Ekstra part 2
POV ARYA
Fani, sebuah nama yang akan selalu teringat dalam memori ini. Aku sangat mengaguminya. Selama ini berhubungan dengan banyak sekali wanita yang bakal artis dan sosialita, membuatku jenuh.
Sempat ada sebuah keinginan untuk lebih dekat dengannya. Namun, keadaan dia sangat berbahaya apabila aku nekat terus mendekatinya. Oleh karena itu, aku memilih menjauh.
Seringkali mata ini harus merasakan candu saat melihat gerak-geriknya dari jauh. Akan tetapi, setelahnya hati merasa sakit.
"Aku bisa membuat dia sengsara, kalau kamu masih nekat dekat dengannya." Ancaman Sheren selalu membuat bibir yang tertarik sempurna kala melihat Fani tertawa--terpaksa menarik kembali senyum.
Saat wisuda menjadi situasi yang sangat menyedihkan karena aku harus benar-benar berpisah dengan dia. Aku hadir dalam acara wisuda itu. Namun, banya
Persiapan pernikahan telah dimulai. Sheren tentu lebih banyak mendominasi semua pendapat. Apapun yang ia inginkan, harus diiyakan semua orang. Keluarganya ikut mendominasi segala aturan juga. Sementara keluargaku seakan tidak pernah ada artinya di hadapan mereka. "Kita ini orang Jawa, alangkah baiknya, acara resepsi juga harus ada unsur adat jawanya,” ucap Ibu kala Sheren datang ke rumah untuk mengantarkan seragam keluarga. “Aduh, Bu, aku ini ‘kan teman-temannya anak-anak sosialita. Aku gak bisa lah, Bu, kalau ikut-ikutan cara-cara orang dulu. Aku nanti mau bikin party ala-ala pernikahan modern,” tolak Seheren dengan seolah apa yang Ibu pikirkan salah besar buatnya. Pun dengan oran tuanya, apabila Bapak menyumbangkan sebuah ide, akan ditolak secara mentah-mentah. “Mereka tidak mengjormati kita kesannya ya, Pak,” ucap Ibu saat kami sedang berkumpul bersama di ruang keluarga.
Arya terbangun dalam keadaan masih pusing. Meskipun sedikit sadar dan banyak tidaknya, ia paham, bila saat ini berada di sebuah ruangan dalam keadaan berbaring. Mencoba bangun meski tertatih, sembari memegang bagian paling atas dari tubuhnya. Dan, betapa kaget saat melihat bagian dada terlihat tanpa sehelai benang. "Hah?" teriak Arya kaget, saat membuka selimut yang ternyata langsung menunjukkan bagian tubuh yang bawah dalam keadaan sama. "Kenapa kaget?" tanya seorang perempuan yang memakai sebuah handuk dililitkan sampai dada. Sontak Arya menarik kembali selimut yang turun dari badan agar menutupi dada. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara tinggi. "Kenapa aku yang ditanya seperti itu?" ujar wanita berwajah putih enteng sembari mengibaskan rambutnya yang basah. "Pergi kamu dari sini!" teriak Arya lantang. "Ini kamar hotel yang aku pesan. Kenapa harus pergi dari sini?" sahut wanita yang terlihat santai meski hanya memakai handuk—dengan enteng. "Lalu, kenapa ak
“Kamu kemana saja, Mas? Kenapa hapenya mati? Kenapa sulit untuk dihubungi?” omel Sheren saat malam hari ia datang ke rumah Arya.Arya melakukan aktivitas malamnya tanpa menghiraukan pertanyaan dari wanita yang tidak disukainya itu. Dalam benak, masih terbayang wajah Mahira yang memiliki pipi tembem dan putih serta alis hitam yang sangat tebal. Ia masih penasaran, apakah melakukan sesuatu hal atau tidak. Dan timbul pula pertanyaan mengapa uangnya masih utuh.“Mas, kamu dengar aku atau tidak?” bentak Sheren kesal.“Jika kamu mau menikah dengan aku, jangan mengekang aku, Sheren. Jangan pernah mendikte aku, atau kamu akan aku buat malu menungguku di pelaminan,” hardik Arya.Sheren menelan saliva. Meski ia tahu jika Arya tidak mencintainya, tapi baru kali ini, tunangannya itu menghardiknya dengan suara yang sangat keras.“Mas, kalau kamu membatalkan pernikahan kita maka Fani ….”“Aku sudah tidak peduli dengan segala ancaman kamu. Fani sudah bahagia dan pergi jauh. Dia punya seorang suami y
Pesta yang mewah, pelaminan yang megah sesuai impian Sheren menjadi saksi bersatunya hubungannya dengan Arya.Suara saxophone mangalun merdu, mengiringi langkah kedua mempelai menuju singgasana. Gadis egois itu tersenyum bahagia. Namun, tidak begitu dengan Arya. Matanya nanar menatap depan. Jika tidak penuh resiko, lelaki yang terlihat tampan dengan balutan jas berwarna abu-abu itu ingin menangis. Alunan musik seakan mengingatkannya pada Fani, juga pada hatinya yang tidak menginginkan pernikahan itu.Hamdan dan sang istri yang tahu persis apa yang anak laki-lakinya rasakan saat itu, hanya bisa berusaha tersenyum untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi.Sandi bukan tidak paham, jika pernikahan itu terjadi tanpa cinta. Namun, rasa sayang terhadap putri semata wayang, telah membuatnya mengikuti sesuatu hal yang seharusnya tidak pernah terjadi.“Mas, bisa tidak kamu tersenyum sama mereka? Ini hari bahagia kita,” bisik Sheren di telinga Arya.Malas berdebat dengan Sheren, Arya memilih m
Pagi telah datang. Dua insan yang semalam tidur dengan saling memunggungi, tengah menyantap sarapan pagi bersama. Tanpa mengucap sepatah kata.“Habis ini kita akan pulang kemana, Mas?” tanya Sheren memulai pembicaraan.“Aku ingin pulang ke rumah. Cukup semalam saja, ‘kan kita menginap di sini?” sahut Arya.“Aku memesan kamar untuk tiga malam. Tapi kalau kamu sudah tidak nyaman, kita pulang ke rumahku,”“Di rumah kamu masih ramai bukan?”“Iya. Itu akan membuat suasana hatiku hangat. Daripada harus selalu merasa kesepian di sini.”“Sheren, kita hanya satu malam saja. Dan kita sama-sama lelah.”“Mungkin pasangan lain tidak.”“Lalu kamu maunya apa?”Sheren menghentikan aktivitas sarapannya. Ia yakin, Arya paham bagaimana dan apa yang harus dilakukan sepasang pengantin.“Aku bahkan sudah mengeluarkan uang banyak untuk pesta kita. Seserahan yang kamu dan keluargamu berikan, jelas tidak cukup untuk membiayai pernikahan kita yang mewah. Aku heran saja, setelah apa yang aku dan keluargaku korb
Keluarga besar Sheren masih banyak yang berkumpul. Mereka rencananya akan mengikuti acara unduh mantu yang sudah dipersiapkan oleh ibu Sheren dengan sangat matang. Umumnya, keluarga besar yang masih tinggal adalah kaum perempuan. Sementara suami mereka sudah kembali ke rumah masing-masing untuk mengurus pekerjaan.Arya berusaha bersikap ramah, meski itu terkesan dipaksakan. Sheren tersenyum melihat sikap sang suami yang sudah sedikit mencair. Berharap, malam yang akan mereka lalui selanjutnya tidak akan penuh dengan kebisuan.Obrolan seputar harta kekayaan dan juga barang-barang mewah, banyak mendominasi di ruang keluarga rumah Sandi yang luas. Arya merasa sangat asing dengan topic yang ia dengar, tapi berusaha untuk sesekali menyahut, meski ia tidak paham sama sekali.“Mau ikut arisan tas gak? Ini ada model terbaru harganya lima belas juta,” ujar tante Sheren.“Mana, Tante?” tanya Sheren penasaran.Mereka kemudian asyik melihat gambar-gambar tas yang ada di sebuah akun media sosial.
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya