Alana berusaha menormalkan degupan dalam dadanya. Dia yakin bisa melawan mereka bertiga. Dengan susah payah, Alana tersenyum angkuh seolah semuanya baik-baik saja. Jika tidak demikian, yakinlah Hesti akan semakin berhasrat untuk menjatuhkannya."Rupanya si Bunting rupanya udah pulang. Mungkin dia ayahnya?" Hesti tertawa kecil sambil mengikis jarak menyusul mereka berdua padahal matahari sore begitu terik, membakar kulit."Kalau bukan dia, siapa lagi, Tan? Enak aja dia mau mengkambinghitamkan Albian. Kalau masih cinta mah nggak mungkin selingkuh," tambah Nia sedikit ketus."Lah, jadi Alana ini selingkuh, toh? Apa jangan-jangan dia selingkuh karena Alana pengen ditidurin, tapi Al nggak mau? Aduh, anak jaman sekarang emang nggak tahu adat ya, Jeng!" Siti bahkan tidak mau kalah.Alana hanya diam, dia mencoba memikirkan kalimat yang pantas untuk mereka bertiga. Dia ingin terlihat berkelas melawan orang yang tidak begitu penting kecuali Alana mendapat serangan. Bukankah tersenyum bisa menam
"Menikah?" Alana memutar badan menghadap ibunya kembali dengan tampang malas. "Dalam keadaan hamil begini, siapa yang mau nerima, Ma?""Mama bilang sudah punya calon, jadi kamu tinggal mengiyakan. Setelah mama sembuh, kita urus pernikahan itu!"Kepala Alana mendadak sakit kepala mendengar pengakuan sang ibu. Gadis itu tidak peduli siapa yang akan menjadi calonnya karena Alana tahu, sulit menemukan lelaki yang mau menerima kekurangannya.Apalagi kalau ternyata dia lelaki tua, berbau tanah dan jelek. Walaupun lelaki itu saudagar paling kaya kalau jelek dan tua, Alana tentu saja menolak. Dia bukan gadis matre, maka dari itu menerima keadaan Albian apa adanya yang ternyata berujung pengkhianatan."Nggak," jawab Alana setelah lama berpikir."Alana!" bentak Ranti balik, meskipun suaranya tertahan, dia tidak boleh kalah sama anak sendiri."Mama, aku nggak mau nikah sama calon mama itu. Aku bakal cari suami sendiri, menikah itu butuh cinta dan kalau menikah karena menyembunyikan kehamilan ini
Tepat pukul delapan pagi, Alana sudah siap berangkat ke kontrakan Bella. Hari ini penampilannya tetap terlihat cantik meskipun memakai celana jeans dengan atasan kaos putih. Tentu saja Alana harus berpakaian seperti itu karena ada kemungkinan mereka berdebat panjang, dia tidak ingin kesulitan melawan hanya karena memakai rok.Pintu baru terbuka sepuluh senti, tetapi Alana harus kembali menoleh ke belakang. Dia melihat ibunya berdiri di pintu kamar, kemudian berusaha mencapai kursi. Alana tetap diam menunggu apa yang akan ibunya sampaikan meskipun sebenarnya dia sangat buru-buru karena sudah janjian dengan orang suruhan Rasya."Kamu mau ke mana?""Keluar sama teman, Ma, sebentar doang." Alana menjawab sedikit malas.Apa dia keterlaluan? Mungkin iya, tetapi ada urusan yang begitu mendesak. Jika saja boleh, Alana sendiri tidak ingin menjadi anak durhaka. Namun, ada masalah yang membuatnya harus membantah. Entahlah, Alana sendiri sebenarnya kasihan pada sang ibu yang harus dia tinggal lag
"Pak Danis silakan duduk dulu!" pinta Ranti ramah pada lelaki yang kini diyakini akan menjadi calon menantu meskipun usia mereka tidak terpaut jauh.Alana menggigit bibir, bagaimana bisa duda dua anak terlihat awet muda seperti itu. Alana mencoba mencari celah, tetapi tetap gagal. Dengan tubuh tinggi atletis, siapa yang akan menyangka kalau ternyata dia seorang duda?"Kamu juga duduk, Na, atau ke dapur buatin Pak Danis minum." Ranti kembali menegur anak gadisnya."Eh, nggak usah repot-repot, Bu Ranti. Kebetulan lagi puasa nazar."Suara lembut itu terdengar indah di telinga Alana. Dia bagai terperangkap di sebuah tempat di mana dia sendiri tidak ingin lepas. Alana semakin yakin kalau Danis adalah sosok lelaki penyayang. Namun, jika dia menikah, apakah masih bisa melanjutkan misi balas dendam atau melupakan segalanya seolah tidak ada luka dalam hati?Alana menggeleng cepat, tindakannya sama sekali tidak boleh dibenarkan. Meskipun Danis tampan sekaligus mapan, tetap saja Alana harus meno
"Nggak usah pura-pura, Bel. Aku tahu akal bulus kamu, jadi katakan apa maumu karena aku nggak punya banyak waktu!"Bella menepuk jidat sendiri, merasa kesal dengan Alana. "Aku nggak pura-pura, Na. Mungkin kamu mengira aku menjebak atau akting? Lihat saja, aku nggak bawa ponsel atau apa pun yang bisa merekam pembicaraan kita. Aku nggak ngajak kamu masuk karena emang rumah lagi berantakan. Sekarang aku harus melakukan apa supaya kamu percaya? Telepon Albian dan minta putus sama dia? Aku bisa melakukannya demi kamu!""Tidak usah." Alana menghela napas panjang, kemudian mengedarkan pandangan ke segala arah. Memang tidak ada cela untuk merekam mereka karena dan jendela rumah Bella pun tertutup rapat. Apa yang dia takutkan sekarang?"Aku juga sadar nggak pantas buat Albian. Ya, percayalah selama ini dia tulus, Na. Mungkin ada alasan lain yang membuat Albian harus pergi selain karena kamu hamil. Dia nggak mungkin ngebuang kamu gitu aja, padahal kalian bisa menikah, bukan? Pikirkan baik-baik,
"Ayo, kita ke luar. Kasihan Pak Danis kalau harus menunggu di luar, padahal udah repot-repot mau masak buat kita." Ranti menarik tangan putrinya keluar kamar dan melihat Danis tengah mengulum senyum kikuk. Ketiganya melangkah santai menuju meja makan. Lelaki itu menghela napas panjang berulang kali karena kaki dan tangannya berubah pucat dan sedikit gemetar. Bukan karena rasa lapar yang mendera, tetapi dia merasa jatuh cinta pada Alana. Danis diam-diam mengulum senyum, kemudian menunduk untuk menyembunyikan rona di wajahnya. Apa ini? Dia seperti remaja yang baru saja dilanda bunga-bunga cinta. Ketika seseorang jatuh cinta, apa dia bisa menyembunyikan kebahagiaannya? Danis pikir itu mustahil. "Pak Danis makan, anggap rumah sendiri. Terimakasih sudah mau repot memasak di sini." "Sama-sama, Bu Ranti. Semoga Ibu dan Alana suka masakan ini." Danis menggigit bibirnya, kembali memalingkan pandangan ketika melihat Alana melotot. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kalimat Danis tadi, t
"Mama kok marah gitu, kayak nggak pernah muda aja. Aku nolak Pak Danis karena enggak cinta sama dia, Ma. Cinta itu nggak bisa dipaksa, harus dari hati kita." Ranti mendengus. Benar apa yang dikatakan Alana, tetapi apakah salah jika ingin memberi yang terbaik untuk putrinya? Ranti tahu rasanya dicampakkan, bukan berarti menganggap semua lelaki adalah sama terlebih pada Danis yang memang sudah dewasa. Tanpa harus izin, Ranti duduk di dekat Alana, menyusun bantal dan bersandar pada dinding kamar karena perutnya masih terasa nyeri. Dia ingin berbicara dari hati ke hati berharap hati Alana terbuka. "Na, waktu kecil, kamu selalu bilang ingin membahagiakan papa, betul?" "Iya, Ma." Alana sudah menduga apa yang akan dikatakan sang ibu selanjutnya. Akan tetapi, dia memilih untuk diam saja daripada kembali berdebat. Sebenarnya Alana juga masih punya rasa takut melawan ibunya. Namun, ada dendam yang terus membara dalam hati. Alana tidak bisa menerima takdirnya, melihat Albian bahagia dengan Al
"Sya?" Alana kembali membuka matanya setelah beberapa menit berlalu dan mendapati Rasya yang sedang mengukir senyum padanya."Tidak, Na. Aku hanya bercanda, tetapi rupanya kamu memang tertarik sama aku. Kalau aja nggak, pasti kamu meronta. Ngomong-ngomong aku lihat kamu lagi ada masalah, betul?"Alana mendengus kesal. Dia memang tidak ingin disentuh oleh lelaki itu, tetapi Alana yakin pipinya sempat merona dan Rasya melihatnya sendiri. Dengan susah payah, si gadis malang akhirnya bisa lepas, kemudian membuang napas berat."Ada masalah lain, tapi lupakan tentang itu, Sya. Aku pengen ngeliat Albian dulu."Akhirnya Rasya mengangguk dan memberi kelegaan tersendiri dalam hati Alana. Lelaki itu menggandeng tangan Alana seolah mereka memang sepasang kekasih yang saling mencintai, menuju ujung tanah lapang itu, menyibak semak dan menemukan tembok berwarna hitam.Andai saja Rasya tidak membukanya, maka Alana mengira itu sebatas dinding. Dia sedikit menganga, tetapi kemudian harus fokus menurun
Selesai mandi sore, Alana memilih mengurung diri dalam kamar bersama putra kesayangannya karena Ali sedang terlelap. Merasa jenuh, akhirnya dia membuka aplikasi sosial media. Mulai dari Instag-ram, Face-book hingga aplikasi hijau yang dikenal dengan sebutan Whats-App.Alana membuka story teman-temannya. Mereka memang masih saling menyimpan kontak, tetapi tidak pernah bertukar pesan selain menonton story masing-masing. Terutama Alana yang memang tidak mau mempublish masalahnya ke media sosial.Menyebar masalah ke sosial media bagi Alana itu buruk. Selain mengundang gibah, beberapa dari mereka juga bertanya bukan karena peduli atau ingin memberi solusi melainkan kepo saja. Lagi pula, masalah rumah tangga itu hal privasi.Alana menekan layar ponselnya ketika tiba di story Whats-App milik Rasya. Ada foto mereka berdua di sana dengan caption 'Bidadari Surgaku' yang disertai emotikon love dan bunga mawar merah."Lah, ini bener?" tanya Alana menatap tidak percaya.Entah kenapa, tiba-tiba hat
"Sepertinya, aku harus pergi lagi sebelum perasaan ini tumbuh sangat dalam dan untuk itu aku butuh kamu," jawab Shaka dengan perasaan sedih.Hasna terdiam beberapa saat, kemudian melirik ke kanan dan kiri. Sayang sekali karena tidak ada pembeli agar dia bisa menghindari Shaka.Jujur saja, dia belum bisa membuka hati untuk orang baru. Memang benar kalau saat ini Hasna butuh seseorang untuk menemaninya menjalani hidup. Dia bosan menumpang pada Siti karena selalu dijadikan kambing hitam, dituduh dalang dari setiap masalah yang ada.Hidupnya kacau balau, terkadang Hasna ingin menyerah jika saja iman tidak ada dalam dada. Hasna mendesah kesal, entah mengapa. Saat kembali menatap Shaka, ada rasa iba dalam dirinya. Lelaki itu setengah mati berjuang melupakan Zanna, haruskah dia mengorbankan perasaan sendiri demi membantunya kembali ke hakikat diri?Berat. Hasna rasa tidak mudah mengubah pendirian seseorang. Apalagi sosok seperti Shaka yang setahu Hasna sudah lama alpa dari perintah Tuhan yak
I lay my love on youIt's all I wanna doEvery time I breathe I feel brand newYou opened up my heartShow me all your love and walk right throughAs I lay my love on you....Shaka sengaja mendengarkan lagu romansa dari Westlife sebagai gambaran perasaannya saat ini. Memang benar bahwa Alana lah yang membuka hatinya untuk tidak larut mencintai Zanna yang telah tiada. Sayang sekali, dia tidak bisa memiliki wanita itu.Mencintai seseorang yang sudah menikah dan suaminya adalah adik sendiri itu menyakitkan. Shaka diam-diam menghela napas berat tanpa memudarkan senyum di bibirnya. Dia ingin menikmati kesempatan itu dengan bahagia."Andai saja aku pulang lebih cepat dan ketemu sama kamu, aku yakin kita akan menjadi pasangan romantis. Aku nggak bakal ngebiarin Rasya buat nikahin kamu karena kesempatan itu nggak datang dua kali.""Andai saja kita bisa kembali ke masa lalu," gumam Alana membuang pandangan ke arah samping."Bahkan kamu lebih menginginkan aku daripada Rasya. Jelas sekali karen
Sesampainya di rumah, Ranti langsung menemui menantunya yang sedang duduk di samping ayunan Ali sambil menonton YouTube. Melihat kesedihan di wajahnya membuat wanita tua itu mengurungkan niat, kemudian menyerahkan ponselnya pada sang anak."Tadi mama sempat rekam pembicaraan kita di rumah Siti. Kamu kasih sama Rasya sebagai bukti, mama mau balik ke rumah dulu," bisik Ranti, lantas melangkah cepat meninggalkan Alana.Wanita itu melipat bibir. Jujur saja, dia sedikit kesal pada tingkah suaminya yang sangat mudah termakan omongan tetangga. Padahal, dia sudah tahu bagaimana perangai Siti selama ini. Lulusan sarjana, tetapi begitu mudah dikelabui.Alana tidak habis pikir, hatinya pun masih menyimpan perih setelah mendapat tamparan tadi. Kalau saja bukan mau bersikap dewasa, dia pasti sudah balas menampar Rasya. Ah, pikirannya kalut. Kini, pandangan mereka bertemu ... masih terlihat binar cinta di kedua matanya."Dengerin sendiri!" Alana meletakkan ponsel ibunya, kemudian ikut duduk di deka
Rasya tentu tidak mau kalah, dengan cepat dia menyusul Alana ke kamar, kemudian membawanya ke tempat semula dengan sedikit paksaan. Dia bisa saja melanjutkan perdebatan itu dalam kamar, tetapi Ali tidak boleh ditinggal sendirian.Kembali, Rasya membuang napas berat. Ada perasaan sedih dalam hatinya karena dia percaya pada apa yang Siti katakan. Mengingat Shaka pernah menganggap Alana adalah Zanna, maka tidak menutup kemungkinan apa yang diadukan Siti benar adanya dan Alana sedang mencoba untuk lari dari masalah.Apa gunanya bertanya pada Ranti jika dia akan membela anaknya sendiri karena takut kalau Alana menjadi janda di usia muda apalagi pernikahan mereka belum terlalu lama ditambah Ali masih kecil. Memikirkan itu semua semakin menambah pikiran Rasya saja."Kalau kamu nggak percaya, ya sudah.""Hari itu saja aku lihat kamu dipeluk sama Shaka padahal ada banyak pelayan di rumah. Sementara tadi, hanya ada kalian. Setan selalu hadir sebagai orang ketiga saat ada yang berduaan. Okelah a
"Bu Siti tahu dari mana kalau Alana romantis-romantisan?"Siti mengibaskan kipasnya, padahal cuaca biasa saja. "Ya aku lihat sendiri lah. Tahu sendiri kan kalau Hasna kerja di warung mertua kamu, sebagai tante yang baik untuk Hasna dan tetangga baik buat kalian, jadinya beli nasi uduk ke sana. Eh, sebelum kesampean malah liat laki-laki lagi gendong Ali, terus Alana malah senyum-senyum tidak jelas. Agak lama sih posisi mereka kayak gitu, sesekali Alana bercandain Ali. Pokoknya aku nggak bisa gambarin secara gamblang, intinya mereka romantisan. Mungkin karena Hasna sama mertua kamu lagi keluar jadi mereka mikirnya dunia cuma milik berdua. Iya, toh?"Mendengar itu semakin menambah amarah di hati Rasya. Kedua matanya berubah merah, rahang pun mengetat sempurna. Bagaimana mungkin Alana bersikap romantis pada lelaki lain?Satu hal yang membuat Rasya bingung. Dia belum bisa menebak siapa lelaki yang berhasil merebut posisinya. Sejak dulu Rasya sudah berpesan agar Alana tidak pernah tersenyum
Hari kedua Shaka bekerja, dia ternyata sosok yang rajin. Datang lima menit lebih cepat dan pulang lebih lambat karena membantu Ranti membereskan warung terlebih dahulu.Sebenarnya Ranti masih sungkan mempekerjakan saudara menantunya, tetapi dia terus mendesak. Sudah berulang kali Ranti memintanya pulang ke rumah atau bekerja di kantor, Shaka tidak pernah mengindahkannya.Sekarang, jam sudah mendekati pukul tiga sore dan Shaka belum juga kembali sejak empat jam yang lalu. Ada rasa khawatir yang menyelimuti jiwa Ranti dan juga Hasna karena makanan-makanan itu diantar tidak terlalu jauh dari rumah dan jumlahnya pun tidak banyak.Dalam waktu normal, Ranti memperkirakan Shaka sudah tiba di rumah sejak setengah jam yang lalu. Entahlah, dia mendesah ingin putus asa terutama ketika Hasna mengatakan kalau nomor telepon Shaka tidak aktif. Ke mana dia? Apa dia baik-baik saja?"Kalau Shaka kenapa-napa?""Hust!" Ranti menempelkan jari telunjuknya di bibir Hasna beberapa detik, kemudian melanjutkan
Hari sabtu, hari yang biasanya Alana nantikan karena Rasya tidak harus berangkat ke kantor. Bagaimana dengan sekarang? Mungkin sedikit sulit karena sudah beberapa hari ini tidak ada canda dan tawa di antara keduanya.Rasya hanya akan berbicara pada Alana ketika ada sesuatu yang penting, begitu juga sebaliknya. Alana bukan tidak mau meraih rida suami, tetapi Rasya yang terlihat menghindari.Tepatnya karena merasa bersalah. Entah kenapa lelaki itu sangat sulit mengurai kata maaf di hadapan Alana. Rasa bersalah yang terlalu dalam, mungkin. Sekarang pun dia sengaja berlama-lama di kamar mandi karena khawatir berpapasan dengan Alana.Sementara Alana sendiri melipat pakaian yang dia cuci kemarin karena Ali terlelap di dalam ayunan. Untung saja pangeran mereka tidak lagi rewel, mungkin saja berusaha mengerti keadaan orangtuanya.Jam sudah menunjuk angka delapan, Ranti yang berada di penjualan terlihat penat. Dia pun memilih duduk sebentar karena tadi malam harus begadang setelah menerima pes
"Tidak mungkin, Na. Aku nggak yakin ada yang suka sama aku. Kamu tahu sendiri aku nggak ada kelebihan selain jago jualan." Hasna tertawa renyah, kemudian melanjutkan, "sulit. Aku harap tidak ada."Alana tersenyum hangat. Kalau dia jadi Hasna, mungkin akan merasakan hal yang sama pula. Hidup di perantauan bersama seorang tante yang sangat cerewet dan senang memfitnah orang itu tidak menyenangkan, hari-hari berlalu pasti dipenuhi dengan tekanan yang membebani pikiran apalagi jika dijadikan babu karena hidup menumpang.Sebenarnya bukan menumpang semata, Hasna juga menyisihkan gajinya untuk membeli beras atau lauk, tetapi tetap saja Siti menganggapnya beban dan kalau suatu hari nanti ada yang berniat baik, tentu merupakan berita baik.Ada satu masalah, Hasna tidak akan semudah itu mendapat restu. Dia yang kini hidup jauh dari kota kelahirannya memaksa diri untuk tetap tenang, sabar dan selalu semangat dalam keadaan apa pun. Hasna sebenarnya sangat butuh dukungan dari keluarga, hanya takdi