"Kamu tadi bilang apa, Fani? Ilma insyaf?" tanya Arya pura-pura tidak tahu.
"Eh, itu, Pak, enggak. Enggak apa-apa. Lupakan saja! Yang penting kan, sekarang saya bisa melanjutkan skripsi saya lagi." Jawaban dari Ilma sedikit membuat Arya kagum. Gadis yang terkenal ceplas-ceplos, nyatanya tidak memiliki rasa dendam pada orang yang telah berusaha menjatuhkannya.
"Apa ada penjelasan kenapa tiba-tiba skripsi saya diperbolehkan lanjut, Pak?" tanya Fani penasaran.
"Em, gak ada! Tiba-tiba saja Pak Juan memutuskan hal ini." Fani terdiam. Tiba-tiba berpikir, mengapa bisa hal ini terjadi. Apakah Ilma memang sudah sadar akan kesalahannya atau ada sebab lain.
"Ada teman kamu yang bilang ke Pak Irawan masalah ini. Makanya Pak Juan mendapat teguran dan secara tiba-tiba meminta kamu untuk melanjutkan lagi," tambah Arya.
Maaf ya, hanya bisa uploud segini. Saya pusing sekali karena kelelahan seharian. Ada cerita baru berjudul Madu Satu Mertua. Mari mapir, siapa tahu suka ....
Hari-hari berjalan mulai normal. Fani sudah kembali mendapatkan keceriaan hidup seperti sedia kala. Mengerjakan skripsi dengan otak pas-pasannya. Berjualan dan menagih utang pada teman-temannya. Serta berdebat dengan Dinda setiap hari untuk banyak hal."Fani! Itu baju kotor kamu jangan diletakkan di atas rak piring!" teriak Dinda saat Fani sudah bersiap berangkat kuliah."Ya Allah, Din, lupa. Eh, waktu itu di rumah sakit, siapa ya, yang janji gak mau marah-marah lagi sama aku?" tanya Fani sambil mengedipkan mata. Bila sudah berkata demikian, Dinda akan diam dengan wajah sendu. Menyesal dan merutuki diri telah bertindak gegabah.Namun, Fani selalu menuruti apa yang Dinda suruh padanya. "Demi menjaga kewarasan kamu!" ucapnya sembari meletakkan baju yang kotor ke dalam ember yang terletak di pojok ruangan.Yuda kembali pada sikap awalnya yang suka
POV ILMANamaku Ilma Ariani. Aku terlahir dari keluarga yang cukup terpandang di kampung. Abah seorang juragan beras yang sukses dan disegani banyak warga. Sehingga, sedari kecil diriku sudah terbiasa diperlakukan bak ratu. Terlebih lagi, menjadi bungsu dan satu-satunya anak perempuan Abah dan Umi.Namun, segala keistimewaan hidup menjadikanku seperti burung yang selalu dikurung dalam sangkar emas. Tidak pernah bergaul dengan teman kecuali di sekolah."Jangan! Nanti kamu kena matahari kulitnya gelap. Kalau hujan jadi sakit!" Begitu selalu kata Umi kalau aku merengek minta pergi keluar. Jadilah, aku pribadi yang seakan tidak pandai berinteraksi dengan lingkungan.Mas Doni adalah sosok yang dikirimkan Allah untuk menjadi teman masa kecilku. Dia memberikanku banyak pengalaman masa kecil yang tidak aku dapat di luaran sana. Kebersamaan dengan Mas Do
Awal mula kuliah, aku sudah bisa mendapatkan uang dengan cara menjadi guru les di perumahan yang dekat dengan kampus.Di sanalah, awal mula kedekatan antara aku dan Pak Juan terjadi. Waktu itu, aku kehujanan di pinggir jalan. Karena belum bisa membeli motor maka, pulang pergi saat memberikan les pada anak-anak selalu jalan kaki.Pak Juan yang memang sering melihatku di kelas dan mengenalku sebagai mahasiswa yang aktif, menyuruhku mampir ke rumahnya. Awalnya memang takut, karena rumah itu begitu sepi. Namun, karena tidak ada pilihan lain, aku menurut saja."Kamu dari mana?" tanya beliau saat aku sudah duduk di ruang tamu.Aku bercerita tentang kegiatanku memberikan les privat. Beliau menanyakan alasan mengapa aku melakukan pekerjaan itu meskipun honor yang aku terima sedikit. Banyak yang kami bincangkan bahkan sampai urusan pribadi. Aku baru tahu
Kesepakatan antara aku dan Pak Juan akhirnya terjadi. Awal mula mengerjakan itu ada rasa was-was. Hati ini sadar, pekerjaan yang kulakoni jelas salah. Namun, pikiran berusaha meyakinkan kalau aku hanya membantu mereka. Dan apa yang aku dapat adalah halal karena aku benar-benar bekerja.Beberapa bulan kemudian, aku bisa membeli sebuah sepeda motor bekas dari hasil kerjaku. Umi awalnya kaget tapi aku jujur mengatakan kalau aku bekerja membuat skripsi. Beliau hanya bisa menerima saja karena tidak tahu bahwa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan.Karena terlibat pekerjaan, aku dan Pak Juan akrab. Akan tetapi, hanya sebatas mahasiswa dan dosen. Pernah ditawari untuk menjadi asisten tapi aku menolak karena kami berbeda jenis.Suatu ketika, aku tahu kalau Mas Doni dekat dengan Fani. Sejak saat itulah, aku sering memperhatikan gerak-gerik gadis yang suka ceplas-ceplos itu. Padahal seb
Sore itu, terakhir kali aku berada di rumah yang aku juluki dengan sebutan neraka. Pak Juan yang tidak pernah menjalani kewajiban sebagai umat muslim itu terlihat hanya memakai handuk. Membuatku takut. Dalam hati aku selalu memohon pertolongan Allah."Pak, saya tidak enak badan," ujarku berbohong."Ilma, aku ingin bicara serius sama kamu." Tanpa menjawab pertanyaanku, Pak Juan malah mengajakku duduk di ruang tamu."Pak, bisakah saya minta ganti pekerjaan lain selain menemani Bapak di rumah ini?" tanyaku memberanikan diri."Kenapa? Kamu risi karena aku bukan muhrim kamu?" tanya Pak Juan balik. Aku mengangguk.Tatapan mata Pak Juan terasa lebih tajam.. Napasnya terdengar naik turun. Mungkin beliau lelah, pikirku."Maukah kamu menjadi istri siriku, Ilma? Kamu akan aku beri uang j
"Fani, sumpah! Kayaknya dari semua orang yang dekat sama kamu, dia paling cocok jadi suami kamu!" ledek Dinda. "Kalian bisa langsung buka usaha. Jawa menguburkan mayat, hahahaha ...." Dinda berhenti dan duduk untuk menahan perutnya yang sakit. Fani yang kesal meninggalkan Dinda seorang diri duduk di pinggir jalan.Ilma melihat pemandangan di hadapannya membuat hati semakin panas. Dan rasa bendi itu semakin besar. Satu hal lagi yang ia tidak punya, sahabat yang bisa sebebas itu tertawa dan kesal bersama.*Irsya pulang dii suatu malam dengan mengendarai sepeda motor. Rasa rindu yang membuncah membuatnya nekat meskipun Nia masih marah.Demi menghindari amukan dan usiran dari istrinya, pria yang berprofesi sebagai kepala sekolah itu nekat mendorong motor dari depan gang sampai rumah. Bila di jalan ada yang bertanya, maka dijawabnya bahwa bensin habis.&nb
"Oh, soal Fani ya? Kamu tahu banyak tentang Fani? Emang ada kabar gembira apa?" tanya Nia beruntun."Iya, Mbak. Aku dapat kabar dari dosen yang kebetulan dekat dengan aku. Katanya, Fani bisa melanjutkan skripsi yang sepat digagalkan. Alhamdulillah, Mbak. Jadi batal kena skorsing dia," jawab Ilma dengan tersenyum. Dalam hati yakin kalau wanita dewasa di depannya akan berbalik antusias membicarakan hal ini."Skripsi Fani digagalkan?" sambung Irsya penasaran. Begitupun Doni, pemuda yang duduk di kursi yang berbeda dengan gadis yang dibawa kemari, melempar pandangan penuh tanya pada sosok pemberi informasi."Iya, Pak. Berarti keluarga belum tahu ya?" tanya Ilma antusias. Merasa informasi yang ia sampaikan dibutuhkan, gadis itu bangga dalam hati. Menggunakan kesempatan untuk melancarkan misi."Belum. Nia kamu sudah tahu?" tanya Irsya pada istrinya.
"Maksud Mbak Nia?""Maksud aku? Kamu tahu maksud aku. Jadi, berhentilah bersandiwara di rumahku! Berhentilah mengatakan omong kosong karena aku semakin muak mendengarnya. Hai Anak Manis! Dulu aku pernah berhubungan dengan orang toxic. Aku kira mereka orang yang paling buruk yang pernah aku temui. Ternyata, ada yang lebih buruk lagi. Dulu, mereka tidak pernah bermuka dua. Sedang kamu? Pintar sekali mengolah drama. Di belakang, kamu sebegitu bencinya sama Fani. Tapi terhadap keluarganya? Kamu berubah jadi penjilat! Luar biasa!" Muka Ilma memerah. Melihat pada Irsya seolah meminta perlindungan. Karena dia tahu, setelah ini, Doni akan marah besar."Nia--""Mau jadi pembela gadis ular ini? Nanti, Mas! Ada waktunya. Sekarang, biarkan aku mengeluarkan seluruh unek-unek yang ada dalam hati. Sabar!" ujar Nia lembut.Irsya mendadak diam. Bayangan kemaraha
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya