"Maksud Mbak Nia?"
"Maksud aku? Kamu tahu maksud aku. Jadi, berhentilah bersandiwara di rumahku! Berhentilah mengatakan omong kosong karena aku semakin muak mendengarnya. Hai Anak Manis! Dulu aku pernah berhubungan dengan orang toxic. Aku kira mereka orang yang paling buruk yang pernah aku temui. Ternyata, ada yang lebih buruk lagi. Dulu, mereka tidak pernah bermuka dua. Sedang kamu? Pintar sekali mengolah drama. Di belakang, kamu sebegitu bencinya sama Fani. Tapi terhadap keluarganya? Kamu berubah jadi penjilat! Luar biasa!" Muka Ilma memerah. Melihat pada Irsya seolah meminta perlindungan. Karena dia tahu, setelah ini, Doni akan marah besar.
"Nia--"
"Mau jadi pembela gadis ular ini? Nanti, Mas! Ada waktunya. Sekarang, biarkan aku mengeluarkan seluruh unek-unek yang ada dalam hati. Sabar!" ujar Nia lembut.
Irsya mendadak diam. Bayangan kemaraha
Hidup itu laksana sebuah roda berputar. Pergantian posisi selalulah ada. Namun, bila hal itu disebabkan oleh perilaku dirinya sendiri, tentu akan semakin terasa menyakitkan.Setelah mengetahui kebusukan Ilma, Doni tentu marah besar, hingga mereka berdua sempat berdebat di pinggir jalan."Mas, aku melakukan itu semua demi kamu," bela Ilma."Kamu telah menghancurkan harga diri kamu, Ilma!" Doni yang sudah terlanjur kecewa, menurunkan gadis yang sudah dekat sejak kecil itu di pinggir jalan dekat gang rumahnya.*Seminggu setelah peristiwa kedok Ilma terbongkar di rumah Nia, dirinya jarang pergi ke kampus. Namun, masih tinggal di tempat kost karena tidak ingin orang tuanya tahu perihal masalah yang tengah ia hadapi. Bila Ilma pulang, sudah tentu uminya akan menginterogasi.Suatu ketika, lelah hati karena mer
Hari itu, bertepatan Doni datang ke rumah Nia karena ada suatu kepentingan dengan Irsya. Terlihat sikapnya masih kaku dan malu akibat perbuatan yang dilakukan Ilma."Bu Nia, saya minta maaf atas nama pribadi karena Ilma telah bertindak di luar batas. Ini semua gara-gara saya, Bu," ujar Doni sopan."Tidak apa-apa, Don. Semua sudah terjadi. Aku tidak akan menyalahkan kamu. Ini sebagai pembelajaran saja, menilai seseorang tidak bisa kita lihat dari sikap luarnya saja," jawab Nia sembari melemparkan sebuah senyuman.Saat mereka bertiga tengah berbincang di ruang tamu, Fani datang dari arah teras."Mbak, aku dianterin ke kost ya? Soalnya lagi gak mau masuk angin jadi pengin naik mob--" Ucapan Fani terhenti saat menyadari ada Doni yang duduk bersama Nia. Tangannya langsung menutup mulut.'Kapan aku jadi lemah lembut
Fani masih bernyanyi sambil menghadap cermin. Sesekali mengelus rambut panjang yang ia kuncir kuda, memonyongkan bibir dan menggeleng-gelengkan kepala."Fan, udah aku belikan nasi sama sambel nih. Nasinya dua porsi 'kan kayak biasanya? Kamu 'kan habis dari rumah biasanya belinya dobel." Suara cempreng Dinda diputar Fani. Mukanya memerah karena malu didengar Doni kalau dirinya makan dua porsi.Dalam hati Doni akhirnya tahu, mengapa Fani memesan kerupuk empat. Ternyata, itu untuk makan dua bungkus nasi."Ih, siapa yang minta dua porsi. Satu aja, Dinda. Emang tadi aku bilang?" protes Fani masih lewat pesan suara."Lhah biasanya 'kan gitu! Katanya gak usah bilang dulu aku harus paham! Gimana sih?" protes Dinda balik."Tidak mulai sekarang! Kamu harus beli sesuai apa yang aku minta!" tukas Fani menutupi rasa malunya
Sesampainya di depan kost, Fani langsung turun dan gegas jalan. Rasa dalam hati begitu takut dengan Ilma. Tak disangka, Doni justru turun dan mengikuti Fani di belakang. "Ngapain?" tanya Fani dengan tatapan mata melirik ke jalan. Takut bila ada Ilma tang melihat. "Gak papa. Ini aku belikan kamu sesuatu," ucap Doni sembari mengulurkan plastik yang ia bawa. "Em ...." Fani bergumam. "Ambillah! Jangan pernah mengaitkan apapun lagi dengan Ilma. Aku bebas melakukan apapun tanpa seijin dia. Dan aku rasa, Ilma tidak akan pernah lagi berani melakukan sesuatu hal sama kamu." Dengan ragu Fani menerima uluran plastik dari Doni. "Terimakasih. Udah sana, pergi. Aku udah ditunggu Dinda di dalam." "Iya, mau makan, 'kan?" tanya Doni membu
Arya duduk sendiri di teras dengan lampu dimatikan. Rokok di tangannya masih mengepulkan asap. Pria itu tidak pernah merokok. Jika hal itu terjadi berarti, ada beban berat yang tengah ia rasakan. Tatapannya nanar ke jalan depan yang terlihat remang-remang.Suara pintu terbuka. Muncul seorang perempuan yang beda usia dengannya enam tahun dengan memakai piyama."Maafkan aku, Arya. Aku tahu, kamu tidak menyukai sikap Sheren. Kamu terpaksa menjalani ini karena untuk membalas budi orang tua kita. Dan semua itu karena aku. Andai aku tahu, waktu itu ada niat mereka untuk meminta kamu satu hari ini,aku memilih hidup dengan penyakit itu," ucapnya parau."Sudahlah, Mbak. Semua sudah berlalu dan menjadi jalan hidupku," jawab Arya pasrah."Kalau kamu mau, aku bisa kok, bilang sama keluarga Sheren untuk mengambil kembali ginjalku supaya kamu terbebas dari hu
'Dasar cewek aneh. Tidak punya sopan santun. Ada tamu bukannya disuruh masuk dan duduk, malah berlagak seperti customer servis,' keluh Arya dalam hati."Itu ....""Fani! Ada tamu gak disuruh masuk malah berdiri bareng, gimana sih?" celetuk Dinda keluar dari dalam rumah. "Mari, Om, masuk," ajak Dinda sopan. Hati Arya merasa bahagia dengan ajakan Dinda. Namun, ada yang mengganjal di telinga atas panggilan yang diucapkan sahabat Fani."Oh iya, terimakasih," jawab Arya senang."Duduk, Om! Aku ambilkan minum, ya? Tapi adanya air putih aja," tawar Dinda sopan.Fani berkali-kali memberi kode pada sahabatnya untuk tidak memanggil Arya dengan sebutan Om. Namun, gadis putih bermata sipit itu tidak paham."Kamu kenapa, Fan? Kelilipan? Kok mata kamu gerak-gerak gitu? Atau, kamu salah prod
Part 39"Gak! Aku gak mau pergi!" tolak Dinda ngambek."Beneran, Din, kamu gak ikut?" tanya Fani memastikan.Dinda bergeming, menatap layar ponsel dalam posisi berbaring. Abai pada sahabatnya yang merengek."Din, maafin aku, dong? Aku ngaku, aku salah," lirih Fani penuh penyesalan. Namun, Dinda tetap saja diam.Menyadari ada tamu yang menunggunya, Fani meninggalkan Dinda yang masih marah."Dinda gak mau, Pak," adu Fani sedih."Masih marah?" Mata elang Arya menatap gadis yang menunduk dan mengangguk sedih."Ya, sudah! Ayo, kamu saja yang aku ajak pergi." Fani menatap tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Gadis itu mengira, tadi dosen mudanya hanya ingin menghibur s
"Sheren, kamu keterlaluan! Kalaupun ada yang harus kamu salahkan, itu aku. Jangan Fani! Dia tidak tahu apa-apa. Kata-kata yang kamu ucapkan sungguh telah memperlihatkan status dan pendidikan kamu!" Arya berdecak kesal."Apa yang salah dari kata-kata aku? Dia benar-benar sudah di luar batas. Gadis macam apa yang mau sama orang yang sudah bertunangan kau bukan gadis murahan!" Ejek Sheren penuh kesombongan."Kamu benar-benar kelewatan!" ujar Arya kecewa dan meninggalkan gadis yang kedua netranya sudah basah. Tidak lupa, Arya mengambil plastik berisi makanan yang sedianya akan diberikan pada Dinda dan juga uang yang terletak di meja.Tidak peduli Sheren yang menangis, Arya segera berlari menuju mobil yang terparkir di halaman rumah makan.Setiap orang diuji dengan kadar masing-masing. Dan terkadang, ujian itu datang secara bertubi-tubi. Bukan tanpa
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya