"Itu Doni kan, Mas? Tidak dengan Ilma. Aku benar-benar merasa berada di tempat asing saat dia berada di sini. Seolah, dia lebih tahu seluk beluk rumah kamu dan juga tentang kamu. Gerak-gerik dan ucapannya seakan aku ini hanya orang yang mengenal kamu setelah dia. Aku istri kamu, Mas. Tapi dia di rumah ini, menurut aku sudah terlalu sebagai seorang tamu!" Mbak Nia terdengar kesal. Aku serba bingung. Ingin berlalu tidak enak melewati mereka berdua. Tetap berdiri, juga membuatku tidak enak melihat pertengkaran sepasang suami istri.
"Ilma memang sudah biasa ke sini sejak kita belum menikah. Jadi wajar kalau--"
"Kalau seolah tidak mau menghargai aku sebagai istri kamu sekarang? Bersikap seakan aku tidak lebih berhak dari dia di sini karena aku orang baru bagi dia?"
"Nia, jangan berlebihan! Ilma tidak bermaksud apapun--"
"Darimana Mas tahu kalau Ilma
[Jangan sok perhatian, kamu aslinya cuma ingin memastikan aku sedang menderita, kan?] balasku cepat.[Jangan berprasangka buruk, Fani. Nanti kualat dapat jodoh Umar, emot tertawa guling-guling]Meskipun baru saja mengaji tapi, kalau ketemunya sama Yuda, mampir lagi setan mengganggu untuk aku bertengkar dengan dia.[Yang penting jangan kamu!] balasku lagi.Yuda tidak membalas lagi.*Dua hari aku di rumah, siang itu saat sendiri, pintu depan diketuk. Aku segera membukanya.Dan tubuh ini berdiri mematung melihat sosok yang berdiri di hadapan. Doni, memakai kemeja berwarna navy yang digulung tidak sampai siku, dipadukan celana jeans warna biru, terlihat semakin berkharisma tampilannya. Namun, hatiku sudah bertekad akan melupakan siapapun yang pernah aku sukai
POV NIAHari itu, untuk pertama kalinya, aku marah pada suamiku. Pria yang selama ini kukenal sebagai lelaki terbaik yang selalu menjadi tempatku bersandar, menyalahkan atas sikapku pada Ilma. Gadis yang dekat dengan Doni.Sejak pertemuan pertama, aku sudah merasa ada gelagat aneh dari teman Fani itu. Seakan dalam setiap pembinaan ingin menjadi objek perhatian. Membanggakan diri sendiri dan satu hal yang mengganjal, sikap Fani saat bertemu dengannya. Aku melihat adikku begitu tidak nyaman saat Ilma mendekatinya.Ditambah lagi dengan pesan yang disampaikan Yuda.Setelah mengantar Ibu, Fani dan anak-anak, aku pulang ke rumah. Beberapa hari di rumah sakit, tentu saja membuat hati rindu pada kamar tempat beristirahat. Lagipula, suasana hati benar-benar tidak baik. Aku butuh istirahat dan sendiri.Selesai mandi, aku
Berbekal nomer Dinda, aku mulai melancarkan misi."Din, kamu bilang, Fani suka sekali menulis di buku diary?" tanyaku padanya melalui sambungan telepon."Iya, Mbak. Kenapa?"*Hari itu juga aku meluncur ke tempat kost Fani tanpa sepengetahuannya. Sejenak melupakan masalah rumah tanggaku. Untung saja, lemari dia tidak terkunci karena pergi dalam keadaan sakit."Aku tidak berani membuka, Mbak. Karena itu rahasia dia. Mbak Nia janji, ya? Jangan bawa-bawa aku. Nanti Fani marah ...," ucap Dinda penuh ketakutan."Iya, Din. Jangan takut! Buku ini akan Mbak bawa. Jadi, kalau Fani tahu, barang ini ada di aku, dia pasti gak akan marah sama kamu,""I-iya, Mbak ...."Setelah mendapat barang yang kucari, aku pulang.
Beberapa hari kemudian, Fani sudah kembali menjalani rutinitas perkuliahan seperti biasa.Buku diary yang Nia ambil, sudah dikembalikan pada tempat semula dengan dititipkan Dinda jadi, Fani sama sekali tidak tahu bila masalah pelik yang sedang dialami telah diketahui oleh kakaknya.Yuda yang telah berjanji pada Nia juga sudah mulai mendekati Arya untuk bisa membantu Fani kembali meneruskan skripsi yang ia kerjakan. Pemuda itu bahkan mulai mengintai aktivitas Ilma setelah pulang kuliah."Tolong, Pak. Kasihan Fani. Aku tahu, Bapak pasti ilfeel banget kan sama dia karena sifatnya yang urakan dan gak pantas disebut sebagai mahasiswa. Dia itu memang lebih pantas jadi tukang kredit keliling. Tapi, bagaimanapun, dia manusia, Pak. Yang harus kita bantu saat mendapatkan kedzaliman," ucap Yuda berapi-api. Membuat Arya mengernyitkan dahi.Dosen muda itu me
"Apa selama ini, Mas merasa tertekan?" Sheren balik bertanya."Jika iya?" Sheren berpaling, memandang ke arah air mancur tidak pernah berhenti bersuara."Ya sudah, malam ini kita tidak usah pergi.""Baiklah kalau itu mau kamu." Arya yang sudah kesal menghadapi gadis pilihan orangtuanya berbalik hendak pulang."Apa begitu sulit untukmu berganti baju demi aku, Mas?" Sheren bertanya saat Arya sudah melangkahkan kaki."Bukankah selama ini, aku yang selalu nurut sama kamu? Segala hal tentang aku, semenjak kita bertunangan seolah kamu yang berhak untuk menentukan. Aku hanyalah boneka yang selalu patuh kemana kamu menggerakkan aku. Berangkatlah sendiri. Daripada kamu malu dengan aku yang memakai baju yang beda dengan bajumu. Bilang saja sama mereka, aku ada urusan mendadak." Arya kembali meneruskan langkah.&nb
"Gara-gara kamu, aku jadi tidak bisa menangkap Ilma!" gerutu Yuda di atas kendaraan yang melewati jalan perumahan."Lha 'kan kamu yang bikin ulah tadi! Lagian, kenapa sih kamu ngebet banget buntutin Ilma?""Aku penasaran aja dia di rumah Pak Juan ngapain," jawab Yuda. Motor mereka telah berhenti di dekat rumah yang berpagar tinggi.Alex turun dan ngeluyur hendak membuka pintu gerbang."Alex! Ngapain?" Yuda sedikit meninggikan suara. Namun, masih dalam batas wajar agar tidak terlalu keras."Eh, iya ya?" Alex nyengir sambil menggaruk kepala."Kita tunggu di gardu sana!" Yuda menunjuk bangunan gazebo yang berada di ujung jalan.Kedua sahabat itu kini duduk sambil bermain ponsel."Aku kenapa kemarin berdiri menu
"Turun, Alex!" hardik Ilma marah."Oh, tidak bisa," jawab Alex santai."Ketahuan 'kan sekarang? Kamu ngapain tadi di ruamah Pak Juan?" tanya Yuda penuh selidik."Bukan urusan kamu!" jawab Ilma kesal. "Berhenti mencampuri urusan orang lain, Yuda!" tambahnya lagi."Kalau begitu, kamu juga harus berhenti mencampuri urusan Fani!" tukas Yuda sengit."Betul, itu!" sahut Alex mantap."Kamu tidak tahu apapun tentang urusan antara aku dan dia jadi, berhenti melakukan hal bodoh!" sergah Ilma."Kamu yang bodoh ternyata. Kamu rela melakukan hal yang menjatuhkan harga dirimu hanya karena obsesi kami terhadap seorang lelaki,""Yuda!" bentak Ilma di bawah cahaya lampu yang remang."Apa?"
Arya semakin curiga. Apalagi bila mengingat prestasi Ilma di kampus, juga karakternya yang terkenal alim. Tentu saja Arya paham. Sebagai seorang yang masih berstatus bujangan, tidak menampik bila dirinya akrab dengan beberapa mahasiswa, termasuk Ilma. Terlebih, gadis itu terkenal dengan kecerdasannya."Aku mau masuk,""I-iya, silakan!"Dengan masih memendam rasa curiga dan penasaran, Arya memasuki rumah yang kecil tapi terlihat apik.Setelah mengucapkan salam, Arya dipersilakan duduk oleh Ilma. Netranya tidak lepas mengawasi gadis alim yang mengumpulkan tumpukan kertas yang berantakan."Pak Arya mau minum apa?" tanya Ilma gugup."Wah, sepertinya kamu sudah terbiasa sekali di rumah ini ya?" Arya Belik bertanya."Eh, itu, Pak, iya, anu, aku han
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya