Walau sudah menuliskan apa yang harus dilakukannya di selembar kertas, tetapi ia nyaris tidak paham apa yang harus dilakukan. Ia tak mungkin muncul di depan Dominic dan berkata: Aku butuh pekerjaan di dekatmu.
Jika mendengar hal itu, Dominic akan mendepaknya dan memastikan Wyatt berada setidaknya 100 meter darinya.
“Wyatt ... ayo makan!”
Wyatt menoleh ke arah pintu, tempat suara itu berasal. Akan tetapi, tidak ada sosok kakeknya yang belakangan dengan sekuat tenaga memberikan perhatian padanya. Aneh memang, walau selalu saja mengatakan untuk menyerah soal Anna, pria tua itu adalah orang yang paling peduli padanya saat kejadian buruk terjadi.
“Ya!” Wyatt tidak akan membuat pria tua yang sudah membesarkannya tersebut khawatir.
“Apa lagi yang sedang kamu kerjakan?’ tanya kakek Wyatt sambil menjulurkan kepalanya ingin tahu.
Wyatt tersenyum dan mengeleng. Lalu didorongnya punggung pria itu ke ruang makan. Di meja telah terhidang beberapa lauk. Ayam goreng, perkedel jagung, dan sayur bayam. Seorang asisten rumah tangga meletakan piring di atas meja Wyatt, tempat yang selalu diduduki. Begitu selesai, asisten rumah tangga itu kembali ke belakang.
“Kamu tidak membuat surat wasiat, kan? Dengar ... kamu tidak boleh melakukan hal nekat!” Kakek Wyatt mewanti-wanti.
Wyatt masih tidak menjawab, ia masih tersenyum seperti tadi. Diisinya piring sang kakek dengan nasi, diletakan di tempat semula. Keluhan sang kakek berhenti di sana, walau padangannya masih mengamati Wyatt yang duduk di kursinya sendiri dengan nasi yang sama.
Mereka makan dalam diam.
Wyatt baru berniat berhenti, saat kakeknya berdiri dan menyendokan nasi tambahan ke piringnya. “Kamu bukan perempuan, kenapa diet? Makan lebih banyak sedikit!”
Wyatt sama sekali tidak membantah, hanya melakukan apa yang disuruh oleh sang kakek. Dihabiskan isi piringnya dengan cepat dan ia akan berdiri lagi, kembali ke kamar untuk menyelesaikan pembuatan rencana balas dendam.
Jemari keriput yang sudah membesarkan Wyatt dengan tegas kembali menghentikan aksinya. Ia duduk, menatap dengan senyuman ke arah sang kakek.
“Aku tidak akan memintamu melupakannya. Hanya saja, kumohon ... jika terbersit hal buruk di otakmu, tolong ingat aku. Kasihani kakekmu ini. Aku tidak mau melihat darah dagingku pergi sebelum diriku! Maukah kamu mengabulkannya, Wyatt?”
Pandangan Wyatt kosong, ia tak dapar berpikir. Ia tidak menemukan kata-kata yang bisa dijadikan jawaban. Ia tak bisa memikirkan apa-apa. Sekali lagi, Wyatt hanya tersenyum, menyentuh jemari keriput milik kakeknya. Lalu berdiri, kembali ke kamarnya.
Saat ia sampai di pintu dapur, didengarnya sang kakek membuang napas frustrasi.
Wyatt menutup pintu kamarnya perlahan. Pintu yang menjadi batas antara kenyataan dan dunianya yang tak bisa disebut neraka untuknya. Dipandangi kertas yang sejak tadi dicoret-coret. Catatan itu masih saja bertuliskan poin pertama.
“Bagaimana caranya supaya dapat sampai ke poin pertama?” tanya Wyatt entah pada siapa.
Ia menjatuhkan kepalanya ke atas meja, di samping kertas berisi catatan rencana balas dendamnya. Ia memejamkan mata, mencoba mengulik otaknya yang pintar kemarin-kemarin. Hari ini otak itu tak mau membantunya sedikit pun.
“Anna ... apa yang harus kulakukan?” tanya Wyatt.
Matanya terasa panas tiba-tiba. Hatinya juga kembali dengan sakit yang sama. Anna tidak ada. Wanita itu bahkan tidak bisa lagi dilihatnya. Wanita itu telah direngut darinya. Bagaimana bisa Wyatt merelakannya begitu saja.
***
Esme memakai gaun hitam, dengan topi hitam cantik dengan jaring-jaring yang menyamarkan matanya. Ia telah meminta tolong untuk disiapkan mobil, supaya bisa pergi sendiri. Akan tetapi, seorang sopir menghentikannya di depan.
“Saya akan mengantar Anda,” kata pria dengan jas hitam yang tampaknya telah disiapkan orang tuanya.
“Berikan kuncinya! Aku akan pergi sendiri!” pinta Esme. Ia menadahkan tangan, menunggu kunci meluncur dan jatuh di telapak tangannya. Akan tetapi, cukup lama kunci itu tak dapat juga olehnya. “Kubilang berikan kuncinya!” suara Esme meninggi dengan tidak sabar.
“Memang mau ke mana kamu sebenarnya!”
Seluruh tubuh Esme menegang. Ia tidak benci orang tuanya, hanya jarang berinteraksi sehingga merasa canggung. Layaknya seorang anak kecil yang kemudian harus bertemu dengan binatang buas yang sudah jinak.
“Saya ada perlu ke rumah teman, Papa, hanya sebentar!” jawab Esme, melontarkan seulas senyuman sebagai tambahan untuk meyakinkan.
“Maksudmu ke rumah Anna?”
Esme menjilati bibirnya. Tidak peduli dengan lipstik yang akan menghilang karena perbuatan itu. Bagaimana bisa ketahuan? Begitu pikirnya saat itu.
“Melihat bagaimana kamu bereaksi sepertinya tebakan Dominic benar. Kamu ingin ke tempat Anna!” Pria yang dipanggil Esme sebagai Papa membuang napas. “Ibu Anna sudah tidak ada di sana! Siapa yang kamu temui? Anna juga tidak ada di sana!”
“Saya harus minta maaf, Pa, saya ....” Esme tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Sebab air mata Esme sudah mengalir lebih dulu. Hatinya pedih. Ia iba.
“Wanita itu sampai menuduh tunanganmu menghamilinya dan kamu masih menitikan air mata untuknya! Aku tidak mengerti bagaimana sebenarnya kami membesarkanmu!” Lalu Papa Esme berbalik. “Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Kembali ke kamar!”
Esme terkejut. “Biarkan saya pergi, Pa! Sebentar saja! Saya mau minta maaf pada ibu Anna. Mungkin dia akan merelakan anaknya. Pa!”
Namun, lelaki yang dipanggil Esme dengan sebutan Papa sudah pergi ke dalam. Tidak mau mendengarkan teriakan-teriakan Esme.
“Terima kasih sudah menghubungi saya, Pa!”“Ya, temui dia dan coba jelaskan kalau apa yang dia lakukan ini sia-sia!” kata si penelepon.“Ya!” Setelah itu Dominic meletakan kembali gagang teleponnya di tempat semula. Lalu mengambil napas dalam dan menengelamkan dirinya dalam keempukan sofa santainya.“Azzar ... apa kamu ada di depan!” seru Dominic ke arah pintu.Terdengar langkah kaki pelan dan daun pintu berayun terbuka. Azzar, pria yang dipanggil Dominic berdiri di sana. Wajahnya tanpa ekspresi. Tatapannya juga tak mengarah lurus ke depan, menunduk, layaknya seekor anjing yang patuh.“Ya, Tuan muda?” tanya Azzar datar.“Kemarilah! Ada yang mau aku katakan padamu!” panggil Dominic.Langkah kaki Azzar berirama tetap, tidak terlalu cepat dan tak juga lambat. Akan tetapi, sama sekali tidak ada kemalasan di dalamnya. Begitu ia sampai di depan Dominic, ia menunduk kembali. “Ada apa, Tuan?” tanya Azzar.“Kamu sering mengobrol dengan Esme, kan?” tanya Dominic.“Ya, Tuan, saya cukup sering m
“Apa kalian menyangka kalau aku tidak bisa membedakan mana sesuatu yang salah dan tidak?” tanya Esme dengan kecerugian yang sama sekali tidak disembunyikan.Azzar menghela napas dalam, memaksakan paru-parunya terisi dengan oksigen hingga penuh. Ia kemudian memandangi wajah Esme yang tampak mengemaskan melalui kaca spion tengah. Jika menghadapi Esme yang sedang keras kepala, Azzar harus ekstra sabar melebihi saat menghadapi Dominic.“Tidak! Anda adalah wanita yang cerdas dibandingkan yang lainnya. Akan tetapi, Anda juga wanita yang baik hati, Nona. Saya tidak mengatakan kalau Anda mudah ditipu. Saya mengatakan kebaikan hati Anda bisa jadi melemahkan Anda.”Esme memalingkan wajah, tampaknya yang baru saja dikatakan Azzar benar dan ia sama sekali tidak bisa membantah hal tersebut. Kebaikan hatilah yang memaksa Esme mengenalkan Dominic pada Anna. Kebaikan hatilah yang membuatnya bersikap keras kepala seperti ini.“Tapi, memang benar aku juga jadi penyebab kematian Anna. Kalau saja aku bis
“Ada tamu rupanya!”Entah apa yang sedang dipikirkan Wyatt saat ia membelokan mobil ke pekarangan rumahnya dan tidak melihat keberadaan mobil lain. Begitu mendengar suara kakeknya memberitahu, barulah ia sadar dengan keberadaan mobil sedan lain yang lebih baru dibandingkan kendaraannya sendiri.Mata Wyatt menyipit, dan ia menyadari dengan cepat kalau mobil itu milik Dominic. Setidaknya sampai ia melihat Azzar berdiri di teras dengan tubuh tegap. Hatinya sedikit kecewa, tetapi ia bisa saja mendapatkan kabar baik dari Azzar.Kakeknya lebih dulu turun dari atas mobil, menyalami Azzar yang datang dan bertanya ada keperluan apa. Melalui jendela mobil, Wyatt bisa mendengar kalau Azzar berkata ini menemui Wyatt.“Ah, sebentar lagi Wyatt akan kemari!” Kakeknya menoleh dan menemukan Wyatt telah turun dari mobil sekarang. “Ada temanmu mencari!” kata kakek Wyatt saat ia baru akan melangkah.Wyatt meleparkan senyuman yang berkata: saya sudah tahu lalu mendekat ke tempat Azzar yang berdiri. Ia men
Sialnya Wyatt tidak bertanya waktu tepat pada Azzar tadi. Ini menyebalkan harus menunggu di dalam keambiguan yang tidak disenanginya. Ia telah bersiap untuk pergi ke keluar setelah makan siang bersama dengan kakeknya.“Kenapa kamu rapi sekali?” kakek Wyatt membawa secangkir kopi pahit dan meletakannya di meja santai dekat jendela besar yang menghadap ke halaman samping rumah.“Mau pergi keluar, Kek!”“Buat apa? Kamu jangan coba macam-macam ya Wyatt!” Pria tua itu khawatir kalau Wyatt akan meninggalkannya.“Apa yang Kakek katakan, aku sama sekali tidak mau macam-macam. Ingat temanku yang datang tadi, dia mengajakku keluar sebentar. Aku tidak akan sendirian.” Wyatt menjelaskan dengan bahasa yang paling baik tentang Azzar. “Ada Esme juga di sana,” tambahnya kepada sang kakek yang menjelaskan ada seorang wanita di sana.Ekspresi pria tua yang sudah membesarkan Wyatt tampak lebih baik setelah mendengar ada wanita dalam pertemuan yang dituju Wyatt. Apakah kakeknya berharap kalau ia akan mel
Wyatt memakai motor untuk pergi ke Kafe Rose yang terletak di tengah kota. Walau terletak di tengah kota dan di jalan utama, kafe itu dikelilingi taman beraneka jenis bunga, terutama jenis mawar.Saat Wyatt parkir, ia melihat mobil yang selalu digunakan Esme bepergian dan sopir yang biasa membawanya. Selain itu juga ada Azzar dan Domini. Sialan. Wyatt merasa terjabk. Harusnya ia bertanya pada Azzar kemarin siapa saja yang akan ditemuinya di sini.Ia berniat kembali menyalakan motor dan pergi saja. Namun, niat tersebut tinggal niat karena Azzar sudah menyadari kedatangannya dan menunduk memberitahukan itu semua pada para majikan. Sekali lagi yang bisa dilakukan Wyatt hanya memaki di dalam hati saja.“Kenapa kamu tidak masuk?” tanya Azzar pada Wyatt.Karena Wyatt masih berdiri saja di luar, jadi Azzar menghampirinya.“Aku sedang menyiapkan hatiku!”Sebab Wyatt tidak tahu apa yang akan dilakukan untuk bisa bertemu saling berhadapan dengan Dominic dan Esme. Bisa saja, bukan mulutnya yang
Rumah itu tidak mewah, malah sederhana, tetapi rapi dan beraroma melati. Asal bau itu akhirnya diketahu berasal dari jendela dengan terasli yang meliuk-liuk dengan cantik. Ada serumpun melati di sana, tumbuh besar dan tengah berbunga.“Duduklah! Kenapa melamun!” Pria yang tampaknya adalah teman kakeknya menepuk pundak Wyatt menekannya sehingga jatuh terduduk di kursi rotan dengan bantalan busa.Setelah Wyatt duduk dengan nyaman, seorang gadis yang lebih muda dari Wyatt berkulit kuning langsat keluar dari pintu yang berhadapan dengan pintu masuk. Sepertinya itu dapur. Di tangannya selalu ada piring berisi makanan setiap kali keluar dari sana.“Makanlah! Makanlah! Cucuku sangat pintar memasak!” kata teman kakeknya sambil tertawa.Wyatt yang memang belum sarapan, tentu saja tidak menolaknya. Begitu juga dengan kakek Wyatt. Mereka bersantap dan menghabiskan hidangan di atas meja bersama-sama.“Enak sekali!” seru kakek Wyatt puas.“Tentu saja! Cucuku itu yang terbaik jika memasak!” Ia bers
Ini hal konyol yang dilakukan kakeknya. Bukan berarti pria tua yang mengasuh Wyatt dari kecil itu akan melakukan hal semacam ini tanpa memikirkan baik buruknya. Kakeknya, Albert jelas sudah mempertimbangkan semua dengan begitu baik. Hanya saja untuk Wyatt tindakan ini konyol.“Kamu tidak suka ada di sini?”Suara kecil yang bertanya pada Wyatt membuatnya berhenti berjalan dan menoleh ke arah samping. Yulia, gadis yang diperkenalkan padanya dan tampak canggung walau tetap menemani Wyatt berkeliling sedikit mengusik. Gadis ini adalah tipe tokoh utama wanita yang harus dilindungi. Sayang sekali bukan tipe yang diinginkan Wyatt.“Kamu ternyata bisa menyadarinya, ya?”Wyatt sama sekali tidak ragu dengan ucapannya sendiri. Ia memang tidak senang saat ini. Ia ingin pulang, terlalu peduli dengan kumpulan foto Anna yang terkembang di lantai dalam kamar, berharap tidak ada yang menganggu atau memindahkan letaknya.“Ah, begitu, ya?” Yulia tampak sedih, tetapi tidak membuat Wyatt merasa bersalah.
“Bukankah kamu pikir kalau yang kamu lakukan pada Yulia itu tidak sopan?” Albert akhirnya menanyakan apa yang ada di dalam pikirannya.Padahal sepanjang perjalanan tadi, mereka sama sekali tidak bicara. Ia bahkan tidak pernah berpikir kalau akan menegur Wyatt karena ketidak sopanan. Wyatt adalah cucu yang sempurna, entah dari tindak tanduk atau pun dari sikap. Ia begitu pandai mengendalikan diri dan juga orang-orang.“Tidakkah Kakek merasa kalau harus minta maaf padaku dulu?” Wyatt bicara tanpa menoleh sedikit pun.Ia memandang lurus ke arah pintu kamarnya yang tertutup, berkacak pinggang.“Apa kamu tahu kalau aku melakukan semuanya untuk kebaikanmu?” Albert tidak mau mengalah kalau Wyatt juga tidak mau melakukan hal yang sama.“Kakek tidak melakukan demi kebaikanku! Kakek tidak mengerti apa yang aku rasakan! Kakek tidak ....” Wyatt berteriak kehilangan kendalinya dan mondar-mandir. Ia tampak tak akan bisa melakukan apapun dengan benar sekarang.“Wyatt duduklah!” Albert berkata dengan
“Pak, Ibu membenciku, kan?”Azzar benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Ia tahu kalau Esme menyayangi putranya. Ia juga tahu kalau bagi Esme William adalah dunianya sekarang. Tetapi, ada begitu banyak alasan yang membuatnya tidak menjawab.“Kenapa Pak Azzar diam saja?” tanya William.“Anda harus makan sekarang Tuan! Kalau Anda sehat, kita akan pergi menemui ibu Anda!”***Orang-orang itu hanya menginginkan kekuasaan saja. Setelah Dominic meninggal, Esme didatangi oleh banyak sekali pria yang menyampaikan duka cita padanya. Ia bahkan tidak kenal dengan salah seorang pun dari tamu-tamu tersebut. Ia muak harus bertemu dengan mereka semua.“Mereka sama persis seperti hyena, Wyatt!” kata Esme.“yah, seperti itulah! Bagaimana pun Anda adalah janda kaya yang kesepian sekarang. Jadi mereka datang untuk menghibur dan mendaftarkan diri sebagai kandidat wali untuk Tuan Muda juga!”Dahi Esme berkerut mendengarnya. Dan untuk pertama kalinya setelah kehilangan waktu untuk tersenyum karena kese
“Ayah mana?”Sudah setahun Dominic meninggal karena kecelakaan. Tetapi, setiap kali melihat foto pria tersebut di tengah ruangan William akan bertanya tentang ayahnya. Hingga Esme merasa kalau Dominic masih ada di sini, begitu sehat untuk berkeliaran di sekeliling rumah. Hanya saja tidak terlihat di mata Esme.“Ayah tidak ada di sini!” Suara Esme tercekat saat mengatakannya. Rasanya dada Esme direngut keluar dengan sekuat tenaga. Menyakitkan, tetapi anehnya ia masih saja tetap hidup setelah semua kekerasan yang ditujukan padanya.“Kenapa Ayah tidak ada di sini?” tanya William lagi.Usianya empat tahun lebih sekarang. Sebentar lagi William akan dimasukan ke taman kanak-kanak. Dengan begitu intensitasnya berada di sekitar Esme berkurang. Mungkin dengan begitu William tidak akan terus-terusamn bertanya tentang ayahnya yang bahkan tidak dilihat Esme pemakamannya.“Will ... tolong ke sini sebentar!” Suara Wyatt membuat anak laki-;laki Dominic itu cemberut.Ia menghentakan kaki sebanyak dua
“Mil, ini bisa saja hanya karena cahaya. Kita tidak bisa langsung ke sana dan mendobrak Arul!”Alan mencoba untuk memberi pngertian pada istri dan juga mamanya. Akan tetapi, tampaknya sama sekali tidak berhasil. Kedua wanita ... ralat, ketiga wanita yang ada di sana, sang mama, istrinya dan Delilah tampaknya tidak dengar apa yang baru saja Alan katakan.Alan hanya bisa menghela napas dan kemudian mengelengkan kepalanya lembah. Saat akan minta bantuan pada papanya yang juga ada di ruangan itu dan lebih sibuk dengan Arion, Alan tahu kalau tidak ada yang bisa menghentikan ketiga orang tersebut dengan alasan biasa-biasa saja.Otak Alan berpikir keras untuk bisa menemukannya. “Kalau kita melakukan kesalahan dengan datang ke sana dan menuduh, kemungkinan kita akan dilarang untuk bertemu dengan Nazril!”Keheningan mencekam ruangan seketika. Rencana separatis yang disusun mamanya mengambang di udara, senyap. Lalu para wanita yang penuh semangat tadi duduk dengan manis di kursi sofa masing-mas
“Ah, aku kecewa sekali!” Suami Yulia mengeluh untuk kesekian kali. Ia memegang erat-erat setir mobil dan wajah cemberutnya mampu membuat orang yang menangis tertawa terbahak-bahak.Putri mereka Amanda telah tertidur setelah menganggu ayahnya dengan pertanyaan seperti jalan apakah ini, atau siapa orang yang hidungnya bengkok itu? Selama setengah perjalanan.“Hei ... ini kan hari refreshingku! Kan kamu sendiri yang bilang kalau aku boleh memilih tempat yang ingin kutuju hari ini. Ya, kan?” tanya Yulia sambil mengedip.Suaminya masih saja cemberut. “Ya, aku memang mengatakan yang seperti itu sih! Tapi aku sama sekali tidak yakin kalau mengatakan itu perjalanan ke rumah temanmu. Siapa namanya? Esme? Mantan suamimu juga bekerja di sana, kan?” tanya suami Yulia dengan nada tidak senang.Yulia menjulurkan tangannya untuk menyentuh punggung tangan sang suami yang saat ini di atas setir mobil. Ia menepuknya beberapa kali untuk bisa mendapatkan perhatian.“Aku akan memberitahumu sekali lagi. Ba
Tangan wanita itu merangkul leher suaminya. Lipstik yang mewarnai bibir merah wanita itu sama sekali tidak cantik lagi. Seolah sesuatu telah menghapusnya dengan cepat, membuat wanita itu kewalahan untuk sekedar mempertahankan warna di bibirnya.“Esme?” Pria yang dipeluk oleh wanita itu terkejut, malahan melebih perasaan Esme yang menyaksikan.Mendengar namanya disebut, Esme hanya tertawa kecil. Ia merasa kalau kejadiannya akan lebih seru seandainya ia terlambat datang sedikit lagi. Ia membiarkan William pergi memeluk kaki ayahnya dan berbalik pergi.Begitu tak dapat lagi melihat wajah Dominic, Esme merasakan perih di dadanya tiba-tiba. Ia berhenti berjalan dan menunduk lebih dalam. Kenapa rasanya ia seperti sendirian sekarang ini.“Nyonya, Anda baik-baik saja, kan?”Esme mengangkat kepalanya, terpana selama beberapa saat dan kemudian berdiri dengan tiba-tiba. Ia lekas memeluk pria yang menunduk bertanya itu. Lalu menangis layaknya anak kecil yang dijahati oleh semua orang.Rasanya leb
“Nyonya, Tuan menolak menerima makanan yang Anda kirimkan lagi!” Pelayan yang diutus oleh Esme ke kantor Dominic kembali membawa rantang yang sama sekali tidak disentuh sedikit pun.William yang mendengar suara seseorang mendekat berhenti dan menaruh perhatian pada ibunya beberapa saat sebelum kemudian sibuk dengan permainannya kembali.“Jam berapa Pak Azzar biasanya kembali ke pavilliun?” tanya Esme.“Sekitar jam 7 malam, Nyonya! Apa saya perlu menghubungi beliau untuk menemui Nyonya saat pulang?” tanya si pelayan. Ia lebih gelisah dibandingkan biasanya.“Tidak! Tolong panggilkan Pak Wyatt kemari. Ada yang mau aku katakan padanya!”Si pelayan pergi dengan rantang yang belum disentuh Dominic. Esme hanya memandanginya sampai menghilang dan membelai kepala putranya saat anak itu mendekat dengan langkah lambat.Sudah hampir tiga bulan Dominic tidak berada di rumah. Langkah kaki William yang awalnya ragu-ragu sudah menjadi sangat mantap. Kalau dibiarkan terus maka anaknya keburu pandai be
William menangis tiba-tiba malam tadi. Padahal William adalah anak paling tenang yang diketahui oleh semua orang. Ia tidak menjerit saat jatuh sendiri dan suka bertualang di kebun mawar tempat Esme minum teh.“Mungkin karena Nyonya gelisah, makanya Tuan Muda jadi tidak tenang!” Pengasuh yang didatangkan dari rumah kedua orang tuanya berpendapat seperti itu.Pikiran Esme memang tidak tenang. Sejak sore tadi ia merasa sudah mengatakan sesuatu yang salah. Apalagi Wyatt yang seharusnya belum pulang, tiba-tiba saja minta izin untuk keperluan mendadak.Jika saja ada Yulia di rumah, maka esme pasti akan percaya. Namun, wanita yang mencintai Wyatt itu tidak ada di rumah asistennya itu sekarang. Mereka telah bercerai.“Mungkin kamu benar!” katanya pasrah. “Bagaimana aku menenangkan diri?” tanya Esme bingung.Biasanya ia akan menanyakan hal ini pada Wyatt. Asistennya itu selalu tahu apa-apa yang diinginkan Esme bahkan sebelum bicara. Seolah Wyatt membaca pikirannya yang tidak dipahami sendiri.
“Bagaimana aku bahagia kalau kamu tidak ada di sini?” bisik Wyatt pelan.Wyatt lekas tersadar kalau bukan hanya dirinya saja yang ada di ruangan ini saat ini. Begitu sadar ia langsung memeluk nampan dan tersenyum seolah tidak ada hal yang buruk yang pernah terjadi padanya.“Kamu bilang apa?”Wyatt tetap tersenyum dan tanpa mengatakan apa-apa ia pergi. Begitu ia melewati pintu ruangan tempat Esme duduk dan minum teh, Wyatt berlari sekuat tenaga. Dengan napas yang terengah-engah ia meletakan nampan yang tadi didekap. Para tukang masak yang tengah istirahat memandangnya dengan terheran-heran.“Ada masalah, Wyatt?”Dengan tubuh gemetar, Wyatt menutup mulutnya. Ia penasaran dengan seperti apa tampangnya sekarang. Pasti tidak bisa baik-baik saja.“Wyatt!” Tukang masak yang paling tua menghampiri dirinya. Disentuhnya bahu Wyatt perlahan. “Apa kamu benar baik-baik saja? Kamu tampak terguncang!”Wyatt menelan ludah. Ia tidak akan bisa bertemu dengan Esme saat ini. Ia tidak akan bisa bersikap n
“Bagaimana kamu ada di sini?” tanya Dominic.Hampir seminggu ia tak mengunjungi rumah utama. Ia lebih nyaman berada di rumah yang dibelinya secara rahasia. Dan mengatasi masalah dari sana. Kepalanya terasa damai karena tidak perlu melihat Esme untuk sementara. Walau hatinya masih tetap panas setiap kali pergi ke kantor dan kemudian bertemu dengan Azzar. Rasanya ia ingin mendepak pria itu secepat kilat dari kehidupan, hanya saja belum mendapatkan alasan yang tepat.Lalu sore ini ia melihat seseorang duduk berjongkok di depan rumah pribadinya yang disembunyikan> Rumah yang terlarang untuk dimasuki Esme dan Azzar kini. Ia pikir mungkin itu adalah gelandangan yang tersesat, tetapi menyadari dengan cepat saat membuka jendela mobil kalau yang datang adalah si sekretaris yang dimanfaatkan untuk membuat Esme marah besar seminggu lalu.Dominic tidak turun dari mobil. Hanya jendela kaca mobilnya saja yang sengaja dibuka. Ia menatap si sekretaris dari atas sampai bawah, kelihatannya ia baru saja