Tiga sosok tubuh itu melompat turun dari difra masing-masing, memandangi pohon-pohon yang tumbuh lurus berjejer serupa pagar. Jenis pohon itu adalah pohon sejenis pinus, namun memiliki batang sebesar beringin, Sementara tampaklah aliran sungai berarus deras yang memisahkan ketiga sosok itu dengan gerbang hutan pavadan yang terdiri dari pepohohan yang berjejer itu."Hamba akan masuk ke dalam," ucap Tirza pula dengan ekspresi tenang."Pangeran bisa mengawasi dari udara. Hamba akan memberikan tanda dan mengirimkan acazana jika hamba sudah menemukan makhluk itu."Pangeran Sofraz tak menyahut apapun. Dia terus-terusan diam.Hanya pandangannya yang terus tertuju pada sang mandara.Tirza Antara membungkuk pada sepasang tunangan didepannya, hanya dengan melakukan dua kali lompatan menjejak air, gadis itu sudah sampai di seberang. Dia menoleh untuk penghabisannya pada Pangeran Sofraz dan sesaat kemudian tubuhnya menelusup dicelah-celah pohon dengan kecepatan angin.Bila sosok Tirza Antara tel
Warna tembaga menguar dari sosok perempuan berpakaian putih zamrud itu. Sementara Tirza masih berdiri diam di tempatnya, matanya terus mengkaji situasi. "Gadis kecil, apa permohonan terakhirmu?"Tirza Antara menyipitkan matanya. "Kau bahkan belum bisa menyentuhku." ejeknya pula. Perempuan itu tersenyum merendahkan. Tirza Antara belum sempat berkedip ketika sambaran tangan perempuan itu telah mengejar wajahnya. Tangan kiri dan kanan lawan membuat gerakan merobek. Yang harus Tirza akui dari wanita asing itu adalah gerakannya yang secepat kilat. Cepat dan mematikan. Putri Antara Dafruz itu membuang kepalanya ke belakang dengan posisi wajah menghadap langit sehingga sapuan maut sang lawan lewat tepat didepan wajahnya. Perempuan itu menyeringai, kembali melancarkan serangan ganasnya yang cepat usai menarik pulang tangannya. Kali ini dia membuat gerakan mematuk dengan tangannya, mengincar titik titik kematian di tubuh dan kepala Tirza. Mandara Pangeran Sofraz itu terus menghindar pada juru
Tirza terbangun ketika rasa muntah naik memenuhi kerongkongannya. Dia lantas terduduk dan memuntahkan cairan kehijauan dari dalam tubuhnya. Gadis itu berusaha memandang untuk menguji fungsi matanya. Segala sesuatu tampak berangsur jelas kini. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Gadis itu tahu dirinya masih berada dalam goa. Tapi ini bukan bagian yang sama dimana dia bertarung melawan sang wanita dan ularnya. Tubuhnya terbaring diatas tumpukan lumut lembut berwarna hijau muda, yang membungkus sebuah batu pipih.Tirza berpaling saat mendengar suara desisan yang tidak asing. Dia lantas bergerak waspada tatkala melihat Nahama, si nalus raksasa itu bergelung didekat pintu ruangan goa itu, seolah menjaga agar dirinya tidak kabur. Binatang itu tampak tenang dan terlihat tidak berniat menyerangnya. Mandara Pangeran Angin Nava Satra berusaha menggerakkan kakinya, namun dia harus terkesiap menyadari sepasang kakinya itu tidak mau menuruti perintah otaknya. Tidak mau bergerak."Perempuan itu men
Nilam Rencana mengerutkan kening melihat Pangeran Angin Nava Satra membawa difranya turun lebih rendah ke dalam hutan. Gadis itu segera bersuara. "Kau tidak berniat untuk masuk ke dalam kan?""Lalu membiarkan mandaraku menghadapi ini sendirian?" Angin Nava Satra melirik tajam pada tunangannya, lalu mengarahkan difranya untuk mendarat di kawasan hutan yang sedikit pepohonan. Nilam Rencana menekan emosinya dalam-dalam dan turut mendarat disamping tunggangan Angin Nava Satra. Pemuda berwajah menawan itu turun dari difranya dan memandang sekeliling. Kabut sudah hilang. Dan sang pangeran mulai bisa mendeteksi arah keberadaan Tirza Antara."Kau dimana?" Pangeran Sofraz mengirimkan acazana kepada mandaranya, lewat pikiran. Namun tidak ada jawaban apapun. Sepi. Pemuda itu melangkah menuju arah yang diyakininya. Hutan itu untungnya tidak dipenuhi semak belukar, hanya pohon-pohon besar bertajuk lebat dimana-dimana. Mereka melangkah diatas daun-daunan yang membusuk dan lumut yang tercipta karn
"Kamu pasti berpikir aku demikian kejam, bukan? Ah, tidak. Kamu pasti mengerti. Lebih dari mengerti. Kau sudah melihat bukan? Apa yang aku alami mungkin akan terjadi padamu suatu saat nanti. Itu mengerikan, Tirza Antara. Sangat mengerikan. Maka sebelum itu terjadi, mengapa tidak kau habisi saja calon rajamu itu? Pokok persoalannya adalah dia. Bunuh dia dan kau akan terbebas dari beban ini. Kau dengar aku Tirza? Jangan berharap dia akan membelamu di masa depan. Karna tahta dan kerajaan akan selalu menjadi nomor satu baginya kelak. Ya, seperti Vraz Praherin kakek moyangnya itu. Kau dengar aku, Tirza? Bangun dan bunuh Pangeran Sofraz!"Sepasang mata Tirza yang terpejam mendadak terbuka. Matanya bersinar lebih terang. Mata itu membawa jejak kebencian mendalam dan begitu banyak kekecewaan. Ketika dia pelan-pelan bangkit, tampaklah kabut biru gelap disekujur tubuhnya. Keseluruhan sosoknya membawa aura membunuh yang hebat."Bagus, Anakku. Sekarang lakukan apa yang harus kau lakukan!"***"T
"Seorang pelindung adalah seorang pelindung. Lingkaran tidak pernah ditakdirkan untuk menghancurkan berlian." Diantara semua kemelut itu, suara Pangeran Sofraz menggema di udara. Tapak tangan Tirza tertahan setengah jengkal dari dada sang Pangeran yang tegak merapatkan sepasang tangannya. Mata pemuda itu yang berwarna hazel berubah menjadi emas. Auranya sebagai seorang raja dipaksa keluar. Semakin Tirza mencoba menyerang, simbol di leher kirinya semakin bercahaya dan menciptakan rasa sakit yang hebat. Gadis itu memuntahkan darah. Sepasang mata emas nan sendu Pangeran Sofraz menatapnya dalam emosi yang pahit. Perlahan, warna mata sang Pangeran kembali ke warna hazel seiring dengan Tirza Antara yang jatuh berlutut didepannya. Gadis itu merasa tubuhnya remuk. "Cukup, Aqwazana Silfa. Aku tidak seperti dirimu!" kecam Tirza Antara sembari menahan sakitnya. Nilam Rencana yang melihat keadaan sudah terkendali datang mendekat dan langsung menampar mandara Pangeran Sofraz itu. Angin Nava Satra
Putri Tirza Antara terbangun oleh sedikit kebisingan yang terjadi. Gadis itu memang mudah terbangun hanya dengan sedikit keributan. Dia bangkit dari ranjang miliknya dan mengintip di celah pintu kamar yang dibukanya sedikit. Kamar Tirza adalah kamar tamu yang paling berdekatan dengan pos penjagaan istana. Dia melihat seorang pria dengan tergesa-gesa melaporkan sesuatu pada penjaga pos istana."Ular itu menyerang lagi..." Sayup, mandara Pangeran Sofraz dapat mendengar itu. Tanpa memperdulikan tubuhnya yang dalam proses pemulihan, gadis bermata biru itu lekas mengganti pakaiannya dengan pakaian tarung mandara yang senada dengan warna matanya. Dia keluar dari kamar tepat saat Panglima Timur dan puteranya Chandra sudah duduk diatas kuda dan bermaksud berangkat."Hendak kemana, Paman?" tanya Tirza pula. Panglima Timur memandang pakaian yang dikenakan Tirza Antara. "Putri sebaiknya beristrahat memulihkan diri.""Paman tidak menjawab pertanyaanku." Ucap Tirza sembari tersenyum manis, membua
Pangeran Sofraz memandang puing-puing pemukiman itu diantara para penduduk yang sibuk mengurus jenazah keluarga mereka yang malang. Dia melihat bekas pertempuran dan perlawanan yang hebat dimana-mana. Disini, mandaranya berjibaku bersama Chandra menghalau binatang buas itu dan gadis itu lenyap.Chandra mendekati sang pangeran dengan airmuka menyesal. "Maafkan Hamba, Pangeran. Hamba tidak mampu menolong Putri Tirza.""Kau sudah melakukan yang terbaik." Mata Pangeran Sofraz yang memandangi para penduduk yang histeris dengan kematian orang-orang dekat mereka. Dadanya mendadak sesak. Rakyat Sofraz benar-benar menderita saat ini. Bahkan mandaranya lenyap bagai di telan bumi. Menurut laporan Chandra, ketika dia kembali ke Balazan usai membawa orang-orang ke tempat yang aman, Tirza maupun makhluk itu tak ada lagi disana. Hanya tersisa puing-puing kehancuran yang memilukan. Besar kemungkinan sang mandara telah dimangsa binatang itu."Kau dimana?" Pangeran mengirimkan Acazana pada Tirza berhar