganti rugi motormu, Mas! Cabut laporanmu!" Qirani sampai menarik tangan Fadli. "Aku sudah keluar banyak untuk mengungkapkan kasus ini. Sialan, dia rupanya di balik ini! Apa jangan-jangan, rampok yang di rumahku itu juga sahabatmu itu, Qi?!""Bodo amat. Intinya aku minta kamu cabut laporanmu, Mas! Aku akan membayar
"Wahyu!!! Aku bawakan kamu istrimu! Aku bawa kembali Ningsih padamu, Wahyu!!!" teriak Bu Nurul langsung berderai air mata. Berdenging telinga Pak Wahyu mendengarnya. Apa yang sedang Nurul ucapkan? pikirnya. Jantungnya bertalu-talu hebat dengan matanya tak berkedip menatap wanita bercadar yang sedang digandeng Bu Nurul. 'Apa yang di katakan Nurul itu? Apa aku sedang berhalusinasi? Sungguhkan dia Ningsih?'Pak Wahyu tak menyadari kakinya bergerak tapi perlahan. Gemetar tapak kakinya menyentuh paving block tanpa alas kaki. Selangkah ... dua langkah ... "Wahyu! Ini Ningsih, Wahyu!" seru Bu Nurul melangkah cepat, seperti menyeret Bu Ningsih yang sudah basah dengan air matanya sendiri. Qiran mengikuti langkah ibunya, memegang pundak Bu Ningsih. Kini mereka sudah berjarak dua hasta. Bu Nurul terengah-engah sebab dia sendiri sebenarnya tak kalah berdebarnya. Mulutnya tersenyum lebar, membuncahkan perasaannya yang bahagia. "Wah-wahyu! I-ini istrimu, Wahyu! Ini Ningsih-mu. Dia tidak mening
"Dia bukan supirku. Zulkifli adalah putraku. Dia ternyata anakku bersama Ningsih. Zulkifli adalah janin yang ada di rahim Ningsih saat dia pergi karena ancaman ibuku itu. Aku bahagia sekali, Anggun. Rupanya aku memiliki seorang putra yang gagah. Jadi, uang 100 juta tak cukup untuk menebus ketidakbisaanku mendidiknya selama ini. Putraku hanya sedikit nakal."Jatuh tas branded yang ada di tangan Bu Anggun bersama wajahnya yang langsung putih pucat. Supir itu putra suaminya? Bagaimana bisa? Apakah ini sudah diatur? Siapa yang mengaturnya? Bayangan wajah Bu Nurul dan Bu Ningsih seperti sedang menertawakannya. "Besok pagi kita urus. Sore ini aku akan mengundang pelapornya ke rumah. Tolong bantu siapkan jamuan untuk mereka. Kemungkinan aku akan mengundang satu keluarga langsung.""Kalau begitu, aku akan bantu di dapur dan beres-beres, Mas. Sudah mau ashar sebentar lagi," ujar Bu Ningsih mencoba akan keluar. Rasanya masih sangat asing sekarang berduaan di kamar meskipun itu suaminya. "Tida
"Tidak perlu, Qiran. Di rumah ini, kamu bukan tamu apalagi pembantu. Kamu anakku, kamu akan menjadi menantu di sini. Jadi duduklah!" seru Pak Wahyu yang membuat Fadli sekeluarga terperanjat hebat. Apalagi Nilamsari, mendadak gelap pandangannya seketika. Terbuka mulut Qirani seperti huruf 0. Ia bahkan tidak tiba-tiba tidak tahu caranya duduk kembali. Mundur apa maju dulu. Ucapan Pak Wahyu membuatnya jiwanya melayang-layang ke awan. Bu Nurul yang mendengarnya semar mesem bahagia. Meskipun dia tidak tahu, apakah ucapan Wahyu itu sungguh-sungguh dari hatinya atau hanya ingin memanasi keluarga mantan suami Qirani. Bu Nurul pernah bercerita pada Pak Wahyu bagaimana perlakuan keluarga Fadli pada putrinya. "Mbak Nilam!" seru Nita melihat Nilam tidur di atas meja. Lengannya yang menjadi alas kepalanya. Setelah mendengar suara Nita barulah jiwa Qirani kembali ke bumi. Kaget lagi dia melihat Nilamsari pingsan. Bu Sita nampak cuek saja dengan kondisi menantunya. Namun dia tak punya tenaga kare
"Sekarang, kamu sudah siap menemui Mama?" tanya Pak Wahyu pada Bu Ningsih. Sebab, semenjak kemarin, Bu Ningsih belum mau menemui mertuanya. "Siap, Mas. Asalkan aku ditemani Zulkifli, insyaAllah siap.""Untuk apa menemuinya? Tidak perlu," ketus Zulkifli. Melihat respon putranya, Pak Wahyu hanya menghela napas. Ia tak bisa menyalahkan Zulkifli jika tak bisa menerima neneknya. Terlalu dalam belati yang dihujamkan ibunya dalam kehidupan istri dan putranya. "Nenekmu pasti sudah sangat tua, Nak. Kasihan jika kita tahan maaf untuknya. Maaf yang sekarang, saat kita masih di bumi jauh lebih berpahala. Kita harus bisa melapangkan dada untuk menerima nenekmu, Zul.""Papa tahu, kita menderita dalam perpisahan karena nenekmu. Demi Papa, maafkan nenekmu, Zul."Tak ada respon Zulkifli selain pasrah dibawa oleh ayahnya berjalan menuju kamar Bu Sari. Bahkan ketika sudah di kamar itu, Zulkifli pun enggan melihat neneknya. Sedangkan Bu Ningsih menangis sesegukan melihat kondisi mertuanya yang hanya
"Mas?! Kamu kenapa?!""Ni ... Nilam, Qiran. Dia pergi membawa bayi kami." "Maksudmu?!!" tanya Qiran langsung tegang. "Nilam kabur, Qiran!""Ooh ya, Allah...."Qiran menggigit bibirnya. Ia tahu, tidak mudah di posisi Nilam. Dia sudah merasakan di posisi wanita itu dan Nilam merasakan imbas yang terparah. Ternyata yang diucapkan Nilam waktu itu serius. ***"Aku ingin bercerai," ujar Nilam saat baru seminggu dia disecar. "Cerai?" tanya Qiran. "Iya. Kamu hebat bisa tahan 2 tahun, aku tak sampai setahun sudah habis jiwaku, Qiran.""Kamu yakin? Bayimu butuh ayahnya.""Bayiku lebih butuh ibu yang bahagia. Bukankah begitu?"Qiran diam. Sejak itu Nilam tak pernah bicara soal itu lagi. Dia mengira, Nilam tidak melanjutkan niat itu karena ia melihat Fadli sepertinya mulai lebih luwes pada istrinya. Setiap kali dia ke sana menjenguk Nilam, dia sudah menemukan aneka roti dan buah di dekat meja. Qiran mengira itu semua bisa meluluhkan perasaan Nilam. Tapi rupanya, dua bulan terlewati, wanita i
Fadli terkejut tak mengerti. Alisnya yang mengkerut dengan kening berlipat-lipat itu menandakan dia heran. Nilam pun yang sedang menggendong bayinya juga ikut bingung. "Uangmu yang hilang di rekening sejumlah 63 juta itu, aku yang ambil. Jadi yang 2 jutanya anggap aku sedekah saja," ucap Qiran tanpa keraguan sedikit pun. "Bicara yang jelas, Qirani," ujar Fadli tegang. "Perlu aku ulang, Mas?" tanya Qirani dengan wajah biasa saja. Dddrrrrtt... Ponsel Qirani bergetar. Qiran mengangkat tangannya seolah mengisyaratkan agar Fadli diam dulu. Pembawaan Qiran santai saja seolah-olah tidak ada beban. Sedangkan Fadli masih terbengong-bengong. "Ya, Yank. Ooh, oke deh. Tunggu dah sebentar lagi ... Gak, Yank. Nanti lah di Star Five aja, belum kucoba menu yang itu. Oke. Siap."Panggilan selesai. Nilam hanya tersenyum kecil. Itu pasti dari mantan suaminya. Luar biasa beruntung Qirani, hidup mewah, makan siang di hotel. Tapi sekarang Nilam tak mau iri lagi pada Qiran meski sakit itu jelas masih
SCENE FLASH BACKNita dan Pak Hasan secara tidak sengaja mendengar percakapan dokter yang sedang merayu Fadli dan Bu Sita agar setuju Nilam dioperasi. Mendapati keduanya masih kekeh, Nita langsung menyeret tangan ayahnya menjauh. "Pak, yakin gak kalau kita rayu Mama dan Mas Fadli, mereka akan luluh?""Bapak sudah ngomong, kok tadi subuh sama Mamamu. Jika memang harus kakak iparmu dioperasi, ya bismillah aja. Tapi Mama mu malah menggerutu tak jelas.""Mas Fadli juga kok gitu banget sih, Pak. Aku merasa kasihan sama Mbak Nilam meskipun aku gak akur sama dia.""Fadli sama Mamamu sama-sama punya bibit kikir. Sudah berulang kali Bapak kasih tahu kalian bahwa kikir itu sulur rambatnya sudah ada di neraka. Siapa yang kikir atas hartanya, tinggal ditarik ke neraka oleh rambatannya. Macam sulur labu. Menjalar."Nita menggigit bibirnya. Ia punya ide tapi ia sendiri masih ragu. Namun daripada tidak dicoba sama sekali, lebih baik gagal. "Aku akan menghubungi Mbak Qiran, Pak. Mungkin Mbak Qiran
"Ini bayinya kalau lahir, akan prematur. Usianya baru 24 minggu. Beratnya kurang sekali ini, Bu. Seperti berat janin usia 4 bulan. Janinnya kurang nutrisi ini. Ibunya malas makan, ya?!" cecar Bu Dokter yang langsung membuat jantung Nilam seperti dihantam batu besar. "Makan kok, Dok. Cuman sering muntah," sambung Fadli tak mau dikira istrinya tak makan. "Makan, Dok tapi nasi dan kepala ayam atau ceker ayam, bukan dagingnya," tambah Nilam penuh dendam. Dalam hatinya, kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya, ia akan membuat perhitungan yang besar dengan suaminya itu. "Ibu hamil itu harus makan yang bernutrisi tinggi. Malah perlu juga disokong dengan susu dan vitamin. Karena apa yang dimakan ibunya, itu yang dimakan janin."Bu Dokter langsung memberi intruksi. "Sus, siapkan suntik pematangan paru. Jaga-jaga kalau bayinya lahir," ujar Bu Dokter pada asistennya. "Baik, Dok."Suasana menjadi tegang. Bu Dokter kembali melihat layar. "Denyut jantung janin masih bagus. Saya akan bantu su
"Apa?!" Suara Fadli agak ketus. Sebab, dia sedang merasa diganggu saat menatap mantan istrinya yang begitu sangat cantik jelita. "Perutku sakit sekali, Mas. Sakit sekali.""Sakit gimana maksudmu?""Ya sakit. Cekat cekit. Ta-taapi sekarang sudah hilang," lirih Nilam. "Kamu pasti shock melihat mantan suami kamu yang sekarang jadi anak konglomerat, kan? Perempuan matre kayak kamu pasti nyesel banget."Mendengar ucapan suaminya, Nilam hanya memandang sinis. Ia ingin menimpali tapi kembali lagi rasa sakit di perutnya menyerang. Sejenak dia bergeming. Ada apa ini? Apakah sudah waktunya dia melahirkan? Usia kandungannya baru lima bulan jalan enam. Dia tidak mau memiliki bayi yang tidak normal. Usaha dan perjuangannya sudah sangat jauh untuk janinnya. Nilam berusaha bernapas dengan teratur. "Ayo! Kita ucapkan selamat atas kemenangan mereka dan kekalahan pada kita, Nilam," lirih Fadli dari hatinya paling dalam. Nilam bergeming. "Ayo kita naik! Biar cepat makan!" seru Bu Sita. "Ayo, Nila
"Jadi gimana, Fadli, kamu mau datang tidak ke acara resepsi mantan istrimu?"Fadli hanya diam. Benar-benar diam. "Biar kita berangkat bareng pake mobil. Mama akan sewa mobil khusus biar kelihatan mewah, sesuai dengan pesta yang akan kita datangi. Nanti kamu yang bayar tapi ya."Wuuushhh! Undangan tebal dan berbingkai ukiran timbul berwarna emas itu melayang dan jatuh. "Cukup ya, Ma! Cukup! Aku muak mendengar Mama yang mau terlihat hidup hedon padahal modal pun tak ada. Mama itu seperti sedang memerasku! Mama belum sadar-sadar juga? Seberapa besar dan banyak akibat yang ditimbulkan oleh Mama! Mama yang jadi ibuku yang menyebabkan aku sampai cerai dari Qirani!""Loh, kok kamu jadi ngegas, Fadli? Mama cuman kasih tawaran aja. Masa sekedar sewa mobil kamu gak mampu?! Kan uang dari Pak Wahyu sampai 75 juta. Janganlah kikir banget!""Kikir?! Ya! Aku kikir dan pelit memang! Ini semua karena ajaran dari Mama! Mama yang suruh aku pelit kikir pada Qirani sehingga dia sampai gak betah jadi is
