"Gara-gara kamu, aku jadi tidak bisa menangkap Ilma!" gerutu Yuda di atas kendaraan yang melewati jalan perumahan.
"Lha 'kan kamu yang bikin ulah tadi! Lagian, kenapa sih kamu ngebet banget buntutin Ilma?"
"Aku penasaran aja dia di rumah Pak Juan ngapain," jawab Yuda. Motor mereka telah berhenti di dekat rumah yang berpagar tinggi.
Alex turun dan ngeluyur hendak membuka pintu gerbang.
"Alex! Ngapain?" Yuda sedikit meninggikan suara. Namun, masih dalam batas wajar agar tidak terlalu keras.
"Eh, iya ya?" Alex nyengir sambil menggaruk kepala.
"Kita tunggu di gardu sana!" Yuda menunjuk bangunan gazebo yang berada di ujung jalan.
Kedua sahabat itu kini duduk sambil bermain ponsel.
"Aku kenapa kemarin berdiri menu
"Turun, Alex!" hardik Ilma marah."Oh, tidak bisa," jawab Alex santai."Ketahuan 'kan sekarang? Kamu ngapain tadi di ruamah Pak Juan?" tanya Yuda penuh selidik."Bukan urusan kamu!" jawab Ilma kesal. "Berhenti mencampuri urusan orang lain, Yuda!" tambahnya lagi."Kalau begitu, kamu juga harus berhenti mencampuri urusan Fani!" tukas Yuda sengit."Betul, itu!" sahut Alex mantap."Kamu tidak tahu apapun tentang urusan antara aku dan dia jadi, berhenti melakukan hal bodoh!" sergah Ilma."Kamu yang bodoh ternyata. Kamu rela melakukan hal yang menjatuhkan harga dirimu hanya karena obsesi kami terhadap seorang lelaki,""Yuda!" bentak Ilma di bawah cahaya lampu yang remang."Apa?"
Arya semakin curiga. Apalagi bila mengingat prestasi Ilma di kampus, juga karakternya yang terkenal alim. Tentu saja Arya paham. Sebagai seorang yang masih berstatus bujangan, tidak menampik bila dirinya akrab dengan beberapa mahasiswa, termasuk Ilma. Terlebih, gadis itu terkenal dengan kecerdasannya."Aku mau masuk,""I-iya, silakan!"Dengan masih memendam rasa curiga dan penasaran, Arya memasuki rumah yang kecil tapi terlihat apik.Setelah mengucapkan salam, Arya dipersilakan duduk oleh Ilma. Netranya tidak lepas mengawasi gadis alim yang mengumpulkan tumpukan kertas yang berantakan."Pak Arya mau minum apa?" tanya Ilma gugup."Wah, sepertinya kamu sudah terbiasa sekali di rumah ini ya?" Arya Belik bertanya."Eh, itu, Pak, iya, anu, aku han
Arya sejenak berhenti. Meskipun keduanya telah berhenti berdebat tapi, bila langsung masuk akan membuat mereka mencurigai Arya mendengar semua pembicaraan.Kini, dalam hatinya tidak hanya mengkhawatirkan skripsi Fani tetapi juga timbul rasa penasaran akan hubungan antara Ilma dengan Juan.'Jangan-jangan mereka?' pikir Arya dalam hati.Adzan Maghrib berkumandang setelah kurang lebih dirinya berdiri di teras selama dua menit."Tok ... tok ... tok ...." Arya memberanikan diri mengetuk pintu. Agak lama tidak terbuka. Akhirnya, dirinya mengulangi lagi. Kali ini, Juan berdiri di ambang pintu dengan wajah kaget."Mas Arya?" sapanya gugup."Iya, Pak. Maaf, hape saya ketinggalan tadi," jawab Arya tenang seolah dirinya tidak tahu apa yang dibicarakan Juan dengan Ilma.
Selesai perkuliahan, satu per satu mahasiswa keluar kelas. Karena memang setelahnya sudah tidak ada jam lagi. Hingga tinggallah Arya yang berpura-pura sibuk dengan laptop. Sementara Ilma denga. perasaan takut mendekati dosen muda yang duduk di tenang di kursi depan."Pak Arya," panggil Ilma lirih membuat Arya mendongak."Ya?""Tentang kemarin sore?" Ilma berhenti. Agak ragu untuk melanjutkan kata-kata."Aku tidak akan mencampuri urusan orang lain, Ilma. Sejauh hal itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan aku. Jadi, kamu tidak usah takut aku akan memberitahu orang lain. Lagipula, aku akan memberitahu siapa? Aku dosen, tidak mungkin membuat sebuah pengumuman pada seluruh mahasiswa tentang sesuatu yang tidak penting," ucap Arya sambil terus menatap layar laptop.Ilma menelan salivanya. Bertahun-tahun menjaga kre
(Alur mundur sedikit)Sepulangnya Nia setelah bertemu dengan Yuda, dirinya tidak mendapati anak-anak di rumah, karena dibawa jalan-jalan oleh Irsya."Jangan harap bisa menyogokku melalui anak-anak," desis Ilma lirih saat memasuki ruang tamu.Setelah membersihkan badan, Nia mengunjungi rumah orang tuanya karena ingin melihat keadaan Fani.Sampai di rumah yang dituju, Nia tidak membahas apapun. Hanya saja, sesekali mengejek Fani yang ternyata tidak sekuat yang ia sangka."Mikir apa sih, sampai sakit gitu? Mbak kira kamu gak akan pernah tumbang, Fan! Masa iya, kamu bisa lemas tidak berdaya seperti itu?""Ya 'kan namanya manusia, Mbak! Ada kalanya sehat, ada kalanya sakit!" gerutu Fani kesal.Nia kembali lagi ke rumah setelah mendapat telepon dari Dinta kalau
Di rumahnya, Irsya merasa gelisah. Berkali-kali meminta maaf pada Nia tapi, pesannya tidak pernah dibaca sama sekali. Hingga malam hari, tanda centang belum berubah menjadi hijau.Iseng, dilihatnya story istrinya."Tidak akan aku biarkan siapapun untuk masuk ke dalam wilayahku. Seperti kata pepatah mengatakan, kejahatan terjadi juga karena adanya kesempatan. Situ kasih kesempatan, saya mending mundur!"Jantung Irsya mendadak berdegup kencang. Takut kalau-kalau hanya karena masalah Ilma, Nia meminta cerai."Kenapa aku bodoh sekali, membuat marah Nia yang pernah trauma. Seharusnya aku lebih sabar dan mengalah. Toh selama ini, dia tidak pernah bersikap yang membuatku marah," lirih Irsya menyesal.Pria itu menyugar rambutnya kasar."Aku harus bagaimana sekarang?" tanya Irsya seora
"Ilma, kamu!" Doni bangkit dan terlihat marah. Sedetik kemudian berkacak pinggang. "Kamu sadar tidak dengan apa yang katakan barusan? Ilma! Bu Nia istri dari Pak Irsya. Berarti itu rumah Bu Nia juga. Kami main ambil ini itu di sana tanpa menghargai nyonya di rumah itu!""Mas! Aku di sana itu mengerjakan sesuatu hal. Boleh dikatakan, aku sebagai pembantu gratis sementara pas hari itu. Harusnya Mbak Nia berterimakasih dong sama aku? Aku ambil gelas, ambil apapun, karena seperti yang tadi aku bilang, aku sudah tahu seluk beluk rumah Pak Irsya," racau Ilma kesal."Ya tapi Bu Nia istrinya Pak Irsya, Ilma!""Tapi dia orang baru, Mas. Seharusnya dia sadar. Kalau aku sudah pernah masuk ke rumah itu sebelum dia. Masalahnya apa?""Ilma! Dimana kecerdasan kamu? Gunakanlah otak kamu untuk berpikir. Seharusnya kamu lebih paham etika di rumah orang!" bentak D
Di kantor yang luas, dengan duduk di meja paling depan, berhadapan langsung dengan meja dan kursi yang diduduki Juan, Irawan menginterogasi bawahannya. Sementara Arya dan Eko duduk di kursi lain dengan perasaan gelisah. "Bapak tahu dari siapa, Pak?" tanya Juan balik begitu dirinya merasa sedang diadili. Ekor matanya melirik ke samping, tempat Arya duduk--yang dalam hatinya telah ia sangka sebagai pengadu. "Dari teman mahasiswa yang skripsinya batal. Apa benar dia melakukan plagiarisme?" Pria yang berwatak tegas itu bertanya dengan sorot mata tajam. "Iya, Pak. Ada sebuah aduan pada saya tentang hal itu." "Apa yang lain tahu hal ini? Maksudnya, dosen pembimbing yang lain tahu?" cecar Irawan membuat Juan terlihat tidak nyaman dengan duduknya. "Mereka tahu ada Ma
Sampai pembicaraan itu, Arya paham mengapa Mahira sering berada di bar. Rasa bersalahnya kian besar pada gadis itu. Dan bertekad akan menikahi Mahira setelah urusan perceraian dengan Sheren selesai. “Papanya sudah menikah, Bik?” “Belum. Entahlah, bapak memilih sering di Malaysia untuk urusan bisnisnya sejak cerai dengan ibu. Kasihan Mbak Mahira hidup hanya dengan saya. Itu sebabnya, dia memilih keluar kuliah.” Arya sangat paham, luka hati apa seperti apa yang dirasakan gadis itu. Pantas saja, mencoba mencari pelarian. Beruntung, Mahira bertemu dengan wanita baik yang selalu mencegahnya melakukan semua itu. Pikir Arya. ‘Ah, lagi-lagi, aku harus belajar banyak hal dari orang-orang yang aku anggap buruk.’ Batin Arya bergumam. Sebuah mobil berwarna putih memasuki halam rumah. Sorot lampunya mengenai wajah Arya. Mahira tertegun melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di rumahnya. “Pasti Tante Lisa yang kasih tahu,” dengkusnya kesal. Dengan cepat ia turun. Arya pun tidak kalah k
Wanita itu belum mau menjawab. Terkadang, sorot mata bimbang diberikan saat menatap Arya.“Tolong katakan! Dimana Mahira saat ini,” desak Arya.“Kamu orang yang terhormat! Tapi, jangan selalu memandang kaum sepertiku dengan sebelah mata dan berpandangan buruk atas kami semua. Tidak semua yang berada di sini itu bahagia melakukan pekerjaan ataupun kebiasaan mereka. Bahkan, banyak diantaranya yang harus menyembunyikan tangisan setelah tertawa. Mahira sudah lama ingin menjadi anak yang rusak. Sepertinya, ia pada akhirnya memilihmu untuk hal ini. Karena merasa memberikan sesuatu yang paling berharga dari seorang wanita, kepada orang yang terhormat seperti kamu. Jika kamu memang se-terhormat itu maka, tanggung jawablah pada apa yang sudah kamu perbuat.” Selesai berkata demikian, wanita yang tidak Arya ketahui namanya itu mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu. “Datanglah ke rumah ini. Semoga kamu tidak terlambat sampai sana,” ucapnya lagi seraya mengulurkan sebuah kertas.“Terima
“Sheren, hari ini aku ingin menjatuhkan talak pada kamu. Dan mulai hari ini, aku tidak akan menganggapmu sebagai istriku lagi,” ucap Arya lantang dan asal. Ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.Setelahnya, pria itu berbalik pergi dan enggan untuk tahu tentang yang terjadi di rumah itu lagi.Di perjalanan pulang, emosinya masih meledak-ledak. Namun, satu hal yang ia syukuri, karena kini, dirinya bebas untuk meninggalkan Sheren. Perasaan lega sedikit terbit di hatinya.***“Jadi yang terjadi seperti itu?” tanya Hamdan ketika Arya telah selesai menceritakan apa yang baru saja diketahuinya. Ia langsung pulang dan urung mencari Mahira.“Iya, Pak. Makanya, kita sekarang tidak usah lagi berhubungan dengan Pak Sandi. Bapak keluar saja dari kantornya. Nanti, aku bantu buat CV kecil-kecilan bila Bapak masih ingin tetap menggeluti dunia itu.”“Tidak, Ya. Bapak ingin buat toko bangunan saja. Sudah pusing dengan rebutan tender. Bapak kenal banyak mandor. Dan juga relasi yang bisa ditawari untu
“Seharusnya, sebuah pernikahan itu terjadi karena sepasang lelaki dan wanita saling mencintai. Karena menjalin rumah tangga harus didasari oleh rasa cinta. Jika salah satu pihak terpaksa dengan itu, maka yang akan terjadi adalah keduanya saling tersakiti. Seperti saat ini. Pernikahan itu selamanya akan kita jalani, menikahlah dengan orang yang mencintaimu, Sheren. Itu yang selalu aku ucapkan sejak dulu. Aku mencoba menuruti apa yang kamu paksakan. Dan nyatanya, inilah hasilnya. Kami saling tersakiti,” jawab Arya tanpa rasa takut dan ragu. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan beserta ATM. “Ambillah, pak Sandi. Titip buat Ibu. Sebagai balas jasa atas semuanya. Ini kunci mobil saya. Jika saya hitung, jumlahnya lebih dari apa yang Bapak berikan untuk kakak saya saat itu. Itu sudah saya hitung dengan nilai uang sekarang. Mengenai biaya kuliah saya, bapak saya bekerja pada Anda. Bukan meminta secara Cuma-Cuma. Jadi, tidak etis rasanya bila hal tersebut ikut diungkit. Namun, apabila Ibu
Arya lalu meninggalkan beberapa lembar uang di mejanya. Ia masih memiliki nomor Mahira. Mudah untuknya menemukan gadis itu lain waktu.Aku akan bertanggung jawab.Bunyi pesan yang dikirimkan Arya untuk Mahira.Sampai di rumahnya, ternyata Sandi sudah berada di sana dan terlihat habis membahas sesuatu penting dengan Hamdan. Tidak ketinggalan, Sasmita juga duduk di samping sang suami dengan raut wajah marah.Arya duduk dan langsung berbicara sebagai seorang yang ksatria. “Saya tahu, apa yang Pak Sandi bahas dengan bapak saya. Sejak awal semua keluarga inti kita sudah tahu, jika saya tidak menghendaki pernikahan ini. Maaf, Pak Sandi, dengan semua hal yang terjadi, termasuk kemewahan di pesta pernikahan kami, saya merasa sangat tersiksa. Tidak ada bahagia sama sekali. Jika saat ini saya harus memilih, silakan ambil yang ingin Bapak ambil dari keluarga saya. Asalkan saya bisa bebas dengan semua ini. Kami memang tidak sepadan dengan keluarga Anda. Seharusnya, pernikahan ini tidak akan perna
Mahira mengekor saja. Ia menjaga jarak dari Arya setelah sebelumnya bertukar nomor ponsel. Saat Arya menyalakan benda pipihnya, puluhan pesan dikirimkan Sheren. Namun, tidak dibaca sama sekali. Dirinya hanya menghidupkan ponsel untuk menyimpan nomor Mahira.“Kamu cari tempat lain dulu. Nanti, aku akan mengirimkan nomer kamar,” ujar ARya.‘Masalah CCTV, aku bisa menyelesaikan setelah ini jika itu berbahaya,’ gumam Arya dalam hati.“Kenapa mengajak aku? Bukankah Anda baru saja menikah, Pak Dosen?” tanya Mahira sopan.Dalam hati Arya bingung, mengapa perempuan itu bisa bersikap demikian, padahal Mahira seorang wanita nakal.“Aku tidak mencintai wanita yang kunikahi. Ia memaksa dan mengancam banyak hal, sehingga aku lelah membantah. Malam itu, malam dimana aku bersamamu, aku sedang frustasi. Karena dia benar-benar tidak mau menerima keputusanku untuk membatalkan rencana pernikahan. Dan kini, aku benar-benar merasa sudah tahan ….” Arya mulai bercerita.“Kalian pasangan yang serasi. Istri A
Dengan canggung, Arya menghadapi tamunya. Basa-basi menawarkan minum yang ia lakukan, hanya diabaikan saja oleh Sasmita.“Arya, kami mengikuti keinginan Sheren menikah dengan kamu, menghabiskan banyak uang. Dan kamu hanya menjadikan pernikahan ini sebagai lelucon, begitu?” tanya Sasmita gerap. Napasnya tersengal menahan emosi. “Andaikan kami membebankan semua biaya pesta pada kalian, sudah pasti kalian akan sangat keberatan,” sambungnya lagi.Arya tertunduk di hadapan Sasmita. Bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lebih tepatnya, ia memilih diam.Sasmita masih terus mengungkit banyak hal. Hingga sebuah kalimat menyakitkan yang diucapkannya, menjadi titik terakhir kesabaran Arya.“Jika bukan karena kami, kalian tidak akan menjadi orang terhormat. Ingat, ya, Arya! Bahkan, baju dalam yang kamu kenakan saat ini, itu semua berkat bantuan kami. Gaji enak dan posisi kamu menjadi dosen, itu tidak akan pernah kamu rasakan bila kami tidak mengulurkan bantuan pekerjaan pada bapakmu.
Sheren masih terbaring di atas kasur, saat Arya berpamitan pulang ke rumahnya. Ia membuka ponsel dan mengamati foto mereka berdua saat hari pertunangan. Di sana, Arya masih tersenyum pada kamera.“Semuanya gara-gara kamu, Fani. Jika Mas Arya tidak bertemu dengan kamu, maka dia tidak akan berpaling dari aku,” ujar Sheren geram. “Dan sekarang, kamu enak-enakan sudah hidup berbahagia dengan orang lain,” lanjutnya.Ia masih terngiang ucapan Arya tentang pilihan lebih baik dipenjara. Kini, Sheren seolah tidak memiliki senjata apapun untuk bisa membuat Arya membuka hatinya.“Sheren ….”Panggilan dari seseorang membuatnya bangun. “Mama …,” sapanya sambil cepat-cepat mengusap mata yang sembab.“Kamu menangis? Apa Arya melakukan sesuatu sama kamu?” tanya wanita bernama Sasmita khawatir.“Tidak, Mama ….” Sheren berusaha menutupi.“Lalu karena apa? Mama tidak pernah melihat kamu menangis seperti ini. Bahkan, setetes air mata tidak pernah jatuh di pipimu karena ulah mama dan papa. Mama yakin, ini
“Apa lagi? Mau yang kedua kalinya? Maaf, aku sudah berselera melakukan hal itu lagi,” jawab Mahira.“Sebenarnya kamu siapa?” tanya Arya penuh kebodohan.“Aku Mahira. Aku penunggu bar. Anggap saja seperti itu,” jawab Mahira lalu melangkah cepat pergi.Arya menghabiskan waktu dengan tidur di kamar hotel hingga malam tiba. Panggilan telepon berkali-kali dari Sheren tak membuatnya bangun dari lelapnya.Dan saat ia terjaga, Arya berada dalam kebimbangan hati. Satu sisi ia sadar telah menjadi suami Sheren dan harus melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Sisi lain , tak ada hasrat untuk hanya sekadar mendekati wanita yang memiliki paras hampir sempurna itu.Ketika sampai kediaman keluarga Sheren, semua orang telah terlelap. Hanya pembantu yang masih menunggunya pulang. “Mbak Sheren baru saja masuk kamar, Mas. Sebenarnya ingin menunggu Mas Arya lebih lama lagi. Tapi, ketiduran. Terus saya suruh beliau ke kamar saja, saya yang menunggu Mas Arya,” ucap wanita berumur tiga puluh lima tahun ya