Zulkifli menikmati sarapan pagi yang dikirimkan ibunya. Abon ikan asin buatan Bu Ningsih sangat nikmat dicampur nasi panas. Pria itu duduk di kursi bundar halaman samping, dilengkapi dengan segelas kopi yang masih mengebul asapnya. "Enak sekali nampaknya sarapanmu, Zul. Sampai tak mendongak kamu," sapa Pak Wahyu yang baru pulang joging. "Hehehe, iya, Pak. Saya sarapannya kepagian ya, Pak."Pak Wahyu duduk. "Ini lauk kiriman Mama saya, Pak. Lauk kesukaan saya. Ikan asin yang dijadikan abon.""Wah menggoda aromanya, Zul. Mau dong saya coba. Sudah sangat lama ... lama sekali saya tidak pernah makan abon ikan asin.""Waah, Bapak suka?""Iya, dulu saya suka. Tapi sekarang tidak pernah ketemu abon begini, jadi hampir lupa saya rasanya. Boleh saya minta?" tanya Pak Wahyu antusias. Zulkifli mengangguk senang. Ia lalu masuk ke dapur dan mengambil satu piring nasi hangat lagi beserta air mineral khusus untuk majikannya. "Ayo, Pak. Cobalah. Semoga suka, ya!".. .. Terpaku Pak Wahyu ketika
Qirani berusaha menahan dirinya agar lebih tenang. 'Aku harus tunggu emosi ibuku stabil dulu, kalau gak, bisa-bisa aku yang dijadikan umpan lele' desis hatinya bertekad. Menjelang sore, Bu Nurul nampak sibuk menyapu halaman. Disapunya halaman itu dengan kekuatan penuh, seperti daun-daun kering kelengkeng itu adalah dosa yang harus dibersihkan. Melayang-layang di udara sapu lidi itu setiap kali menjalankan tugasnya. "Itu setengah jam aja gitu nyapunya Bu E, bisa habis sapu itu teraniaya. Lagi marahan sama bestinya, ssapu yang jadi korban," celetuk Mala duduk di ruang tamu, membuka tirai jendela lalu mengintip dari jendela kaca. "Jangan komentar, mungkin masalahnya benar-benar serius," ucap Qiran berusaha setenang mungkin. "Iya. Aneh banget. Nyapu supaya bersih, NO! Nyapu untuk meluapkan emosi yang terpendam, YES! Itu bukannya bersih, malah bisa patah nanti sapu itu nanti Mbak!""Biarin aja. Nanti kamu bisa disapu juga kan bahaya."Mala hanya cekikikan. Ia kembali memainkan hapenya
"Mari kita berkenalan jika itu diperlukan," ucap Bu Anggun mengangkat rahangnya, berusaha menjelaskan posisinya. Bu Ningsih diam saja. Tangannya mengepal menahan diri. Wusssh! Wusssh! . Lima lembar foto sedang berterbangan di depan Bu Ningsih. "Itu foto pernikahanmu dengan Mas Wahyu. Tak usah sembunyikan diri lagi."Bu Nining melihat ke arah foto-foto yang sudah tergeletak kotor di tanah. Hatinya sakit. Air matanya sekuat tenaga dia tahan agar tidak pecah. Ia menunduk, meraih foto-foto itu lalu mengusapnya. Ia tak kuasa untuk mengabaikan foto itu. Benda itu amat berharga untuknya. "Kenapa kamu datang untuk mengusik hidupku? Bukankah aku sudah merelakan Mas Wahyu untukmu, Anggun?" Bu Ningsih melirih, menyesap kembali air matanya. Dia tak ingin tampak lemah di depan orang lain. Bu Nurul telah banyak mempengaruhi pikirannya bahwa jangan mengganggu orang lain, tapi kalau diganggu, libas saja. Begitu ucapan wanita yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya itu. Namun tak mudah unt
"Aku tidak akan melanggar batasanku, Ning. Aku hanya orang luar. Tanpa izin darimu, aku tidak bisa memberitahu mereka. Jadi bagaimana, apa aku sampaikan berita dan keadaan ini pada Wahyu sekarang?" tanya Bu Nurul dengan napas menderu. "Ti-tidak, Mbak! Tidak boleh, Mbak! Aku tidak mengizinkan Mbak menyampaikan berita ini.""Kubunuh saja kamu, Ning! Kamu membuatku perang batin! Bisa cepat mati aku kalau begini terus!""Tolong Mbak, demi persahabatan kita. Tolong jangan biarkan orang tahu siapa putraku, Mbak! Apalagi keluarga ayahnya! Mereka bisa melakukan apa saja padanya, Mbak."Bu Nurul menggigit giginya sendiri, sampai muncul suara gesekan-gesekan dalam mulutnya karena menahan amarah. Menggemeletuk tak tertahan. "Mbak, aku bersujud di kakimu, Mbak Nurul! Tolong aku. Jangan biarkan napasku hilang karena khawatir putraku dalam ancaman mereka, orang-orang jahat!""Terserah. Terserah sudah! Capek aku!"Kliiik! Panggilan itu terputus. Kali ini Bu Nurul sudah bisa menemukan tombol off d
Fadli melipat bibirnya karena panggilannya ditolak Qirani. "Cuek banget sih kamu, Qi," lirihnya sendu. Sekarang pria itu menopang dagu, memikirkan kehidupan yang sedang berjalan dan kehidupannya yang sudah terlewati. Memang dulu dia tinggal di kontrakan reot, yang temboknya ada yang hampir bolong karena dindingnya mengeropos. Tapi hatinya tenang saja menjalani hari. Qirani melayaninya dengan tulus tanpa protes. Sekarang, dia tinggal di kontrakan yang bagus. Ada AC-nya, berlantai keramik yang licin, dindingnya bahkan berhias stiker cantik tapi hatinya kosong. Seperti ada sebagian dari dirinya yang hilang. Nilamsari tidak seperti yang dia perkirakan. Wanita itu rupanya senang sekali meninggalkan rumah dan pulang larut. Alasannya refreshing dan bawaan bayi. Katanya kalau di rumah, bawaannya mual. Rumah jarang disapu, masak hanya sesekali. Lagi-lagi katanya mual, pusing. Tapi kalau keluar jalan-jalan, gak mual gak pusing. Dinasehati malah balik marah-marah, nangis, tantrum. Fadli hanya
"Gak ada, Bang. Uangmu sudah habis. Kalau nanya sisa, tinggal 4 juta. Aku mau pake persiapan beli daster busui."... ... "Jangan bercanda, Nilam. Uang 20 juta itu. Dalam waktu 2 minggu bagaimana kamu bisa bilang sisa 4 juta?""Yaa ... 16 jutanya habis, Bang. Hemmm ... aku pakai perawatan, kamu mau kan aku tetap cantik? Aku beli skin care paket lengkap, baju-baju hamil, terus aku juga beli sandal dan tas baru. Aku juga beli makanan sehat untukku dan anak kita. Kalau aku terjamin makanannya, tentulah anakmu akan cerdas pandai sejak dalam kandungan. Selain itu, aku juga beli aneka kebutuhan dapur seperti perbumbuan. Jangan kira tumis kangkung yang kamu puji enaknya itu hanya menggunakan bawang saja. Ada banyak jenis saos yang diperlukan untuk itu. Jadi, uang 16 jutamu gak sia-sia, Bang.""Bagaimana kamu seenteng ini, Nilam? Uang itu aku kumpulkan dengan berpahit-pahit. Sampai-sampai Qirani pun kuajak hidup mencekik. Jangankan 16 juta, Nilam, 16 ribu saja dia tidak pernah kuberikan. De
"Ji-jika kamu ingin me-melihat wa-wajah kakekmu, a-ayahku sa-saat muda, li-lihatlah dia. Me-me-mereka sa-sangat mi-mmirip sekali," ucap Bu Sari terengah-engah. Mendengar itu, Zulkifli salah tingkah. Rasanya terlalu berlebihan. "Ya, Mama istirahat sudah. Memang aku tak tahu wajah kakekku saat muda, tapi jika memang mirip Zul, ya syukurlah. Kakekku berarti tampan," sanggah Pak Wahyu sekilas menoleh ke arah Zulkifli."Wajah boleh mirip, tapi nasibnya beda, Nyonya. Terimakasih, saya merasa tersanjung," ucap Zulkifli merasa malu dan sungkan."Ti-tidak ha-hanya wa-wa-wajah, post-postur tubuhnya juga," tambah Bu Sari dengan napasnya naik turun. Bahkan dia belum berpaling dari memandang Zulkifli. 'Ya emang cucumu, Bu! Cucu yang kamu buang bahkan mungkin belum jadi gumpalan daging di rahim mantumu!' gerutu hati Bu Nurul gregetan. Pak Wahyu mengabaikan ucapan ibunya. Baginya, perkara mirip itu relatif. Apalagi mata tua ibunya, tidak bisa terlalu dianggap serius. Ia mengusap dadanya yang sud
Pak Wahyu mengusap mata tuanya, memandang foto pernikahannya dengan Ningsih. Sebuah foto yang sudah dia perkecil, menyisakan dirinya yang sedang bersanding dengan pengantinya 28 tahun yang lalu. "Bagaimana caranya aku mengucapkan maafku padamu, Ningsih? Ya Allah, Ning.""Maaf, Pak. Baru nemu tempat fotokopiannya," ujar Zulkifli masuk, meletakkan map di atas dashboard mobil. "Tidak apa-apa, Zul. Resiko aku yang lupa bawa berkas proposalnya. Kita sudah sejauh ini mau balik," tanggap Pak Wahyu. Zulkifli melanjutkan perjalanan dan beberapa kali menoleh pada bosnya itu. Was-was hatinya melihat kondisi bosnya yang masih shock tapi harus tetap bekerja. "Apa ada komplen terkait acara yasinan yang sudah berlangsung dua hari ini, Zul?" "Alhamdulillah tidak ada, Pak. Semua senang dan mendoakan almarhumah istri Bapak, Bu Ningsih.""Iya, Zul. Terimakasih banyak, ya. Kamu sudah banyak membantu.""Sama-sama, Pak. Sudah menjadi tugas saya. Cuma saya minta, Bapak jangan terlalu lelah. Jaga keseha
"Mas?! Kamu kenapa?!""Ni ... Nilam, Qiran. Dia pergi membawa bayi kami." "Maksudmu?!!" tanya Qiran langsung tegang. "Nilam kabur, Qiran!""Ooh ya, Allah...."Qiran menggigit bibirnya. Ia tahu, tidak mudah di posisi Nilam. Dia sudah merasakan di posisi wanita itu dan Nilam merasakan imbas yang terparah. Ternyata yang diucapkan Nilam waktu itu serius. ***"Aku ingin bercerai," ujar Nilam saat baru seminggu dia disecar. "Cerai?" tanya Qiran. "Iya. Kamu hebat bisa tahan 2 tahun, aku tak sampai setahun sudah habis jiwaku, Qiran.""Kamu yakin? Bayimu butuh ayahnya.""Bayiku lebih butuh ibu yang bahagia. Bukankah begitu?"Qiran diam. Sejak itu Nilam tak pernah bicara soal itu lagi. Dia mengira, Nilam tidak melanjutkan niat itu karena ia melihat Fadli sepertinya mulai lebih luwes pada istrinya. Setiap kali dia ke sana menjenguk Nilam, dia sudah menemukan aneka roti dan buah di dekat meja. Qiran mengira itu semua bisa meluluhkan perasaan Nilam. Tapi rupanya, dua bulan terlewati, wanita i
Fadli terkejut tak mengerti. Alisnya yang mengkerut dengan kening berlipat-lipat itu menandakan dia heran. Nilam pun yang sedang menggendong bayinya juga ikut bingung. "Uangmu yang hilang di rekening sejumlah 63 juta itu, aku yang ambil. Jadi yang 2 jutanya anggap aku sedekah saja," ucap Qiran tanpa keraguan sedikit pun. "Bicara yang jelas, Qirani," ujar Fadli tegang. "Perlu aku ulang, Mas?" tanya Qirani dengan wajah biasa saja. Dddrrrrtt... Ponsel Qirani bergetar. Qiran mengangkat tangannya seolah mengisyaratkan agar Fadli diam dulu. Pembawaan Qiran santai saja seolah-olah tidak ada beban. Sedangkan Fadli masih terbengong-bengong. "Ya, Yank. Ooh, oke deh. Tunggu dah sebentar lagi ... Gak, Yank. Nanti lah di Star Five aja, belum kucoba menu yang itu. Oke. Siap."Panggilan selesai. Nilam hanya tersenyum kecil. Itu pasti dari mantan suaminya. Luar biasa beruntung Qirani, hidup mewah, makan siang di hotel. Tapi sekarang Nilam tak mau iri lagi pada Qiran meski sakit itu jelas masih
SCENE FLASH BACKNita dan Pak Hasan secara tidak sengaja mendengar percakapan dokter yang sedang merayu Fadli dan Bu Sita agar setuju Nilam dioperasi. Mendapati keduanya masih kekeh, Nita langsung menyeret tangan ayahnya menjauh. "Pak, yakin gak kalau kita rayu Mama dan Mas Fadli, mereka akan luluh?""Bapak sudah ngomong, kok tadi subuh sama Mamamu. Jika memang harus kakak iparmu dioperasi, ya bismillah aja. Tapi Mama mu malah menggerutu tak jelas.""Mas Fadli juga kok gitu banget sih, Pak. Aku merasa kasihan sama Mbak Nilam meskipun aku gak akur sama dia.""Fadli sama Mamamu sama-sama punya bibit kikir. Sudah berulang kali Bapak kasih tahu kalian bahwa kikir itu sulur rambatnya sudah ada di neraka. Siapa yang kikir atas hartanya, tinggal ditarik ke neraka oleh rambatannya. Macam sulur labu. Menjalar."Nita menggigit bibirnya. Ia punya ide tapi ia sendiri masih ragu. Namun daripada tidak dicoba sama sekali, lebih baik gagal. "Aku akan menghubungi Mbak Qiran, Pak. Mungkin Mbak Qiran
"Ini bayinya kalau lahir, akan prematur. Usianya baru 24 minggu. Beratnya kurang sekali ini, Bu. Seperti berat janin usia 4 bulan. Janinnya kurang nutrisi ini. Ibunya malas makan, ya?!" cecar Bu Dokter yang langsung membuat jantung Nilam seperti dihantam batu besar. "Makan kok, Dok. Cuman sering muntah," sambung Fadli tak mau dikira istrinya tak makan. "Makan, Dok tapi nasi dan kepala ayam atau ceker ayam, bukan dagingnya," tambah Nilam penuh dendam. Dalam hatinya, kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya, ia akan membuat perhitungan yang besar dengan suaminya itu. "Ibu hamil itu harus makan yang bernutrisi tinggi. Malah perlu juga disokong dengan susu dan vitamin. Karena apa yang dimakan ibunya, itu yang dimakan janin."Bu Dokter langsung memberi intruksi. "Sus, siapkan suntik pematangan paru. Jaga-jaga kalau bayinya lahir," ujar Bu Dokter pada asistennya. "Baik, Dok."Suasana menjadi tegang. Bu Dokter kembali melihat layar. "Denyut jantung janin masih bagus. Saya akan bantu su
"Apa?!" Suara Fadli agak ketus. Sebab, dia sedang merasa diganggu saat menatap mantan istrinya yang begitu sangat cantik jelita. "Perutku sakit sekali, Mas. Sakit sekali.""Sakit gimana maksudmu?""Ya sakit. Cekat cekit. Ta-taapi sekarang sudah hilang," lirih Nilam. "Kamu pasti shock melihat mantan suami kamu yang sekarang jadi anak konglomerat, kan? Perempuan matre kayak kamu pasti nyesel banget."Mendengar ucapan suaminya, Nilam hanya memandang sinis. Ia ingin menimpali tapi kembali lagi rasa sakit di perutnya menyerang. Sejenak dia bergeming. Ada apa ini? Apakah sudah waktunya dia melahirkan? Usia kandungannya baru lima bulan jalan enam. Dia tidak mau memiliki bayi yang tidak normal. Usaha dan perjuangannya sudah sangat jauh untuk janinnya. Nilam berusaha bernapas dengan teratur. "Ayo! Kita ucapkan selamat atas kemenangan mereka dan kekalahan pada kita, Nilam," lirih Fadli dari hatinya paling dalam. Nilam bergeming. "Ayo kita naik! Biar cepat makan!" seru Bu Sita. "Ayo, Nila
"Jadi gimana, Fadli, kamu mau datang tidak ke acara resepsi mantan istrimu?"Fadli hanya diam. Benar-benar diam. "Biar kita berangkat bareng pake mobil. Mama akan sewa mobil khusus biar kelihatan mewah, sesuai dengan pesta yang akan kita datangi. Nanti kamu yang bayar tapi ya."Wuuushhh! Undangan tebal dan berbingkai ukiran timbul berwarna emas itu melayang dan jatuh. "Cukup ya, Ma! Cukup! Aku muak mendengar Mama yang mau terlihat hidup hedon padahal modal pun tak ada. Mama itu seperti sedang memerasku! Mama belum sadar-sadar juga? Seberapa besar dan banyak akibat yang ditimbulkan oleh Mama! Mama yang jadi ibuku yang menyebabkan aku sampai cerai dari Qirani!""Loh, kok kamu jadi ngegas, Fadli? Mama cuman kasih tawaran aja. Masa sekedar sewa mobil kamu gak mampu?! Kan uang dari Pak Wahyu sampai 75 juta. Janganlah kikir banget!""Kikir?! Ya! Aku kikir dan pelit memang! Ini semua karena ajaran dari Mama! Mama yang suruh aku pelit kikir pada Qirani sehingga dia sampai gak betah jadi is
"Ini gaes, kakak sepupu aku ternyata langsung akad nikah gaes. Sekarang nih! Pantengin ya!"Nilam langsung menelan salivanya berdebar. Mantan suaminya akan akad nikah, sungguh luar biasa gejolak batin Nilamsari. "Assalamu'alaikum!"Deegh! Sampai gugup tangan Nilam memegang hp karena terkejut. "Waalaikumsalam, Bang.""Kenapa mukamu tegang begitu?" tanya Fadli yang baru pulang dari kantor. "Ooh iya, Bang. Gak kok. Aku buatin kopi?""Gak usah. Aku mau langsung mandi aja."Nilam diam dan itu membuat Fadli jadi penasaran. "Ada apa di hp itu?""Nonton ... nonton vidio pernikahan Qirani dan mantan suamiku, Bang.""Qiran?! Nikah hari ini?!!!"Fadli terkejut luar biasa. Dia langsung meraih ponsel Nilam. 'Aku tak mau shock sendirian, Bang. Sama-sama mampuslah kita. Kamu kira aku gak tahu, kamu masih sering merindukan mantan istrimu itu' batin Nilam bersamaan dengan detak jantungnya mulai stabil. Terkadang Nilam heran dengan dirinya sendiri, begitu takut Fadli menceraikannya. Demi janinny
Sudah banyak orang berkumpul karena penasaran dengan acara lamaran Qiran. Antara percaya dan tidak percaya jika benar Zulkifli yang akan datang bersama keluarganya. Memangnya siapa keluarga Zulkifli? Siapa keluarga Ningsih? Semua orang tahu, mereka adalah petani. Bahkan puluhan tahun yang lalu, mereka disuruh-suruh menjadi buruh di sawah. "Menurutmu, ucapan Mbak Nurul kemarin benar gak sih?""Ya gak percaya sih, Mbak Nurul bisa saja berkelit untuk menutupi calon yang sebenarnya. Aku tak percaya juga kalau sekarang Kipli sama ibunya jadi orang kaya," jawab Bu Nanik. "Lah iya, ada dua apa tiga minggu yang lalu, Ningsih masih jemur padi," sambut yang lain. "Itu dah. Mungkin Nurul lagi sinting," tambah bu Tatik. "Terus Ningsih di mana sekarang? Sepi aja rumahnya tadi aku lewat. Apalagi ini kan acara gengnya, kok tak nampak dia?""Pergi ke desa sebelah, kerja panen padi kali."Yang lain pun ikut mengangguk seperti mengiyakan. Terlihat Bu Nurul sudah rapi dandanannya dengan gamis coklat
"Mana uangnya?" tanya Joger. "Mana temanmu yang lain?" tanya Zulkifli berbalik, membuang asap rokoknya yang baru dia nyalakan. Joger ditemani seorang laki-laki bertato. "Buat apa? Serahkan saja uangnya. Kami terburu-buru.""Jadi kalian hanya berdua?!"Zulkifli melepaskan rokoknya di dekat telapak kaki lalu dilumatkannya dengan sekali giling. Ia menatap kaki kirinya yang sedang berputar. "Ya. Hanya kami berdua. Apa masalahnya? Dari tadi kamu mengulur waktuku."Buuuuughhhh! Zulkifli langsung melayangkan tinjunya di wajah Joger. Tersungkur jatuh pria itu ke tanah kering berbukit. Teman Joger langsung sigap menendang Zulkifli namun kaki Zulkifli begitu kokoh. Hanya mundur saja tidak sampai jatuh. Justru ia berbalik menyerang dengan memutar tubuhnya lalu menendang bahu pria itu. Pria itu langsung jatuh. Ia kembali bangun dan melayangkan tinjunya. Zulkifli menunduk lalu secepat kilat memukul punggung lawannya hingga tersungkur membungkuk. Zulkifli langsung mengangkat kakinya lalu mengha