"Ini gaes, kakak sepupu aku ternyata langsung akad nikah gaes. Sekarang nih! Pantengin ya!"Nilam langsung menelan salivanya berdebar. Mantan suaminya akan akad nikah, sungguh luar biasa gejolak batin Nilamsari. "Assalamu'alaikum!"Deegh! Sampai gugup tangan Nilam memegang hp karena terkejut. "Waalaikumsalam, Bang.""Kenapa mukamu tegang begitu?" tanya Fadli yang baru pulang dari kantor. "Ooh iya, Bang. Gak kok. Aku buatin kopi?""Gak usah. Aku mau langsung mandi aja."Nilam diam dan itu membuat Fadli jadi penasaran. "Ada apa di hp itu?""Nonton ... nonton vidio pernikahan Qirani dan mantan suamiku, Bang.""Qiran?! Nikah hari ini?!!!"Fadli terkejut luar biasa. Dia langsung meraih ponsel Nilam. 'Aku tak mau shock sendirian, Bang. Sama-sama mampuslah kita. Kamu kira aku gak tahu, kamu masih sering merindukan mantan istrimu itu' batin Nilam bersamaan dengan detak jantungnya mulai stabil. Terkadang Nilam heran dengan dirinya sendiri, begitu takut Fadli menceraikannya. Demi janinny
Sudah banyak orang berkumpul karena penasaran dengan acara lamaran Qiran. Antara percaya dan tidak percaya jika benar Zulkifli yang akan datang bersama keluarganya. Memangnya siapa keluarga Zulkifli? Siapa keluarga Ningsih? Semua orang tahu, mereka adalah petani. Bahkan puluhan tahun yang lalu, mereka disuruh-suruh menjadi buruh di sawah. "Menurutmu, ucapan Mbak Nurul kemarin benar gak sih?""Ya gak percaya sih, Mbak Nurul bisa saja berkelit untuk menutupi calon yang sebenarnya. Aku tak percaya juga kalau sekarang Kipli sama ibunya jadi orang kaya," jawab Bu Nanik. "Lah iya, ada dua apa tiga minggu yang lalu, Ningsih masih jemur padi," sambut yang lain. "Itu dah. Mungkin Nurul lagi sinting," tambah bu Tatik. "Terus Ningsih di mana sekarang? Sepi aja rumahnya tadi aku lewat. Apalagi ini kan acara gengnya, kok tak nampak dia?""Pergi ke desa sebelah, kerja panen padi kali."Yang lain pun ikut mengangguk seperti mengiyakan. Terlihat Bu Nurul sudah rapi dandanannya dengan gamis coklat
"Mana uangnya?" tanya Joger. "Mana temanmu yang lain?" tanya Zulkifli berbalik, membuang asap rokoknya yang baru dia nyalakan. Joger ditemani seorang laki-laki bertato. "Buat apa? Serahkan saja uangnya. Kami terburu-buru.""Jadi kalian hanya berdua?!"Zulkifli melepaskan rokoknya di dekat telapak kaki lalu dilumatkannya dengan sekali giling. Ia menatap kaki kirinya yang sedang berputar. "Ya. Hanya kami berdua. Apa masalahnya? Dari tadi kamu mengulur waktuku."Buuuuughhhh! Zulkifli langsung melayangkan tinjunya di wajah Joger. Tersungkur jatuh pria itu ke tanah kering berbukit. Teman Joger langsung sigap menendang Zulkifli namun kaki Zulkifli begitu kokoh. Hanya mundur saja tidak sampai jatuh. Justru ia berbalik menyerang dengan memutar tubuhnya lalu menendang bahu pria itu. Pria itu langsung jatuh. Ia kembali bangun dan melayangkan tinjunya. Zulkifli menunduk lalu secepat kilat memukul punggung lawannya hingga tersungkur membungkuk. Zulkifli langsung mengangkat kakinya lalu mengha